BREAKING NEWS

Monday, July 9, 2018

Perkembangan Islam di Asia Tenggara



KELOMPOK ISLAM RADIKAL DAN  ISU SARA DI KAWASAN ASIA TENGGARA


Oleh :

BUDI SUJATI







UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG




PASCA SARJANA
KONSENTRASI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

2018/1439








KELOMPOK ISLAM RADIKAL DAN  ISU SARA DI KAWASAN ASIA TENGGARA
Asia Tenggara merupakan kawasan yang mayoritasnya dihuni oleh penduduk muslim. Di Asia Tenggara, Islam merupakan kekuatan sosial yang patut diperhitungkan, karena hampir seluruh negara yang ada di Asia Tenggara penduduknya, baik mayoritas ataupun minoritas memeluk agama Islam. Melihat dari perjalanan historis masuknya Islam di kawasan Asia Tenggara diringi dengan meningkatnya intensitas perdagangan internasional di Asia Tenggara dengan masuknya pedagang dari Arab Saudi, Persia, dan India pada abad 7 telah membuka peluang bagi masuknya agama Islam. Asia Tenggara sebagai suatu kawasan yang beragam, mulai mendapatkan ancaman dari radikalisme agama. Proses demokratisasi yang berlangsung di tengah masyarakat terancam oleh pandangan ekstrem trans-nasional.
Radikalisme telah menjadi problem sensitif yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk di Asia Tenggara. Salah satu faktor pemicu munculnya radikalisme adalah pemahaman agama dengan cara ekstrem, yang selanjutnya memunculkan anggapan bahwa pihak lain yang tak sepemahaman adalah salah dan kekerasan merupakan cara yang sah untuk mengubah keadaan tersebut. Kondisi ini kerap terjadi karena manusia diciptakan memiliki rasa cinta terhadap garis keturunan atau golongan dan naluri agresif dari animal power dalam diri. Pemahaman ekstrem tersebut mengakibatkan munculnya konflik bernuansa agama, dimana dalam realitanya konflik agama di Asia Tenggara kerap dipengaruhi oleh kebijakan yang diterapkan oleh rezim penguasa.
Sejak tahun 2000 dunia menyaksikan kebangkitan radikalisme Islam di Asia Tenggara. Selain kelompok Abu Sayyaf di Filipina selatan yang terlibat, diantaranya, dalam penyanderaan sejumlah warga asing dan kelompok yang disebut Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM), radikalisme ini hampir identik dengan kemunculan sejumlah organisasi Islam di Indonesia seperti Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah (FKASWJ), Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Salah satu organisasi, Jamaah Islamiyah (JI), menyita paling banyak perhatian berkat keterlibatannya dalam sejumlah aksi teror di Indonesia yang menimbulkan banyak korban jiwa. Tulisan ini mencoba mengambarkan kondisi kelompok-kelompok islam radikal yang sering menjalakan aksi teror dan menyebabkan ketidakstabilan sosial, ekonomi, politik dan geografis di kawasan Asia Tenggara khusunya bagi Filipina, Thailand dan Burma.

