ISU-ISU KONTEMPORER DUNIA ISLAM
DALAM SEJARAH DI INDONESIA
Abstrak
Pembahasan
artikel ini bertujuan untuk mengingat kembali kejadian atau momentum yang
berkembang dalam lapisan masyarakat kususnya isu mengenai agama islam yang
berkaitan dengan kehidupan baik dari segi hukum, budaya, sosial, politik dan
ekonomi yang ada di masyarakat kita bagaimana dampak dan keterkaikatan isu itu,
apakah ada tujuan motif para pelaku sejarah yang berkembang dengan isu
kepentingan kelompok mencari jawaban dari posisi agama menjadi motif
kepentingan saja atau hanya kemurnian beragama yang berpengaruh tapi kita
sebagai profesional dalam disiplin ilmu haruslah meneliti juga menelaah
fenomena agama yang memunculkan gesekan sosial di indonesia sendiri gesekan
agama banyak sekali bermunculan konflik sosial keberagaman indonesia yang
seharusnya kita hargai sebaliknya mulai bergeser nilai keragaman menjadi kubu
dan clan yang saling mengeksiskan diri memunculkan presfektif baru dalam hal
pemikiran melihat dari time record konflik sosial dan gesekan yang sering
muncul juga kolaborasi agama dari berbagai sudut budaya menjadi hal yang unik
yang diperbincangkan.
Pembahasan
A. REKONSTRUKSI “ISLAM TEH SUNDA,
SUNDA TEH ISLAM”
Islam
adalah rahmat bagi seluruh alam, kehadirannya membawa kedamaian bagi seluruh
umat manusia. Allah SWT berfirman: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melain-
kan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.[1]
Imâm Ibn Katsir menafsirkan bahwa- sannya Allah SWT berfirman kepada kita bah-
wa Dia telah menciptakan Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam
(rahmatan lil ‘âlamîn), artinya, Dia mengirimnya sebagai rahmat untuk semua
orang.[2]
Kehadiran Nabi Muhammad SAW dan risalah yang dibawa- nya (Islam) akan membawa
rahmat (keda- maian) bagi seluruh umat manusia dari ber- bagai suku bangsa di
dunia ini.
Ketika
Islam masuk ke Tatar Sunda, ia dihadapkan pada kepercayaan yang telah ada
sebelumnya. Kepercayaan yang diwarisi secara turun-temurun dan dipengaruhi oleh
berbagai kepercayaan yang datang setelah- nya yaitu agama Hindu dan Budha.[3]
Keper- cayaan asli di Tatar Sunda menurut beberapa ahli adalah Jati Sunda atau
Sunda Wiwitan. Makna wiwitan yaitu mula pertama, asal, pokok atau jati
sedangkan “Sunda” ber- makna cahaya cemerlang yang putih dan bersih.[4]
Sehingga dikatakan kepercayaan Sunda Wiwitan adalah kepercayaan masyara- kat
sunda yang pertama (asli).[5]
Setelah
kehadiran Hindu dan Budha, agama asli sunda mengalami perubahan de- ngan
masuknya pengaruh kedua agama ter- sebut. Salah satu pengaruh yang ada adalah
penyebutan Batara Tunggal sebagai Dzat yang diyakini sebagai penguasa alam raya
yaitu Nu Ngersakeun. Dewa-dewa dalam agama Hindu-pun masuk ke dalam keyakinan
asli
ini hingga diyakini sebagai bagian tidak terpisahkan dari keyakinan asli sunda
(Jati Sunda). Komunitas Baduy di Banten selatan masih meyakini bahwa Batara
Tunggal telah menurunkan beberapa batara yaitu Batara Cikal, Batara Patanjala,
Batara Wisawara, Ba- tara Wisnu, Batara Brahma, Batara Hyang Niskala dan Batara
Mahadewa.[6]
Berdasarkan nama-nama batara tersebut tampak sekali bahwa sebagiannya adalah
nama dewa dari agama Hindu yang berasal dari India.
Selanjutnya
ketika Islam masuk ke Tatar Sunda, kepercayaan akan adanya Nu Kawasa (al-Qadîr)
kembali mendapatkan posisinya kembali. Jika pada masa Hindu dan Budha
masyarakat Sunda “dipaksa” untuk meyakini begitu banyak dewa impor yang berasal
dari India, maka ketika Islam datang, keyakinan adanya Sang Penguasa Alam Raya
kembali muncul dan bertemu pada satu titik yaitu penyembahan terhadap satu
Tuhan (mono- teisme). Kehadiran Islam dengan konsep tawhidullâh (Keesaan Allah)
disambut de- ngan suka cita oleh seluruh masyarkat sunda sehingga mereka
menganggap Islam adalah fitrah sunda yang selama ini dijajah oleh agama-agama
politeisme.
Pada
bidang perilaku sehari-hari, masya- rakat Sunda yang telah dipandu selama ber-
abad-abad dengan tradisi karuhun yang adi- luhung, kemudian ditemukan dengan
Islam yang sangat mengutamakan keluhuran akh- lak (budi pekerti). Ketika Nabi
Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak-akhlak mu- lia”.[7]
Oleh karena itu, masyarakat sunda mengejawantahkannya dengan istilah silih
asah, silih asih, dan silih asuh serta ulah nga- liarkeun taleus ateul yang
berarti jangan me- nyebarkan keburukan/kejahatan. Kaidah hi- dup ini dikuatkan
kembali oleh sabda Nabi Muhammad SAW: “Orang beriman itu ber- sikap ramah dan
tidak ada kebaikan bagi se- orang yang tidak bersikap ramah. Dan se- baik-baik
manusia adalah orang yang paling
bermanfaat bagi manusia. (HR.
Thabrânî dan Dâruquthnî.
Penyembahan kepada satu Penguasa
Alam Raya (Nu Kawasa) dan keluhuran peri- laku yang ada pada masyarakat sunda
me- nyambut dengan suka cita nilai-nilai aqidah dan kemuliaan akhlak yang ada
pada Islam. Sehingga keduanya seperti saudara kembar yang kembali berjumpa
setelah sekian lama terpisahkan dan dipisahkan dari tangan- tangan durjana para
penyembah dewa dan berhala.
B.
Latar Belakang Munculnya Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”
Fenomena
masyarakat sunda yang me-nerima Islam dengan suka cita dan melaksa- nakannya
dalam kehidupan sehari-hari telah memberikan inspirasi kepada Haji Endang
Saefudin Anshari untuk menyatakan secara retoris bahwa “Islam teh Sunda dan
Sunda teh Islam” artinya bahwa “Islam itu sama de- ngan Sunda dan Sunda itu ya
Islam”.[8]
Istilah
ini tidak berlebihan kiranya apa- bila kita menyaksikan bagaimana masyarakat
sunda menjalani kehidupannya sehari-hari. Kekuatan aqidah akan adanya
satu-satunya illâh (sesembahan) yang berhak disembah dan pengamalan keislaman
yang dipandu oleh kesadaran keimanan yang mendalam te- lah menjadikan komunitas
sunda identik de- ngan Islam. Terasa aneh apabila orang sunda itu bukan Islam,
demikian seperti yang dapat kita saksikan pada masyarakat sunda saat ini. Islam
menjadi jiwa bagi masyarakat sunda di bumi Parahyang dengan tetap menjalankan
tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan syariatnya.
Bukti-bukti
keharmonisan antara sunda dan Islam tampak dari berbagai sikap reli- giositas
orang sunda itu seperti terungkap dalam peribahasa, “diri sasampiran awak sa-
sampaian”. Artinya, semuanya
merupakan kepunyaan Allah SWT (Gusti nu murbeng alam). Oleh karena itu,
manusia sunda dalam kehidupannya selalu menggunakan rasa (bo- ga rasa rumasa,
ngaji diri). Bahkan dalam ba- nyak hal, orang sunda selalu bersyukur atas apa
yang diterimanya, sehingga “syukuran” bagian dari tradisi atas nikmat yang
diper- olehnya. Lebih dari itu, ketika ditimpa mu- sibah ia selalu bersyukur
dengan istilah “un- tung”. Bahkan ketika musibah meninggal ter- jadi sekalipun tidak
jarang orang sunda ma- sih terucap kata “untung”, “untung maot coba mun hirup
meureun jadi tanpa daksa”. Dalam terminologi Islam ini disebut qana‘ah, yang
artinya merasa cukup dengan yang ada khususnya masalah dunia sebagai kebajikan
yang dianjurkan.
Jika
dikategorikan, ada beberapa pan- dangan hidup orang sunda tentang berbagai hal
mengenai manusia sebagai pribadi, ma- nusia dengan masyarakat, dengan alam, de-
ngan Tuhan dan hakikat manusia. Misalnya, dalam mencapai tujuan hidup, orang
sunda harus mempunyai keseimbangan yang di- sebut sineger tengah yang berarti
wajar, tidak berlebihan. Dalam bahasa Islam disebut ummatan wasathan, umat yang
pertengahan. Hal itu tertuang dalam petuah, “jaga urang hees tamba tunduh,
nginum tuak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo ulah urang kajongjonan”. Artinya,
hendaklah tidur se- kedar menghilangkan kantuk, minum tuak sekedar
menghilangkan haus, makan seke- dar menghilangkan lapar, jadi dalam perike-
hidupan tidak berlebihan. Ini sejalan dengan ajaran Islam, sikap tamak merupakan
sikap yang sangat tercela. Bahkan, dalam hidup kita juga dianjurkan untuk
adanya keseim- bangan di dunia dan akhirat, seperti diung- kapkan dalam ayat
al-Quran Allah SWT ber- firman: “Dan carilah pada apa yang telah di-
anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu me-
lupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”.[9]
Manusia
sunda sebagai pribadi digambarkan oleh tingkah laku dan budi bahasa- nya. Oleh
karena itu, dituntut “kudu hade gogog hade tagog” (baik budi bahasa dan tingkah
laku) dan “nyaur kudu diukur, nyabda kudu diungang” serta manusia sunda juga
harus “sacangreud pageuh, sagolek pangkek” (teguh pendirian tidak pernah ingkar
janji). Ini juga merupakan nilai-nilai utama da- lam
Islam, seperti diungkapkan dalam hadits, “seutama-utama manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi manusia lainnya”. Artinya, kehadiran kita bukan saja
tidak menimbulkan kerusakan atau kesulitan bagi orang lain te- tapi juga dapat
memberikan manfaat dan maslahat.
Orang
sunda memiliki filosofi ketuhanan yaitu keyakinan seperti ajaran Islam, innâ
lillâ- hi wa innâ ilayhi râji‘ûn dengan ungkapan “mulih ka jati mulang ka
asal”. Dengan demi- kian juga dalam menjalani kehidupan, orang sunda mempunyai
norma dan etika seperti “ulah pagiri-giri calik pagirang-girang tampian”
(janganlah berebut kekuasaan dan jabat- an). Dalam Islam ada hadits, yang
berbunyi, “Jangan berikan jabatan kepada orang yang memintanya”. Hal ini
berbeda dengan feno- mena demokrasi sekarang, di mana orang yang ingin jabatan
harus pamer dan me- nyombongkan diri lewat kampanye, istilah sundanya, “agul ku
payung butut” (bangga dengan prestasi buruk).[10]
Nilai
kesundaan yang islami lainnya seperti, “ulah nyaliksik ka buuk leutik” (jangan-
lah memeras rakyat kecil), “ulah kumeok memeh dipacok” (jangan mundur sebelum
berusaha), “kudu bisa ka bala ka bale” (bisa fleksibel dalam mengerjakan apa
saja) dan “mun teu ngakal moal ngeukeul, mun teu ngarah moal ngarih”
(berusaha/berikhtiar se- kuatnya).
Demikian
juga dalam membangun lingkungan sosial yang damai dalam Islam istilah rahmatan
lil ‘âlamîn, orang sunda mempunyai filosofi, “tiis ceuli herang panon” (hidup
damai dan tentram) serta “kudu bisa mihape- keun maneh” (tingkah laku
menyesuikan dengan lingkungan). Nilai-nilai itu turunan atau tafsir terhadap
nilai-nilai keislaman, tetapi juga warisan budaya dan filosofi masyarakat sunda
bahkan sebelum datangnya Islam. Ini tidak aneh, karena Islam sebagai aga- ma
fitrah pada dasarnya saluran dan periwajar jika kemudian sunda identik dengan
Islam dan Islam identik dengan sunda “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”.
Namun
harmoni ini tidak semua orang menyukainya, pihak-pihak yang tidak menginginkan
Islam dan sunda bergandengan tangan melakukan berbagai agitasi untuk memisahkan
dan me- ngadu domba antara keduanya. Maka saat ini kita saksikan terjadi jurang
pemisah yang dalam antara para penganut Islam yang berusaha untuk istiqamah
yang menganggap bahwa budaya dan tradisi lokal tidak sesuai dengan nilai-nilai
Illâhiyyah sebagai agama samawi, sementara pihak-pihak yang berusa- ha menapaki
jalan karuhun bersikap apatis seolah-olah Islam adalah agama impor yang hendak
menghancurkan kebudayaan sunda. Maka sudah selayaknya kita kembali untuk
merajut kebersamaan itu sunda yang memi- liki jiwa kesundaan yang tidak
bertentangan dengan Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.
C. Perkembangan
Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”
Masyarakat
sunda secara mayoritas ber- agma Islam, sehingga sangat wajar jika Islam
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Ia telah mendarah
da- ging, menjadi ruh bagi jasad sunda dan men- jadi energi bagi berlangsungnya
kebudayaan masyarakat ini. Tidaklah berlebihan jika Istilah “Islam teh Sunda,
Sunda teh Islam” mun- cul dan mewakili jati diri muslim di tanah Pasundan.
Namun tetap saja ada orang- orang yang tidak suka dengan hal ini, di antara
mereka adalah budayawan Katolik ahli sunda, Jakob Sumardjo. Dalam tiga jilid
bukunya yang berjudul
“Simbol-Simbol Ar- tefak Budaya
Sunda” (diterbitkan oleh Pe- nerbit Kelir Bandung Tahun 2009), Sumardjo
berusaha mengaitkan jati diri kasundaan de- ngan mengembalikannya pada
kepercayaan sunda yang dipengaruhi animisme[11]
dan dina-ngatan terhadap kecenderungan baik (hanif) dalam diri manusia.Berdasarkan sekian banyak titik temu
antara budaya sunda dan Islam maka sangat misme[12];
atau Hindu-Budha. Dalam jilid ketiga yang secara khusus mengenai pantun- pantun
sunda, tafsiran istilah pada pantun itu ia kaitkan dengan kepercayaan lama yang
bukan Islam, padahal dalam konteks kekini- an, pandangan hidup sunda tidak dapat
dipi- sahkan dari Islam.[13]
Teori-teori
dari Barat (Eropa dan sekutu- nya) yang menyatakan bahwa agama asli Indonesia
adalah animisme dan dinamisme sepertinya perlu ditinjau ulang kembali. Keti-
dakpahaman mereka akan kepercayaan ma- syarakat lokal menjadikannya dengan
mudah menyatakan hal tersebut. Pendapat seperti ini kemudian diteruskan oleh
anak-anak di- diknya yang belajar dan membebek kepada barat, sebagai contoh
Rachmat Subagya yang menulis buku dengan judul: “Agama Asli Indonesia”. Buku
tersebut sangat sub- jektif sekali berbicara tentang agama asli Indonesia tanpa
memperhatikan substansi dari masing-masing agama dan kepercayaan tersebut.
Sehingga dengan mudah penulis menyatakan bahwa agama asli Indonesia adalah
paham animisme, dinamisme dan to- temisme. Padahal apabila kita lebih jeli
dalam melihatnya maka seluruh kepercayaan yang ada di Indonesia bersumber pada
kepercaya- an adanya satu Penguasa Alam Raya yaitu Allah SWT dalam keyakinan
Islam.
Bukti-bukti
yang menguatkan pendapat ini sangat banyak sekali, salah satunya ada- lah
kepercayaan yang ada pada komunitas Baduy di mana mereka meyakini adanya satu
Nu Kawasa yang menjadi penguasa bagi alam semesta ini. Demikian pula komunitas
Dayak yang meyakini adanya Ranying sebagai Tuhan penguasa alam semesta. Pada
komu- nitas suku Mee di Papua mengenal Ugatamee sebagai sebagai Pencipta,
Penyelengara, dan Penjaga dalam hidup suku bangsa ini.[14]
Maka teori tentang agama animisme dan dinamis- me di Indonesia perlu dikaji
ulang.
D. Rekonstruksi Istilah “Islam teh Sunda,
Sunda teh Islam”
Rekonstruksi
secara bahasa berarti pe- ngembalian seperti semula serta penyusun- an (penggambaran)
kembali. Istilah mere konstruksi bermakna melakukan rekon- struksi.[15]
Maka rekonstruksi istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” bermakna menyu-
sun dan membangun kembali makna istilah ini dalam ranah kekinian. Upaya ini
sebagai bentuk penyegaran kembali pemahaman ter- hadap harmoni antara Islam dan
budaya Pasundan.
Apabila
Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” pada awalnya berasal dari realitas
bahwa komunitas sunda telah menjadikan Islam sebagai bagian tidak terpisahkan
da- lam kehidupan sehari-hari, maka upaya rekonstruksi dilakukan dengan kembali
membangun pondasi dan menegakkan tiang-tiang penyangganya. Setelah itu
melengkapinya dengan atap yang memayungi bangunan istilah ini.
Pondasi
dasar bagi istilah ini adalah pe- mahaman yang sama antara kepercayaan asli
sunda (Jatisunda) dengan Islam. Asas monoteisme yaitu penyembahan kepada satu
Tuhan (Allah SWT) adalah fakta yang tidak bisa disangkal. Pemahaman masyarakat
sun- da awal tentang hakikat dari Sang Pencipta yang mengatur seluruh alam raya
masih ter- lihat jelas pada komunitas-komunitas adat di Tatar Sunda. Sebagai
contoh komunitas adat Baduy di Kenekes, hingga saat ini mereka masih meyakini
bahwa Batara Tunggal (Yang Maha Esa) adalah satu-satunya Dzat yang harus
disembah. Salah satu dogma mereka menyebutkan “Sagala nu Lir Kumelip di Bumi
Langit, Engkena mah Bakal Balik deui Jadi Hiji jeung Batara Tunggal” (Semua
ciptaan-Nya di Bumi dan di Langit, pada Waktunya akan Kembali lagi Menyatu
dengan Batara Tunggal).[16]
Dogma
ini harus dianalisis terlebih da- hulu, apakah ia murni berasal dari keperca-
yaan lokal? atau telah mengalami reduksi dan pengaruh dari agama lain? Saya
berpendapat bahwa dogma ini telah mengalami pengaruh dari agama Hindu, terbukti
dengan istilah “Batara Tunggal” yang berasal dari ajaran Hindu aliran Ciwa yang
hidup pada masa kerajaan Pajajaran hingga menjadi agama Ciwa-Pajajaran.[17]Berikutnya
kepercayaan pe- nyatuan antara makhluk dengan Tuhan juga merupakan keyakinan
dari orang-orang Sufi dengan slogan manunggaling kawulo lan gus- ti (menyatunya
antara hamba dan Tuhan) yang banyak dipengaruhi oleh agama-agama Persia dan India.
Sehingga pemahaman ter- hadap satu-satunya Dzat yang telah mencip- takan alam
semesta dan satu-satunya yang harus disembah merupakan kepercayaan sunda.
Merujuk
kepada teori-teori agama primitive,[18]
bahwa sejatinya kepercayaan-keperca- yaan yang ada pada masyarakat lokal di
ber- bagai penjuru dunia merujuk pada satu- satunya Dzat yang menciptakan,
mengatur dan menguasai alam raya dengan berbagai nama dan istilahnya.[19]
Demikian pula yang kita dapati pada komunitas sunda di masa lalu, ia berakar
kuat di tengah masyarakat sehingga ketika Islam datang mereka menyambutnya
seolah-olah seorang Panglima Perang yang membebaskan mereka dari segala bentuk
keyakinan kepada banyaknya dewa-dewa (baca: berhala).
Rekonstruksi
berikutnya adalah bahwa tiang-tiang penyangga ini didasarkan kepada fitrah
manusia yang sejatinya berada pada jalan yang lurus (hanif). Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang bayi tak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian
(fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi,
Nasrani, ataupun Majusi”. (HR. Muslîm) Fitrah yang dimaksud dalam ayat ini
adalah bahwa setiap manusia akan senan- tiasa meyakini bahwasanya hanya
Allah-lah satu-satunya pencipta dan Dzat yang berhak untuk disembah. Hal
sebagaimana firman Allah SWT: “…tetaplah atas fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah- nya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah
itulah agama yang lurus”.[20]
Ayat
dan hadits ini menjadi tiang penopang bahwasanya setiap manusia memiliki fitrah
yang lurus yaitu meyakini adanya satu al-Khâliq (Sang Pencipta) dan
satu-satunya Illâh yang harus diibadhi (Sesembahan). Masyarakat sunda sejak
awal telah meyakini bahwasanya hanya ada satu Pencipta yaitu Sang Hyang Keresa.
Dialah yang telah mencip- takan alam semesta ini. Selain itu mereka ju- ga
mengenal satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi (ditaati) yaitu Illâh
(Batara Jagat) sebagai penguasa alam raya yang harus ditaati. Adanya berbagai
keyakinan dewa-dewa dan makhluk-makhluk ghaib lain- nya disinyalir adalah
pengaruh dari agama berhalaisme.
Bidang
hukum Islam yang telah ada se jak masa awal masyarakat sunda adalah sundat atau
khitan. Prabu Ratu Dewata (1535 – 1543 M) sebagai salah satu raja Pajajaran
yang sangat alim dan taat kepada agama telah melakukan upacara “sunatan” (adat
khitan pra-Islam).[21]
Satu sisi dapat dipahami bahwa sunat atau khitan telah ada di Tatar Sunda
sebelum kehadiran Islam, sehingga ketika Islam datang maka ia menyempurna- kan
tradisi yang baik ini. Pada bidang perka- winan adanya istilah seserahan
sejatinya ada- lah bukti penghormatan calon pengantin laki-laki kepada
pengantin perempuan dan keluarganya. Demikian juga nasihat-nasihat yang diberikan
pada saat saweran adalah se-laras dengan tradisi Arab pra Islam yang memberikan
nasihat kepada calon pe- ngantin.Sebuah riwayat yang dibawakan oleh Sayyid
Sabbiq dalam al-Fiqh al-Sunnah me- ngenai
seorang ibu bernama Bintu al-Hârits, sedangkan si pengantin perempuan berna- ma
Umm ‘Ayyâys binti ‘Auf bin ‘Alam al- Syaybanî.[22]
Ia memberikan nasihat kepada anak perempuannya yang akan menikah dan
kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan ketika menjadi seorang istri. Allah
SWT telah memberikan nasihat bagi pasangan suami istri dalam firman-Nya: “Dan
gaulilah istri- istrimu dengan cara yang ma‘ruf. Maka sean- dainya kalian
membenci mereka, karena bo- leh jadi ada sesuatu yang kalian tidak sukai dari
mereka, sedangkan Allah menjadikan pa- danya banyak kebaikan.”[23]
Demikian pula wasiat Nabi Muhammad SAW kepada setiap suami “Pergaulilah
istri-istri dengan baik, ka- rena sesungguhnya mereka itu mitra hidup kalian”,
riwayat yang lainnya beliau bersabda “Mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaqnya. Dan se- baik-baik kalian adalah yang paling
baik ter- hadap istrinya”. (HR. Ahmad)
Ayat
dan hadits tersebut merupakan na- sihat bagi calon pengantin serta suami istri
agar bisa hidup damai, bahagia di dunia di akhirat. Makna nasihat-nasihat
tersebut ter- dapat pula dalam teks sawer “Bismillâh da- mel wiwitan, Mugi
Gusti nangtayungan, Eulis-Asép nu réndéngan, Mugia kasalamet- an. Salamet nu
panganténan, ulah aya kaki- rangan, sing tiasa sasarengan, sangkan jadi
kasenangan. Sing senang laki rabina, nu diwuruk pangpayunna, nyaéta badé
istrina, masing dugi ka hartina. Hartikeun Eulis ayeuna, Lebetkeun kana
manahna, manawi aya gunana, nu dipamrih mangfaatna. Mang- faatna lahir batin,
Eulis téh masing prihatin, ayeuna aya nu mingpin, ka carogé masing tigin. Tigin
Eulis kumawula, ka raka ulah ba- hula, bisi raka meunang bahla, kudu bisa silih
béla. Silih béla jeung carogé, ulah ngan pe- lesir baé, mending ogé boga gawé,
ngarah rapih unggal poé. Répéh rapih nu saimah, rumah tangga tumaninah, tapi
lamun loba salah, laki rabi
moal genah….”.[24] Kearifan lokal ini tentunya harus dijaga
jangan sampai hanya sekadar tradisi yang tidak memberi ar- ti bagi pengantin
dan keluarga.
Rekonstruksi
istilah ini adalah dengan menggali sumber-sumber Islam yaitu al- Quran dan
al-Sunnah yang berkaitan dengan tradisi dan adat-istiadat pada suatu masyara-
kat. Ranah hukum Islam menyebut istilah ini dengan ‘urf, العرف yaitu kebiasaan yang dila- kukan oleh kebanyakan masyarakat,
baik da- lam perkataan maupun perbuatan yang dila- kukan secara terus-menerus
dan diakui seba- gai sesuatu yang baik oleh mereka.[25]Teori
‘urf merupakan respon ahli hukum Islam ter- hadap adat kebiasaan yang berlaku
di masya- rakat. Inti teori ini adalah bahwa adat ke- biasaan yang dilakukan
oleh manusia secara berulang-ulang dan dipandang baik oleh me- reka bisa
diterima oleh Islam sebagai dalil hu- kum. Sejatinya penerimaan ‘urf sebagai
dalil hukum Islam telah dilakukan sejak masa Nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya.[26]
Tra- disi ini dilanjutkan oleh para ahli hukum Islam pada masa-masa berikutnya.
Ahli
hukum Islam yang menggagas teori ini adalah Mâlik bin Anas, beliau berpendapat
bahwa ‘urf masyarakat harus dipertimbang- kan dalam memformulasikan suatu
ketetap- an dalam hukum Islam. Ia menetapkan ‘amal penduduk Madinah sebagai
sumber hukum ketika tidak ditemukan secara eksplisit dalil dalam al-Quran maupun
al-Hadits.[27]
Ia juga melakukan takhshish terhadap ayat al-Quran dengan ‘urf Arab pada
permasalahan hak menyusui bagi seorang ibu.[28]
Menurutnya, walaupun ayat ini memerintahkan para ibu untuk menyusui anaknya
hingga dua tahun, namun dalam praktiknya ibu-ibu di Arab te-ah terbiasa dengan
menyusukan anak-anak nya kepada perempuan-perempuan dari wilayah pedalaman
dengan harapan anak-anaknya tersebut mendapatkan pendidikan dan lingkungan
pertumbuhan yang baik.
Imâm
Syâfi’î juga menggunakan ‘urf sebagai dalil dalam menetapkan suatu hukum Islam,
terlihat dari perubahan hukum ketika ia berpindah dari Baghdad ke Mesir dengan
pertimbangan ‘urf penduduk Mesir.[29]
Ulama
Syâfi‘iyyah yang
membahas masalah ‘urf Bahwa adat
dan ‘urf merupakan sumber hukum yang bisa memecahkan dalam berbagai persoalan,
diantaranya masa- lah haid masalah batas dewasa dll.[30]
Abû
Hanîfah telah banyak menggunakan istihsan yang salah satunya menjadikan adat
kebiasaan sebagai bahan pertimbangan. Me- tode ini diteruskan oleh
murid-muridnya yaitu Abû Yûsuf, Sarakhsî dan Syaybanî. Abû Yûsuf berpendapat
bahwa ‘urf menjadi bahan pertimbangan utama dalam sistem hu- kum Hanafiyyah,
ketika nash yang jelas tidak ditemukan.[31]
Menurut Sarakhsi, Abû Hanîfah akan menolak qiyas untuk lebih memilih Selain
ahli hukum Islam dari empat maz- hab klasik, ahli hukum Islam kontemporer juga
menyepakati bahwa ‘urf menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam.
Hasil
Kajian Sunda Islam
Berdasarkan
pembahasan mengenai re- konstruksi istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”
maka ada beberapa kesimpulan :
1.
Sejarah munculnya istilah “Islam teh Sunda,
Sunda teh Islam” adalah realitas masyarakat Sunda yang telah menerima Islam
karena selaras dengan nilai-nilai ke- sundaan yang mereka miliki;
2.
Keselarasan antara sunda dan Islam tampak
dari kepercayaan mereka terha- dap adanya satu Tuhan Pencipta dan Pe- milik
Alam (Monoteisme) serta perilaku dan etika Sunda yang selaras dengan adab dan
akhlak dalam Islam;
3.
Agama dan kepercayaan berhalaisme atau
keyakinan dengan banyak tuhan (tri- nitas, dewa-dewa dan politeisme lainnya)
tidak mungkin diterima oleh komunitas sunda karena bertentangan dengan keya-
kinan awalnya; dan
4.
Rekonstruksi istilah “Islam teh Sunda,
Sunda teh Islam” dilakukan dengan me- nguatkan kembali pondasi tawhidullâh (keyakinan adanya satu Tuhan
yaitu Allah SWT), membangun tiang-tiang penopang berupa mengembalikan fitrah
hanif umat manusia dan merumuskan atap sebagai payung yaitu kaidah-kaidah fiqhiyyah khu- susnya kaidah “al-‘âdah al-muhakkamah”.
E. PROSES
BERAGAMA AHMADIYAH DALAM PERSPEKTIF ALFRED NORTH WHITEHEAD
Ajaran
Ahmadiyah di Indonesia masih dinilai bertentangan dengan Umat Islam pada
umumnya. Ajaran Ahmadiyah masih dirasakan dapat menganggu kerukunan internal
beragama. Sebab apa, keberadaanya Ahmadiyah bertentangan dengan inti ajaran
agama Islam. Ajaran-ajaran sangat menyesatkan dan membuat resah umat Islam.
Hal
itu ditegaskan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam keputusan No.
11/Munas Vii/Mui/15/2005 tentang aliran Ahmadiyah yang berada diluar Islam,
sesat dan menyesatkan serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar
dari Islam).[32]Fatwa
ini melanjutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham
Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua
tempat kegiatan. Bahkan hal ajaran Ahmadiyah dikategorikan bagian dari penodaan
agama, yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahaan
penyalahgunaan dan penodaan agama.[33]
Persoalan apa yang membuat ajaran Ahmadiyah dianggap sesat. Ada
beberapa doktrin Ahmadiyah yang dianggap kurang tepat dalam kehidupan beragama
umat Islam di Indonesia. Pertama, berkaitan dengan doktrin masalah Al-Mahdi dan
Isa Al Masih. Kedua, masalah mujaddid (pembaharu). Ketiga, masalah kenabian.