1. Dinamika Islam di Filipina
Muslim termasuk kelompok dominan di Filipina. Islam masuk ke Filipina sebelum Amerika dan Spanyol menginjak bumi Filipina, sehingga memiliki sejarah politik terlama di Filipina. Islamisasi di kepulauan Filipina merupakan bagian persebaran Islam di Asia Tenggara.  Di Filipina, Islam tidak hanya diposisikan sebagai “agama wahyu” yang harus dijadikan sebagai “way of life”, tapi Islam juga memperkenalkan sistem pemerintahan dan budaya yang menarik. Islam memperkenalkan sistem politik dan pemerintahan baru, yaitu Kesultanan yang dipimpin seorang Sultan. Dalam pemerintahannya, Sultan mengakodasi Adat dan ajaran Islam sehingga melahirkan budaya hibridal yang merupakan produk budaya akulturatif hasil pertemuan antara Islam dan Adat. Karena itulah, memahami sejarah Islam Filipina tentu saja harus memahami Islam dan adat yang berkembang. Dua perspektif untuk memahami Islam Filipina secara keseluruhan. Pertama, menelusuri awal perkembangan Islam. Dalam konteks ini, diperoleh penggambaran bagaimana Islam pada awal kehadirannya di Mindanau dan Sulu. Kedua, adalah melihat Filipina sebagai hasil perjumpaan Islam, dengan budaya lokal, budaya Barat, dan Islam.
Islam Asia Tenggara dan Awal Perkembangan Islam Filipina: Hubungan Historik
Kehadiran Islam di Filipina tak bisa dilepaskan dari perkembangan Islam Asia Tenggara yang masih menjadi perdebatan. Di satu pihak, sejarawan Eropa, mengungkapkan bahwa awal masuknya Islam di Asia Tenggara dikarenakan terjadinya kontak perdagangan antara masyarakat Asia. Tenggara dengan Pedangang India. Sementara, versi sarjana muslim Asia Tenggara meyakini Islam tersebar di Asia Tenggara karena dibawa langsung dari Saudi Arabia di Timur Tengah. Sementara, sarjana lain mengklaim Muslim Cina yang memperkenalkan Islam lewat perdagangan. Apapun sumbernya, atau siapa pun pembawanya, pengaruh Islam hadir di Asia Tenggara paling tidak sejak 600 tahun lalu, sekitar tahun 1400-an. Walau, sebagian sarjana meyakini awal kehadiran Islam di kawasan Asia tenggara terjadi sekitar tahun 1100 bersamaan masuknya pengaruh Islam di Aceh dan Sumatera Utara di Indonesia. Berdasarkan argumen historik ini, diasumsikan Islamisasi masyarakat Malaysia, Thailand Selatan, Indonesia, Brunei, dan Filipina bagian Selatan terjadi beberapa ratus tahun dari awal kehadirannya di kawasan ini. Islamisasi terjadi melalui proses akulturatif dengan keyakinan atau kepercayaan lokal pra Islam masyarakat Asia Tenggara. [1]
Anthony Reid, profesor Sejarah Universitas California, menyebut bahwa proses Islamisasi (dan Kristenisasi di Filipina) terjadi dalam waktu yang sangat cepat di Asia Tenggara, terutama pada periode 1550-1650-an. Pada periode ini, terjadi peristiwa sejarah penting dalam kaitannya pengaruh Islam dan Kristen di Asia Tenggara yang harus dicatat. Pertama, pada masa ini terjadi perdagangan global demikian pesat. Kondisi ini juga berpengaruh besar terhadap keramaian perdagangan di berbagai belahan dunia, termasuk kawasan Asia Tenggara, yang pada gilirannya mempengaruhi kegiatan bisnis masyarakat asli kawasan ini. Para pedagang pendatang (Eropa dan Arab), disamping berdagang dalam pengertian sebenarnya, mereka juga membawa bentuk agama (keyakinan) baru, yaitu Islam dan Kristen.
Kelebihan yang dimiliki agama baru ini, menjadi faktor pindahnya “indigenous community[2] pemeluk kepercayaan lokal ke agama Kristen dan Islam. Keberhasilan pedagang Eropa dan Arab, pada peride ini, adalah meletakkan dasar keyakinan dan praktek ritual agama baru, yang kemudian melahirkan praktek sinkretisme. Kedua, pada masa ini, terjadi secara signifikan penyebaran agama di Filipina baik Islam oleh sarjana dan pedagang Arab, maupun Kristen oleh misionaris Spanyol. Dan, secara hampir bersamaan waktunya, Islam menancapkan pengaruhnya secara kuat di Indonesia Timur, terutama di wilayah kerajaan-kerajaan pesisir, seperti : Sulawesi, Lombok Nusa Tenggara, Sumbawa, Kalimantan, Makassar, dan di kepulauan Sulu dan Magindanao (Provinsi Cotabato) di Filipina Selatan sejak 1603-1612.24 Ketiga, periode ini—sebagai pengaruh paska Perang Salib (Crusade War), Spanyol semakin memusuhi Islam di negerinya dan Spanyol menguasai muslim di Filipina sejak awal. Portugis, di pihak lain mengontrol perdagangan di Indonesia Timur. Portugis menjadikan muslim Indonesia sebagai musuh. Mereka menaklukkan dan menyerang muslim untuk mengontrol perdagangan kawasan ini.
Muslim Asia Tenggara umumnya menolak dan menentang segala bentuk pengawasan dan penguasaan perdagangan oleh Eropa. Dan, kondisi ini, pada gilirannya, memecah Filipina menjadi dua kutub : Filipino Kristen dan Filipina Islam. Keempat, perkembangan gerakan tasawuf (sufisme) di Asia Tenggara, terutama di Indonesia dan Malaysia merupakan bagian penting dalam persebaran Islam di Asia Tenggara umumnya. Para sufis adalah para guru spiritual yang melakukan gerakan purifikasi ajaran dari animisme atau kepercayaan asli lokal. Dakwah dan pengajaran Al Qur’an yang dilakukan di kawasan ini, berandil besar membentuk dua bentuk khazanah kebudayaan yang dominan di Filipina, dikarenakan keyakinan sebelumnya yaitu Hindu dan Budha Theravadatidak meninggalkan khazanah tertulis (written legacies).
Pendeta misionari Katolik meninggalkan warisan Bahasa Spanyol dalam berbagai dialek, walaupun umumnya masyarakat Filipina tidak mengenal bahasa Spanyol. Di pihak lain, Islam meninggalkan tradisi melayu dan bahasa Arab,[3] dan tinggalan budaya (cultural legacies) lainnya dalam berbagai genre-nya : naskah keagamaan, seni-budaya keagamaan, dan berbagai benda artifaktual.
Akar Sejarah Islam Filipina
Islam merupakan agama monotheistik tertua di Filipina walau tentu saja bukan terkategori agama tertua.27 Islam datang di Filipina sekitar abad 12 dan 14 Masehi bersamaan kedatangan pedagang muslim dari Persia, India bagian Selatan, dan sejumlah orang dari Kesultanan Malacca di Kepulauan Melayu. [4] Pada periode waktu tertentu, sebenarnya muslim Filipina merupakan salah satu kelompok dominandi negeri ini. Mereka mengarungi sejarah politik lebih dari 500 tahun, sehingga merupakan sejarah politik terpanjang di negeri ini dibanding kelompok lain. Bahkan secara kultural, terjumpai berkembangnya praktek ajaran Islam sinkretik produk kontak dan percampurannya dengan adat.
Praktek sinkretik ini dalam prosesnya merupakan sumbangsih muslim terbesar terhadap bentuk atau tatanan politik di Filipina sekarang ini. Filipina merupakan negara demokrasi dengan sejarah panjang nuansa politiknya. Melihat keterkaitannya dengan sejarah budaya Filipina ini, maka untuk memahami sejarah perkembangan Islam, niscaya diperlukan pemahaman atau penelusuran etnologik secara komprehensif. Perkembangan sejarah muslim Filipina tak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan Filipina secara keseluruhan. Dan, sebaliknya sejarah Filipina tak bisa lepas dari sejarah muslim Filipina, karena kontribusi dalam pembentukannya.
Secara etnokultural, ada dua alur perkembangan historik masyarakat Filipina sebagai entitas dari nation-state. Pertama, fase perkembangan (kedatangan) muslim ke Mindanao dan Sulu.[5] Periode sejarah ini, sebenarnya, merupakan hal penting dalam pembentukan Filipina sebagai negara bangsa. Namun, kolonialisme Barat mendistorsi realitas sejarah ini demi kepentingan politik, ekonomi, dan misionarisnya. Kedua, fase perkembangan kedua yang ditandai oleh terbangunnya masyarakat Filipino Hispanik,[6] pada masa Pemerintahan Kolonial.
 Penduduk Hispanik di Filipina menggunakan bahasa Spanyol. Interaksinya dengan suku-suku lain (yang sudah menetap di Filipina sebelumnya) melahirkan budaya hispanik yang diwarnai oleh akar budaya Eropa dan Amerika Latin (Spanyol-Meksiko). Di Filipina, pengaruh budaya Hispanik cukup mewarnai bahasa, seni-budaya, dan tradisi dan keagamaan.Dan uniknya, unsur-unsur kebudayaan Hispanik (Spanyol Eropa dan Spanyol-Meksiko) secara akulturatif bisa bercampur dengan budaya lokal, sehingga membentuk “budaya Filipino” yang berlaku hingga kini.
Dalam bahasa, dijumpai banyak nama-nama atau istilah yang berasal dari bahasa Spanyol Hispanik dan bahasa asli Filipina, sejak nama-nama kota/tempat, nama orang, nama hari-hari agama, seni, sastra, musik, jenis masakan, dsb. Namun demikian, walaupun Mindanao merupakan “homeland” muslim Filipina, namun dalam perkembangannya, penduduk muslim Filipina sebagian besar mendiami Mindanao bagian barat dan Kepulauan Sulu. Di kepulauan utama Mindanao sendiri, penduduk muslim sebagian hanya mendiami propinsi Lanao dan Maguindanao. Sisanya tinggal di Zamboanga Peninsula, Cotabato Utara, Cotabato Selatan,Sutan Qudarat, Davao Oriental, Davao del Sur dan Pulau Sarangan. Di kepulauan Sulu, muslim dominan tinggal di tiga provinsi kepulauan yaitu provinsi : Basilan, Sulu dan tawi-Tawi. Secara keseluruhan, komunitas muslim Filipina walau tinggal relatif tersebar—terintegrasi oleh faktor idiologik maupun geografik.Muslim di bagian selatan, misalnya, secara kultural memiliki hubungan dengan komunitas muslim di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Pattani Thailand selatan.[7]
Perkembangan Islam Filipina Dewasa Ini
Islam merupakan agama wahyu. Sebagai agama, Islam merupakan sistem nilai, norma, dan tradisi yang bersumber pada Al-Qur’an dan As Sunnah (ucapan, tindakan, atau kebiasaan Rasulullah s.a.w.). Layaknya, sebuah agama, maka Islam memiliki tata ajaran yang fungsional bagi penataan kehidupan manusia pada berbagai aspeknya politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan dimensi kehidupan lainnya. Karena itulah, deskripsi tentang kehidupan Islam di Filipina, secara substantif seharusnya berbicara aspek terkait dengan aspek ajaran Islam dan realisasinya di Filipina. Namun demikian, dalam tulisan ini berikut hanya memokus. Pada persolan pendidikan dan dakwah Islamiyah dalam beberapa subaspeknya, karena aspek politikal dan lainnya sudah disinggung pada bab-bab sebelumnya dalam konteks historik.
1). Pendidikan Islam Pendidikan Islam di Filipina, secara historis, tumbuh dan berkembang sejak kedatangan Islam di Filipina, yang dibawa para pedagang Arab, Melayu, dan India, pada sekitar abad 13, Pertama kali, berdasarkan geneologi Sulu, disebutkan bahwa Tuan Mashaika ditengarai sebagai orang pertama yang memperkenalkan Islam kepada penduduk di Sulu (Abubakar, 1983).[8] Berikutnya, pada pertengahan abad 14, Karim alMakhdum tiba di Filipina, yang sepuluh tahun kemudian diikuti oleh bangsawan muslim Sumatera (Rajah Baguinda) yang mengabdikan dirinya kepada pemimpin lokal Sulu untuk berdakwah atau menyebarkan Islam di Mindanao. Selanjutnya, Islam mengalami perkembangan relatif pesat bersama berdirinya Kesultanan Sulu yang berdiri pada tahun 1450 dengan Syariful Hasyim sebagai Sultan pertamanya. Selama pemerintahannya, sekitar 30 tahunan, Sultan Syariful Hasyim membuat kebijakan untuk pendirian masjid dan madaris (madrasah).
Sebagian besar pendidikan madrasah Diselenggarakan di rumah-rumah pandita atau guro (ustadz) dan di mesjid-mesjid. Mata pelajaran pokoknya adalah membaca dan menulis bahasa Arab sebagai ilmu alat membaca Al Qur’an. Dan, sistem pendidikan Islam seperti itu cukup lama berlangsung di Filipina Selatan khususnya, hingga beberapa abad di era kolonialisme Spanyol. Sejak kemerdekaan, pada tahun 1946, sistem pendidikan di Filipina berubah dari sistem sebelumnya yang mengikuti sistem pendidikan Spanyol dan Amerika Serikat. Kondisi ini, tak luput juga berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan Islam di Filipina, dimana Pemerintah mulai memberlakukan kebijakan-kebijakan tentang pendidikan Islam, terutama di Mindanao untuk mengejar ketertinggalan akibat perlakuan masa lalu. Diantaranya, pada tahun 2004, Pemerintah memberlakukan Kurikulum Madrasah Standar (Standard Madrasah Curriculum/SMC) bagi madrasah, dan pengajaran bahasa Arab dan nilai ajaran Islam di sekolah umum, pengakuan atas sekolah-sekolah swasta di Kota Marawi, Sarang Bangun Zamboanga, dan Jolo. Kemudian, pada tahun 2005, AusAids mendanai proyek Basic Education Assistance for Mindanao (BEAM) atau Bantuan Pendidikan Dasar bagi Mindanao. Bantuan ini bertujuan untuk memberi bantuan pada penguatan implementasi SMC, membantu izin operasional madrasah swasta.
Perkembangan terakhir, pada Januari 2009, Depertemen Pendidikan Republik Filipina menanda-tangani “Memorandum of Agreement” dengan United States Agency for International Development (USAID) tentang bantuan sebesar US $ 86 juta bagi pendidikan Filipina, terutama untuk peningkatan kualitas pendidikan di Wilayah Otonomi Muslim Mindanao (ARMM) dan wilayah Mindanao Pusat dan Barat.[9] Departemen Pendidikan di bawah Sekretaris Urusan (ke)- Islaman, Dr. Manaros B.Boransing, mendefiniskan istilah dan mengategorikan tipe madrasah di Filipina. Salah satunya Madrasah Tradisional atau Madrasah Akhir Pekan (Traditional atau Weekend Madrasah). Madrasah Tradisional (MT) dikategorikan sebagai pendidikan agama non-formal. Pengajarannya diselenggarakan pada hari Sabtu dan Minggu saja atau hari-hari yang disepakati oleh guru dan murid. Materi pelajarannya meliputi pelajaran agama, tidak mengacu pada kurikulum formal, tidak memberikan gelar/ijazah tapi hanya berorientasi agar lulusan bisa menjadi imam (pemimpin ummat) dan tidak membatasi usia peserta didik.  [10]
2) Aspek Dakwah Islamiyah: Dakwah merupakan alat untuk penyebaran Islam, atau untuk peningkatan kualitas ajaran Islam. Karena itu, kegiatan dakwah menjadi sangat mendasar bagi pengembangan agama. Sebagai kelompok minoritas (muslim hanya 5 % dari total penduduk Filipina), masyarakat muslim Filipina membentuk organisasi dakwah yang dinamai Majlis Dakwah Islam Filipina (Islamic Da’wah Council of the Phillipines/IDCP)—semacam Majlis Ulama Indonesia. IDCP merupakan sebuah organisasi federasi dari 95 organisasi masyarakat muslim (LSM) yang terakreditasi oleh Departemen Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan di Filipina. IDCP juga merupakan anggota aktif dari Regional Islamic Da’wah Council of Southeast Asia and the Pacific (RISEAP), World Assembly of Muslim Youth (WAMY), World Halal Council (WHC), dan World Federation of Islamic Mission, dll.
3) Aspek Politik:  Sejak awal tahun 1996 hingga pertengahan tahun 1999, konflik di Filipina Selatan terjadi sebagai lanjutan masalah yang belum terselesaikan, antara Pemerintah Filipina dengan kelompok muslim Moro (MNLF, MILF), serta gesekan Pemerintah dengan kelompok Abu Sayyaf, ditambah persoalan perselisihan antara umat Kristen dan Muslim di Mindanao. Sebagai catatan akhir, pada Oktober 2012, pemerintah Filipina dan kelompok terbesar “pemberontak” Muslim Moro menanda-tangani sebuah perjanjian “perdamaian”. Perjanjian ini diharapkan dapat mengakhiri konflik yang terjadi antara pemerintah dengan kelompok minoritas Moro yang berlangsung selama 4 dasa warsa[11] di Filipina Selatan dalam upayanya menuntut “self-determination” bagi bangsanya. Setelah 15 tahun terjadi gesekan kekerasan melalui peperangan, pertempuran, atau pembunuhan, pada bulan Oktober 2012 ini, Pemerintah-MILF menanda-tangani perjanjian untuk akhir konflik Mindanao. Jikalau perjanjian ini kurang ditaati semua pihak seperti kebiasaan historik tentang perjanjian antara mereka sejak konflik, maka entah kapan hak dan identitas bangsamoro yang sebagian besar muslim bisa dimilikinya, serta entah kapan konflik di negeri ini bisa berhenti. Dengan kata lain, jikalau seperti itu keadaannya, maka bukan mustahil, konflik muslim Filipina bakal menjadi sebuah fenomena dalam peradaban dewasa ini.
Kedudukan Muslim Minoritas Moro Dan Problem Integrasi Di Filipina
a. Stigma Negatif Terhadap Islam Moro
Suku Bangsa Moro adalah sebuah suku yang terdapat di Filipina, Indonesia bahkan tersebar di berbagai pulau. Di antaranya di Maluku dengan nama Pulau Moro Tai, di Sumatera terdapat kecamatan Moro di Kabupaten Karimun Kepulauan Riau. Di Filipina Suku Moro yang berada di Mindanao adalah suku etnoreligius yang terdiri atas 13 suku yang mendiami Filipina bagian Selatan. Daerah kelompok ini meliputi bagian selatan Mindanao, kepulauan Sulu, Palawan, Basilan dan beberapa pulau yang bersebelahan. Suku Moro merupakan suku bangsa pelaut yang gigih dan dapat beradaptasi di berbagai tempat mereka berdiam. Sebagian besar mereka berdiam di Mindanao Filipina. Pulau kalimantan bagian timur yang berumpun Bangsa Moro bernama Suku Bajau. Suku Bajau adalah suku bangsa yang tanah asalnya Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut.
Suku Bajau menggunakan bahasa Bajau. Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku Bajau yang Muslim ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar. Wilayah yang terdapat suku Bajau, antara lain Kalimantan Barat, Kalimantan utara, dan lain-lain.[12]
Description: Hasil gambar untuk foto etnis moro
Gambar. Perempuan Suku Suluk Dalam Pakaian Adat
Mindanao dan Sulu merupakan tanah air Muslim Filipina yang terletak di bagian selatan dan memanjang sejauh 100 mil di utara garis khatulistiwa. Area ini memiliki posisi strategis karena merupakan pusat lalu lintas laut di antara Timur Jauh dan Malayu karena terletak di utara Sulawesi dan barat Negara bagian Sabah, Malaysia. Luas Mindanao dan Sulu adalah 102,000 KM persegi dan terkenal dengan kesuburan serta kaya akan sumber nabati dan mineral. Sebanyak setengah bagian pulau Mindanao adalah berupa hutan. Muslim Filipina banyak terdapat di sebelah Barat pulau Mindanao di bawah Kepulauan Sulu. Lebih spesifik lagi, konsentrasi Muslim Filipina berada di dua provinsi, yaitu Lanao dan Maguindanao.[13]
Islam masuk ke kawasan Mindanao pada abad 14, namun baru sekitar abad 16 terbangun kesultanan Islam di Sulu dan Maguindanao. Secara umum terdapat dua bentuk masyarakat di kawasan yang sekarang disebut Filipina. Di sebelah selatan dikenal dengan komunitas Muslim yang monoteis dan mereka yang animis atau pagan yang menempati bagian tengah dan utara wilayah itu. Tidak ada catatan konflik antara Muslim dan kaum animis atau pagan tersebut sebelum Spanyol masuk untuk menjajah pada abad 16 atau tepatnya tahun 1565 M. Bahkan waktu itu, dakwah islam telah mencapai Manila, yang terletak di bagian utara Negara itu. Islam masuk ke bagian utara tanpa perlawanan fisik atau perang. Ada beberapa komunitas Muslim hidup di Manila yang telah masuk Islam sekitar abad 15 sebelum Spanyol masuk ke daerah tersebut. Ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan kepada rakyat Filipina pada tahun 1947, Kesultanan Maguindanao dan Sulu termasuk di dalamnya. Sebelum penyerahan kemerdekaan itu, sultan Sulu mengirimkan surat kepada Kongres dan Presiden Amerika bahwa kepulauan Mindanao khususnya Kesultanan Sulu menolak untuk menjadi bagian dari Negara Filipina. Mereka ingin tetap menjadi bagian dari Negara Amerika serikat dan tidak bergabung dengan Negara Filipina. Namun permintaan itu tidak digubris Amerika dan kepulauan Mindanao tetap menjadi bagian dari Filipina.
Dua peristiwa, yaitu penyerahan kedaulatan Kesultanan Sulu oleh Spanyol ke penjajah Amerika Serikat yang dianggap ilegal dan surat permintaan Sultan Sulu kepada Presiden dan Kongres Amerika Serikat untuk tidak bergabung dengan Negara Filipina merdeka, itu menjadi tonggak sejarah bagi gerakan separatisme di kepulauan Mindanao: bahwa Bangsamoro dari awal tidak bersedia menjadi bagian dari Negara Filipina.[14]
Description: Hasil gambar untuk peta filipina selatan
Gambar. Peta Filipina Selatan
Kaum minoritas Muslim di Filipina lebih dikenal dengan sebutan Moro[15], yang berkonotasi menghina dan melambangkan kedudukan Muslim yang umumnya tidak menyenangkan dalam menghadapi orang-orang Mayoritas. Sebutan ini pertama kali diberikan orang Spanyol pada abad 16, meniru sebutan orang-orang Mauritania Afrika Utara yang diislamkan (Bangsa Moor) yang di bawah pimpinan Arab menaklukkan dan memerintah Spanyol selama delapan abad. Setelah berabad-abad sebutan ini berubah menjadi sebuah label penghinaan ketika kaum Muslim Filipina dengan gigih melawan penaklukan Spanyol.[16] Orang-orang Muslim Filipina tak mempunyai pengetahuan yang dalam tentang teologi klasik, filsafat, serta rumusan-rumusan hukum Islam, bahkan mereka mencampuradukkan sebagian tahayul pra-Islam dan adat dengan asas-asas Islam, walaupun sebagian besar mereka mengetahui ajaran dan kewajiban dasar Islam. Bersamaan dengan itu, di antara kaum Muslim Filipina terdapat sejumlah orang yang terpelajar dalam hal agama Islam. Dari orangorang itulah muncul orang-orang yang diakui sebagai Ulama, yakni pemuka agama yang memenuhi syarat untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut urusan keagamaan dan hokum.
Bagi Muslim Filipina, Islam telah memberikan pemahaman tentang doktrin bahwa Islam melindungi mereka dari pemikiran-pemikiran yang mengganggu. Islam membimbing mereka kepada tujuan yang lebih luasa dan lebih kekak dalam hidup ini yaitu (menuju) kehendak Allah, seperti makna yang terkandung dalam kata ‚islam‛ atau ‚muslim‛ yang berarti penyerahan diri. Hal ini yang menjadi ideologi iman yang penting bagi keberadaan mereka dan memberikan makna pada kehidupan mereka. Sehingga setiap ancaman terhadap ideologi ini, tidak dapat dibiarkan sehingga menyebabkan kematian psikologis (ruhani) bagi mereka. Orang-orang Muslim Filipinan telah mengalami kematian bilogis dengan banyaknya pertempuran melawan orang-orang non-Muslim dalam rangka mempertahankan kemerdekaan kampung halamannya (yang mereka sebut dengan Dar Islam). Walaupun tak sanggup mencegah penaklukkan fisik terhadap kampung halaman mereka, dan mereka dimasukkan ke dalam bangsa Filipina, orang-orang Muslim masih melanjutkan perjuangan dengan segala macam cara untuk melawan ancaman-ancaman terhadap identitas mereka yang secara psikologis berakar pada Islam.[17]
Moro National Liberation Front (MNLF) dan Moro Islamic Liberation Front (MILF)
Paska kemerdekaan Filipina, pada rentang tahun antara 1946 - 1972, lahirlah gerakan Moro National Liberation Front (MNLF). Setelah menerima kemerdekaan, pemerintah Filipina baru menyadari pentingnya membangun politik dan ekonomi Mindanao dan Sulu. Muslim Mindanao tidak ingin bergabung di bawah pemerintah Filipina. Mereka lebih menyukai berada di bawah koloni Amerika daripada menjadi bagian dari pemerintah Filipina yang Kristen. Hal ini disebabkan trauma yang dialami mereka ketika berada di bawah koloni Spanyol. Migrasi ke Mindanao digalakkan oleh pemerintah. Pemerintah menginginkan para imigran itu memanfaatkan daerah pertanian potensial yang dimiliki Mindanao. Akan tetapi disinilah terjadi konflik, seperti yang dikemukakan di atas. Orang-orang Islam Mindanao tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah disana. Sedangkan orang-orang Filipina Kristen dapat dengan mudah merebut tanah mereka, karena pemerintah local-yang notabene Kristen- dengan mudah menerbitkan dokumen tanah itu, sehingga dapat merebut tanah yang sudah bertahun-tahun ditempati Muslim. Menurut Yegar, Bangsamoro biasanya berdasarkan tradisi tak tertulis. Sedangkan Kristen sangat mengedepankan dokumen legal.[18] Bangsamoro menganggap pemerintah Filipina tidak tanggap terhadap aturan tradisional mereka, sehingga membuahkan kekecewaan yang berujung pada antipasti terhadap orang asing yang menyerbu tanah mereka. Alhasil, Bangsamoro merasa telah ditipu dan dikhianati dalam masalah tanah leluhur mereka.
Ketika Manuel Quezon (presiden Persemakmuran) menyatakan bahwa undang-undang nasional akan ditetapkan secara sama terhadap orang-orang Islam dan Kristen, mendapat reaksi keras dari kelompok Islam, karena secara mencolok mengabaikan sistem-sistem sosial dan hukum tradisional Islam, undang-undang nasional itu lebih banyak mengambil dari etika Kristen dan sejarah sosial Barat. Sebagian pemimpin Islam berkeyakinan bahwa peraturan pemerintah yang baru itu merupakan rencana jahat yang disengaja untuk mematikan Islam di Philipina (Majul, 1989:8- 20). Setelah kemerdekaannya Philipina tanggal 4 Juli 1946, Masyarakat Moro tetap melanjutkan perjuangannyabagi kemerdekaan Moro. Pemerintahan Philipina yang baru tetap melanjutkan kebijakan masa kolonial yakni melakukan tindakan-tindakan reprersif kepada gerakan separatis Moro. [19] Pada tahun 1957 pemerintah Filipina membentuk Komisi Integrasi Nasional (Commision of National Integration/CNI) yang bertujuan menyamakan standar kehidupan Muslim Filipina dengan warga Kristen Filipina, baik dari segi ekonomi, sosial, pendidikan dan politik, sehingga tercipta masyarakat yang menyatu antara Islam dan Kristen. Akan tetapi banyak Muslim Filipina yang tidak menanggapi niat baik pemerintah membentuk komisi ini dengan anggapan mereka akan kehilangan budaya keislaman mereka di bawah penjanjian itu.
Komisi ini menyediakan kesempatan pendidikan kepada orang Moro yang dahulu tidak pernah didapat. Beberap orang Moro masuk ke berbagai Universitas dii Manila dan Mindanao. Mereka mempelajar banyak hal, seperti teknis, kedokteran, seni dan lain sebagainya. Sejak saat itu, orang Moro banyak yang terpelajar dan dilirih oleh dunia, selain problematika tanah air mereka. Universitas memberikan kesempatan mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari Moro untuk berdialog tentang problem-problem yang mereka hadapi. Bahkan mereka juga dapat bebas berdialog tentang problem yang menjadi perhatian pemerintah. Dialog-dialog dan diskusi-diskusi itu justru menimbulkan efek yang lebih jauh. Ironisnya, justru misi universitas akhirnya tidak sejalan dengan misi komisi (CNI) yang menginginkan perdamaian antara Islam dan Kristen. Hal ini disebabkan, kesempatan pendidikan yang diberikan kepada bangsamoro justru menjadikan mereka dapat memperkuat jaringan antar sesama bangsamoro sehingga dapat mengungkapkan problem mereka kepada komunitas dunia yang lebih luas. Pada akhirnya, hal ini menguak fakta yang selama ini terjadi bahwa mereka yang selalu diperlakukan tidak adil. Dari universitas-universitas in, lahirlah pemimpin-pemimpin muda, terpelajar dan penuh dengan ideology radikal.[20]
Pemindahan masyarakat katolik Filipina ke wilayah Mindanao terus dilakukan. Menjelang tahun 1960, tingginya para pemukim baru yang berasal dari Filipina Utara dan Tengah membuat Moro menjadi minoritas di wilayah tinggalnya sendiri. Pemerintahan Filipina mengeluarkan sejumlah undang-undang yang mensyahkan pengambilan tanah yang secara turun-temurun dimiliki penduduk Muslim Moro guna pembangunan proyek perkebunan dan pemukiman. Kondisi perekonomian yang semakin menurun dikalangan penduduk Muslim Moro ditambah lagi derngan kasus pembunuhan di Jabaidah telah memicu lahirnya gerakan Muslim Merdeka (Muslim Independence Movement/MIM)36 di tahun 1968. Gerakan ini mampu memobilisasi lintas kelompok dan kepentingan local di kalangan Bangsamoro di grass-root untuk menuntut keadilan dan bahkan kemerdekaan meskipun masih bersifat lokal di Mindanao. Namun kesenjangan dan kekejaman yang berlanjut telah memunculkan pemimpin-pemimpin dari kalangan Muslim baru bukan hanya di lokal Mindanao melainkan juga di Manila dan Luar negeri.[21]
Organisasi yang dikenal sangat militan.  Nur Misuari kala itu adalah professor di University of The Philippines di Manila. Tujuan dari organisasi ini adalah memperjuangkan kemerdekaan penuh dari tanah Moro. Akan tetapi Presiden Ferdinand Marcos menaggapi gerakan itu dan berbagai perlawanan di Mindanao dengan memberlakukan Martial Law atau keadaan darurat perang pada tahun 1972 dengan mengirim tentera besar-besaran ke Mindanao untuk menumpas pemberontakan dan gerakan tuntutan merdeka yang mulai membesar. Reaksi keras dari presiden ini mengundang dukungan massif dari Bangsamoro semakin kuat kepada MNLF. Pemberlakuan UU darurat perang oleh presiden Marcos telah menelan korban sedikitnya 100 ribu orang sipil dan tentara di kedua belah pihak.[22] Hal ini mengundang simpati dan keterlibatan pihak internasional dari negara-negara Islam di bawah Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang saat itu diketuai presiden Libya, Moammar Qaddafy. Moammar Qaddafy memfasilitasi upaya damai antara MNLF sebagai representasi Bangsamoro dengan pemerintah Filipina, sehingga pada tanggal 23 Desember 1976 tercapai Peace Agreement (PA) Tripoli. Perjanjian ini memberikan peluang pembentukan wilayah Mindanao sebagai suatu wilayah otonom yang Gerakan ini dapat diatasi oleh pemerintah Filipina dengan menberi posisi yang strategis kepada tokoh-tokoh MIM. Hal ini menimbulkan kekecewaan pada kader-kader muda dibawah pimpinan Nur Misuari. Kader muda itu membentuk Front Pembebasan Nasional Moro (Moro National Liberation Front/MNLF), pada tahun 1971.
Perjanjian ini memberikan peluang pembentukan wilayah Mindanao sebagai suatu wilayah otonom yang meliputi 13 propinsi dan 9 kota. Di samping itu, juga dilakukan akaomodasi terhadap sejumlah kombatan MNLF dari Bangsamoro Army dan relawan MNLF ke dalam kesatuan AFP (Armed Force of the Philippines) dan Kepolisian Filipina. Dalam proses pembicaraan hingga tercapainya PA Tripoli tersebut, MNLF telah mengubah tuntutan dari merdeka atau memisahkan diri ke tuntutan otonomi di bawah Negara kesatuan Republik Filipina.[23]
Marcos bersikeras bahwa untuk menentukan daerah otonomi itu perlu diadakan referendum. Perubahan tuntutan ini kemudian menjadi salah satu alasan uang memancing deputi Misuari, Salamat Hashim tidak menyetujuinya, sehingga berdirilah Front Pembebasan Islam Moro (Moro Islam Liberation Front/MILF) pada tahun 1983. Organisasi ini diperkirakan membawa lebih dari separo pendukung MNLF termasuk sebagian pasukan bersenjata bergabung ke MILF. Sementara MILF secara resmi dideklarasikan dan menyatakan melakukan perlawanan politik dan bersenjatan dengan tuntutan merdeka, maka dalam waktu yang bersamaan pembicaraan realisasi PA Tripoli antara MNLF dan Pemerintah terus berlanjut. [24] Dengan pecahnya MNLF dan MILF membuat kekuatan Bangsa Moro terpecah menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan.
Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986). Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos maka masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif bagi Bangsa Moro. Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos. Perkembangan berikutnya, MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah. Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nur Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Hashim Salamat, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercitacita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro. Disatu pihak mereka menghendaki diselesaikannya konflik dengan cara diplomatik (diwakili oleh MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki perjuangan bersenjata/jihad (diwakili oleh MILF). Semua pihak memandang caranyalah yang paling tepat dan efektif. Namun agaknya Ramos telah memilih salah satu diantara mereka 137 walaupun dengan penuh resiko. "Semua orang harus memilih, tidak mungkin memuaskan semua pihak," katanya. Dan jadilah bangsa Moro seperti saat ini, minoritas di negeri sendiri.[25] Front Pembebasan Nasional Moro di Filipina Selatan hendaknya dipahami sebagai produk identifikasi Islam yang kuat dari kaum minoritas Muslim ini. Mereka bukan gejala islam yang khas di Asia Tenggara. Di lain sisi, ada kaum Muslim yang berpikiran tradisionalis, mereka juga tidak melupakan gerakan-gerakan yang membantu mereka mengatasi kekauatan-kekuatan seperti kolonialisme, sekularisme, komunisme, dan sebagainya, yang mengancam ideologi-iman mereka yang koprehensif.
Problem Integrasi Muslim Moro terhadap Pemerintah
Ketegangan dan tindak kekerasan antara kaum Muslim dan Non-muslim di Filipina terus meningkat tahun-tahun belakangan ini, yang menambah ketidakstabilan di kawasan ini serta memperburuk perekonomian Negara ini. Kaum muslim Filipina terperangkap dalam sebuah dilema, di satu sisi mereka harus menyelaraskan tuntutan konsepsi mereka yang agak tradisionalis mengenai keimanan Islam (syariat), di sisi lain, mereka dituntut menjadi warga Negara modern yang di dominasi kaum non-Muslim dan melindungi kebebasan agama. Dilema ini diperumit dengan keberadaan muslim Filipina terpusat di provinsi-provinsi bagian selatan, di kawasan yang berbatasan dengan Malaysia dan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam. Muslim Filipina beranggapan bahwa kewarganegaraan mereka yang sekarang tidak mungkin diseleraskan dengan ketaatan terhadap Islam sebagian menjelaskan eksistensi gerakan-gerakan separatis Muslim yang gigih— yang melakukan perang gerilya melawan kekuatan-kekuatan pemerintah. Kaum separatis menginginkan kemerdekaan, meskipun sebagian menyukai perserikatan dengan Malaysia pada akhirnya. Tetapi, pada kenyataannya, kampung halaman mereka telah diakui secara internasional sebagai bagian wilayah nasional Filipina, dan sangat kecil kemungkinannya dapat memisahkan dari Negara itu. [26]
Sejak seperempat terakhir abad 16, orang-orang spanyol melancarkan ‚Perang Moro‛ yang berlangsung selama 300 tahun sebelum kesultanan Muslim di Mindanao dan Sulu mengakui kedaulatan Spanyol dengan terpaksa. Begitu pula Amerika yang menggantikan kedaulatan spanyol selanjutnya melancarkan operasi militer dalam rangka ‚menentramkan‛ orang-orang Muslim Filipina selama kurang lebih dua dasawarsa abad ini. Dan menjelang tahun 1920 pemerintahan yang berkuasan di daerah Muslim adala di tangan administrator Kristen Filipina. Sesuai dengan kebijakan ‚Filipinisasi‛ dari Amerika yang menghendaki pemerintahan sendiri bagi orang-orang Filipina dalam sebuah persemakmuran (1935) dan akhirnya menjadi sebuah Republik (1946). Maka dengan alasan nasionalis, pemerintah Filipina paska kemerdekaan melakukan konsolidasi kekuasaan terhadap provinsi-provinsi selatan yang didiami kaum Muslim. Pemerintah ingin melakukan integrasi administratif dengan memasukkan daerah-daerah muslim ke dalam sistim politik nasional yang berpusat di Manila, sehingga praktis, pemerintah menempatkan pejabat-pejabat yang Kristen untuk mengelola daerah selatan. Hingga tahun 1950, provinsiprovinsi Muslim di Filipina selatan diperintah oleh Gubernurgubernur yang diangkat Manila yang kebanyakan Kristen. Selain integrasi administratif, pemerintah juga melakukan integrasi ekonomi dan mendorog keterlibatan selatan dalam pembangunan-pembangunan Negara. Hal ini dilakukan agar provinsi-provinsi selatan tidak memberatkan dalam masalah keuangan, sehingga ditariklah pajak-pajak dalam berbagai bentuk. Di samping pemerintah berkeinginan untuk memanfaatkan berbagai sumber daya alam daerah selatan Muslim untuk digunakan dalam memajukan perekonomian nasional.
Taktik pemerintah inilah yang banyak membuat berang Muslim di daerah selatan, dikarenakan pemerintah melakukan banyak sertifikasi tanah-tanah pertanian di Mindanao dan disediakan untuk orang-orang Kristen dari provinsi utara dan tengah yang bertransmigrasi ke wilayah selatan. Hal ini membuat hubungan Muslim dan non-Muslim di provinsi selatan memanas.[27]
Sebenarnya upaya eksploitasi dan sertifikasi tanahtanah kosong jarang penduduk di Pulau Mindanao ini sudah berlangsung semenjak koloni Spanyol. Bahkan pada penjajahan Amerika lebih agresif dengan mendatangkan penduduk lain (transmigran dari Utaran dan Tengah) untuk kepentingan industrialisasi dan pengembangan pertanian dan perkebunan. Kebijakan transmigrasi ini dilanjutkan oleh pemerintah Filipina paska kemerdekaan secara besar-besaran. Para transmigran tersebut diberi tanah luas lengkap dengan sertifikatnya yang sebagian besar diambil dari tanah milik penduduk Muslim setempat yang belum memiliki akta tanah resmi.[28]  Karena hak-hak Bangsamoro yang dirampas itulah menjadi salah satu alasan bangsamoro tidak mau berintegrasi dengan pemerintah, disamping alasan-alasan lain seperti hal memperoleh pendidikan dan lain sebagainya.
Bangsa Moro di selatan Filipina telah berjuang lebih kurang 400 tahun untuk otonomi. Hasilnya adalah pemerintah Filipina memberikan otonomi daerah untuk Muslim Mindanao (ARMM) kepada MNLF. Hal ini membuat preseden baik untuk perdamaian di Filipina Selatan. Taktik yang sama digunakan pula kepada Moro Islamic Libertion Front (MILF) pada 2008, pemerintah memberikan perluasan ARMM yang dikenal dengan Memorandum of Agreement for Ancestral Domain (MOA-AD) akan tetapi Pengadilan Tinggi Filipina menganulir dan membatalkan perjanjian tersebut. MOA-DA tersebut menjanjikan hak teritorial yang lebih luas kepada MILF. MILF menginginkan daerah leluhur mereka seperti dulu sebelum dimasuki oleh imigran Kristen ke pulau Mindanao. Perluasan ARMM itu akan memberikan tanah, pemerintahan, perkembangan sosial ekonomi yang lebih luas dan perdamaian antara muslim dan kristen di Filipina Selatan.

2. Jejak Komunitas Muslim Di Myanmar
Burma atau Myanmar adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang merdeka dari penjajahan Inggris pada tahun 1948. Ibukotanya Rangoon. Luasnya lk. 261.789 m2. Sebelah barat berbatasan dengan India dan Bangladesh, sebelah timur Laos dan Thailand, sebalah utara dengan RRC, dan sebelah selatan dengan Teluk Benggala. Burma adalah negara federasi. Selain Burma, terdapat negara-negara bagian lainnya, yaitu: Chin, Kachin, Karen, Kayah, dan Shan. Adapun penduduknya berasal dari keturunan Burma sendiri, Karen, India, Pakistan, Bangladesh, China, Kachin, Chins, Shans, Mons, dan Arakanese. Sejak tahun 1948 sampai 1958, Burma menentukan bentuk Parlementer dengan Perdana Menterinya U Nu pada April 1958.Karena timbulnya krisis politik, Jenderal Ne Win mengambil alih jabatan Perdana Menteri. Dalam pemilihan umun tahun 1960, Jenderal Ne Win mengambil alih kekuasaan dan menyatakan tidak lagi berlaku konstitusi 1947 dan menempatkan Burma di bawah kekuasan Dewan revolusi.
U Nu menetapkan agama Buddha sebagai agama resmi dari Burma, karena mayoritas penduduknya beragama Buddha. Agama minoritas lain adalah Islam, Kristen, dan Hindu.[29] Komunitas muslim yang terdapat di Myanmar ada 3 kelompok:
1.      Muslim Burma atau Zerbadee, merupakan komunitas yang paling lama berdiri dan berakar di wilayah Shwebo. Diperkirakan mereka merupakan keturunan dari para mubalig yang datang dari timur tengah dan Asia selatan serta penduduk muslim awal yang kemudian beranak pinak dengan masyarakat Burma.
2.      Muslim India, Imigran Keturunan India, merupakan komunitas muslim yang terbentuk seiring kolonisasi Burma oleh Inggris.
3.      Muslim Rohingya (Rakhine) yang bermukim di negara bagian Arakan atau Rakhine, yang berbatasan dengan Bangladesh. Komunitas Islam yang paling banyak adalah Muslim Rohingya.[30]
Hanya dibawa oleh para pedagang Arab, Muslim Malaysia dan India juga mempunyai peranan yang penting dalam penyebaran Muslim di Myanmar. Kekuasaan Islam di Arakan, yang mayoritas merupakan suku Rakhine dan sebagiannya yang beragama Islam adalah suku Rohingya, berjalan lebih kurang selama 350 tahun dengan 48 orang sultan yang memerintah silih berganti, sehingga dijajah oleh Burma pada tahun 1784 dan penjajahan ini berlanjut dengan diambil alih oleh British pada tahun 1822. Pada tahun 1880-an orang-orang Islam di India berbondongbondong hijrah ke Myanmar, sehingga jumlah Muslim semakin meningkat di Myanmar.Pada tahun 1948, Inggris memberikan kemerdekaan kepada Myanmar.Dengan demikian, Arakan daerah kekuasaan Islam menjadi daerah kekuasaan Myanmar.Hal ini membuat Muslim tidak senang, karena mereka diperlakukan secara kejam oleh pemerintah bahkan kewarganegaraan mereka dinafikan.
 Setelah Myanmar merdeka dari Inggris pada tahun 1948, pemerintah Myanmar senantiasa waspada terhadap kedudukan Muslim yang penting di ibu kota negara. Namun, agar terjadi stabilitas nasional, Perdana Menteri U Nu merekrut semua elemen agama untuk duduk dalam pemerintahannya, termasuk dari Islam.Dengan perekrutan ini menjadikan sebagian mereka ada yang mempunyai jabatan penting di pemerintahan, di samping keterlibatan mereka dalam urusan perniagaan.Hal ini membuat komunitas Muslim memperoleh kemewahan dari hasil perdagangan. Di lain pihak, pemerintah junta militer tidak suka dengan keberadaan mereka sehingga melahirkan sentimen bagi pemerintah Myanmar. Sementara itu, Perdana Menteri U Nu yang dikenal sebagai tokoh yang merangkul suku minoritas di Burma dibunuh.Karena pemimpin dari sipil dianggap tidak dapat meredam pergolakan politik, maka junta militer pada tahun 1962 dibawah kendali Ne Win, memegang kendali kekuasaan.
Dari sinilah, mulai terjadinya banyak kekerasan dan ketidakadilan penguasa kepada suku minoritas, terutama Rohingya yang beragama Islam. Rasa sentimen yang begitu mendalam juga menyebabkan munculnya tindakan keganasan dari pemerintah Myanmar terhadap orang Muslim tanpa perikemanusiaan. Tahun 1930-an merupakan permulaan era kemelaratan dan penindasan bagi orang-orang Islam di Myanmar. Beberapa serangan kejam telah dilakukan terhadap Muslim pada tahun 1931 sampai 1938 dan serangan yang paling ganas serta kejam telah terjadi di Yangon dan Mandanay. Di perkirakan dalam peristiwa tersebut sebanyak 200 orang Muslim terbunuh akibat keganasan tentara Myanmar.Tanah-tanah Muslim dirampas, pemerintah dengan masyarakat Buddha juga menindas masyarakat Islam dengan memeras uang dan memaksa mereka memberi upeti serta memenjarakan mereka dengan sewenang-wenang Sebagian umat Islam diusir dan tidak boleh kembali ke kampung halamannya.Menjelang tahun 1971 dan tahun-tahun berikutnya, kekejaman yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap Muslim terus meningkat tajam.
Pada tahun 1977 pemerintah Myanmar melancarkan Operasi Raja Min yang juga dikenal dengan Operasi Naga Min, yaitu operasi benci untuk memeriksa semua penduduk dan mengklasifikasikan mereka kepada dua kategori, yaitu penduduk Burma dan rakyat asing. Orang-orang Buddha mulai di tempatkan di daerahdaerah Muslim dan mesjid-mesjid dibakar, gedung-gedung perniagaan milik orang-orang Islam di kota Akyab juga dibakar. Orang-orang Islam diejek, dipukul dan dibunuh sewenang-wenang, wanita-wanita diperkosa serta sebagian besar dipaksa menikah dengan tentara Myanmar yang beragama Buddha.
Kondisi yang lebih parah lagi pada tahun 1964 orang Muslim tidak dibenarkan lagi melaksanakan ibadah haji, walaupun pada tahun 1980 kebijakan itu dicabut tetapi perbelanjaannya sangat mahal dan terpaksa melalui berbagai prosedur yang sangat rumit. Itulah sedikit peristiwa yang melatar belakangi penulisan tentang kaum minoritas Muslim Rohingya di Burma ini. Mereka yang memiliki tanah air tidak dianggap sebagai warga Negara, padahal mereka ada sebelum Negara Myanmar ini dimerdekakan oleh Inggris. Kajian ini ingin mengungkap sejarah kelompok minoritas Muslim Rohingya yang berada di Burma setelah kemerdekaannya tahun 1948 sampai tahun 2012 ini. Ada beberapa hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, antara lain Asal usul suku Rohingya, yang sampai saat ini tidak diakui oleh pemerintah yang berkuasa di Myanmar saat ini, Latarbelakang tindakan kekerasan terhadap suku Rohingya yang mayoritas beragama Islam, serta tindakan yang dilakukan suku Rohingya ketika mengalami penindasan yang menimpa mereka.
Asal-Usul Muslim Rohingya
Rohang, adalah sebutan kata arakan sebelumnya.Arakan merupakan tempat yang cukup terkenal bagi para pelaut Arab sebelum adanya Islam. Saat itu, banyak orang-orang, seperti Arab, Moor, Turki, Moghuls, Asia Tengah, dan Bengal yang datang sebagai pedagang, prajurit, dan ulama. Mereka datang melalui jalur darat dan laut.[31] Pendatang tersebut banyak yang tinggal di Arakan dan bercampur dengan penduduk setempat.Pencampuran suku tersebut membentuk suku baru, yaitu suku Rohingya.Oleh karena itu, Muslim Rohingya menetap di Arakan sudah ada sejak abad ke-7 dan mereka tidak terbentuk dari satu suku saja.Mereka terbentuk dari percampuran berbagai suku yang berbeda.[32]
Menurut catatan PBB, Rohingya disebut sebagai penduduk Muslim yang tinggal di Arakan, Rakhine, Myanmar.Dari sudut kebahasaan, bahasa yang diklaim sebagai bahasa Rohingya sebenarnya termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, khususnya kerabat bahasa IndoArya. Lebih detail lagi, bahasa Rohingya dikategorikan sebagai bahasa-bahasa Chittagonia yang dituturkan oleh masyarakat di bagian tenggara Bangladesh. Sementara itu, kebanyakan bahasa di Myanmar tergolong rumpun Tai Kadal, Austroasiatik, atau Sino-Tibetan. Jadi, jelas bahwa kelompok etnis Rohingya merupakan keturunan etnis Bengali, khususnya sub-etnis Chittagonia yang tinggal di Bangladesh Tenggara .
12 Suku Rohingya sebenarnya adalah orang-orang Islam dengan budaya mereka sendiri yang jelas terlihat di daerah Arakan.Hal itu karena mereka menurunkan agama mereka pada seluruh keturunan mereka dari bangsa Arab, Moor, Turki, Moghuls, Asia Tengah, dan Bengal dan beberapa bangsa Indo-Mongol.Pencampuran dari berbagai suku, membuat penampakan fisik unik mereka seperti tulang pipi yang tidak begitu keras, mata mereka tidak begitu sipit (seperti orang Rakhine Magh dan orang Burma), hidung mereka tidak begitu pesek. Mereka lebih tinggi dari orang Rakhine Magh tetapi kulit mereka lebih gelap, beberapa dari mereka kulitnya kemerahan, tetapi tidak terlalu kekuningan. Penduduk Rohingya hidup dengan bercocok tanam.Hasil produksi pertanian utama di Arakan berasal dari Rohingya.
Sebagian penduduk yang lain, bekerja sebagai nelayan, pedagang, pengrajin tangan, dan tukang kayu. Oleh karena diskriminasi menimpa mereka, penduduk Rohingya mulai kehilangan tanah dan menjadi tuna wisma.Lahan perkebunan mereka diambil oleh masyarakat Budha yang datang dari dalam dan luar Arakan pada tahun 1942.Selain itu pajak tinggi terhadap hasil pertanian dan pengambilalihan tanah membuat mereka hidup di bawah garis kemiskinan dan mengalami kelaparan.Jumlah pengusaha semakin menurun, mereka tidak diizinkan melakukan kegiatan bisnis secara bebas.
Rezim militer telah melarang mereka mendapatkan hak kebebasan di kotanya. Hal itu berdampak pada kehidupan sosial budaya, ekonomi, pendidikan, dan kehidupan seharihari muslim Rohingya. Kemunculan pemukiman Muslim di Arakan sebagai cikal bakal kelompok Rohingya terlacak sejak zaman Kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430- 1434).Setelah dibuang ke Bengal, Narameikhla lalu menguasai kembali Mrauk U berkat bantuan Sultan Bengal.Seiring dengan berkuasanya Narameikhla, masuk pula penduduk Muslim dari Bengal ke wilayah Arakan, Rakhine.Dalam perkembangannya, jumlah pemukim Muslim dari Bengal terus bertambah, terutama ketika Inggris menguasai Rakhine.Karena kurangnya populasi di Rakhine, Inggris memasukkan banyak orang Bengali ke Rakhine untuk bekerja sebagai petani.Oleh karena itu, sampai saat ini pula, kebanyakan orang Rohingya bekerja di sektor agraris. [33]
Ketika Inggris melakukan sensus penduduk pada 1911, pemukim Muslim di Arakan sudah berjumlah 58 ribu orang. Jumlah itu terus bertambah pada tahun 1920-an ketika Inggris menutup perbatasan India, sehingga orang Bengali memilih masuk ke Rakhine. Sejak tahun-tahun ini pulalah mulai timbul konflik dengan penduduk lokal yang mayoritas merupakan penganut Buddha.Bertambahnya jumlah penduduk imigran membuat penduduk lokal khawatir. Menurut Sejarawan Jacques P. Leider, dia mengatakan bahwa pada abad ke-18 ada catatan seorang Inggris yang bernama Francis Buchanan-Hamilton yang sudah menyebutkan adanya masyarakat Muslim di Arakan.Mereka menyebut diri mereka ‚Rooinga‛. Ada yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari kata "rahma" (rahmat) dalam bahasa Arab atau "rogha" (perdamaian) dalam bahasa Pashtun. Selain itu, ada pula yang mengaitkannya dengan wilayah Ruhadi Afghanistan yang dianggap sebagai tempat asal Rohingya.Hal ini menunjukan bahwa Rohingya bukanlah etnis baru di Arakan.[34]
Hubungan Pemerintah Dengan Muslim Rohingya
Ada beberapa periode dalam masa pasca kemerdekaan Myanmar, dimana pada waktu-waktu tersebut kaum muslimin mendapatkan berbagai terror fisik dan non-fisik sehingga mereka berusaha berjuang untuk mengatasi kemelut yang mereka hadapi dengan perlawanan seadanya.
a. Pemberontakan Muslim Rohingya di Masa Pemerintahan U Nu
Pada bulan agustus 1948, delapan bulan setelah kemerdekaan, terjadi kekacauan yang luar biasa.Banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan, seperti Komunis Bendera Merah (Red Flag Communist), Komunis Bendera Putih (White Flag Communist), dan White Comrade.Mereka merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah karena tidak bisa menentukan daerahnya sendiri, seperti yang diharapkan di beberapa ras lain, yaitu Shan, Kachin, dan Karen. Muslim Rohingya pun dirugikan, dengan status mereka dalam pemerintahan non-muslim, ketika pejabatpejabat Islam digantikan oleh orang-orang Budha.Pengungsipengungsi Budha yang berada di bagian Arakan Selatan diperbolehkan untuk kembali ke rumah dan desa, dari tempat mereka dipindahkan beberapa tahun sebelumnya.[35] Melihat keadaan ini, muslim Rohingya memanfaatkan kesempatan dari aksi gerakan yang dilakukan oleh gerakan-gerakan komunis. Mereka menuntut berdirinya Negara otonom.Namun, pemerintah menolak kedua tuntutan tersebut.Akibatnya, gerakan komunis mencabut dukungan mereka untuk AFPFL (Anti-Fascist People’s Freedom League) dan memilih Arakan National Union Organization (ANUO) dalam pemilihan. Sementara itu, muslim Rohingya memulai pemberontakan di bawah gerakan Mujahidin. Gerakan tersebut dibentuk pada deklarasi Dobboro Chaung, Agustus 1947, dipimpin oleh Jafar Hussain atau lebih dikenal dengan nama Jafar Kawal (pada oktober 1950 Jafar kawal dibunuh. Kepemimpinan Mujahidin digantikan oleh penerusnya, Cassim). Pemimpin muslim mulai menyerukan jihad melawan pendudukan Arakan, dan target utama penyerangan ini adalah penduduk lokal beragama Budha, bukan perwakilan pemerintahan pusat.[36]
Oleh karena lemahnya pemerintah pusat pada waktu itu, ditambah dengan kekacauan yang terjadi di Burma, gerakan yang dilakukan Mujahidin berkembang semakin cepat.Dalam setahun pemberontakan Mujahidin menguasai sebagian besar wilayah Arakan Utara serta menarik perhatian warga Rangoon pada waktu itu. Peristiwa itu terjadi bersamaan dengan kejatuhan Burma dalam ketidakstabilan politik.Pemerintah juga tidak memulai tindakan pencegahan hingga 1951.[37] Pada awal timbulnya pemberontakan, banyak pemimpin-pemimpin Islam yang berkhutbah tentang pembelaan terhadap Islam atau melakukan jihad ketika ada yang meneyerang hak serta wilayah umat Islam. Dengan istilah yang lebih spesifik, pemberontak dan warga muslim Arakan yang tidak secara langsung mendukung pemberontakan inginkan adalah pemberian daerah khusus bagi umat Islam sebuah Negara bagian perbatasan. Seperti halnya yang disebut oleh pertemuan muslim di Maungdaw pada April 1947, daerah yang bukan pemisahan dari Burma, tetapi dari dominasi umat Budha di Arakan. [38]Antara tahun 1951-1954, tentara Burma lebih memfokuskan perhatiannya terhadap Arakan. Serangkaian aksi diadakan untuk meredam tindakan gerakan Mujahidin.Diantaranya menangkap dan mengasingkan pemimpin Mujahidin, Cassim, ke Pakistan pada bulan Juni 1954. Aksi tersebut berpuncak pada November 1954 dengan nama ‘Operation Mansoon‛. Tujuan utama operasi tersebut adalah untuk memecah persatuan pemberontak muslim langsung di daerah mereka. Akibatnya, kegiatan Mujahidin berfokus pada penyelundupan beras dan imigran gelap ke Pakistan untuk mendapatkan senjata.
Pemberontakan melemah dan menjadi semi kejahatan yang menjadikan masyarakat sipil menjadi korban. Hampir semua sektor kehidupan di Arakan dikuasai oleh Budha Arakan.Mulai dari birokrasi pemerintahan sipil, militer, perdagangan, dan jasa.Muslim Rohingya sangat dimarginalkan, kesempatan mereka untuk menjadi polisi, kepala desa, pegawai pemerintah sangat kecil dibanding Budha. Polisi dan kepala desa di daerah-daerah muslim banyak digantikan oleh orang-orang Budha. Muslim di Arakan juga diperlakukan tidak adil. Mereka dijarah, diperas, dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan.
Akibat ancaman dan penggusuran oleh kaum Budha, muslim Rohingya yang diusir pada tahun 1942 tidak bisa kembali ke desanya lagi. Akibatnya, ribuan pengungsi Rohingya hidup di tempat-tempat pengungsian di India dan Pakistan.Sementara itu, tanah-tanah dan harta benda mereka di Arakan dirampas.Para Mujahidin Rohingya mengangkat senjata karena segala protes dan tuntutan mereka tidak didengar oleh pemerintah Rangoon.Pemerintah Rangoon malah mendukung terjadinya pembasmian etnis dan menghilangkan identitas etnis Rohingya dengan mengambil kembali tanah-tanah Rohingya untuk Budha.Pemerintah justru mengadakan operasi militer besar-besaran untuk membantai dan mengusir Rohingya dari tanah kelahirannya.Rohingya menghendaki keadilan.Mereka berharap dapat menjadi warga Negara Burma di bawah aturan hukum, bukan di bawah dominasi tirani.[39]
Sayangya, tidak tercapai kesepakatan antara komisi yang mewakili pemerintah dan pihak pemberontak.Pemerintah tetap menempuh kekerasan militer untuk melumpuhkan pemberontakan.Para pemberontak bertempur sengit melawan polisi dan angkatan bersenjata Burma yang ditempatkan di Arakan untuk mengepung wilayah ini dalam waktu yang relative panjang.Pada tahun 1949, militer Burma berhasil menguasai pelabuhan Akyab sedangkan para pemberontak menguasai seluruh wilayah Arakan Utara. Gerakan-gerakan pemberontakan muslim juga terjadi di bagian lain propinsi Arakan. Pada tahun 1954, Cassim, pemimpin muda militan dan berpendidikan, menjadi pemimpin dari setiap gerakan yang dilakukan oleh Muslim Rohingya. Dalam waktu yang singkat, ia berhasil memperoleh dukungan dalam jumlah yang besar. Namun, pada tanggal 13 September 1966 Cassim dibunuh oleh orang yang tak dikenal di daerah Cox’s Bazar. Kematiannya menyebabkan gerakan muslim Rohingya mengalami kemunduran[40]
Dari tahun 1951 sampai 1954, militer Burma mengadakan serangan besar-besaran terhadap gerilyawan Rohingya.Hal itu membuat gerilyawan Rohingya terpaksa mundur dari wilayah yang didudukinya.Operasi militer pemerintah pada bulan November 1954, pada akhirnya menghancurkan basis pertahanan terakhir dari para Mujahidin Rohingya. Beberapa pemimpin utama pemberontakan terbunuh dalam pertempuran ini. Keberhasilan operasi militer ini membuat perlawanan Rohingya menurun.Kekuatan Rohingya semakin memudar dan terpecah-pecah ke dalam kelompok-kelompok kecil.Pada akhirnya, gerakan Mujahidin tidak lagi menjadi ancaman bagi pemerintah Burma.[41] Setelah berakhirnya operasi militer yang terorganisir dari para Mujahidin, pemerintah Burma masih melancarkan tuduhan bahwa para Mujahidin mendorong masuknya ribuan imigran gelap dari Chittagong, yang sangat padat penduduknya, ke Arakan.
Para imigran ini, karena faktor kesamaan agama sangat mudah membaur dengan muslim Rohingya di Arakan Utara. Mereka, seperti halnya Rohingya, hidup dari pertanian subsistem dengan menggarap lahanlahan kosong di Arakan.Pemimpin-pemimpin Rohingya menolak tuduhan tersebuut. Mereka mengatakan pemerintah Rangoon tidak hanya melancarkan tuduhan yang tidak benar, tetapi juga melakukan propaganda untuk mencegah para pengungsi Rohingya, yang dulunya melarikan diri ke Pakistan, untuk kembali ke tanah air dengan menuduh mereka berasal dari Chittagong yang menyusup ke Burma secara illegal.
Salah satu dampak dari pemberontakan di Arakan adalah makin bangkitnya kesadaran untuk memperjuangkan Arakan sebagai wilayah otonom bagi muslim Rohingya. Mereka yang berhaluan moderat juga menuntut Arakan menjadi Negara bagian tersendiri (State of Arakan) di bawah persatuan Burma yang memiliki hak-hak kesempatan yang sejajar dengan daerah bagian lainnya. Sebagian besar dari Rohingya, khususnya yang tinggal di daerah Buthidaung dan Maungdaw, lebih menekankan tuntutan pembentukan Arakan sebagai wilayah otonom yang bertanggung jawab langsung pada pemerintah pusat di Rangoon, dengan menyingkirkan semua pejabat pemerintahan Arakan yang beragama Budha Antara 1960 sampai 1962, masyarakat Rohingya berjuang untuk memperbaiki status Arakan. Pada waktu pemilihan umum April 1960, U Nu berjanji jika partainya memenangkan pemilu, dia akan menjadikan Arakan sebagai wilayah Negara bagian yang otonom dan sejajar dengan Negara-negara bagian laiannya di bawah persatuan Burma. Setelah mencapai kemenangan, U Nu membentuk komisi yang bertugas mengumpukan segala permasalahan dan aspirasi muslim Arakan.[42]
Pada tahun selanjutnya, U Nu memenuhi janjinya setelah Regional Autonomy Communission  tahun 1948, mengumumkan pembentukan Negara Mon dan Arakan, yang akan diselesaikan pada tahun 1962. Akan tetapi, kelompok Mujahidin yang tidak puas meneruskan pemberontakan untuk memaksa dan meminta hak beragama Islam dan pemisahan yang legal dari daerah terdepan Mayu dari Burma. Walaupun pemerintah merasa mendapatkan dukungan selama tahun 1961 dengan menyerahkan 500 tentara gerilya Mujahidin bersenjata berat yang dipimpin oleh Rauschid Bullah dan Mustafiz, yang aktif diperbatasan Pakistan semenjak merdeka, banyak penduduk lokal Budha dan Islam yang berkata bahwa terdapat potensi konflik yang tidak terlihat oleh pemerintah Burma. Rohingya Jamieatul Ulama merupakan salah satu organisasi yang menyerahkan memorandum yang mencatat semua aspirasi dan pandangan muslim Rohingya. Memorandum tersebut di antaranya menyebutkan bahwa muslim Rohingya menghendaki wilayah otonom yang langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat Rangoon. Pemenuhan tuntutan tersebut merupakan persyaratan untuk menghentikan kasus-kasus penyelundupan dan datangnya imigran gelap sehingga perdamaian dan ketertiban dapat terpelihara di Arakan.[43]
Sebuah pemerintahan lokal yang terpisah dari yang lainnya perlu didirikan di Arakan untuk membantu meningkatkan standar hidup masyarakat muslim Rohingya yang selama ini sangat bergantung pada pertanian subsistem. Melalui birokrasi lokal yang otonom, muslim Arakan mengharap segala pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Budha Arakan terhadap kaum muslim bisa ditindak langsung. Muslim Rohingya tidak keberatan dengan dibentuknya Negara bagian Arakan asal disertai persyaratan bahwa Arakan juga harus memiliki Dewan Regional yang memiliki otonomi penuh untuk menanggulangi masalah-masalah lokal.
Eksekutif di tingkat pusat harus mempertimbangkan saran Dewan Regional dalam menunjuk dan menempatkan orang-otrang yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Negara bagian Arakan.Begitu pula dalam hal mencari penyelesaian masalah regional Arakan, pejabat pusat harus mendengar pula nasihat dan bahan-bahan pertimbangan yang diajukan Dewan Regional.Pemerintah Regional Arakan sudah semestinya mendapatkan pelimpahan wewenang, tugas dan tanggung jawab langsung dari pemerintahan pusat di Rangoon guna mengatasi masalah ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan agama. Wakil-wakil dari wilayah Maungdaw dan Buthidaung, meskipun pada dasrnya ,menyetujui pembentukan Negara bagian Arakan, mereka menolak wilayah mereka (Maungdaw, Buthidaung, dan sebagian dari Rathedaung) menjadi bagian dari the state of Arakan. Muslim di ketiga wilayah ini menempati posisi mayoritas. Oleh karenanya, menurut anggapan mereka, menyatukan Islam dengan Budha Arakan ke dalam satu Negara bagian, sama artinya dengan mengundang pertumpahan darah baru.
Pandangan muslim di Akyab dan di wilayah Arakan lainnya, tempat muslim menjadi minoritas, tentang rencana pembentukan Negara bagaian Arakan, lebih konpleks lagi. Mereka tidak keberatan dengan ide pembentukan Negara bagian Arakan sepanjang ada jaminan hak-hak muslim di dalam konstitusi maupun praktiknya sehari-hari. Mereka juga menuntut persamaan hak, baik Budha maupun muslim Arakan secara bergiliran menduduki posisi sebagai kepala Negara bagian Arakan. Bila kepemimpinan dipegang oleh umat Islam, maka wakilnya Budha.Demikian pula dengan posisi Dewan Negara bagian, bila ketuanya Budha, maka wakilnya dari umat Islam.Begitu seterusnya, setiap mendudukkan personel dalam jabatan-jabatan penting di pemerintahan, diatur secara bergantian antara umat Islam dan Budha.[44]
Mereka juga mengusulkan pada pemerintah Rangoon agar sepertiga dari jabatan kementerian dipegang muslim. Begitu pula halnya dalam menempatkan figur-figur yang menjalankan pemerintahan negara bagian, suara delegasi muslim harus didengar terlebih dahulu. Jumlah kaum muslim yang menduduki posisi penting di pemerintahan, kementerian, parlemen harus proporsional sesuai dengan prosentase jumlah muslim secara keseluruhan. Pada 1 Mei 1961, pemerintah Rangoon membentuk daerah perbatasan Mayu (Mayu Frontier) yang meliputi Maungdaw, Buthidaung, dan bagian barat Rathedaung. Daerah tersebut merupakan wilayah administrative militer, bukan merupakan suatu pemerintahan otonom.Namun, karena pembentukan zona militer ini tidak menjadikan Arakan sebagai sub ordinat dari pemerintah Rangoon, pemimpin-pemimpin Rohingya dapat menyetujuinya. Persetujuan ini tampak, khususnya setelah pemerintahan administratif militer yang baru berhasil menekan pemberontakan-pemberontakan lokal dan memulihkan keamanan dan perdamaian di wilayah Mayu.
b. Gerakan Muslim Rohingya Masa Pemerintahan Ne Win
Pemerintah AFPFL (Anti-Fascist People’s Freedom league) mengirimkan Burma Territorial Force (BTF) yang dipimpin oleh Mayor Tha Kyaw untuk menghentikan gerakan Mujahidin.Akhirnya, Mujahidin termasuk pemimpinnya, Cassim melarikan diri ke Pakistan Timur dan pada tahun 1959 gerakan Mujahidin tidak berjalan. Awal 1962, pemerintah mengajukan draft pembentukan Negara bagian Arakan tanpa memasukkan wilayah Mayu ke dalamnya. Namun, sesudah terjadi kudeta di bawah pimpinan Ne Win pada Maret 1962, rezim baru Burma tersebut membatalkan rencana pembentukan Negara bagian Arakan dan membubarkan gerakan Mujahidin.Hingga kini, cita-cita untuk membentuk wilayah Arakan yang otonom masih terkatung-katung.Arakan tetap di bawah kontrol represif dari pemerintahan militer Burma.[45]
Partai militer Burmese Socialist Programme Party (BSPP) telah mengekang kebebasan seluruh rakyat Burma, membatasi gerak politik dan melarang publikasi apapun yang bernada anti pemerintah.Penduduk dihalang-halangi untuk bepergian ke daerah-daerah tertentu, dan jarang sekali diberi paspor untuk ke luar negeri.Semua industri dan bank-bank dinasionalisasikan dan dilakukan dengan pengawasan yang sangat ketat terhadap perdagangan oleh pemerintah. Semua hal tersebut dilakukan dengan alasan akan membawa Burma ke dalam sosialisme.
Jenderal Ne Win membuat sebuah perencanaan yang bertujuan mengusir setiap orang yang beragama Islam keluar dari Burma.Umat Islam yang masih tersisa diintegrasikan ke dalam masyarakat Budha.Partainya mengadakan suatu propaganda besar-besaran yang bertujuan menuduh orangorang Islam sebagai unsure-unsur yang anti pemerintah. Mereka mengatakan bahwa umat Islam merupakan orang asing di Negara itu meskipun pada kenyataannya mereka telah bergnerasi-generasi tinggal di sana. Pihak militer dan alat-alat kekuasaan Negara lainnya diperintahkan untuk menghancurkan segala yang berbau Islam dalam masyarakat, dengan melakukan segala bentuk penindasan di bidang sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan.