Keempat, berkaitan dengan masalah Wahyu. Kelima, masalah khilafah. Keenam,
masalah jihad.[34]
Ajaran
Ahmadiyah banyak mengajarkan kesesatan. Hal itu di sebabkan, karena Kaum
Ahmadiyah memahami Nabinya, bukan Nabi Muhammad. Mereka menggangap Nabinya
adalah Mirzam Ghulam Ahmad, karena mendapatkan Wahyu langsung dari Tuhan,
karena dia telah diutus oleh Tuhan.
Pemahaman
ajaran Ahmadiyah yang berbeda itulah sehingga memunculkan beragam tafsiran,
yang tak lain perbedaannya terletak pada konsepsinya. Dalam ajaran Ahmadiyah, ada
beberapa pesan dari Mirzam Ghulam Ahmad, yakni dia mengaku sebagai pembaharu.
Persoalaan keberagamaan ini semakin menarik untuk dikaji, yang yang kemudian
dikaitkan dengan analisis dari ontologi Alfred North Whitehead.
F. SEKELUMIT TENTANG PEMIKIRAN
ONTOLOGI ALFRED NORTH WHITHEAD
Alfred
North Whithead, OM, dilahirkan di Ramsgate, Kent, Inggris, 15 Februari 1861 dan
meninggal di Cambridge, Massachutsetts, Amerika Serikar, 30 Desember 1947. Ia
adalah seorang matematikawan Inggris yang menjadi seorang filsuf. Ia menulis
tentang aljabar, logika, dasar, filosofi ilmu pengetahuan, fisika, metafisika
dan pendidikan.
Dalam
konteks sejarah dunia, masa hidupnya tersebut merupakan masa yang penuh dengan
gejolak. Secara umum, diketahui pada masa itu terjadi dua perang yang
mengguncangkan kehidupan seluruh umat manusia. Dalam masa itu juga ditandai
dengan munculnya berbagai penemuan penting dalam bidang ilmu pengetahuan serta
munculnya gagasan-gagasan revolusioner yang menciptakan paradigma baru dan
mengubah sejarah. Pada masa itu juga muncul tokoh-tokoh seperti Charles Darwin,
Albert Einstein, William James dan Henri Bergson.
Ada
beberapa kategori penting dan beberapa konsep ontologi Whitehead yang pokok
antara lain, berkaitan dengan proses, kreatifitas, satuan-satuan aktual, Tuhan,
objek-objek abadi, dan konsep substansi.[35] Dari
beberapa konsep tersebut itulah yang perlu dijadikan pijakan dari landasan
ontologi Whitehead dan kategori penting itu semua berjalin dalam pembahasan
mengenai pemikiran ontologi Whitehead.
1. Proses
Dalam
Pandangan Whitehead, kata proses seringkali muncul karena hal inilah yang
menjadi titik tolak dari pemikiran Whitehead, melalui karyanya Process and
Reality” (1978). Whitehead, menegaskan bahwa setiap wujud dan eksistensi itu
mengalami sebuah proses dan perubahan, ada upaya dinamisasi dalam setiap
entitas aktual.
Karena
itu, di dalam membahas proses, tentunya tidak bisa dilepaskan dari istilah
entitas, sebab apa, entitas aktual inilah yang melakukan sebuah proses,
sehingga “menjadi” hal yang baru bagi yang lainnya. Doktrin positif menjadi ini
jelas berhubungan dengan entitas aktual, yang juga memiliki kaitan dengan
istilah “entitas occasion”, entitas yang setiap kesempatan bisa menjadi dan
berubah menjadi kebaruan sebagai bagian dari proses.[36]
Whitehead
mencoba membedakan dua macam proses. Yakni proses makrokosmik dan proses
mikrokosmik. Proses makrokosmik adalah perpindahan dari aktualitas yang telah
dicapai kepada aktualitas yang lain. Proses ini membuat perubahan dari nyata
aktual menjadi sungguh-sungguh nyata. Sedangkan, proses mikrokosmik adalah
perubahan keadaan nyata melulu menjadi suatu aktualitas tertentu. Proses ini
menghasilkan perkembangan dari yang semata-mata nyata menjadi aktual. Dalam
pandangan Whitehead proses makrokosmik berhubungan dengan hasil atau guna.
Sedangkan, proses mikrokosmik berhubungan dengan tujuan.[37]Pada
tataran kedua proses itulah sebenarnya manusia terus berproses dalam ranah yang
luas yang berhubungan Tuhan, maupun yang kecil berhubungan antara manusia
dengan manusia lainnya serta makhluk-makhluk lainnya seperti binatang,
tumbuhan, dan makhluk lainnya.
2. Kreativitas
Di
dalam entitas aktual, termasuk diri manusia, di sadari atau tidak, mempunyai
potensi kreativitas, kreativitas menjadi
salah satu prasyarat
bagi diri manusia
untuk menciptakan entitas aktual yang baru bagi diri dan masyarakat.
Kreatifitas melibatkan diri manusia baik yang nampak maupun tidak nampak,
setiap manusia mempunyai potensi-potensi untuk diwujudkan dalam proses
kehidupan bermasyarakat dengan segala keunikannya.
Kreativitas
adalah bagian sebuah cara bagaimana manusia menunjukkan potensinya lewat
pengalaman hidup yang dialami dan dirasakannya. Proses kreatifitas manusia
tentunya melibatkan unit manusia yang spesifik, setiap unit spesifik itu
mempersepsi semua ke dalam kesatuan pengalamanya (unity of feeling) berdasarkan
penilaiaan relevan dan pengalaman manusia yang dirasakan. Sehingga memunculkan
sesuatu yang berbeda diri manusia.
Setiap
pengalaman dengan identitas tertentu yang berbeda, dalam bentuk sederetan unit
pengalaman yang sambung menyambung, kekinian demi kekinian, sepanjang kurun
sejarah kehidupan, mengandaikan berlakunya tatanan stabil dari dunia aktual.[38]
Kehidupan dari manusia adalah dinamis, dan perubahan itu tergantung dari proses
kreatifitas manusia dalam mengembangkan dari seluruh pengalaman yang ada.
Kreatifitas adalah karakter yang universal, yang menyatu dari beberapa
unit-unit kreatifitas yang unik dan berbeda.
Kreativitas
itu adalah salah satu bentuk di antara bentuk dasar, di samping Tuhan dan objek
abadi (eternal objek). Sehingga dapat di kita pahami, bahwa kreativitas
merupakan salah satu unsur dalam proses pembentukan segala sesuatu. Proses
kreatif yang membentuk kesatuan alam.[39]
Dalam hal ini Whitehead mengatakan demikian : „..Creativity is the principle of
novelty. An Actual occasion is novel entity diverse from any entity in the many
which..... the creative advance is the application of this ultimate principle
of creativity to each novel situation which it originates [40]
Pernyataan
di atas menegaskan bahwa setiap kreatifitas yang dilakukan manusia, sudah
semestinya kita memahami adalah unsur kebaruan dan itu adalah proses bagiamana
entitas aktual berperan dalam menemukan kreatifitas sehingga menjadi manusia yang
unik dan berbeda, dengan tujuan sebagai bagian dari satuan aktual, yang
melahirkan entitas aktual yang baru.
Kreativitas
sendiri merupakan segala daya yang memperoleh wujud dalam dilahirkannya satu
satuan aktual dari banyak satuan aktual lain sebelumnya. Kreativitas tidak
mempunyai karakter tersendiri terlepas dari satuan aktual yang memberi wujud
pada daya ciptanya. Kreativitas dapat dikenali dan dimengerti tidak bisa lepas
dari perwujudannya dalam proses terjadinya suatu satuan aktual.[41]
Lahirnya
denyut pengalaman atau unit spesifik yang baru merupakan perjalanan kepada
kebaruan. Setiap kebaruan yang memasuki unit spesifik yang “baru lahir” itu
ialah ikut sertanya informasi baru berupa seperangkat bentuk ideal baru ke
dalam dunia aktual.[42]
Kreatifitas menjadi salah satu hal yang harus dilakukan oleh setiap manusia
untuk menuju kebaruan. Kreatifitas bisa dinilai dari segala perilaku tindakan
dalam kehidupan sehari-hari.
3. Satuan-Satuan Aktual
Konsep
satuan-satuan aktual merupakan salah satu konsep dalam filsafat proses
.Satuan-satuan aktual merupakan kenyataan dasar yang membentuk sesuatu yang
ada. Setiap satuan aktual adalah peristiwa pengalaman yang rumit. Whitehead
menegaskan, konsep satuan-satuan aktual itu merupakan suatu prinsip ontologik
dalam filsafat proses.[43]
Satuan-satuan aktual (actual entitas) merupakan kategori eksistensi primer yang
membentuk segala sesuatu yang ada. Menurut Whitehead, tidak ada suatu pun yang lebih nyata danprimer dari
padasatuan-satuanaktual; ia juga
menyebutnya sebagai final realitas. Menurutnya upaya pemahaman terhadap
realitas didasarkan atas satuan-satuan aktual. Whitehead menyebutnya sebagai
prinsip ontologis (ontologis principle)bahwa
segala sesuatu merupakansatuan-satuan aktual atau derivasi dari satuan-satuan
aktual.
Semua
satuan aktual diprehensi secara positif, namun hanya objek-objek abadi pilihan.
Dalam rangkaian pemaduan aneka prehensi, satuan-satuan tipe kategorial lain
menjadi relevan dan beberapa baru tipe ini seperti proposisi-proposisi baru dan
kontras-kontras generik, menjadi bereksistensi. Satuan-satuan aktual relevan
dari tipe-tipe yang lain ini juga diprehensi ke dalam penyusunan sel yang
dikonkresi.
Suatu
satuan aktual adalah suatu proses yang selama ini banyak beroperasi dengan
kesatuan subjek yang tidak lengkap berakhir di dalam suatu kesatuan operasi
yang lengkap yang disebut kepuasan. Kepuasan adalah desakan kreatif melalui
pemenuhan tuntutan-tuntutan kategorial. Analisis kategori-kategori ini adalah
tujuan dari metafisika.[44]
Proses
dalam satuan aktual itu sendiri sebenarnya bagian dari penyatuan aktual. Satuan
aktual yang meruang itu digerakkan oleh substansi dalam upaya mencapai
kepenuhan atau subjektif aim, sehingga adanya satuan-satuan aktual itu
menegaskan tentang sebuah proses dan proposisi-proposisi yang menyatu ketika
diprehensi. Satuan-satuan aktual itu terdiri dari beberapa unsur entitas aktual
yang menyatu dari berbagai elemen yang tidak mungkin dipisahkan satu sama lain.
Penganalisisan
suatu satuan aktual ke dalam “prehensi” adalah cara analisis yang
memperlihatkan unsur-unsur paling konkret dalam hakekat satuan-satuan aktual.
Cara analisis ini akan disebut sebagai “kehadiran Tuhan” ke dalam diri manusia.
Suatu prehensi dalam dirinya menghasilkan karakteristik-karakteristik umum
suatu satuan aktual, prehensi merujuk pada dunia eksternal.[45]
Pada
sisi lain, Whitehead juga selalu menekankan aspek perubahan dalam filsafatnya,
namun ia juga menyatakan bahwa satuan-satuan aktual yang berproses dan
menciptakan sebuah jaringan realitas organis, pada mereka tetap ada aspek
“permanensi” sebagai pola-pola tetap (enduring patterns) yang menjadi identitas
mereka. Hanya saja kategori gerak dan perubahan jauh lebih mendasar dari aspek
permanen pada satuan aktual tersebut.
Konsep satuan aktual yang meliputi hampir seluruh kategori makhluk tersebut
menjadikan Whitehead dikenal sebagai tokoh yang mengusung gagasan
“pan-subjectivity”.
Gagasan
ini (Pan-subjectivity) adalah paham bahwa seluruh realitas haruslah dilihat
sebagai subjek yang utuh, yang berlaku tidak hanya untuk manusia, tetapi juga
benda- benda mati, tumbuhan, binatang bahkan Nabi dan Tuhan. Pandangan seperti
ini jelas berkaitan erat dengan pandangan ontologis Whitehead tentang alam
semesta sebagai jaringan entitas-entitas aktual yang saling berproses dan
mempengaruhi satu sama lainnya.
4. Tuhan
Tuhan
dalam pandangan Whitehead adalah actual entity. Sebagai actual entity, Tuhan
berbeda dengan satuan-satuan aktual yang lain, karena Tuhan memiliki dua sifat
yakni sifat primordial dan konsekuen. Dari pandang sifat primordial dan sifat
konsekuen, Tuhan adalah tidak terbatas, asal dari segala
kemungkinan-kemungkinan. Sebagai pencipta, Tuhan tidak berada di depan atau
dibelakang ciptaanya, melainkan di tengah dan bersama dengan segala ciptaanya. Di
pandang dari sifat „konsekuen‟ dan yang terakhir.[46]
Tuhan
dalam aspeknya yang primordial memberi wujud konseptual pada semua objek abadi
dengan memikirkan segala macam bentuk kemungkinan yang bisa terwujud untuk
setiap satuan aktual. Oleh Karena itu Tuhan dalam aspeknya yang primordial
menjadi sumber segala cita-cita atau tujuan akhir semua proses konkresi untuk
perwujudan diri suatu satuan aktual. Demikian Tuhan menjadi prinsip dasar
konkresi. Kendati setiap satuan actual itu memiliki kebebasan dalam mencipta
diri, namun kebebasan dalam penciptaan diri itu tidak bersifat sewenang-wenang
karena dibatasi oleh kondisi masa lalunya dan kerangka cita-cita atau tujuan
sebagaimana kemungkinannya telah dipikirkan Tuhan dalam keabadiannya.
Tuhan
Sang sahabat, ialah konsep yang paling matang atau dewasa dalam evolusi agama.
Tuhan merupakan tempat sebagai “muara” atau “tumpahan” semua pengalaman
religius dari semua yang ada (actual entity). Tuhan adalah sahabat karib kepada
siapa seluruh ciptaan”mencurahkan hatinya”. Dalam primordial nature-nya, Tuhan
menjadi “pola” bagi dan menginformasikan nilai kepada setiap entitas yang
mengaktual.
Tuhan mulai digambarkan tidak hanya sebagai
prinsip metafisis, tetapi juga sebagai satuan aktual (actual entity) karena
hanya satuan aktualah yang betul-betul ada dalam kepenuhan arti kata. Sebagai
satuan aktual, Tuhan memprehensi pengalaman-pengalaman aktual”ciptaan-
ciptaan”, yang sesaat pernah ada dan lalu melenyap.[47]
Dengan demikian, keberadaan Tuhan yang ada, sekaligus yang mengaktulkan entitas
ke dalam diri manusia.
Tuhan dalam sistem metafisika Whitehead
pertama kali dikaitkan dengan permanensi. Pertama, permanensi dari forma-forma
yang tertata, diformatkan, diinduksikan, diinformasikan atau dipersuasikan
kepada dunia semesta. Kedua, berhubungan dengan permanensi dari apa saja yang
“menjadi”, semua yang pernah datang dan semua yang menghilang.[48]
Hal-hal itu adalah bagian dari cara perwujudan Tuhan di dalam dunia aktual ini.
5. Objek-Objek Abadi
Whitehead merumuskan objek abadi sebagai
hal-hal yang melulu merupakan kemungkinan bagi determinasi khusus kenyataan
atau bentuk bentuk ketertentuan. Objek abadi hanya di deskripsikan di dalam
potensialitasnya untuk ”ingresi” (partisipasi) ke dalam peristiwa terjadinya
entitas aktual, dan analisisnya hanya menunjukkan objek abadi lainnya. Objek
abadi hanya merupakan kemungkinan. Kata “ingresi” menunjuk pada cara tertentu
di mana kemungkinan objek abadi tersebut direalisasikan di dalam entitas aktual
partikular, menyumbang pada ketertentuan suatu entitas aktual.[49]
Dalam hubunganya dengan sistem objek abadi,
yang tentunya berkaitan dengan entitas aktual. Di dalam entitas aktual itu
memuat sejumlah objek abadi. Di dalam suatu entitas aktual tertentu, hanya
sejumlah terbatas objek abadi diwujudkan dalam kenyataan sebagai struktur
entitas aktual tersebut, di dalam determinasi jumlah objek abadi tersebut,
sesungguhnya ingin menekankan bahwa tanpa adanya pembatasan itu tidak akan
terjadi entitas aktual, sebab apa, untuk menjadi aktual berarti menjadi
”yang-ini bukan yang itu.”
Objek-objek abadi adalah murni potensi yang
universal dan aktual entitas berbeda pada tiap-tiap bagian dalam realisasinya
dari potensinya. Aktual entitas yang mana adalah konsepsinya tidak dikenal tapi
meliputi bagian dari referensi beberapa definisi aktual entitas yang di dunia
sementara ini.[50]
Objek-objek abadi adalah terberi dari prehensi-prehensi yang memberikan data
pada entitas aktual, di dalam prehensi objek abadi disebutkan juga conceptual.
prehension. Konseptual prehensi adalah
datum-datum yang ada di dalam objek abadi. Perasaan konseptual adalah perasaan
objek abadi yang paling dasar dalam diri manusia. Perasaan itu memiliki kapasitas dan karakter dari proses realisasi yang dibatasi.
6. Konsep Substansi
Dalam
pemikiran Whitehead, awal mulanya munculnya “substansi”, itu di mulai
perdebatan modern science mengenai materialisme alam semesta ini. Whitehead
tidak setuju ketika subtansi yang berupa material itu dikatakan sebagai
eksistensi yang pasif, Whitehead memberikan argumentasi bahwa substansi
material itu sebenarnya aktif, karena memiliki dasar dasar entitas aktual yang
bisa berubah dab berproses.[51]
Pandangan
Whitehead tentang substansi merupakan reaksi kontra terhadap pandangan
substansi yang menguasai pemikiran filsafat Barat sejak Aristoteles, yakni
tentang independensi subtansi. Di mana materialisme dianggap eksis sendirinya,
tanpa bantuan yang lain.[52]Padahal,
materi itu membutuhkan entitas-entitas aktual yang lain, sebagai proses dan
perubahannya dalam menemukan entitas aktual, sebagai satuan-satuan aktual.
Dengan
begitu, saya hanya bisa menarik sebuah pendapat, materia-materia yang
dimaksudkan oleh Whitehead tidak hanya menekankan sebuah benda-benda yang ada
di dunia aktual, akan tetapi manusia itu sendiri merupakan bagian dari
materi-materi juga, di dalam diri manusia juga terkandung berbagai
elemen-elemen dasar pembentuk dari entitas aktual.
Pada
dasarnya prinsip-prinsip ontologi dari Whitehead terletak pada entitas aktual,
yakni terletak juga pada peran manusianya atau subjektifnya. Setiap kondisi
adalah sebuah proses “menjadi” dalam bentuknya yang konkret, melainkan juga
terletak pada karakter subjek sebagai proses dalam memahami hakekat. Subtansi
ini ditransformasikan ke dalam entitas aktual.[53]
Keberadaan subtansi ini yang dimaksudkan bukan Tuhan, sebagaimana substansi
yang dimaksud Leibnez. Akan tetapi, substansi itu adalah gabungan dari
berberbagai satuan-satuan aktual, yang disebut dengan satuan-satuan aktual.
Karena itu, substansi yang terdiri dari banyak satuan-satuan aktual ini
memiliki sebuah proses.
C. RELEVANSI ONTOLOGI WHITEHEAD DALAM PROSES
BERAGAMA AHMADIYAH DI INDONESIA
1. Pengalaman Religius
Setiap manusia hidup di dunia ini memiliki
pengalaman yang berbeda beda dalam menjalankan kehidupannya. Pengalaman manusia
dalam beragama pun mempunyai perbedaaan satu dengan yang lain. Pengalaman
religius adalah bersifat subjektif di mana itu berkaitan dengan keyakinan, dan
perasaaan (feeling ) dalam perjumpaan dengan Tuhan dan bahkan Nabinya.
Pengalaman religius manusia dalam beragama, terutama dalam agama Islam memiliki
pandangan yang berbeda-beda. Setiap pengaman religius mengandung entitas
aktual. Agama hadir di dunia dalam bentuknya doktrin dan dogma, yang mana
meletakkanya dalam posisi untuk menuju kebenaran secara yang metafisik.
Dalam konteks ini, ajaran Ahmadiyah yang
juga bisa dikategorikan bagian proses beragama yang hadir ditengah- tengah umat
Islam. Eksistensi aliran Ahmadiyah dalam menjalankan ibadah dan ritual yang
diyakini merupakan salah satu wujud-wujud entitas aktual, pengalaman feeling
(pengalaman religius) dengan menggunakan analisa dari Whitehead, ini merupakan
perasaan-perasaan religius adalah bagian dari tugas subjek-superjek.
Subjek-superjek adalah maksud proses yang
menciptakan perasaan-perasaan. Perasaan-perasaan tidak dapat dipisahkan dari
akhir yang ditujunya dan akhir ini adalah sang perasa. Perasaan-perasaan adalah
apa yang ada agar subjeknya dapat menjadi apa adanya. Karena itu, secara
transenden karena sang subjek adalah apa yang berdasarkan perasaan-perasaan,
hanya melalui perasaan-perasaannya maka sang subjek mengondisikan secara
objektif kreativitas mentransenden di luar dirinya. [54]
Keberadaan Ahmadiyah yang mungkin bisa juga
dikatakan bagian dari pola keberagamaan yang inklusif, terbuka bagi siapa saja
yang ingin mengikuti ajaran Ahmadiyah. Hal itu seakan-akan mengindikasikan
bahwa ajaran Ahmadiyah, dengan menekankan bahwa Nabinya adalah Mirza Ghulam
Ahmad merupakan muncul entitas aktual yang proses dalam menjalankan agamannya.
Karena itu, landasan filosofis dari munculnya ajaran Ahmadiyah sebagai proses
beragama disebabkan karena beberapa hal.
Pertama, hal itu muncul dari kebertentuan
dari yang aktual muncul dan keeksklusifan objek-objek abadi di dalam fungsi
mereka sebagai determinan. Jika satuan aktual adalah ini, maka karena hakikat
ini kasus dari ajaran Ahmadiyah ia bukanlah itu dan itu. Hal itu menegaskan
bahwa tujuan dari hakikat yang diinginkan dari semua agama Islam dan aliran
keagamaan ajaran Ahmadiyah, ini menunjukkan bahwa hakekat setiap ajaran agama,
maupun di dalam Ahmadiyah, itu bersifat subjektif. Melainkan karena ajaran
Ahmadiyah yang subjektif, fenomena pengalaman religius yang tuju adalah Tuhan,
bukan persoalan Nabi maupun Wahyu.
Kedua, terkait dengan perasaan konseptual
adalah perasaan akan suatu objek abadi dalam kaitannya dengan kapasitas umum
sebagai determinan karakter, yang dengan cara itu mencakup kapasitas
keeksklusifannya. Dengan berpijak pada hal, itu saya berusaha mengasumsikan,
ini benar atau tidak, sejauh pemahaman saya, objek-objek abadi ini adalah
mewujudkannya perasaan manusisa akan nabinya Nabi, baik itu Nabi Muhammad
maupun Nabi Mirza Ghulam Ahmad, bagi kaum Ahmadiyah. Nabi-Nabi itu merupakan
objek-objek abadi dan ini merupakan bagian dari satuan-
satuan aktual yang akan memungkinan adanya
perasaan- perasaan religius untuk selalu berproses atas objek-objek abadi yang
diprehensikan setiap unsur manusia beragama, termasuk kaum Ahmadiyah.
Bagi Whitehead, pengalaman religius ialah
the rightness of the very nature of things dan bukan adanya Tuhan yang
berpribadi. Melalui penyimpulan, melalui penggambaran metafisis mencari
syarat-syarat yang memungkinkan adanya kosmos atau dunia konkret ini, dapatlah
diketahui bahwa dunia yang kita diami ini tak mungkin, eksis, tak mungkin
terpikirkan, apabila tidak ada sang entitas aktual yang dalam agama-agama
disebut Tuhan.[55]
Karena itu, kita dapat memahami dalam konteks ini, kategori entitas aktual itu
adalah manusia dan nabinya.
Satuan aktual, Tuhan merupakan satuan
aktual yang memprehensi dalam entitas aktual dalam diri manusia, sehingga
setiap kesadaran belaka, pengalaman religius, penginderaan, emosi belaka, penampakan
belaka mengandung entitas occasion, untuk menuju entitas aktual. Tentunya, di
dalam entitas aktual juga ada kebebasan dan kreatifitas.
Penulis melihat proses pengalaman religius
yang dimiliki kaum Ahmadiyah melalui ajaran yang diusung Mirzam Ghulam Ahmad
sebagai pembaharu dan Nabi ini merupakan suatu kreatifitas dan kebebasan dari
kaum Ahmadiyah dalam memahami Nabinya. Sehingga di dalam kebebasan manusia
boleh menentukan pilihan dan keyakinan, melainkan hal itu bagian dari
kreatifitas manusia dalam konteks keagamaan.
Fenomena Ahmadiyah bagian dari proses
keberagaaman dalam melihat ajaran kaum Ahmadiyah. Kebebasan dan kreatifitas
dalam dogma dan doktrin ajaran Ahmadiyah merupakan hal yang sangat signifikan
sekali untuk menekankan bahwa ternyata setiap pengalaman
religius dengan munculnya aliran sempalan dalam hal keberagamaan seperti
Ahmadiyah, menunjukkan agama itu ternyata sebagai proses beragama untuk
“menjadi”.
Perlu kita pahami, bahwa kreatifitas bukan
suatu agen luar dengan maksud-maksud tersembunyinya sendiri, semua satuan
aktual memiliki karakteristik penyebabnyanya bersama Tuhan. Karena alasan ini
setiap satuan aktual bersama Tuhan juga memiliki karakteristik mentransdensikan
semua satuan aktual lainnya, termasuk Tuhan.[56]
Karena itu, proses ajaran Ahmadiyah dalam memahami Nabi nya, merupakan kebaruan
sebagai proses beragama.
Dalam pandangan Whitehead, perlunya
transformasi gradual dari bentuk-bentuk religius yang sudah ada menuju tingkat
generalitas yang lebih tinggi inilah lazim dikumandangkan oleh para nabi dan
para pembaharu, dan merupakan arah ke mana agama sebagai proses, sebagai
sesuatu yang “menjadi”, harus menunjukkan dirinya.[57] Karena itu, saya beranggapan Nabi Mirzam Ghulam dari ajaran Ahmadiyah
sesungguhnya merupakan upaya transformasi dari satuan aktual dari Tuhan dan
Nabi. Kaum Ahmadiyah adalah sebuah bagian dari entitas-entitas aktual yang
berproses menuju kepenuhan dengan didukung oleh substansi aktivif dalam upaya
memahami ajaran Ahmadiyah.
Proses keberagamaan kaum Ahmadiyah in
merupakan satuan aktul, keterberian, dan proses dari Tuhan. Tuhan sudah
memprehensi dalam diri umat Ahmadiyah, sehingga memunculkan upaya pemahaman
ajaran Ahmadiyah yang berbeda dengan agama Islam pada umumnya. Kaum Ahmadiyah
memiliki potensi dan kebebasan dalam meyakini Nabinya Mirzam Ghulam, karena itu
berkaitan dengan potensi dan bahkan subtansi aktivis yang telah diberikan oleh
Tuhan. Proses itu dibentuk oleh masuknya objek-objek abadi ke dalam suatu
kebertentuan baru perasaan yang menyerap dunia aktual ke dalam suatu aktualitas
yang baru. Entitas aktual kaum Ahmadiyah harus dipahami sebagai proses
pencarian akan Nabinya dalam meyakini dan memahami Nabi serta Tuhannya.
Whitehead
dalam fungsi rasio memiliki dua cara, yakni fungsi rasio praktis dan rasio
konseptual. Pada tataran fungsi rasio konseptual, manusia mencari kebenaran
pengetahuan dari gagasan yang baru sebaga proses dinaminasi. Dalam hal ini
ontologi whitehead memiliki pengaruh yang besar dalam ajaran Ahmadiyah yang
dikatakan sebagai pembaharu. Karena umat Ahmadiyah sedang berproses menuju
hal-hal yang baru. Bukanlah yang mengulang-ulang dan paten.
2. Sumbangan Ontologi Whitehead
dalam Agama
Dalam
konteks ini, pengalaman religius kaum Ahmadiyah sudah seharusnya dilihat
sebagai fakta atas kondisi sosial-keagamaan di Indonesia. Pengalaman yang
menggejala di mana –mana itu berupa pemahaman langsung mengenai adanya suatu
peran, suatu karakter, yang mewujudkan diri dalam alam semesta aktual. Di dalam
karakter itu, dapat ditemukan prasyarat-prasyarat metafisis tertentu. Kita
mesti yakin pula bahwa doktrin-doktrin metafisisnya memiliki dasar yang kukuh,
yang dimiliki kaum Ahmadiyah.
Agama
sebagai sebuah dogma dan doktrin tentunya memiliki juga sebuah proses dan tidak
hanya mengandalkan individual saja, doktrin itu berproses Hal itu sebagaimana
dikatakan oleh Whitehead : The doctrine of the “individual independence of real
facts” raises additional problems when one explicity recognize that it implies
the “individual independence temporal occasion” Whitehead now turn his
attention to this aspect of the problem [58]
Karena itu, proses ontologi kaum Ahmadiyah
bergerak dalam wilayah pemikiran, penghayatan, perasaaan aktual yang setiap
saat terjadi bersama dengan yang lain.. Karena itu, Whitehead mengatakan pandangan
tentang agama, tidak bisa dilepaskan dari dogma dan doktrin, Whitehead tetap
peduli pada segi perasaan yang bersumber dari doktrin dan dogma dalam sebuah
peribadatan hidup beragama. Peribadatan dan perasaan perlu dintegrasikan dengan
ajaranya. Hal ini adalah bagaimana nilai-nilai doktrin setiap agama harus
berproses bersama dengan entitas aktual lainnya.
Keberadaan Ahmadiyah dengan ritual dan
ajarannya itu merupakan wujud dari ekspresi. Setiap ekspresi membutuhkan
dukungan dari yang lain. Ekspresi, muncul karena pemahaman terhadap dogma dan
doktrin. Ekpresi itu menunjukkan bahwa keberadaan pengamalan religius, itu
adalah kesendirian, di dalam kesendirian ia akan kembali pada masyarakat
(society), tidak ada kesendirian yang mutlak. Setiap entitas perlu dukungan
yang lain. Begitu juga manusia tidak mampu mengucilkan diri dari masyarakatnya.