c. Rohingya Independence Force (RIF) dan Perkembangannya.
Umat Islam di Arakan terperangkap di antara situasi yang tidak pasti. Banyak warga muslim yang mengalami kesulitan untuk membentukkan status kewarganegaraan mereka dan takut akan hak mereka untuk menetap di dalam negeri. Seorang mantan mahasiswa dari Universitas Rangoon, Muhammad Jafar Habib, mereformasi gerakan Mujahidin dengan nama baru, Rohingya Independence Force pada 26 Maret 1963 di Maungdaw, Arakan Utara. Mengikuti jejak pendahulunya, Mujahidin, RIF merupakan gerakan sebagai bentuk protes terhadap kudeta militer Ne Win dan pelanggaran organisasi muslim seperti Rohingya Students Union dan Rohingya Youth League. Sedikit sekali yang diketahui mengenai RIF, akan tetapi laporan mengenai kontak senjata dengan pihak pemerintah kadang kala muncul ke media. Tahun 1969, RIf berubah nama menjadi Rohingya Independence Army (AIR) dipimpin oleh Jafar Habib.[46] 
Pada tanggal 12 September 1973 berdiri Rohingya Patriotic Front (RPF) dengan pemimpinnya Jafar Habib di Sack Dala.Organisasi ini merupakan perubahan dari Rohingya Independence Army (AIR). Setelah kemerdekaan Bangladesh, banyak terjadi perubahan di RPF dan akhirnya, pada Juni 1974, RPF direkonstruksi, dipimpin oleh Jafar Habib, Presiden Nurul Islam, Wakil Presiden, dan Sekretaris Umum Shabbir Hussain. Tujuan organisasi ini sama dengan organisasi sebelumnya, yaitu membentuk negara otonomi Islam. Gerakan yang terinspirasi oleh munculnya semangat pan-islamisme di dunia ini, mengkampanyekan ketidakadilan yang dirasakan oleh muslim di Arakan. Namun, gerakan ini hanya mendapat sambutan yang kecil dan akhirnya terpecah ke dalam beberapa faksi. Pakta dengan Rohingya Patriotic Front disetujui pada 1973. Walaupun kelompok Mujahidin dapat mempersenjatai beberapa ratus penduduk muslim dengan bantuan Bangladesh sepanjang sungai Naaf, secara militer perjanjian ini tidak terlalu segnifikan.
Sementara itu, Zafar Sani mereorganisasi unit gerilya di antara komunitas muslim di wilayah agak ke utara sepanjang sungai Naaf. Pada awalnya, kelompok muslim National Liberation Party yang dipimpin oleh Sani bekerja di antara aliansi dengan Rakhine ‘Nationalist’ Front, Communist Party of Arakan (CPA), dan Arakan National Liberation Party (ANLP). Melimpahnya supply senjata selama perang kemerdekaan Bangladesh, membuat kelompok muslimNational Liberation Party menjelma menjadi kelompok pengacau nomor dua di negara tersebut setelah Communist party of Burma (CPB), tahun 1970. Pada tahun 1982, salah satu faksinya membentuk Rohingya Solidarity Organisation (RSO), dan kemudian sempalannya membentuk Arakan Rohinya Islamic Front (ARIF) pada tahun 1986. Keduannya berkedudukan di selatan Bangladesh. Organisasi-oraganisasi ini merupakan organisasi yang didirikan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang tak henti-hentinya melakukan penindasan. Salah satu dampak dari pemberontakan di Arakan adalah semakin bangkitnya kesadaran untuk memperjuangkan Arakan sebagai wilayah otonom bagi muslim Rohingya. Kendati peerlawanan kekerasan tidak memberikan hasil optimal, pemberontakan itu tetap memberikan efek politik di lingkungan muslim Burma, yaitu kesadaran tentang otonomi Arakan.[47]
Menanggapi perlawanan di wilayah Arakan, disampinng melakukan penyerangan militer, pemerintah juga sempat beberapa kali bernegoisasi.Pemerintah tidak mampu menumpas habis gerakan ini, terutama kendala geografi. Sebaliknya, pemberontakan muslim Rohingya tidak kunjung besar. Hal itu karena di antara mereka sendiri cenderung terpecah ke dalam kelompok-kelompok kecil.[48] Setelah melalui perundingan dan bantuan Komisi Tinggi PBB untuk pengungsi, Burma menerima kembali 186.965 muslim Rohingya untuk menetap di Arakan, di bawah perjanjian Decca pada tahun 1979. Akan tetapi, rezim yang berkuasa saat itu menyalahkan semua kekacauan kepada orang-orang Bengal. Menurut mereka, yang menyebabkan kekacauan dan yang menyerang desa Budha di Arakan dilakuakan oleh ‚kelompok bersenjata Bengal‚kelompok perampok Bengal , dan ‚ektremis Islam. Sejak saat itu, ribuan orang Islam Burma terus mengungsi ke berbagai Negara, seperti Pakistan, Mesir dan Negara-negara Arab lainnya.Mereka dianggap sebagai ‘Palestina Baru‛ di Asia.
Komunitas Muslim Rohingya Masa Kini
Kebijakan ‚Burmanisasi‛ dan ‚Budhanisasi‛ yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar berusaha untuk mengeluarkan dan memarjinalkan warga Muslim Rohingya di tanahnya sendiri di Arakan, padahal mereka adalah suku asli di wilayah Arakan atau sekarang disebut Rakhine.Etnis Rohingya mengalami intoleransi karena mereka Muslim dan identitas etnis dan ciri-ciri fisik dan bahasa mereka dianggap berbeda dengan mainstream. Oleh karenanya, mereka selalu menjadi subyek penyiksaan utamanya sejak 1962, ketika rezim militer U Ne Win mengambil alih pemerintahan negara Burma. Rezim militer Thein Sein yang kini berkuasa juga menolak memberikan kewarganegaraan Myanmar pada Rohingya. Lebih buruk lagi, ia memasukkan Rohingya pada daftar hitam (blacklisted).
Peringatan dari berbagai pihak, terutama dari PBB, tidak dihiraukan. Setiap ada pengamat ataupun badan PBB yang ingin mengetahui secara persis apa yang terjadi disana dijawab bahwa apa yang terjadi adalah sebaliknya. Peristiwa yang baru terjadi merupakan kerusuhan rasial antar suku dan tidak berkaitan dengan pemerintah, demikian yang seringkali diungkapkan Pemerintah Myanmar. Etnis Rohingya tidak ada keinginan untuk merdeka dan memisahkan diri dari Union of Myanmar.Mereka hanya ingin diakui sebagai bagian dari warga negara Myanmar yang berhak untuk hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan.Bebas bergerak dan berpindah kemanapun serta bebas berekspresi, beribadah dan menjalankan keyakinan agamanya. Menurut Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA), pernyataan pemerintah atau pengamat yang mengatakan bahwa perjuangan etnis Rohingya didukung dan dikelola oleh kelompok ‘teroris’ seperti Al Qaeda dan Jama’ah Islamiyah adalah fitnah belaka. Etnis Rohingya tidak ingin dan juga tidak punya kapasitas untuk menjadi kelompok teroris apalagi untuk mendirikan negara sendiri dengan caracara terror dan kekerasan.[49]