Dengan begitu, kita dapat memahami bahwa
kehadiran Kaum Ahmadiyah dalam bagian dari agama Islam ini hadir, sebagai
entitas aktual yang mengalami “kebaruan”, untuk menemukan identitas, serta
kebebasan dan kreatifitas bagi setiap penganut Ahmadiyah. Kreatifitas penganut
Ahmadiyah adalah wujud nyata, bahwa kreatifitas, prehensi yang dihadirkan Tuhan
kepada penganut Ahmadiyah. Ada beberapa hal yang menarik untuk dianalisa lebih
lanjut mengenai kreatifitas penganut
kaum Ahmadiyah dalam ontologi Whitehead terhadap sumbangan agama di dunia Islam.
Pertama, berkaitan dengan kreatifitas,
kreatifitas tidak harus dimaknai sebagai kreatifitas secara fisik. Akan tetapi,
dalam konteks agama, kreatifitas bisa juga bisa ditafsirkan, sebagai
kreatifitas yang transendental, sebab apa, proses beragama kaum Ahmadiyah ini
muncul karena dilandasi sebuah keyakinan dan kepercayaan atas doktrin-doktrin
dari Ahmadiyah. Di sinilah letak ontologi Whitehead, ketika dikaitkan dengan
proses beragama Ajaran Ahmadiyah.
Kedua, karakter dan keunikan, tidak harus
dipikirkan secara umum sebagai perilaku dan tindakan yang nyata. Akan tetapi,
dalam hal agama, karakter dan keunikan
bagi penganut Ahmadiyah hal-hal yang berkaitan transenden, pengalaman
religius yang sesungguhnya dilakukan dalam aktivitas ritual keagamaan itu
mencerminkan dari perasaan- perasaan ontologis, yang melibatkan banyak bentuk
bentuk dasar entitas aktual, sehingga melahirkan satuan-satuan aktual yang akan
bermuara pada Tuhan dan hakekat yang ingin dituju bagi penganut Ahmadiyah.
Setiap ajaran Ahmadiyah adalah proses “menjadi”.
Dalam konteks ini, proses beragama penganut
ajaran Ahmadiyah ini sebenarnya bisa dikategorikan dalam analisis Whitehead
sebagai metafisika spekulatif. Sebab apa, kategori ini masuk ke dalam kategori
konseptual. Maksudnya, spekulatif ini, adalah kategori yang digeneralisasikan
dari sistem konseptual yang mencakup semua unsur pengalaman.[59]
Keberadaan agama dalam artian ajaran
Ahmadiyah ini akan menemukan kebenaranya jika disandingkan dengan metafisika.
Sebab apa, agama merupakan kerinduan dari roh bahwa hal-hal aktual akan mampu
menemukan pembenaran dalam ranah kenyataan.[60]
Hal ini yang mendasari nilai-nilai kegunaan dari ontologi Whitehead untuk
menyumbangkan pada agama, sehingga ketika ajaran Ahmadiyah hadir dalam agama
itu menjadi ada dan benar, sebab penganut ini masih “berproses” dan “menjadi”.
Fakta ini harus kita pahami sebagai sebuah kebenaran dalam hal agama, atau
mungkin analisa ini lebih merupakan bagian dari teologi proses bagi penganut
Ahmadiyah.
Dengan demikian, kita harus menyadari,
bahwa proses beragama ajaran Ahmadiyah di Indonesia harus dimaknai sebagai
“menjadi”, sebagai entitas aktual, yang melibatkan prehensi-prehensi dan
pengalaman religius bagi penganut Ahmadiyah. Whitehead dalam “Religion in the Making” (1926),
mengatakan bahwa pada mulanya agama merupakan kesendirianya (soliter) atau
invidual, tapi pada tahap perkembanganya agama membutuhkan entitas aktual yang
lain, di dalam kesendirianya itu agama mempunyai kesadaran religius untuk menghayati
doktrin-doktrin yang diyakini dengan tujuan menemukan “kebaruan”, di antara
perbedaan keyakinan pada umumnya atau satuan aktual yang lain sehingga menjadikan
yang lain tetapi terikat dalam satuan-satuan aktual yang mengarahkan pada
subtansi aktif, dengan berdasarkan pada landasan pada ontologi Whitehead,
setiap subtansi dan objek-objek abadi dalam doktrin dan dogma agama itu terus
berproses.
Dengan demikian, dalam hubungan entitas
aktual, penganut Ahmadiyah yang sedang proses dalam beragama, sebagaimana
analisa dari Whitehead, penganut Ahmadiyah ini berproses secara makrokosmik.
Secara makrokosmik, perpindahan aktualitas, yang telah dicapai kepada aktualitas
yang lain, perpindahan dari ajaran agama Islam pada umumnya menuju aktualitas
yang baru, yakni ajaran Ahmadiyah, sehingga kita dapat menafsirkan bahwa ontologi Whitehead
sangat menyetujui dari karakter dan ajaran Ahmadiyah sebagai agama, dalam proses
setiap saat sesuai dengan peristiwa yang di alami.
Dengan
begitu, sumbangan ontologi Whitehead dalam proses beragama dari ajaran
Ahmadiyah ini menemukan pembenarannya dalam agama. Oleh karena itu, kita tidak
boleh menyesatkan dan mengkafirkan dari ajaran Ahmadiyah. Sebab apa, itu bagian
dari proses beragama dari ajaran Ahmadiyah, untuk “menjadi”. Intinya, kehadiran
eksistensi ajaran Ahmadiyah di Indonesia adalah bagian dari “proses”.
Hasil
Kajian Ahmadiayah
Dalam membahas persoalan ontologi Whithead bukanlah
hal yang mudah sekali. Saya merasakan sekali sulitnya untuk memahami dan
menemukan titik tolak dari ontologi Whitehead yang begitu ketat dan banyak
istilah-istilah yang digunakan, semisalnya mengenai proses, entitas aktual,
kreatifitas, Tuhan, objek-objek abadi, dan konsep subtansi.
Dari kajian ontologi Whitehead terkait
dengan proses beragama ajaran Ahmadiyah di Indonesia di atas dapat disimpulkan,
bahwa Ajaran Ahmadiyah sebagai sebuah agama tetap mengakui sebagai agama Islam.
Karena itu, ajaran Ahmadiyah merupakan agama Islam yang secara terus menerus
menyusun dogma dan doktrin menjadi sistem yang koheren, logis, adekuat dan
aplikatif. Agama Islam yang berkembang dalam aliran sempalan keagamaan
Ahmadiyah sesungguhnya berada dalam proses, sesuatu yang “menjadi”.
Dengan begitu, kita harus memahami
perbedaan ajaran Ahmadiyah dalam agama Islam secara umum dan itu bagian dari
filsafat proses. Whitehead pun mengatakan bahwa setiap pengalaman manusia itu
merupakan suatu perubahan dan proses manusia yang berbeda dengan yang lain,
untukmenciptakan “kebaruan”, dengan adanya satuan-satuan aktual. Hal itu
semakin menegaskan bahwa pemikiran Whitehead ingin menekankan pada adanya
pluralitas atau kemajemukan realitas.
Setiap kemajemukan dan pluralitas yang
berbeda antar indinvidu yang satu dengan indvidu yang lain adalah hal yang
wajar, karena dengan adanya perbedaan ajaran Ahmadiyah adalah suatu bentuk dan
bagian dari proses, di mana setiap subjek yang berbeda, adalah berkaitan dengan
satuan aktual yang lain dalam menuju :kebaruan” dan “proses menjadi”. Oleh
karena itu, kita dapat menegaskan bahwa keberadaan dari ajaran Ahmadiyah di
Indonesia sebagai aliran keagamaan itu adalah proses pengalaman religius dari
tiap tiap manusia untuk “menjadi‟ yang baik dan menciptakan kreatifitas dan
keunikannya secara transendental.
D. PENJELASAN
TENTANG FATWA ALIRAN AHMADIYAH
Musyawarah
Nasional (MUNAS) VII MUI tanggal 26-29 Juli 2005 M./19-22 Jumadil Akhir 1426 H.
menegaskan kembali fatwa dan keputusan
MUNAS II MUI tahun 1980 tentang Ahmadiyah sebagai aliran yang berada di luar
Islam, sesat dan menyesatkan serta menghukumi orang yang mengikutinya sebagai
murtad (telah keluar dari Islam). Meski demikian, dalam fatwa tersebut MUI
menyerukan mereka yang telah terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah untuk kembali
kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq) sejalan dengan al- Qur’an
dan Hadis. Dalam fatwa tersebut juga dinyatakan bahwa pemerintah berkewajiban
untuk melarang penyebaran faham aliran Ahmadiyah di seluruh Indonesia,
membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.
Dengan
fatwa tersebut, ada tiga point yang harus digaris-bawahi :
1. Aliran
Ahmadiyah adalah kelompok yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan,
serta orang yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
2. Dengan
adanya hukum murtad tersebut, MUI menyerukan mereka yang telah terlanjur
mengikuti aliran Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejalan
dengan al-Qur’an dan Hadis (al- ruju’ ila al-haqq).
3. Pelaksanaan
butir-butir fatwa yang terkait dengan pelarangan aliran Ahmadiyah di wilayah
negara Republik Indonesia harus dikoordinasikan kepada pihak-pihak terkait,
karena yang memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi adalah Pemerintah
selaku ulil amri. MUI tidak membenarkan segala bentuk tindakan yang merugikan
pihak lain, apalagi tindakan anarkis terhadap pihak- pihak, hal-hal atau
kegiatan yang tidak sejalan dengan fatwa MUI ini.
Seluruh
fatwa MUNAS VII MUI, termasuk fatwa tentang Aliran Ahmadiyah, dijaring dari
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat dalam berbagai forum,
seperti Rakorda, Rakernas, Musda, dan berbagai surat serta e-mail yang diterima
oleh MUI. Fatwa tentang Aliran Ahmadiyah diputuskan setelah terlebih dahulu
dilakukan studi yang mendalam atas ajaran-ajaran Ahmadiyah dengan menggunakan
pendekatan historis dan studi kepustakaan (library research), yaitu dengan cara
menelusuri sejarah Ahmadiyah, mengkaji kitab-kitab dan
tulisan
karya Mirza Ghulam Ahmad dan para tokoh Ahmadiyah serta mengkaji dua kelompok
Ahmadiyah dan ajarannya masing-masing dengan merujuk langsung berbagai
literature asli terbitan mereka.Selain itu, tentu saja dilakukan pula kajian
yang mendalam terhadap al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Aqwal Ulama serta keputusan-
keputusan fatwa ulama di dunia Islam.
Aliran
Ahmadiyah adalah aliran yang mengikuti ajaran Mirza Ghulam Ahmad al-Qodiyani
dan berdiri pada tanggal 23 Maret 1889. Mirza Ghulam Ahmad sendiri lahir di
Qodiyan, nama sebuah desa di India, pada
tanggal 13 Februari 1835 dan meninggal pada 26 Mei 1908.[61]
Pada
awalnya (tahun 1882) Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid (reformer),
namun pada tanggal 4 Maret 1889 Mirza Ghulam Ahmad mengaku dan mengumumkan
dirinya menerima wahyu langsung dari Tuhan yang menunjukknya sebagai al-Mahdi al-
Ma’huud (Imam Mahdi yang dijanjikan) dan agar umat Islam berbai’at kepadanya.[62] Pada
23 Meret tahun itu pula Ghulam Ahmad menerima bai’at 20 orang dari kota
Ludhiana, di antara mereka terdapat Hadrat Hakim Nurudin yang kelak menjadi
Khalifah al-Masih I, pemimpin tertinggi Ahmadiyah.
Pada
tahun 1890 Mirza Ghulam Ahmad membuat pengakuan yang lebih menghebohkan. Ia
mengatakan, selain sebagai al-Mahdi ia juga mengaku mendapat wahyu dari Allah
yang menyatakan bahwa Nabi Isa a.s., yang dipercaya umat Islam dan umat Kristen
bersemayam di langit, sebenarnya telah wafat.[63]
Menurut
Mirza Ghulam Ahmad, janji Allah untuk mengutus Nabi Isa kedua kalinya ke dunia
diwujudkan dengan jalan menunjuk dirinya sebagai al-Masih al-Mau’ud (al- Masih
yang dijanjikan). [64]
Penunjukan Allah terhadap Mirza Ghulam Ahmad tersebut menurutnya
adalah ”wahyu” sebagaimana termuatdalam Kitab Tadzkirah[65] yang
berbunyi sebagai berikut :“al-Masih anak Maryam, rasulullah, telah wafat.
Sesuai dengan janji, engkau datang menyandang warna sifatnya. Janji Allah pasti
akan genap”.[66]
Dengan
pengakuan ini, maka menurut Ahmadiyah, dalam diri Mirza Ghulam Ahmad terdapat
dua personifikasi, yaitu al-Masih yang dijanjikan dan al-Mahdi yang dinantikan.[67]Pada
tahun 1901, Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya diangkat oleh Allah sebagai nabi
dan rasul. Pengakuan sebagai nabi dan rasul itu dapat dilihat dalam berbagai
buku dan tulisan Mirza Ghulam Ahmad, baik dalam buku-buku karyanya sendiri
maupun dalam tulisannya di berbagai media massa, seperti surat kabar atau
majalah.[68]
Fatwa
dan Sikap Dunia Islam
Berdasarkan
kajian yang mendalam dan fakta-fakta ajaran mereka para ulama Pakistan dan
India sepakat menghukumi kafir kepada Mirza Ghulam Ahmad serta kedua kelompok
pengikutnya tersebut sejak 70 tahun yang lalu. Pelarangan Ahmadiyah juga
dilakukan oleh berbagai negara/pemerintahan muslim seperti Malaysia, Brunei,
Saudi Arabia dan berbagai negara Islam lainnya.
DinegaraPakistan,Ahmadiyahdigolongkansebagaiminoritasnon-
muslim. Pada tanggal 26 April 1984 pemerintah Pakistan menetapkan ketentuan
bahwa pengikut Mirza G A (Qodiyan dan Lahore) merupakan non-muslim dan melarang
mereka menggunakan istilah dan simbol- simbol Islam untuk menyesatkan kaum
muslim, seperti masjid, azan, ummahatul mu’minin, khulafa rasyidun, dan
shahabat. Menanggapi peraturan ini, pengikut Ahmadiyah mengajukan banding
kepada pengadilan syari’ah. Kemudian pada tanggal 15 Juli 1984, pengadilan
syari’ah Pakistan menolak tuntutan banding pengikut Ahmadiyah dan menguatkan
keputusan pemerintah. Selanjutnya pengikut Ahmadiyah mengajukan banding ke pengadilan
yang lebih tinggi. Pada
tanggal 3 Juli 1993, setelah melalui
proses peradilan dari tahun 1988-1993 Mahkamah Agung (supreme court) Pakistan
memutuskan bahwa Aliran Ahmadiyah bukan merupakan bagian dari agama Islam,
pengikutnya digolongkan sebagai non muslim, dan menetapkan Aliran Ahmadiyah
sebagai agama minoritas seperti Kristen dan Hindu.
Selain
itu, para ulama dari berbagai negeri Islam lain yang terdiri dari 144
organisasi Islam dan tergabung dalam organisasi Rabithah Alam Islami dalam
keputusannya di Mekkah al-Mukarromah
pada
tahun 1973 secara bulat (ijma’) juga menfatwakan Ahmadiyah kelompok yang kafir,
keluar dari Islam. Bahkan dalam Konferensi Organisasi-Organisasi Islam se-dunia
pada tanggal 6-10 April 1974, dibawah anjuran Rabithah ‘Alam Islami,
merekomendasikan antara lain : (1) Setiap lembaga Islam harus melokalisir
kegiatan Ahmadiyah dalam tempat ibadah, sekolah, panti dan semua tempat
kegiatan mereka yang destruktif; (2) Menyatakan Ahmadiyah sebagai kafir dan
keluar dari Islam; (3) Memutuskan segala hubungan bisnis dengan mereka;
(4)
Mendesak pemerintah-pemerintah Islam untuk melarang setiap kegiatan pengikut
Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap mereka sebagai minoritas non-Islam.