Description: Hasil gambar untuk peta rohingya myanmar
Gambar. Peta Arakan Burma
Pada tahun 1948 - 1962 etnis Rohingya diakui sebagai salah satu dari 136 etnis yang eksis di Myanmar. Bahkan ada etnis Rohingya yang menjadi anggota parlemen dan menteri pada kabinet Myanmar sebelum tahun 1962. Ketika U Ne Win berkuasa pada tahun 1962, maka mulailah pengingkaran etnis Rohingya sebagai etnis yang sah berkewarganegaraan Myanmar. Puncaknya adalah pada Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tahun 1982 yang meniadakan Rohingya sebagai etnis yang diakui di Myanmar. Selanjutnya peniadaan ini adalah juga penghilangan dan pembatasan hak etnis Rohingya dalam hal :
1.      Hak untuk bebas bergerak dan berpindah tempat
2.      Hak untuk menikah dan memiliki keturunan
3.      Hak atas Pendidikan
4.      Hak untuk berusaha dan berdagang
5.      Hak untuk bebas berkeyakinan dan beribadah
6.      Hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan
Kejahatan terhadap kemanusiaan  (crime against humanity) yang dialami oleh etnis Rohingya antara lain :
1.      Pembunuhan massal dan sewenang-wenang
2.      Pemerkosaan
3.      Penyiksaan
4.      Penyitaan tanah dan bangunan
5.      Kerja Paksa dan Perbudakan
6.      Relokasi secara paksa
7.      Pemerasan
Akibat kekerasan struktural yang berlangsung begitu panjang, maka warga Rohingya terpaksa mengungsi dan menjadi ‘manusia perahu’, mencari negeri aman yang mau menerima mereka di Asia Tenggara atau di negeri manapun di seluruh dunia. Tidak jarang para manusia perahu itu tenggelam ataupun mati karena kelaparan dan kehausan di tengah laut. Banyak pula yang ditahan atau diperlakukan semena-mena d1i negara-negara transit atau di negaranegara penerima mereka. Saat ini ada 1.5 juta orang Rohingya yang terusir dan tinggal terlunta-lunta di luar Arakan/ Myanmar. Kebanyakan mereka mengungsi di Bangladesh, Pakistan, Saudi Arabia, UAE, Malaysia, Thailand, Indonesia dan lain-lain.[50]
Pada tanggal 3 Juni 2012 warga Rakhine bekerjasama dengan militer Burma, polisi dan angkatan bersenjata melakukan pembantaian dan kekerasan terhadap 10 Muslim Myanmar (non Rohingya) yang dalam perjalanan pulang dari Thandwe ke Mandalay dalam rangka perjalanan da’wah Jama’ah Tabligh. Disinyalir bahwa peristiwa ini merupakan bentuk balas dendam yang berlebihan dan sistematis terhadap kasus perkosaan yang melibatkan dua pria Muslim dan satu pria Buddhist terhadap seorang gadis Rakhine Buddhist, yang kebenarannya juga masih dipertanyakan. Kekerasan di atas adalah bagian dari perencanaan dan serangan yang sistematis yang didesain untuk memusnahkan populasi Rohingya yang tersisa di Arakan dan menjadikan Arakan sebagai ‚Muslim-free region.
Description: Hasil gambar untuk etnis rohingya dibantai
Gambar. Kondisi Pegungsi Rohingya
Jam malam dan pembatasan gerak ini diberlakukan di Arakan Utara selama dua bulan, tapi hanya berlaku untuk warga Muslim. Tidak untuk warga Rakhine. Angkatan bersenjata hampir semua adalah Rakhine atau pro dengan Rakhine. Jam malam ini memberikan legitimasi untuk angkatan bersenjata dan ekstrimist Rakhine untuk membunuh, memperkosa, dan menangkap Muslim Rohingya secara massal.[51]
Target penangkapan adalah Ulama Rohingya dan pemuda-pemuda Rohingya yang terpelajar termasuk anak yang masih berusia di bawah 10 tahun. Mereka yang ditahan kemudian menjadi hilang ataupun tetap ditahan namun tanpa pengadilan sama sekali. Banyak juga yang kemudian dihukum mati.Mereka yang lari dan mengungsi tak punya tempat mengungsi lain selain pergi ke hutan dan terusir ke laut. Warga Rohingya tak dapat pergi kemana-mana. Jangankan lagi pergi ke luar negeri, di dalam daerahnya sendiri susah bergerak. Mereka dilemahkan dan dilumpuhkan. Kondisi ini membuat sukar mengetahui jumlah korban jiwa yang pasti.Jumlah korban tewas dari warga Rohingya dan Rakhine diperkirakan sampai pertengahan Agustus berjumlah ratusan jiwa (sumber lain menyebutkan ribuan jiwa).
Sekitar 100.000 orang Rohingya terusir dan mengungsi ke tempat-tempat yang tidak aman. Ratusan warga jadi korban penembakan dan tak mendapat penanganan medis yang memadai.Ribuan warga Rohingya menderita kelaparan dan terjangkiti penyakit serius.Jenazah warga Rohingya yang tewas tak dikembalikan kepada keluarganya, ada laporan bahwa jenazah tersebut dikremasi, dikubur di pekuburan massal ataupun dibuang ke laut.Banyak warga Rohingya yang masih hilang dan diduga keras telah dibunuh.Inilah yang terjadi disana, sebagaimana diungkap oleh PIARA.
Perlindungan atas Imigran Rohingya dalam Pelanggaran HAM Berat di Myanmar dari Aspek Hukum Internasional
Dalam Konferensi Dunia pertama untuk Memberantas Rasisme dan Diskriminasi Rasial, negara-negara didesak untuk menghapuskan diskriminasi karena latar belakang etnis atau kebangsaan diantara warga negaranya; dan melindungi serta mempromosikan hak asasi manusia etnis minoritas dan kebangsaan.