Kekufuran
Ahmadiyah juga telah ditetapkan oleh Fatwa ulama negara-negara Organisasi
Konferensi Islam (OKI), yaitu dalam fatwa Majma’ al-Fiqh al-Islami OKI, melalui
keputusannya No 4 (4/2) dalam Muktamar kedua di Jeddah Arab Saudi pada tanggal
10-16 Rabi’ al-Tsani 1406 H./22-28 Desember 1985. Dalam fatwa tersebut
dinyatakan :
“Sesungguhnya
apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah
yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah
pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya
secara qath’i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad
Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang
akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan seperti yang
diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pengikutnya
menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah
adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa
Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi
Muhammad SAW”.
Fatwa
serupa ini juga telah ditetapkan oleh lembaga-lembaga fatwa/ulama di berbagai
negara Islam. Di Mesir, misalnya, Majma’ al-Buhuts juga telah menetapkan fatwa
kafir terhadap Ahmadiyah.
E. Kontradiksi
Pandangan HTI atas Pancasila
Sebagai
organisasi trans-nasional, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang merupakan cabang
Indonesia dari Hizbut Tahrir (HT) internasional; tentu mengembangkan paham
keagamaan yang melampaui kebangsaan. Ini terlihat pada cita-cita untuk
menegakkan khilafah Islamiyah, berporos di Indonesia. Dalam konteks inilah
menjadi penting memahami pandangannya atas Pancasila, karena hal ini
menggambarkan inti pandangan ideologisnya atas bangunan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
HT
sendiri adalah organisasi Islam yang didirikan oleh Taqiyudin Al-Nabhani.
Organisasi ini mendeklarasikan diri sebagai partai politik meskipun menolak
terlibat dalam sistem demokrasi (pemilu). Sebagai partai yang menolak
demokrasi, HT ingin menawarkan konsep politik yang sama sekali berbeda dengan
demokrasi, yakni khilafah Islamiyyah. Sebuah sistem politik yang mereka klaim,
otentik Islam dan bersumber langsung pada praktik kenegaraan Nabi Muhammad SAW.
Pada
awalnya, Taqiyudin melontarkan kritik kepada Ikhwanul Muslimin (IM).
Sebuah gerakan Islam
kawakan yang dilahirkan
oleh Hassan Al-Banna di Mesir. Kritik Taqiyudin kepada IM terletak pada
akomodasi IM terhadap sistem demokrasi, sehingga IM hendak menerapkan syariat
melalui mekanisme demokratis (pemilu).[69]
Sikap seperti ini menurut Taqiyudin terlalu moderat dan tidak merasuk ke dalam
jantung persoalan umat Islam, yakni hegemoni demokrasi atas sistem politik
Islam. Perseteruan antara HT dan IM ini berlanjut hingga pada perebutan massa,
karena meskipun keduanya masuk dalam kategori gerakan Islam radikal, namun
masing-masing memiliki kiblat pemikiran yang berbeda.
Sayangnya
garis politik HT yang radikal ini kemudian berbenturan dengan realitas politik
umat Islam itu sendiri. Mengapa? Karena sebagian besar negara Timur-Tengah
telah lama mengadopsi sistem negara- bangsa, sehingga di negara-negara
Timur-Tengah yang nota bene Dunia Islam, HT sering berbenturan dengan
pemerintah negeri setempat. Sejak dideklarasikan pada tahun 1953 di Al-Quds
(saat itu di bawah yurisdiksi Yordania yang dikuasai Inggris), HT senantiasa
berseberangan dengan pemerintah yang berkuasa dan juga dengan para aktivis
nasionalisme Arab.
Pemerintah
Yordania segera melarang HT dan melakukan penangkapan terhadap sejumlah
pengurus teras, tidak lama setelah partai ini dideklarasikan. Taqiyudin bersama
Dawud Hamdan ditangkap di Al-Quds, sementara Munir Syaqir dan Ghanim Abduh
ditangkap di Amman. Lalu beberapa hari berikutnya, Dr. Abd Al-Azizi Al-Khiyath juga ditangkap, semuanya dijebloskan dalam
penjara. Berkat petisi sekelompok wakil rakyat, Taqiyudin kemudian dibebaskan.
Sejak
saat itu HT harus bergerak secara underground, menjadi gerakan clandestine di
Yordania dan Syiria. Pada November 1953, Taqiyudin berpindah ke Damaskus. Saat
itu intelijen Syiria membawa Taqiyudin ke perbatasan Syiria-Lebanon. Atas
bantuan Mufti Lebanon, Syekh Hasan Al-Alaya, akhirnya ia diizinkan masuk ke
Lebanon yang sebelumnya melarangnya. Taqiyudin lalu menyebarkan pemikirannya di
Lebanon dengan leluasa sampai tahun 1958, yaitu ketika pemerintah Lebanon mulai
mempersempit kehidupannya karena merasakan bahaya dari pemikirannya. Akhirnya,
Taqiyudin berpindah dari Beirut ke Tharablus dan terpaksa mengubah
penampilannya agar leluasa menjalankan kepemimpinan HT. Sejak saat itulah
gagasan dan gerakan HT harus disebarkan secara diam-diam, sehingga mulai
menyebar terutama di Yordania, Syiria dan Lebanon.
Kehadiran
HT di Indonesia bisa dibilang secara tak sengaja. Adalah Kiai Abdullah bin Nuh,
pemilik Pesantren Al-Ghazali, Bogor yang mengajak Abdurrahman Al-Baghdadi,
seorang aktivis HT yang tinggal di
Australia untuk menetap di Bogor pada
kisaran 1982-1983. Pada
saat mengajar di Pesantren tersebut, Abdurrahman mulai berinteraksi
dengan para aktivis masjid kampus di Masjid Al-Ghifari, IPB Bogor. Dari sini
pemikiran Taqiyudin Al-Nabhani, pendiri HT mulai didiskusikan. Dibentuklah
kemudian halaqah-halaqah (pengajian-pengajian kecil) untuk mengeksplorasi
gagasan-gagasan HT. Para aktivis inilah yang kemudian menyebarkan gagasan HT,
termasuk putra Abdullah bin Nuh, Muhammad Mustofa yang telah menjadi aktivis di
HT sejak kuliah di Yordania. Melalui jaringan Lembaga Dakwah Kampus (LDK),
ajaran HT menyebar ke
kampus-kampus di luar Bogor, seperti UNPAD, IKIP Malang, UNAIR bahkan hingga
keluar Jawa, seperti UNHAS.[70]
Merasa
mendapat sambutan antusias, sebuah konferensi internasional bertajuk Khilafah
Islamiyyah digelar di Istora Senayan pada 2002. Konferensi ini menghadirkan
tokoh-tokoh HT dari dalam dan luar negeri sebagai pembicara. Konferensi ini
juga menandai lahirnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini langsung
memproklamirkan diri sebagai partai politik berideologi Islam. Namun berbeda
dengan partai Islam lainnya, HTI menolak untuk masuk dalam sistem politik di
Indonesia sehingga ia tidak mengikuti
pemilihan umum (pemilu). Penolakan ini merupakan bentuk baku dari HT
Internasional.3[71]
Kepemimpinan
HTI mulanya dipegang oleh Muhammad Al-Khattat, kemudian digantikan oleh Hafidz
Abdurrahman. Sedangkan juru bicara tetap dijabat oleh Ismail Yusanto. HTI sudah
memiliki kepengurusan di berbagai daerah, namun pola pergerakannya tetap
tertutup. Kecuali Dewan Pimpinan Pusat (DPP), di berbagai daerah tidak terdapat
papan nama HTI. Para kader mengembangkan pola komunikasi rahasia dengan
memaksimalkan teknologi berupa hand phone dan email.
1. Pandangan atas Pancasila
Pandangan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas Pancasila, menarik dan mengandung
kontradiksi. Di satu sisi, Pancasila disebut sebagai ideologi kufur yang harus
ditolak karena keburukan Pancasila di dalam dirinya sendiri. Di sisi lain,
Pancasila diterima sebagai seperangkat falsafah (set of philosophy). Sebagai set of philosophy, di
dalam dirinya sendiri, Pancasila merupakan gagasan yang baik. Persoalan hadir
ketika gagasan tersebut diturunkan oleh ideologi turunan yang dilakukan oleh
setiap rezim politik, yang dianggap berbeda dengan Pancasila.
Menurut
pandangan pertama, Pancasila adalah ideologi kufur. Hal ini digambarkan oleh
Ainur Rafiq, dengan mengutip nasyrah (selebaran) HTI yang bertajug,
Al-Banshasila Falsafah Kufr laa Tattafiq ma’a al-Islaam. Karena kekufuran ini,
Pancasila tidak sesuai dengan Islam. Dalam kaitan ini pengufuran Islam
dilandasi dua argumen.
Argumen
pertama, karena Pancasila mengakomodir pluralisme agama. Hal ini terdapat pada
sila Persatuan Indonesia yang menjaga dan menghormati kemajemukan bangsa,
salah satunya kemajemukan agama. Penghargaan atas kemajemukan agama ini
bertentangan dengan prinsip HTI yang menekankan kebenaran tunggal agama Islam.
Argumen kedua, karena Pancasila berisi kemajemukan ideologi (mabda’) dengan
mengakomodir ideologi-ideologi non-Islam, seperti sosialisme, demokrasi dan
nasionalisme. Padahal menurut HTI, mabda’ yang paling benar adalah mabda’
Islam. Dengan argumentasi ini, maka Pancasila adalah falsafah kufur yang
bertentangan dengan Islam.[72]Sementara
itu menurut pandangan kedua, Pancasila bukanlah ideologi kufur, melainkan
seperangkat falsafah (set of philosophy).
Seperangkat
falsafah ini baik di dalam dirinya sendiri karena memuat gagasan filosofis
berupa ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Dengan
demikian tidak ada yang bermasalah di dalam rumusan Pancasila, karena ia memang
merupakan rangkaian gagasan filosofis yang baik.
Pandangan
ini dinyatakan oleh juru bicara HTI, M. Ismail Yusanto. Bagi Ismail, Pancasila
adalah gagasan filosofis yang baik. Hanya saja sebagai set of philosophy, ia
tidak mencukupi (not sufficient) untuk mengatur tata pemerintahan di Indonesia.
Mengapa? Selain karena jumlahnya yang hanya lima sila, Pancasila hanya merupakan
gagasan filosofis yang tidak memiliki turunan sistemik di dalam
realitas politik. Turunan sistemik ini menyangkut sistem hukum yang mewujudkan
keadilan sosial, sistem politik yang mendukung kerakyatan, sistem ekonomi yang
mendukung kesejahteraan, dsb. Dengan tidak adanya rumusan sistem sebagai
ejawantah dari Pancasila ini, maka set of philosophy tersebut tidak mencukupi
dalam kerangka ketatanegaraan dan tata politik.
Karena
ketiadaan sistem turunan dari Pancasila inilah, maka perwujudan nilai-nilai
Pancasila kemudian dilakukan oleh ideologi- ideologi selain Pancasila. Ideologi
itu merujuk pada penggunaan sosialisme oleh Soekarno sebagai ejawantah
Pancasila di era Orde Lama; kapitalisme oleh Soeharto di era Orde Baru dan
neo-liberalisme oleh rezim pasca-Reformasi 1998. Dengan demikian, Pancasila era
Orde Lama adalah Pancasila yang sosialistik; Pancasila era Orde Baru adalah
Pancasila yang kapitalistik dan Pancasila era Reformasi adalah Pancasila yang
neo- liberalistik. Hal inilah yang bermasalah bagi HTI.
Oleh
karena itu, titik perlawanan HTI tidak mengarah pada Pancasila, melainkan
kepada sosialisme, kapitalisme, dan neo-liberalisme yang digunakan rezim
politik di Indonesia untuk mewujudkan
nilai- nilai Pancasila.
Sosialisme dikritik oleh HTI karena sifatnya yang sekular. Sedangkan
kapitalisme dan neo-liberalisme dilawan HTI sebab sistemnya yang menindas umat
dan merupakan “anak kandung” dari sekularisme.
Pada
titik ini, pandangan Ismail bertentangan dengan pandangan pertama yang menyebut
Pancasila sebagai ideologi kufur. Hal ini beralasan karena bagi Ismail, Islam
dan Pancasila tidak bisa diperhadapkan. Mengapa? Karena Pancasila hanyalah
serangkaian gagasan filosofis. Ia merupakan hasil renungan para founding
fathers yang tidak absolut dan dinamis. Sementara itu Islam adalah agama, dan
ia turun langsung dari Allah. Menghadapkan keduanya sebagai binaritas
oposisional menjadi bermasalah, karena status kategoris dari keduanya yang
berbeda.
Dalam
kerangka ini, maka Ismail menekankan dasar perjuangan HTI yang justru berangkat
dari nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Argumentasinya sebagai berikut: “Jika rezim politik di
Indonesiamenggunakansosialisme, kapitalisme dan neo-liberalisme untuk menafsiri
dan merealisasikan Pancasila. Kenapa Hizbut Tahrir dilarang untuk menafsiri dan
mewujudkan Pancasila melalui syariat Islam? Justru perjuangan menegakkan
syariat merupakan komitmen kami atas sila ketuhanan, karena sebagai kaum
berketunanan, umat Islam memiliki syariatnya.”[73]
Penggunaan
syariah untuk menafsiri dan mewujudkan nilai-nilai Pancasila ini merupakan
kewajaran, sebab Islam juga memiliki kepedulian terhadap hal-hal yang
dilindungi oleh Pancasila. Oleh karenanya, pandangan HTI atas Pancasila yang
moderat ini tidak menggambarkan pemikiran HTI yang Pancasilais dan nasionalis,
tetapi tetap dalam kerangka Islamis. Artinya, gagasan filosofis yang mendasari
HTI bukanlah Pancasila itu sendiri. Melainkan syariat Islam yang pada satu
titik tidak bertentangan dengan Pancasila.
Pada
titik ini menarik mencermati pandangan HTI atas Piagam Jakarta. Bagi HTI,
Piagam Jakarta merupakan kesepakatan yang diciptakan oleh Soekarno. Dengan
demikian, tujuh kata, “Menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”
merupakan kalimat besutan Soekarno. “Tujuh kata” ini dibuat sebagai gentlemen
agreement atas dua tuntutan berbeda. Tuntutan pertama dari kaum Islam yang
menginginkan dasar negara Islam. Serta tuntutan kaum nasionalis yang menolak
dasar negara Islam. “Tujuh kata” dalam sila pertama merupakan pemberian
keistimewaan bagi umat Islam untuk mengamalkan syariat Islam. Hanya saja “tujuh
kata” ini ditolak oleh para pemimpin Islam, seperti Kiai Wahid Hasyim, Kahar
Muzakkar dan Ki Bagoes Hadikusumo karena tidak mencerminkan hakikat Islam.
Menurut mereka, syariat Islam tidak hanya berlaku bagi umat Islam, melainkan
kepada seluruh umat manusia dan
semesta alam. Hal ini dilandasi
oleh sifat Islam sebagai agama yang rahmatan lil‘alamin. Oleh karena itu, para
pemimpin Islamlah yang mengusulkan dihapuskannya “tujuh kata” dalam sila
pertama, yang kemudian disusul dengan interupsi wakil non-muslim dari Indonesia
Timur, yakni A.A. Maramis. Interupsinya senada dengan ketidaksepakatan para
pemimpin Islam atas “tujuh kata” tersebut.
Berdasarkan
realitas historis ini, maka HTI sampai pada kesimpulan bahwa umat Islam telah
kalah dua kali dalam perumusan bangunan negara. Kekalahan pertama terjadi pada
tidak dijadikannya Islam sebagai dasar negara. Kekalahan kedua terjadi pada
dihapuskannya “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta. Hanya saja kekalahan secara
konstitusional ini tampaknya tidak membuat HTI jera, sebab ia tetap
memperjuangkan tegaknya syariah meskipun saat ini harus tetap dalam kerangka
Pancasila. Dengan demikian, secara mendasar HTI tetap menerima Pancasila
sebagai gagasan filosofis, dan mendasarkan perjuangan penegakan syariah di
dalam rangka sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.[74]
Pertanyaannya,
ketika HTI menerima Pancasila sebagai set of philosophy, apakah ia juga
menerima Pancasila sebagai dasar negara? Pertanyaan ini mendasar karena
cita-cita politik HTI adalah pendirian khilafah Islamiyyah di Indonesia, yang
tentunya mendasarkan asas kenegaraannya kepada Islam.
Dalam
menjawab pertanyaan ini, Ismail mengajukan dua jawaban. Pertama, realitas
politik di Indonesia yang tidak selalu mendasarkan diri pada Pancasila sehingga
ia tidak benar-benar ditempatkan sebagai dasar negara. Hal ini terjadi karena
Pancasila sering ditempatkan sebagai “kedok politik” oleh dua kepentingan.
Yakni oleh sistem politik yang kemudian disebut Pancasilais untuk menormatifkan
sistem tersebut. Dengan cara ini, rakyat tidak memiliki alasan untuk menolak
sistem tersebut.
Hal
ini dilakukan oleh Orde Lama yang menyebut sistem Demokrasi Terpimpin sebagai
Pancasilais. Mengapa? Karena Demokrasi Terpimpin adalah sistem politik yang berupay
amewujudkan prinsip permusyawaratan dalam kepemimpinan hikmat/kebijaksaaan
sebagaimana termaktub dalam sila keempat, Pancasila. Hal sama terjadi pada Orde
Baru yang menamai sistem politiknya dengan Demokrasi Pancasila. Yakni sistem
demokrasi yang mendasarkan diri pada pemahaman atas Pancasila yang murni dan
konsekuen. Selain sebagai kedok sistem politik, Pancasila juga sering dijadikan
sebagai kedok kebijakan. Sayangnya sebagian besar kebijakan politik
pasca-Reformasi, ternyata lebih sering bertentangan dengan Pancasila, daripada
mencerminkan nilai-nilai falsafah bangsa tersebut.
Kedua,
sebagai set of philosophy, Pancasila hanyalah rumusan pemikiran dari founding
fathers. Oleh karenanya, kebenarannya tidak mutlak sehingga ia memiliki sifat
dinamis. Artinya, ia bisa saja ditambah, dikurangi, dikokohkan atau bahkan
ditiadakan. Dari sini terlihat bahwa HTI telah merelativisir Pancasila hanya
menjadi rangkaian gagasan filosofis yang bisa dibongkar-pasang setiap saat.
Pandangan ini dipilih HTI demi desakralisasi Pancasila. Karena Pancasila bukan
agama; ia bisa diganti, jika pergantian itu dibutuhkan. Baik pergantian dalam
batang tubuh Pancasila itu sendiri. Maupun pergantian Pancasila dengan dasar
negara yang lain, yakni Islam.
Hanya
saja mewacanakan penggantian Pancasila pada saat ini pasti bermasalah, seperti
bahaya amandemen UUD 1945 di era Orde Baru. Di era Orde Baru itu, pewacanaan
atas amandemen UUD 1945 merupakan wacana subversif yang dilarang oleh negara.
Namun bersamaan dengan pergantian rezim politik, amandemen UUD 1945 itupun
kini telah terjadi bahkan berulang kali. Oleh karena itu,
“amandemen Pancasila” bisa saja terjadi ketika kondisi politik memungkinkan.
Dalam kaitan ini, kemungkinan penggantian Pancasila bisa dilakukan melalui
kehendak rakyat/umat yang menginginkan penggantian itu. Proses ini senapas
dengan tahapan ketiga dari perjuangan HT, yakni marhalah istilam al-hukm, yang
merupakan proses penyerahan kekuasaan dari ahl al- quwwah (rakyat) kepada HT.
Penyerahan kekuasaan ini menggambarkan persetujuan umat dalam kerangka
pemberian mandat kepada HT untuk mendirikan khilafah Islamiyyah. Jika hal itu
terjadi, maka Pancasila sebagai dasar negara RI secara otomatis akan terganti
oleh konstitusi Islam. Pada titik ini, pandangan kedua HTI atas Pancasila, bisa
dirumuskan melalui bagan berikut:
Dari
bagan di atas terlihat bahwa lawan HTI bukanlah Pancasila, melainkan
ideologi-ideologi yang dijadikan oleh rezim politik Indonesia untuk mewujudkan
nilai-nilai Pancasila. Hal ini yang membuat HTI menyebut Pancasila sebagai
tidak mencukupi (not sufficient), karena ia masih memerlukan ideologi lain
untuk mengimplementasikan nilai- nilainya. Dengan demikian, ketika Pancasila
ditempatkan sebagai ideologi nasional, maka menurut HTI, ia bersifat tidak
mencukupi. Buktinya, para penguasa
Indonesia masih perlu menggunakan ideologi lain untuk menerjemahkan Pancasila.
Oleh
karena itu, ketika HTI mengajukan jargon “Selamatkan Indonesia dengan syariah”,
maka penyelamatan itu tertuju pada kelemahan sosialisme, kapitalisme dan
neo-liberalisme dalam menghantarkan rakyat kepada kesejahteraan. Meski tidak
melakukan perincian atas apa yang disebut sebagai sosialisme dan sosialisme di
era Soekarno, HTI telah mengajukan “talak tiga” kepada ideologi tersebut.
Hal sama
terjadi pada kapitalisme yang
dipahami sebagai ideologi Orde Baru, atau neo- liberalisme di era Reformasi.
Berbagai isme ini kemudian ditempatkan sebagai musuh bersama Islam, dan HTI
menawarkan Islam sebagai alternatif atas ketiga ideologi tersebut.
Pada
titik ini, pandangan HTI atas Pancasila menjadi jelas. Kejelasan ini terangkum
dalam beberapa hal. Pertama, HTI menerima Pancasila hanya sebagai gagasan
filosofis atau set of philosophy. Sebagai gagasan filosofis, Pancasila baik dan
tidak bermasalah serta selaras dengan prinsip- prinsip syariat Islam. Hanya
saja dengan menempatkan Pancasila an sich sebagai set of philosophy, HTI telah
meletakkan Pancasila menjadi gagasan filosofis biasa yang tidak memiliki
kemutlakan dalam konteks negara- bangsa Indonesia. Resikonya, Pancasila bisa
dibongkar-pasang; bisa ditambah atau dikurangi sila-silanya, atau bahkan bisa
diganti dengan dasar negara lain, meskipun saat ini HTI tidak mewacanakan
penggantian dasar negara tersebut.
Kedua,
dengan menempatkan Pancasila an sich sebagai set of philosophy, maka HTI tidak
menempatkan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Sebagai dasar
negara, Pancasila bersifat mutlak, sejak di dalam rumusan internalnya, maupun
dalam fungsi permanen sebagai dasar negara yang mendasari segenap tata lembaga
dan kebijakan politik di Indonesia. Sementara itu sebagai ideologi nasional,
Pancasila ditempatkan sebagai ideologi politik dalam kerangka nasionalisme
Indonesia. Dalam kerangka ini, Pancasila akhirnya menjadi dasar bagi pemikiran
politik rakyat Indonesia, dan mengarahkan cita-cita segenap masyarakat
Indonesia.[75]
Secara
implisit, HTI menolak kedua posisi ini, karena sejak awal ia memang mendasarkan
konsepsi politiknya pada Islam. Artinya, di dalam konsep politik khilafah,
dasar negara khilafah tentulah bukan Pancasila, melainkan Islam. Oleh
karenanya, dengan sifat relatif-dinamis dalam kerangka set of philosophy,
Pancasila tidak mutlak sebagai dasar negara, sehingga ketika kondisi politik
memungkinkan, ia bisa diganti.
Hal
sama terjadi pada posisi Pancasila sebagai ideologi nasional. Karena dasar
politik HTI adalah Islam, maka ideologi politiknya tentulah Islam, bukan
Pancasila. Oleh karena itu, HTI kemudian menawarkan Islam sebagai ideologi
alternatif untuk Indonesia. Meskipun common enemy dari ideologi Islam ini
bukanlah Pancasila, melainkan sosialisme, kapitalisme dan neo-liberalisme.
Namun HTI tidak mungkin menempatkan Pancasila setara dengan Islam. Mengapa?
Karena Pancasila hanyalah gagasan filosofis, sementara Islam adalah agama.
Sebagai agama, Islam
tentu di atas Pancasila, sehingga ketika Islam dipahami sebagai
ideologi, ia mengatasi dan melampaui ideologi Pancasila.
Penempatan
Islam sebagai ideologi yang melampaui Pancasila ini akhirnya tidak membenturkan
kedua paham ini. Artinya, meskipun
HTI berideologi Pancasila, namun ideologi ini tentu tidak bertentangan
dengan Pancasila. Justru sebaliknya: berideologi Islam adalah hak kaum muslim
yang dijamin oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam
kerangka inilah, HTI kemudian mengritik Rancangan Undang-Undang Organisasi
Masyarakat (RUU Ormas)
tahun 2012 yang ingin menjadikan
Pancasila sebagai asas dasar semua organisasi masyarakat di Indonesia. Pada
titik ini HTI menolak kewajiban asas dasar Pancasila, sebab dengan demikian,
pemerintah telah mengajukan kembali kebijakan represif asas tunggal Pancasila
ala Orde Baru. Yang ditawarkan oleh HTI adalah kewajiban ormas untuk memiliki
asas organisasi yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Pada titik ini, asas
Islam tentu tidak bertentangan dengan Pancasila. Sifat tidak bertentangan ini
telah dibuktikan sendiri oleh RUU Ormas dengan merinci asas mana saja yang
bertentangan dengan Pancasila. Asas-asas tersebut meliputi kapitalisme,
komunisme dan liberalisme. Islam tentu tidak ditempatkan dalam rangkaian asas
yang bertentangan dengan Pancasila tersebut.[76]
Meskipun
terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai Pancasila, namun pandangan kedua
sepertinya lebih valid dalam melihat pandangan HTI atas Pancasila. Hal ini
tidak hanya disebabkan oleh sumber pandangan kedua yang keluar dari jubir HTI.
Melainkan pandangan kedua ini lebih argumentatif dan merasuk dalam jantung
pemikiran keislaman HTI
itu sendiri. Oleh karena itu, pandangan ini bisa dipahami dalam artian
substantif maupun strategis. Dalam artian substantif, penempatan HTI atas
Pancasila sebagai set of philosophy menunjukkan kejernihan pemikiran gerakan
ini dalam menempatkan Islam secara proporsional. Hal ini yang menunjukkan
rasionalitas dari HTI yang selama ini mengklaim sebagai gerakan Islam berbasis
rasionalitas.
Hanya
saja pandangan ini juga bisa dipahami dalam konteks strategis. Dalam konteks
ini, penempatan Pancasila sebagai set of philosophy dan secara tidak langsung
mendeligitimasi falsafah bangsa ini sebagai dasar negara dan ideologi nasional,
menyiratkan penolakan HTI atas Pancasila sebagai asas politik. Hal ini wajar
mengingat asas politik HTI adalah Islam, sehingga dasar negara khilafah dan
ideologi trans-nasional HTI tentulah Islam. Oleh karena itu, secara
fundamental, pandangan pertama dan kedua atas Pancasila ini tidak jauh berbeda
di dalam muara tujuannya. Sebab meskipun Ismail Yusanto tidak menyebut
Pancasila sebagai ideologi kufur, namun ia dan HTI tetap tidak akan menempatkan
Pancasila sebagai dasar negara Islam dan ideologi politik gerakan Islam.
Dengan
demikian, pemikiran yang moderat atas
Pancasila ini tetap ditempatkan
dalam perjalanan panjang menuju cita-cita politik HTI: menegakkan khilafah
Islamiyyah di Indonesia. Hal ini terjadi karena keyakinan para aktivis HTI
bahwa Indonesia adalah negeri subur bagi penegakan khilafah.[77]Sebab
Indonesia memiliki potensi bagi kemandirian politik dari dominasi negara lain,
serta memiliki potensi keamanan nasional untuk melindungi umat Islam. Dua hal
ini yang menjadi prasyarat bagi tegaknya khilafah di sebuah negeri.[78]
Keyakinan
HTI atas potensi Indonesia sebagai negeri khilafah ini pernah dilontarkan
kepada pemerintah. Lontaran ini dilakukan melalui pengajuan surat terbuka
kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk menegakkan khilafah di
Indonesia. Pengajuan surat terbuka kepada presiden ini dilatari oleh keyakinan
HTI bahwa Indonesia adalah negeri yang strategis bagi penegakan khilafah.11[79]
Demi keyakinan ini, para aktivis HTI kemudian mengutip pernyataan Presiden
Asosiasi Muslim Jepang, Prof. Hasan Ko Nakata, yang menyatakan, “Indonesia
adalah tempat yang memenuhi persyaratan untuk mendirikan kembali khilafah”.
Keyakinan
bahwa Indonesia adalah tempat strategis bagi pendirian khilafah ini didasarkan
pada beberapa alasan.
1) Dukungan umat Islam yang besar. 2) HTI semakin besar
dan dakwah berjalan aman. 3) Kepercayaan
publik kepada pemerintah
Indonesia semakin merosot.4) Besarnya potensi SDM dan SDA di
Indonesia, dan 5) Pengalaman historis Indonesia dalam menerapkan syariat Islam.
Pengajuan surat terbuka kepada Presiden RI ini mengindikasikan keberanian HTI
untuk memproklamirkan garis politik
yang berbeda dengan
sistem politik di Indonesia dan
dengan bangunan dasar NKRI.[80]
Keyakinan
ini kemudian diperkuat oleh ancaman para pemimpin HT atas para pemimpin
nasional yang tidak mendukung pendirian khilafah. Ancaman ini dilontarkan
melalui Muktamar Ulama Nasional di Jakarta pada 21 Juli 2009. Dalam muktamar
ini, HTI melakukan ancaman akan menghukum pihak-pihak yang mengabaikan dan
menghambat pendirian khilafah di Indonesia. Artinya seandainya HTI berhasil
mendirikan khilafah, maka pihak-pihak dalam pemerintah Indonesia serta pihak-
pihak keagamaan yang menentang pendirian khilafah akan mendapatkan hukuman oleh
pemerintahan khilafah Indonesia. Muktamar Ulama Nasional ini dihadiri oleh 7000
ulama, termasuk dari luar negeri seperti India, Bangladesh, Pakistan, Turki,
Mesir, Yaman, Lebanon, Palestina, Syam, Sudan dan Inggris.[81]
Lontaran
ancaman ini dilakukan mengingat situasi politik Indonesia yang masih berada
dalam kerangka nasionalisme. Hal ini yang menghambat penegakan kembali
khilafah, sebab dengan nasionalisme, umat Islam kemudian terpecah-belah.[82]
Kritik terhadap para pemimpin nasional Indonesia merupakan langkah awal bagi
kritik atas bangunan negara-bangsa Indonesia, sehingga cita-cita penegakan
khilafah bisa ditegarkan di negeri muslim terbesar di dunia ini.