1. Diskriminasi Rasial terhadap etnis Rohingya
Dalam pasal 1 ayat 1 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination[52], diskriminasi rasial diartikan sebagai : “… any distinction, exclusion, restriction or preference based on race, colour, descent, or national or ethnic origin which has the purpose or effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural or any other field of public life.” Dalam kasus Rohingya, pemerintah Myanmar telah melakukan tindakan diskriminasi terhadap etnis Rohingya yang didasarkan atas ras, etnis, warna kulit dan agama. Pemerintah Myanmar melaksanakan kebijakan “Burmanisasi” dan “Budhanisasi” yang mengeluarkan dan memarjinalkan warga Muslim Rohingya di tanahnya sendiri Arakan. Slogan popular di Myanmar saat ini adalah :
“Arakan is for Rakhines. Arakan and Buddhism are synonymous. There is no Rohinngya in Arakan. Drive them out to their country – Bangladesh”. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination memberikan perlindungan terhadap kebebasan dari diskriminasi. Pasal 5 Konvensi ini menyatakan : … States Parties undertake to prohibit and to eliminate racial discrimination in all its forms and to guarantee the right of everyone, without distinction as to race, colour, or national or ethnic origin, to equality before the law, notably in the enjoyment of the following rights:
a.      The right to equal treatment before the tribunals and all other organs administering justice
b.      The right to security of person and protection by the State against violence or bodily harm, whether inflicted by government officials or by any individual group or institution
c.       Political rights, in particular the right to participate in elections- to vote and to stand for election-on the basis of universal and equal suffrage, to take part in the Government as well as in the conduct of public affairs at any level and to have equal access to public service
d.       Other civil rights, in particular:
                                            i.            The right to freedom of movement and residence within the border of State
                                          ii.            The right to leave any country, including one’s own, and to return to one’s country
                                        iii.            The right to nationality
                                         iv.            The right to marriage and choice of spouse
                                           v.            The right to own property alone as well as in association with others
                                         vi.            The right to inherit
                                       vii.            The right to freedom of thought, conscience and religion
                                     viii.            The right to freedom of opinion and expression
                                         ix.            The right to freedom of peaceful assembly and association

e.       Economic, social and cultural rights, in particular:
                                            i.            The rights to work, to free choice of employment, to just and favourable conditions of work, to protection against unemployment, to equal pay for equal work, to just and favourable remuneration
                                          ii.            The right to form and join trade unions
                                        iii.            The right to housing
                                         iv.            The right to public health, medical care, social security and social services
                                           v.            The right to education and training
                                         vi.            The right to equal participation in cultural activities
f.        The right of access to any place or service intended for use by the general public, such as transport, hotels, restaurant, cafes, theatres and parks
2. Tidak diberikan kewarganegaraan (stateless person)
Setiap orang memiliki hak untuk berkewarganegaraan”. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. Instrumen internasional lainnya juga melengkapi ketentuan ini adalah Pasal 5 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, mewajibkan negara untuk menjamin hak setiap orang, salah satunya adalah hak atas kewarganegaraan (the right to nationality)[53]. Walaupun ketentuan yang terdapat dalam instrument-instrumen tersebut merupakan perlindungan hak berkewarganegaraan terhadap individu, etnis sebagai suatu kelompok tetap mendapat perlindungan terhadap hak atas kewarganegaraan. Hal ini dikarenakan kelompok etnis terdiri dari individu-individu yang mengelompok karena asal usul budaya yang sama. Setiap individu dalam kelompok etnis tersebut memiliki hak atas kewarganegaraan. Pemberian kewarganegaraan terhadap individu dalam kelompok etnis merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap etnis itu sendiri. Dengan adanya kewarganegaraan yang dimiliki individu, anggota kelompok etnis dapat menikmati hak-hak lain yang dijamin dalam peraturan nasional.
Kewarganegaraan adalah hak asasi manusia dan landasan identitas , martabat, keadilan, perdamaian, dan keamanan. Menjadi orang yang tidak memiliki kewarganegaraan berarti tidak memiliki perlindungan hukum atau hak untuk berpartisipasi dalam proses politik, tidak mendapat akses yang memadai untuk kesehatan dan pendidikan, prospek kerja yang buruk dan kemiskinan, pembatasan hak kekayaan sendiri, pembatasan perjalanan, pengucilan sosial, kerentanan terhadap perdagangan manusia, pelecahan dan kekerasan.
Dalam kasus etnis Rohingya, mereka tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar dengan dikeluarkannya Burma Citizenship Law 1982. Dalam pasal 3 Burma Citizenship Law 1982 dinyatakan : “Nationals such as the Kachin, Kayah, Karen, Chin, Burman, Mon, Rakhine or Shan and ethnic groups as have settled in any of the territories included within the State as their permanent home from period anterior to 1185 B.C., 1823 A.D. are Burma citizens.” Berdasarkan pasal ini seharusnya etnis Rohinngya memiliki kewarganegaraan Myanmar, tetapi dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa “ the Council of State may decide whether any ethnic group is national or not”. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut etnis Rohingya kehilangan kewarganegaraannya. Burma Citizenship Law 1982 tidak memberikan batasan atau keriteria suatu etnis yang tidak mendapatkan pengakuan oleh dewan. Dalam Convention on the Reduction of Statelessness 196124 dinyatakan hal-hal yang membuat seseorang dapat kehilangan kewarganegaraannya yaitu :
1.      Kewarganegaraannya diperoleh dengan penipuan atau keterangan palsu[54]
2.      Orang tersebut melawan tugas kesetiannya kepada negara baik dengan melanggar suatu larangan tegas yang melarang pemberian layanan atau bekerja kepada negara lain, atau dengan cara yang serius merugikan kepentingan vital negaranya
3.      Orang tersebut telah diambil sumpah, atau membuat pernyataan resmi, kesetiaan kepada negara lain, atau memberikan bukti yang pasti dari tekadnya untuk menolak kesetiaan kepada negaranya
4.      Seseorang naturalisasi yang tinggal di luar negeri dalam jangka waktu tidak kurang dari tujuh tahun berturut-turut. Ketentuan ini ditentukan oleh hukum negara, jika ia gagal untuk menyatakan kepada otoritas yang tepat niatnya untuk mempertahankan kewarganegaraannya.
3. Sejarah Islam Di Pattani Thailand
Thailand merupakan salah satu negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Secara historis, negara ini pernah popular dikenal dengan nama Siam. Selain itu, Thailand juga dikenal dengan nama Muangthai. Secara geografis, negara ini berbatasan dengan Laos dan Kamboja di timur, Malaysia dan Teluk Siam di selatan, dan Myanmar dan Laut Andaman di barat. Dilihat dari sudut agama, penduduk Thailand mayoritas menganut agama Budha. Kehidupan Budha bahkan telah mewarnai hampir seluruh sisi kehidupan masyarakat Thailand, baik dalam aspek pemerintahan (kerajaan), sosial, hukum, sistem dan kurikulum pendidikan, dan lain-lain.
a. Kondisi Geografis Thailand Selatan
Thailand merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara. Secara geografis, kawasan Asia Tengggara merupakan kawasan antara benua Australia dan Daratan China, Daratan India sampai Laut China. Dengan begitu, Thailand cukup mudah untuk dijangkau para pelancong dari zaman ke zaman untuk mencari kehidupan maupun penyebaran agama.[55] Thailand nama lainnya adalah: (Prades Thai, Muang Thai; dahulu Siam). Di sebalah Barat laut berbatasan dengan Burma, di Timur Laut dengan Laos, di timur dengan Cambodia, di Tenggara dengan Teluk Siam, di Selatan (jazirah) dengan Malaysia, di Barat Daya dengan Teluk Benggala. Luas: 514.000 km. penduduk: 4.9981.000. Kepadatan penduduk: 98/km. dengan ibu kota: Bangkok (nama aslinya krung Thep), bahasa resmi: Thai (Siam). Agama: Buddhisme Hinaya, Islam, Kristen. Satuan mata uang: Baht. Thailand dapat dibagi dalam empat bentuk dari bumi: a) Tanah pegunungan Thai yang berbatasan dengan Burma yang berangsur-angsur menurun ketinggiannya; b) Daratan rendah yang terletak di tengah; c) Dataran pipih gunung (Perancis: montagne de la table) berbentuk cekung yang menempati Timur laut negeri; dan d) Semenanjung Thai di Jazirah Malaka.[56]
Thailand merupakan tempat terletaknya beberapa wilayah geografis yang berbeda. Di sebelah utara, keadaannya bergunung-gunung, dan titik tertingginya berada di Doi Inthanon (2.576 m). Sebelah timur laut terdiri dari Hamparan Khorat, yang dibatasi di timur oleh sungai Mekong. Wilayah tengah negara didominasi lembah sungai Chao Phraya yang hamper seluruhnya datar, dan mengalir ke Teluk Thailand. Di sebelah selatan terdapat Tanah Genting Kra yang melebar ke Semenanjung Melayu.
Kerajaan Thai berbatasan dengan Laos dan Myanmar di sebelah utara, dengan Malaysia dan Teluk Siam di selatan, dengan Myanmar dan Laut Timur di barat dan dengan Laos dan Kamboja di timur. Koordinat geografisnya berada pada 5º-21º LU dan 97º-106º BT. Pattani terletak di Semenanjung Melayu dengan pantai Teluk Thailand di sebelah utara. Di bagian selatan terdapat gunung-gunung dan atraksi turisme seperti taman negara Budo-Sungai Padi yang yang berada di perbatasan provinsi Yala (Jala) dan Narathiwat (Menara). Di sini juga terdapat beberapa tumbuhan yang agak unik seperti palma Bangsoon dan rotan Takathong. Di kawasan perbatasan dengan Songkhla dan Yala pula terdapat sebuah taman rimba yang terkenal dengan gunung terjunnya, Namtok Sai Khao.[57]
Description: Hasil gambar untuk peta patani
Gambar. Peta Patani Thailand
Di Thailand, etnis Melayu Muslim memang merupakan kelompok minoritas. Menurut sensus 1979, jumlah mereka adalah 977.282 jiwa atau 2,84% dari seluruh penduduk Thailand yang sekitar 45 juta jiwa. Dan ada sekitar 6 juta Muslim di Thailand pada tahun 1982. Namun angka resmi jauh lebih kecil. Angka resmi hanya memberikan presentasi seluruh Muslim dengan penduduk sekitar 4%, padahal angka yang mungkin lebih 12%. Sebenarnya hal ini merupakan bagian dari usaha pemerintah Thai untuk mengurangi pentingnya penduduk Muslim. Muslim hidup di seluruh Thailand, tetapi ada tiga daerah pemusatan Muslim: selatan, dari perbatasan Malaysia sampai Genting Tanah Kra (Isthmus of Kra); utara, di daerah Chiang Rai; dan wilayah ibukota.
Wilayah selatan, dahulu bukan bagian dari Thailand. Sebenarnya Semenanjung Malaya berpenduduk Melayu yang dikelola dalam Negara-negara kecil. Orang-orang Melayu ini memeluk Islam sepanjang abad lima belas, sebagaimana halnya dilakukan oleh hampir semua orang Melayu lainnya. Sejak abad empat belas, Thailand memulai serangan dan penaklukan Semenanjung Malaya dan memuncak pada 1767 M. Dengan penaklukan semua negara Muslim sampai ke Ligor (Nachom Sri Thammarat), dan memasukkan negerinegeri Muslim Jays (Chaiya), Grahi (Surat-Tsani) dan Ligor dalam imperium Thai. Dari Ligor arang Thai memperluas penaklukannya ke selatan menaklukkan lebih banyak orang Muslim, seperti Bedelug (Pathalung), Senggora (Songkhala), dan Sentul (Satun).
Dari jumlah enam jutah Muslim di Thailand pada 1982 sekitar empat juta adalah Muslim Melayu yang hidup di provinsi-provinsi selatan. Muslim di Bangkok sekitar 800.000 orang, keturunan para tawanan yang dibawah dari negaranegara Melayu. Bahwa 5.250.000 Muslim di Thailand pada 1976. Muslim merupakan separuh penduduk wilayah selatan, satu dari empat wilayah kerajaan. Di wilayah ini (luas daerahnya 72.961 kilometer persegi), sebenarnya Muslim merupakan minoritas di provinsi-provinsi Narathiwat, Yala, Pattani, Satun, Songkhla, dan Krabi. Harusnya ada sekitar 2.500 masjid di Thailand, tetapi pada 1976, hanya 2.078 masjid terdaftar menurut Dekrit Raja 1947 mengenai masjid. Ada 414 masjid seperti itu di provinsi Pattani, 339 di provinsi Narathiwat, 213 di provinsi Songkhla, 196 di provinsi Yala dan 139 masjid di Ibukota Bangkok. Berdasar wilayah, ada 1.695 masjid di selatan, 364 masjid di provinsi tengah, 18 masjid di timur-laut dan hanya ada satu masjid terdaftar di provinsi timur.[58]
b. Sejarah Keislaman dan Kemelayuan Pattani
Secara historis, Pattani merupakan kesultanan yang cukup penting dalam pertumbuhan daerah perdagangan dan penyebaran Islam di dunia Melayu. Pattani menjadi begitu penting dalam sejarah islamisasi dan pertumbuhan perdagangan karena merupakan satu-satunya kota pelabuhan dan pusat perdagangan Islam yang paling berpengaruh yang pernah ada di perairan laut Cina Selatan. Kalau merujuk kepada catatan pelawat-pelawat Cina, wilayah Pattani telah dikenal sejak abad ke-2 M, melalui hubungan dagang antara pedagang Cina dengan Negara-negara Asia Tenggara. Mereka mengenal sebuah negeri bernama Lang-ya-hsiu atau Langkasuka yang terletak di Pantai Timur semenanjung tanah melayu antara Senggora (Songkhla) dan Kelantan dengan ibukota terletak di sekitar daerah Yarang. [59] Dalam catatannya disebutkan bahwa wilayah ini merupakan daerah perdagangan dengan adanya pelabuhan bagi para pelaut. Angkatan Laut Cina saat akan menyeberangi wilayah teluk Siam dalam perjalanannya ke Vietnam, ke Semenanjung Melayu, telah menemukan daratan ini.
Awal perkembangan Pattani telah dimulai pada kurun waktu abad ke-14 dan 15 sejalan dengan pesatnya bidang perdagangan dan penyebaran agama Islam. Kedudukannya secara geografi cukup strategis di mana Pattani berada di pertengahan jalur lalu lintas perdagangan antara negeri Melayu dan negeri Asia Timur dan di anatara perairan Selat Malaka serta laut Sulu dengan perairan laut Cina Selatan. Jalur tersebut merupakan jalur perdagangan yang sangat terkenal, merupakan jalur perkapalan antarbangsa yang menghubungkan tanah Arab dan India bahkan dengan Cina. Pattani merupakan kerajaan dengan cakupan daerah cukup luas dan padat di Semenanjung laut Cina Selatan.[60] Daerah dan wilayah Pattani selanjutnya menjadi pusat perniagaan, di antaranya dengan menjual hasil bumi berupa rempah-rempah yang ditukas dengan tekstil dan tembikar dari Cina. Selain itu juga, menjadi tumpuan bagi perdagangan saudagar Arab dan Cina yang banyak membawa bahan-bahan tekstil mereka. Hasil dari perdagangan ini kemudian oleh para pedagang Pattani dijual kembali bersama dengan hasil bumi dari Pattani sendiri seperti lada hitam, emas, dan bahan makanan lainnya. Aksi perdagangan yang dilakukan oleh pedagang-pedagang Pattani ini diyakini telah sampai ke daerah semenanjung tanah Melayu selatan, Pulau Sumatera, Jawa, hingga Sulawesi (Makassar).[61]
Sumber lain menyebutkan, seperti ditulis A. Bangnara, pakar sejarah bangsa Pattani, mengatakan bahwa Islam pada awalnya tersebar di kalangan rakyat biasa. Meskipun demikian, pendapat lain menyebutkan bahwa Islam pada awalnya diterima oleh kalangan penguasa (elite), baru kemudian ke kalangan rakyat. Orang-orang Siam (Thai) mengenal orang-orang Islam dengan sebutan Khei atau khaek yang secara harfiah berarti pendatang atau orang yang datang menumpang. Dalam bahasa Thai, istilah ini juga selama berabad-abad dikenal dengan menyebut kaum pendatang berkulit gelap dari daerah Melayu dan Asia Selatan. Orangorang Thai menolak sebutan ini dan menyatakan bahwa kedatangan mereka, khususnya di kawasan yang sekarang disebut Thailand Selatan, jauh lebih awal daripada kedatangan orang-orang Buddha Thailand.[62]
 Sedari awal sebenarnya telah ada kontak dan hubungan antara Kerajaan Thailand dan Kerajaan Pattani. Hal ini dapat dilihat berdasarkan pada kerangka sistem sungai di mana-pemerintah lemah dan negara mengakui supremasi raja Thailand. Dalam praktiknya, mereka mengirim upeti secara berkala dalam bentuk simbolis dari perak dan bunga emas bunga ke pengadilan Thailand. Hubungan kekuasaan tersebut berteori sebagai sistem mandala di mana kekuatan paling kuat di sekitar pusat dan surut yang lebih jauh itu adalah dari pusat. Ini berarti bahwa secara historis suatu negara bawahan seperti Pattani memiliki beberapa otonomi dalam pemerintahan sendiri sambil mempertahankan status anak sungai dengan Siam.[63]
Sebagai suatu kerajaan, kekuasaan Pattani terkenal dengan sebutan Negeri Pattani Besar. Kecuali Johor tidak ada negeri lain di belahan timur Semenanjung Melayu yang memiliki kemakmuran dan kekuatan sehebat Pattani saat itu. Sumber kekuatan yang cukup besar ini ditunjang oleh ikatan tali perkawinan yang dilakukan oleh Ratu Ungu dengan Sultan Pahang yang menguasai wilayah kerajaan Pahang. Hal ini semakin mengukuhkan kekuatan Pattani. Pada masa itulah Pattani tumbuh menjadi kekuatan politik dan daerah komersial. Kedudukan Pattani di Semenanjung Siam yang strategis dari segi geografi telah menyebabkan kota ini menjadi harapan pedagang-pedagang asing baik dari barat atau timur untuk singgah, beristirahat ataupun berdagang.
Dalam waktu yang singkat saja Pattani muncul sebagai sebuah kerajaan yang penting, maju dari segi ekonomi serta stabil dari segi politik dan pemerintahan. Selain itu, dasar hubungan antarbangsanya yang baik telah menyelamatkan Pattani dari kejatuhan kepada pihak penjajah, seperti kerajaan Siam, Inggris, dan Prancis. Kekuatan dan kejayaan di bidang ekonomi dan kestabilan politik telah menjadikan Pattani pada masa lalu sebagai negeri yang terkuat dan disegani oleh negara-negara tetangga, termasuk Siam. Pengaruh politiknya sampai ke Selatan menguasai beberapa negara di pantai timur, termasuk Kelantan, Terengganu, Pahang, bahkan Johor-Riau. Kekuatan ini terbukti ketika Ratu Ungu 1624-1635 memperlakukan kebijakan politik anti-Siam, bahkan memutuskan hubungan diplomatik antara Pattani-Ayutthia.[64] Gelar kebesaran Siam Phrao-Chao yang diberikan kepadanya juga ditolaknya. Raja perempuan Pattani ini sangat berani mengutuk raja Siam sebagai penjahat, pembunuh dan pengkhianat.
Pattani, Narathiwat, Songkhla, Satun dan Yala, yang kemudian menjadi provinsi di Thailand. Sementara negara di Melayu utara yang lain: Kedah, Kelantan, Perlis dan Terengganu oleh Inggris dimasukkan sebagai bagian dari Malaysia. Muslim di Thailand Selatan memiliki identitas etnis dan agama yang berbeda dengan mayoritas penduduk (dan juga pemerintah) Thailand. Muslim memiliki bahasa Melayu dan beragama Islam, dua identitas budaya dan agama yang menjadi bagian dari bangsa Pattani. Mereka selama ratusan tahun terbentuk dalam Kerajaan Islam Pattani. Kuatnya identitas lokal keislaman dan kemelayuan ini mendorong banyak intelektual Thailand untuk menggagas status otonomi Thailand Selatan, khususnya di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, atau dalam banyak istilah sejarah ketiga provinsi ini disebut Muslim Pattani. Penggunaan bahasa Melayu menurut statistik nasional Thailand juga sangat kuat di provinsi Pattani, Yala, dan Narathiwat, di atas 70 %, dibandingkan dengan provinsi lain di Selatan: Satun dan Songkhla. Tetapi bahasa Melayu ‘dilarang’ digunakan sebagai bahasa resmi di perkantoran, lembaga pendidikan pemerintah, dan tempat atau acara resmi lainnya. Larangan ini tidak menyurutkan masyarakat untuk menggunakan ba hasa Melayu, karena bahasa ini memberi spirit identitas mereka, yang berbeda dengan mayoritas warga Thailand, yang berbahasa Thai dan Buddha.
c. Perjuangan Politik Melayu Pattani dan Integrasi Budaya
Pendudukan wilayah Pattani di awal abad 20 (tepatnya 1902) menjadi tonggak sejarah yang menandai runtuhnya kedaulatan Pattani. Kerajaan Pattani, sebagai suatu kekuasaan yang merdeka dan berdaulat penuh, harus tunduk pada kekuasaan pemerintah Thai. Pattani sebagai sebuah kelompok etnik yang berbahasa Melayu dan beragama Islam dipaksa untuk menjadi bagian integral dari masyarakat Thai yang berbeda secara etnik, bahasa, maupun agama. Penyatuan Pattani ke dalam Thai-Buddhis banyak mendundang dampak politik, ekonomis, maupun kultural. Konsekuensi politik dari penyatuan tersebut di antaranya terlihat dari beberapa langkah kebijakan seperti: memecah wilayah Pattani menjadi beberapa provinsi, uniformisasi bahasa, dan pendidikan. Kebijakan ini menjadi bagian dari politik integrasi dan asimilasi. Setelah ditandatanganinya perjanjian Anglo-Siamis pada tahun 1909, pemerintah Thai bisa mengonsolidasikan kekuasaannya atas seluruh wilayah Pattani.
Perjanjian ini memberikan jaminan penuh bagi pemerintah Thai untuk menguasai sepenuhnya Pattani dan memberikan akses baginya untuk mengambil beberapa langkah kebijakan untuk memperlemah keududkan Muslim Pattani, sekaligus mengkonsolkidasikan kekuasaan pemerintah Thai atas Pattani. Semua kebijakan ini ditujukan untuk mewujudkan apa yang disebut dengan monoethnic character of state, etnik tunggal yang menjadi ciri khas dari negara Thailand. Penduduk yang mayoritas Muslim di Thailand Selatan, kemudian dari segi bahasa dan identitas lainnya seperti cara berpakaian dan adat istiadatnya dipaksakan dan dimasukkan sebagai daerah jajahan. Sebagai protes atas politik penyeragaman bahasa, banyak terjadi pembakaran sekolah pemerintah, pengeboman dan perusakan jembatan.
Guru-guru Thai-Buddhis juga menjadi sasaran penculikan bahkan pembunuhan. Tujuan dari aksi kekerasan ini adalah agar pemerintah mengurungkan niatnya memaksakan pemakaian bahasa Thai da memprogramkan pendidikan sekular di wilayah Muslim Pattani. Terdapat sekitar 100 lebih pondok pesantren yang ditutup. Hal ini didasarkan kekhawatiran bahwa politik pendidikan dan penyeragaman bahasa akan mencerabut akarakar tradisi keagamaan di Melayu Pattani dan menggeser kekuasaan ulama sebagai pengajar dan pemilik pondok.
Description: Hasil gambar untuk masyarakat patani
Gambar. Kehidupan Masyarakat Muslim Patani
 Para ulama merasa geram ketika terjadi pelarangan pemakaian sorban yang diganti dengan topi. Bahasa Melayu diharamkan diajarkan di sekolah, dan dilarang menggunakannya di tingkat keraajaan secara resmi. Jadi tidak bisa orang Melayu begitu saja digantikan dengan etnik Siam. Begitu juga aksara Melayu yang dahulu dipakai diganti begitu saja dengan aksara Siam. Kegiatan keislaman dilarang di tingkat negara. Sejak itu banyak orang Melayu menyembah berhala Buddha. Semua jabatan di tingkat pemerintahan sama sekali tidak diberikan kepada Melayu-Muslim. Perjuangan politik untuk mengembalikan kedaulatan Melayu-Muslim-Pattani sebenarnya bermula sejak tahun 1786 ketika kekalahan Pattani atas Siam. Namun perjuangan politik berdsandarkan Islam dan nasionalisme berawal ketika rajaraja Melayu Pattani gagal mempertahankan kekuasaaan pemerintahan mereka. Raji Pattani yang terkahir Tengku Abdul Kadir Kamaruddin bin al-Marhum Sultan Sulaiman Syarifuddin Syah dengan gigih mengusahakan agar Melayu Pattani tidak diserahkan manjadi bagian dari Negara Siam.[65]
Beberapa kebijakan politik Thai yang diskriminatif atas identitas keislaman dan kemelayuan Pattani yang harus diperjuangkan adalah:
1)      Orang Islam dilarang berkumpul walaupun untuk salat Jumat
2)      Orang Melayu-Islam dipaksa meninggalkan adat istiadat Melayu-Islam dan harus melaksanakan apa yang diperkenalkan dari Bangkok
3)      Orang Islam dilarang mengadakan perayaan agama kecuali hari raya saja
4)      Sekolah agama dan pondok agar ditutup kecuali yang di bawah pemerintahan Thainad
5)      Buku teks agama Islam yang berbahasa Arab dan Melayu dilarang penggunaannya dan diganti dengan buku teks yang diterjemahkan ke bahasa Thai
6)      Bahasa pengantar di sekolah agama dan pondok yang berbahasa Arab dan Melayu ditukarkan dengan bahasa Thai
7)      Buku terjemahan bahasa Thai dicetak dengan patung Buddha dan pembelajaran harus ikut dengan kebijakan Kementerian Pendidikan Thai
8)      Patung Buddha dipasang pada sekolah dasar dan menegah walaupun 70% atau 80% muridnya beragama Islam al ini juga diterapkan di sekolah agama dan pondok
9)      Pembagunan dakwah Islam di wilayah Pattani semata-mata inisiatif umat Islam Pattani. Pihak pemerintah tidak akan memberikan bantuan
10)  Bantuan keuangan bagi pendidikan Islam yang datang dari negara Arab, diselewengkan oleh negara Thailand dan hanya 30% yang sampai ke Melayu-Muslim.
c. Sparatis Etnik Patani Di Thailand Selatan
Lahirnya gerakan kemerdekaan Patani di Thailan Selatan berawal sekjak masyarakat Melayu-Muslim teritegrasi dalam negara Thai. Mereka sangat menentang kebijakan asimilasi yang diterpkan pemerintah Thai. Bentuk perlawanan bersifat pasif sedangkan ledakan kekerasan hanya terjadi apabila kondisi sangat memburuk bagi eksistensi identitas mereka. Pada awalnya pimpinan pemberontakan terdiri dari kaum ulama dan keturunan bangsawan. Namun sejak decade 1970-an, terjadi perubahan pola dan aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Aktor yang memimpin gerakan adalah generasi muda yang memiliki bekal akademis. Tokoh-tokoh muda Melayu-Muslim tersebut lebih agresif dan canggih dalam mengorganisasikan dan menyusun strategi pergerakan. Demikian pula dalam mengekpresikan bahasa perjuangan, mereka berbicara “dalam bahasa yang sama”dengan bahasa politik Pemerintah Thai. Bagaimana tuntutan dan proses didasarkan atas asas-asas yang diserukan pemerintah Thai, yaitu kebebasan persamaan, dan jamianan hak-hak politik bagi semua warga negara tampa memandang asal-asal rasa dan etnik. Selain berjuang di dalam negeri, masalah etnik Melayu-Muslaim di Thailand Selatan sangat gencar diperjuangkan dalam diplomasi internasional.
Para intelek muda tersebut mempunyai walil-wakil dalam pertemuan-pertemuan internasional seperti Konfrensi Liga Dunia Islam, Konfrensi Para Menteri Luar Negeri Islam, Konfrensi Islam Asia, dan Konfrensi Liga Arab. Begitu pula dengan esensi tuntutan yang diperjuangkan, bila sebelumnya tebatsanya pada otonomi dalam urusan keagamaan, kebudayaan dan hukum, namun mulai pertengahan 1970-an tuntutannya berkembang, yaitu keingginan untuk membentuk suatu memerintahan yang otonom. Dalam memperjuangkan cita-cita ini, etnik Patani melakukan pergerakn-pergerakan terutama salah satunya dengan pemberontakan untuk memisahkan diri dari kerajaan Tahiland.
Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Etnis Patani Pemberontakan
a. Faktor-faktor sosial meliputi:
1.      Terancamnya otonomi budaya etnik Melayu-Muslim sejak terbentuknya sistem administrasi propinsi dan terpusat serta disepakatinya perjanjian perbatasan anatra wialyah jajahan Inggris di semenanjung Malaya dan kerajaan Thai.
2.      Kebijakan asimilasi yang diterpkan oleh pemerintah Thai.
3.      Sekulerisasi pokok dengan diberlakunya konsep pendidikan sekuler.
4.      Mempertahankan identitas cultural yang dianggap keramat yaitu fundementalisme Islam yang diletakkan sebagi identitas Melayu_Muslim (ras,bahasa, agama, adat istiadat,dan kesadaran suatu identitas tersendiri) dari upaya pengintegerasian dan program asimilasi yang dilakukan oleh pemerintah Thai.
b. Faktor-faktor politik
1.      Mendapat dukungan Internasional Meliputi NLFP (National Liberation Front of Patani) organisasi yang pusatnya di Mekah –Arab Saudi yang berfungsi mengkoordinasi kegiatannya diberbagai negara, serta melakukan loby internasional diberbagai pertemuan negara-negara Islam sebagai saran efektip untuk menekan pemerintahan Thailand. Bahkan pada tahun 1975 organisasi PULO (Patani united Liberation Organization) berhasil memobilisasi 70.000 orang Melayu-Muslim untuk demonstrasi politik sehingga aksi ini mampu menarik perhatian pres dunia, sehingga dukungan internasional bertambah besar.
2.      Keinggian untuk mendapatkan otonomi dalam keagamaan, kebudayaan, hukum, serta membentuk pemerintahan yang otonom.
3.      Dominasi elit politik oleh etnis Thai terhadap eknik Melayu-Muslim dalam pemerintahan nasional dan lokal.






DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Carmen A., “The Islamization of Southern Phillipines : An Overview”, dalam F. Landa Jocano (Ed.), Filipino Muslims : Their Social Institutions and Cultural Achievements, Quezon City : Asian Center, University of the Phillipines.
Anthony Reid, “Islamization and Christianization in Southest Asia : The Critical Phase, 1550-1565”, dalam Southest Asia in the Early Modern Era : Trade, Power, and Belief(Anthony Reid, ed.), New York, Cornell University Press.
Anthony Reid, t.t., “Inaugural Lecture: Approaching 'Asia' from the Southeast: Does the Crisis Make a Difference?”, dalam Asian Studies Institute Inaugural Lecture 1, Wellington: Victoria University of Wellington
Azra, Azyumardi, ‘Pendahuluan Islam di Asia Tenggara: Pengantar pemikiran’ dalam Azyumardi Azra (Peny.), Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1989.
Azizah, Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya Pasca Kemerdekaan Burma 1948-1988, (Depok: Skripsi Fak. Ilmu Pengetahuan dan Budaya UI, 2006)
G. Gowing, Peter, Islam di Asia Tenggara, Hasan Basari (Terj.), Jakarta: LP3ES, 1990
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination Pasal 5 D butir (3)
James Konstantin Galvez dan Lianesca T.Panti (15 januari), US Provides $86 M aid for Quality Education, The Manila Times.
Lik Arifin Mansurnoor dan Dadi Darmadi, ‛Minoritas Islam‛ dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 5, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
MAJ Thomas G. Wilson, JR. Extending the Autonomous Region in Muslim Mindanao to the Moro Islamic Liberation Front a Catalyst for Peace.
Harun, Lukman, Potret Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985).
Suaedy, Ahmad, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai, Jakarta: The Wahid Institute, 2012.
Supriadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Sudrajat, Ajad. Pengungsi dalam Kerangka Kebijakan Keimigrasian Indonesia Kini dan yang Akan Datang, Sinar Grafika, Jakarta.
Sihbudi, Riza,ed., Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara : Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya,(Jakarta : Puslitbang Politik dan Kewilayahan, LIPI, 2000).
Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
P. Rudolf Yuniarto, ‚Integrasi Muslim Pattani: Reidentitas Sosial atas Dominasi ‘Nasional’ Thailand‛, dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner,Vol. 3 No. 2. Juli-Desember 2004,
Yegar, Robin L. ‚Moro Insurgent and the Peace Process in the Phillippines, ‚In Countering Terrorisme and Insurgency in the 21th Century: International Perspective., edited by. James J.F. Forest.
Sumber Internet
http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_the Philippines
http://id.wikipedia.org/wiki/Provinsi_Pattani#Sejarah
http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Myanmar, diunduh 14/03/18
Education in the Phillipines-Wikipedia, the free encyclopedia.htm.#cite_note-3
Mohammad Ashraf Alam, ‚A Short Historical Background‛, terdapat di situs http: //www.Rohingyatimes.i-p.com/history/history maa.html
dihttp://mizan.com/news_det/mengenal-etnis-rohingya-dari-sudutpandang-sejarah. Html
Toto Suhardijanto, Fakultas Ilmu Pengetahuan & Budaya, Universitas Indonesia, lihat di http://pembela-aswaja.blogspot.com/2012/08/mengenal-sejarahetnis-rohingya.html
UNHCR, “ Nationality Rights for All : A Progress Report and Global Survey on Statelessness”. www. UNHCR.org. Diakses tanggal 18/03/18







[1] Misalnya, kepercayaan animisme dan dinamisme atau kepercayaan lokal nenek moyangmasyarakat.
[2] Asian Development Bank, mencatat bahwa “Indigeneous community” bisa dilihat dari konsep identifikasi diri yang meliputi : identitas kebahasaan, sistem sosial, budaya, ekonomi, dan politik dan ikatan-ikatan unik dengan wilayah nenek moyang (turunannya). Indigenous community (people) harus difahami sebagai identitas sosial maupun kultural yang berbeda dari masyarakat mainstream atau kelompok dominan, sehingga mudah dirugikan proses pembangunan. Atau kelompok masyarakat asli homogin yang terorganisir, memiliki ikatan komunal yang berada pada teritori tertentu, dan ikatan bahasa, kebiasaan, tradisi, ciri kultural dan cenderung resisten terhadap arus sosial, politik, budaya, dan agama bukan asli, serta terhadap kolonisasi, sehingga menjadi kelompok historis yang berbeda dari mayoritas Filipina. Lihat : Republic Acts No.8371 on The Indigeneous Peoples Rights Act (IPRA) of 1997, Chapter II, Section 3h.
[3] Anthony Reid, “Islamization and Christianization in Southest Asia : The Critical Phase, 1550-1565”, dalam Southest Asia in the Early Modern Era : Trade, Power, and Belief (Anthony Reid, ed.), New York, Cornell University Press, p.151-179.
[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_the Philippines
[5] Mindanao dan Sulu merupakan tempat asal muasal muslim Filipina. Keduanya berlokasi di bagian selatan Filipina dan merupakan posisi yang strategik, yang menghubungkan pelayaran antara kawasan Timur Jauh dengan Malaka, dan berdekatan dengan Sulawesi Utara dan Negara Sabah. Selain itu, secara ekonomik, Mindanao merupakan pulau yang sangat subur untuk pertanian, perkebunan, dan perikanan, disamping kaya dengan sumber alamnya, seperti : emas, gas, mineral, dsb. Sementara, kepulauan Sulu kaya sumber alam gas dan minhak, selain kaya produk kelautan, seperti ikan (tercatat 50 % lebih, ikan tuna dan sarden diambil adri laut Sulu.
[6] Masyarakat Filipino Hispanik adalah penduduk Filipina keturunan Spanyol dan Portugal, atau keturunan Amerika Latin. Filipino Hispanik, awalnya, dibawa Spanyol atau pedagang Portugal yang kemudian menjadi penduduk Filipina. Free Mirriam Dictionary
[7] http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_the Philippines
[8] Carmen A Abubakar, “The Islamization of Southern Phillipines : An Overview”, dalam F. Landa Jocano (Ed.), Filipino Muslims : Their Social Institutions and Cultural Achievements, Quezon City : Asian Center, University of the Phillipines.
[9] James Konstantin Galvez dan Lianesca T.Panti (15 januari), US Provides $86 M aid for Quality Education, The Manila Times.
[10] Education in the Phillipines-Wikipedia, the free encyclopedia.htm.#cite_note-3
[11] Menurut Internal Displacement Monitoring Centre (IDMC), konflik Moro-Pemerintah telah memakan korban 150.000 orang lebih, dan sejak tahun 2000 telah memindahkan penduduk hampir 3 juta orang. National Statistics Office’s, Census of Population Results of 2007.
[12] Diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Moro. Tanggal akses 15/03/18
[13] Hannbal Bara, The History of The Muslim in the Philippines, artikel diambil dari http://www.ncca.gov.ph/about-culture-and-arts/articles-on-c-n-a/article.php? igm=4&i=23
[14] Ahmad Suaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai, h. 46
[15] Julukan Moor atau Moro artinya ‘tidak bertuhan, buta huruf, dan jahat’
[16] Peter G. Gowing, Islam di Asia Tenggara, Hasan Basari (Terj.), (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 113
[17] Peter G. Gowing, Islam di Asia Tenggara, Hasan Basari (Terj.), (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 120
[18] Yegar, Robin L. ‚Moro Insurgent and the Peace Process in the Phillippines, ‚In Countering Terrorisme and Insurgency in the 21th Century: International Perspective., edited by. James J.F. Forest, 249
[19] Diambil dari http://tugas-makalah.blogspot.com/2012/06/islam-diphilipina.html. Tanggal akses 14/03/18
[20] MAJ Thomas G. Wilson, JR. Extending the Autonomous Region in Muslim Mindanao to the Moro Islamic Liberation Front a Catalyst for Peace, h. 18
[21] Ahmad Suaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai, h. 72
[22] Ahmad Suaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai, h. 73
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] http://suhaimi-jaya.blogspot.com/2012/11/umat-islam-di-filipina-adalah-salah.html
[26] Peter G. Gowing, Islam di Asia Tenggara, Hasan Basari (Terj.), (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 105
[27] Peter G. Gowing, Islam di Asia Tenggara, Hasan Basari (Terj.), (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 107-108
[28] Ahmad Suaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai, h. 47
[29] Lukman Harun, Potret Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), h. 225-226 2
[30] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Myanmar, diunduh 14/03/18
[31] Mohammad Ashraf Alam, ‚A Short Historical Background‛, terdapat di situs http: //www.Rohingyatimes.i-p.com/history/history maa.html
[32] Lihat dihttp://mizan.com/news_det/mengenal-etnis-rohingya-dari-sudutpandang-sejarah. html
[33] Tulisan Toto Suhardijanto, Fakultas Ilmu Pengetahuan & Budaya, Universitas Indonesia, lihat di http://pembela-aswaja.blogspot.com/2012/08/mengenal-sejarahetnis-rohingya.html
[34] Tulisan Toto Suhardijanto, Fakultas Ilmu Pengetahuan & Budaya, Universitas Indonesia, lihat di http://pembela-aswaja.blogspot.com/2012/08/mengenal-sejarahetnis-rohingya.html
[35] Christie, Clive J. A, A Modern of History Southeast Asia: Decolonization, Nationalism and Separatism. (London: Tauros Academic Studies an imprint of I.B Tauris Publisher, 1996), h. 168
[36] Azizah, Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya, h. 65-66
[37] Christie, Clive J. A, A Modern of History Southeast Asia, h. 168.

[39] Azizah, Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya, h. 69-70
[40] Azizah, Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya, h. 73
[41] Riza Sihbudi,ed., Problematika minoritas Muslim di Asia Tenggara, h. 154
[42] Azizah, Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya, h. 75
[43] Riza Sihbudi,ed., Problematika minoritas Muslim di Asia Tenggara, h. 155
[44] Riza Sihbudi,ed., Problematika minoritas Muslim di Asia Tenggara, h. 156-157
[45] Riza Sihbudi,ed., Problematika minoritas Muslim di Asia Tenggara, h. 158
[46] Azizah, Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya, h. 80
[47] Riza Sihbudi,ed., Problematika minoritas Muslim di Asia Tenggara, h. 155
[48] Azizah, Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya, h. 81
[49] Lihat http://politik.kompasiana.com/2012/08/23/rohingya-101-sejarahmasalah-kekerasan-dan-tuntutan-488287.html. diunduh pada tanggal 18/03/18
[51] Lihat http://politik.kompasiana.com/2012/08/23/rohingya-101-sejarahmasalah-kekerasan-dan-tuntutan-488287.html. diunduh pada tanggal 18/03/18
[52] Ajat Sudrajat Havid, Pengungsi dalam Kerangka Kebijakan Keimigrasian Indonesia Kini dan yang Akan Datang, Sinar Grafika, Jakarta. Hlm.125
[53] International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination Pasal 5 D butir (3)
[54] UNHCR, “ Nationality Rights for All : A Progress Report and Global Survey on Statelessness”. www. UNHCR.org. Diakses tanggal 18/03/18
[55] Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008, h.
[56] Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, edisi khusus, jilid 6, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1984), (SHI-VAJ), h. 3531.
[57] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Provinsi_Pattani#Sejarah
[58] Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai, h. 202.
[59] P. Rudolf Yuniarto, ‚Integrasi Muslim Pattani: Reidentitas Sosial atas Dominasi ‘Nasional’ Thailand‛, dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner,Vol. 3 No. 2. Juli-Desember 2004, h. 152. Lihat juga Auni bin Haji Abdullah, Islam dalam Perdagangan Dalam Sejarah Alam Melayu, Malaysia, Darulfikir SDN BHO, h. 298
[60] Auni bin Haji Abdullah, Islam dalam Perdagangan dalam Sejarah Alam Melayu,h. 300
[61] P. Rudolf Yuniarto, ‚Integrasi Muslim Pattani: Reidentitas Sosial atas Dominasi ‘Nasional’ Thailand‛, h. 154.
[62] Iik Arifin Mansurnoor dan Dadi Darmadi, ‛Minoritas Islam‛ dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 5, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, h. 466-467.
[63] Thanet Aphornsuvan, History and Politics of the Muslim in Thailand, Bangkok: Thammasat

[64] Mohd. Zamberi A. Malek, Pattani dalam Tamadun Melayu, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1994, h. 3.
[65] Mohd. Zamberi A. Malek, Pattani dalam Tamadun Melayu, h. 241-242.

Post a Comment

silahkan berkomentar bijak dan sesuai dengan topik pembahasan