Hasil
Kajian HTI
Berdasarkan
paparan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
telah mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan ini mengacu pada tahapan
kedua dari pergerakan mereka, yakni
marhalah tafa’ul ma’al ummah: tahapan bersosialisasi kepada masyarakat secara
luas.
Dalam
tahapan ini, HTI sudah tidak malu lagi menyampaikan gagasan besarnya, yakni
penegakan syariah dalam kerangka pendirian kembali khilafah Islamiyyah di
Indonesia. Indonesia memang menjadi lahan subur bagi persemaian gagasan HTI
karena negeri ini adalah negeri muslim terbesar di dunia dengan penerimaan
ide-ide Islam yang sangat terbuka.
Hal
ini terlihat dari pola sosialisasi HTI yang menyentuh dari level masyarakat
bawah hingga atas. Masyarakat bawah adalah masyarakat muslim umum di pedesaan
yang memiliki hubungan sosial patron-klien dengan orang-orang tua ahli agama.
Maka masyarakat pedesaan ini ditandai dengan adanya pesantren, kiai serta
habib. Oleh karena itu, HTI tidak segan-segan masuk ke pesantren, menawarkan
gagasannya dengan menggunakan logika pesantren. Misalnya, HTI mendasarkan
argumentasi perlunya penegakan khilafah dari fakta historis pernah berdirinya
kerajaan- kerajaan Islam di Nusantara. Fakta historis ini tentu diketahui
masyarakat pesantren, dan merekapun bisa menerima kelogisan gagasan khilafah.
Di
masyarakat pedesaan inipun HTI menggunakan media dakwah khas desa, yakni
pengajian dan tabligh akbar di tengah lapangan, dengan mengundang kiai
pesantren atau habib yang disegani masyarakat. Pengajian ini merupakan pola
dakwah khas masyarakat pedesaan yang selama ini digunakan oleh gerakan-gerakan
Islam tradisional seperti NU. HTI
kemudian memanfaatkan pola dakwah tradisional ini dengan menyisipkan agenda baru,
yakni penegakan khilafah.[83]
Sementara
itu di level perkotaan, HTI menggunakan pendekatan akademis, berupa seminar
nasional, sarasehan, workshop dan diskusi. Seminar ini dilakukan di pusat-pusat
peradaban kota seperti perguruan tinggi, masjid agung, aula dinas pemerintahan
dan hotel. Tema seminar pun tentu sudah mafhum, yakni sosialisasi negara
khifalah sebagai negara kesejahteraan. Dalam kaitan ini, HTI telah membentuk
beberapa pola dakwah modern yang bersifat diskursif-intelektual, seperti
Halaqah Islam dan Peradaban (HIP), serta Forum Muslimah untuk Peradaban
(Formuda). Kedua halaqah ini bukan lagi halaqah lingkaran kecil di
masjid-masjid kampus, melainkan halaqah besar dengan jangkauan peserta yang
luas, khususnya kaum terdidik perkotaan. Dengan cara ini, sosialisasi gagasan
HTI akhirnya diterima sebagai wacana intelektual yang membawa perjuangan
kebangkitan Islam.
Perkembangan pesat
pada ranah marhalah
tafa’ul ma’al ummahini dibarengi
dengan strategi pemikiran
berupa pelunakan ideologi.
Pelunakan
ideologi yang penulis maksud adalah pelunakan pandangan HTI atas Pancasila,
yang pada awalnya bersifat keras dengan menolak Pancasila sebagai falsafah
kufur, kepada penerimaan Pancasila sebagai set of philosophy yang baik. Dengan
demikian, HTI tetap menerima Pancasila apa adanya, tanpa harus meresahkan ketiadaan
“tujuh kata” Piagam Jakarta. Meskipun garis ideologi tetap dijaga dengan tidak
memahami sila keempat, sebagai sila demokrasi, melainkan hanya sila kerakyatan.
Penolakan pemahaman sila keempat sebagai sila demokrasi didasari oleh penolakan
HTI atas demokrasi.
Hanya
saja penerimaan Pancasila sebagai gagasan filosofis ini secara otomatis telah
melakukan desakralisasi Pancasila yang juga berposisi sebagai dasar negara dan
ideologi nasional. Seperti diketahui, Pancasila ditempatkan dalam kesatuan
segitiga yang saling mengikat. Yakni sebagai gagasan filosofis yang akhirnya
ditetapkan sebagai dasar negara, dan dipahami masyarakat Indonesia sebagai
ideologi nasional. Oleh karena itu, Pancasila tidak hanya dipahami sebagai
gagasan filosofis. Sebab gagasan filosofis itu adalah status dasar Pancasila
yang kemudian dilegalkan menjadi dasar negara dan diakui sebagai ideologi
nasional. Dengan demikian, meskipun Pancasila pada awalnya merupakan gagasan
filosofis, ia bersifat mutlak, baik pada redaksi dan jumlah sila, maupun mutlak
sebagai dasar negara yang final.
Dengan
penerimaan Pancasila hanya sebagai set of philosophy, HTI telah merelativisir
Pancasila, semata sebagai gagasan filosofis yang relatif dan dinamis. Dinamis
dalam hal ini berarti tidak mutlak. Maka sila Pancasila bisa ditambah bisa
dikurangi, bahkan statusnya sebagai dasar negara bisa digantikan, jika kondisi
politik memungkinkan. Dari sini bisa dipahami bahwa meskipun HTI tidak lagi
menyebut Pancasila sebagai falsafah kufur, namun ia tetap menolak kemutlakan
Pancasila sebagai dasar negara. Konsekuensinya, ia bisa diganti ketika negara
khilafah satu saat bisa didirikan. Hal ini merupakan resiko logis dari garis
politik HTI yang menjadikan Islam sebagai fikrah gerakan, dan khilafah sebagai
khittah politik.
F. POTRET PEMIKIRAN RADIKAL JARINGAN
ISLAM LIBERAL (JIL) INDONESIA
Sejak
terjadinya peristiwa kelabu yang menimpa WorldTrade Center (WTC) dan Pantagon
di Amerika Serikat 11 September 2001 yang lalu, istilah terorisme menjadi
global issue. Terorisme merupakan bagian dari radikalisme yang pada hakekatnya
ada dimana-mana dan di semua bentuk dan jenis agama manapun di dunia ini. Kesan
kuat terhadap pemikiran radikalisme dikaitkan erat dengan Islam muncul dalam
wacana dunia sejak peristiwa WTC itu dengan menjadikan al-Qaeda sebagai prime
suspect-nya.
Di
samping gerakan radikal yang diketagorikan sebagai terorisme itu, di Indonesia
muncul gerakan-gerakan radikal baik dalam hal pemikiran maupun disertai
gerakan. Gerakan radikal yang hanya bersifat pemikiran belaka seperti Hizbut
Tahrir Indonesia yang menghendaki ditegakkannya sistim khilafah dalam sistem
politik dan pemerintahan. Sedangkan gerakan radikal yang hanya bersifat gerakan
tetapi tidak menghendaki perubahan terdapat dalam pemikiran seperti Front Pembela
Islam (FPI). Disamping itu ada juga yang merupakan kombinasi dari keduanya
seperti yang ditampilkan Laskar Jihad (LJ) di Maluku atau lainnya.
Pada
dasarnya radikalisme diartikan sebagai sesuatu yang “tidak biasa”. HTI, FPI, LJ
merupakan organisasi yang menampilkan kesan “tidak biasa”. Gagasan dan aksi
mereka yang “tidak biasa” itu
telahmenimbulkanreaksidarisebagianmasyarakatmuslim.Jaringan Islam Liberal (JIL)
merupakan salah satu yang bereaksi terhadap organisasi-organisasi di atas.
Menariknya dalam beraksi tersebut JIL juga menunjukkan pemikiran yang “tidak
biasa”. Dalam membahas tema tersebut, tulisan ini diawali dengan memperkenalkan
awal mula munculnya JIL, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai
aktivitas JIL, serta corak pemikiran radikal dari Jaringan Islam Liberal
Indonesia.
1. Mengenal
Jaringan Islam Liberal
Pertengahan
tahun 2001, nama Islam Liberal mulai dikenal luas di Indonesia. Segera nama itu
menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Dengan semboyan “Islam yang
membebaskan” kelompok yang kemudian
mengusung bendera “Jaringan Islam Liberal disingkat JIL
berhasil membetot perhatian banyak kalangan baik yang pro maupun yang kontra.[84] Istilah
liberal mengacu kepada keadaan atau sikap orang atau sebuah gerakan pemikiran
tertentu yang bersedia merekonstruksi dan menghargai gagasan atau perasaan
orang lain, yang juga mendukung perubahan-perubahan baik sosial, ekonomi,
politik dan keagamaan melalui “pembebasan” pemikiran dari pandangan dunia dan
sikap literal-dogmatis, reaksioner atau pro status quo.[85]
Dalam konteks ini, berarti Islam tidak saja dikembangkan dalam area pemikiran
murni dan spekulatif tetapi harus juga diletakkan pada posisi netral.
Jaringan
Islam Liberal adalah salah satu lokomotif yang menggerakkan tata nilai
pemikiran keagamaan yang menekankan pada pemahaman Islam yang terbuka, toleran,
inklusif dan kontekstual. Di Indonesia penyebaran Islam liberal telah
berlangsung sejak awal tahun 70-an. Yang termasuk tokoh pemikir liberal pada
situs islamlib.com, antara lain adalah Nurcholish Madjid, Masdar F. Mas’udi,
Goenawan Muhammad, Djohan Efendi, Jalaluddin Rahmat, Nazaruddin Umar,
Komaruddin Hidayat, dan Ulil Abshar Abdalla.[86]
Meskipun belum dikenal sebagai Islam liberal, pemikiran-pemikiran liberal
seperti Cak Nur yang sering disebut sebagai pemikiran neo modernisme Islam,
menjadi dasar dari pengembangan Islam liberal dewasa ini. Sejak tahun 2001,
sejumlah aktivis dan intelektual muda Islam memulai penyebaran gagasan Islam
liberal secara lebih terorganisir. Mereka ini kemudian mendirikan Jaringan
Islam Liberal (JIL). Kitab suci agama Islam pada dasarnya merupakan prinsip dan
petunjuk yang bersifat keagamaan dan moral, bukan sebuah “dokumen” hukum.[87]
Dalam posisi seperti ini kehidupan Sunnah berada meskipun tidak dalam kedudukan
yang sama. Kedua sumber ajaran Islam tersebut merupakan Islam normatif yang
bernilai absolut dan universal. Tugas umat Islam adalah untuk memahami
nilai-nilai dan pesan yang dikandungnya secara holistik, terpadu, sistematis,
dan selalu dikontekstualisasikan ke dalam kehidupan yang nyata sehingga selalu
aktual, berpihak pada pengembangan keadilan, kedamaian, kesejahteraan dan
semacamanya. JIL selalu membuka diri pada pengembangan wawasan
keislaman yang lebih dinamis sebagai berikut: [88] terbuka,
sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan
benar “plural,” sebab sebuah penafsiran keagamaan dalam satu akan lain cara
adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir disuatu masa dan ruang yang
terus berubah-ubah.
2. Pemihakan pada minoritas dan
tertindas.
Islam
liberal mendasarkan diri pada suatu penafsirankeislaman yang memihak kepada
yang kecil tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial politik yang
melaksanakan praktek ketidakadilan terhadap minoritas adalah berlawanan dengan
semangat Islam. Minoritas yang dipahami dalam makna yang luas, mencakup
minoritas agama, etnik, ras, budaya, politik, ekonomi, orientasi seksual dan
lain-lain. Dalam konteks tersebut, di atas JIL mencoba memperluas wawasan
berftkir yang lebih toleran dan saling menyapa diantara sesama ciptaan Tuhan
dari beragam lapisan masyarakat, guna mewujudkan tatanan berftkir yang lebih
sehat dan dinamis dalam membentuk budaya dan peradaban yang lebih anggun dan
elok.
3. Kebebasan beragama dan
berkepercayaan.
Islam
liberal menganggap bahwa urusan beragama adalah hak perorangan yang harus
dilindungi. Islam liberal tidak bisa membenarkan dasar suatu pendapat atau
kepercayaan. Kepercayaan kepada agama dalam perspektif ini adalah sesuatu yang
pokok, jelas dan universal yang mampu membentuk karakter pribadi yang lebih
elegan dan mampu mengimplementasikan mana ajaran yang bersifat dasar dan mana
yang non dasar, dengan suasana demikian akan membentuk nilai-nilai budaya
berftkir yang lebih inovatif dan kreatif yang berujung terciptanya suasana
masyarakat yang lebih humanis dan harmonis.
politik
adalah suatu negara yang dua wewenang yang dipisahkan agama adalah sumber
inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak serta
merta mempunyai “privelse transendental” yang tidak bisa disangkal untuk
menentukan segala bentuk kebijakan publik. Pada akhirnya adalah bekerja pada
ruang privat dan perorangan. Urusan publik haruslah diselenggarakan melalui
proses “ijtihad kolektif”, di mana pelbagai pihak boleh saling menyangkal
kebenaran ditentukan secara induktif melalui uji pendapat.[89]
Islam
liberal menggambarkan prinsip yang dianut yang menekankan kebebasan pribadi
(sesuai dengan doktrin kaum Mu’tazilah tentang kebebasan manusia) dan
pembebasan struktur sosial politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas.
Arah Islam liberal mempunyai dua makna sekaligus; kebebasan (being liberal) dan
pembebasan (liberating).
G. Aktivitas Jaringan Islam Liberal
JILdalamkontekskeindonesiaansangatkentalmengartikulasidan
menelaah nilai-nilai pemikiran Islam yang universal guna mengangkat harkat dan
martabat manusia sebagai umat yang terbaik disisi Allah melalui pemikiran dan
kreativitas. Ada empat kegiatan atau aktivitas pokok Islam liberal adalah
sebagai berikut :
1. Sindikasi
penulisan Islam liberal. Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis
yang selama ini dikenal (atau belum dikenal) oleh publik yang luas sebagai
pembela pluralisme dan inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan
tulisan, wawancara dan artikel yang baik untuk koran-koran di daerah yang
biasanya mengalami kesulitan untuk mendapatkan penulis yang baik. Dengan adanya
otonomi daerah maka peran media lokal semakin penting dan suara-suara keagamaan
yang toleran juga penting untuk disebarkan melalui media daerah ini. Setiap
minggu akan disediakan tiga artikel untuk koran-koran daerah.
2. Talk-show
di Kantor Berita Radio 68 H. Talk show ini mengundang sejumlah tokoh yang
selama ini dikenal sebagai pendekar pluralisme untuk berbicara berbagai isu sosial
keagamaan ditanah air. Acara ini akan
diselenggarakan setiap minggu dan disiarkan oleh seluruh jaringan KBR 68 H di
seluruh Indonesia. Talk show ini akan diikuti oleh 10 radio: 4 radio di
Jabotabek yaitu radio At-Tahiriyah, Muara FM, Star FM, Ria FM dan 6 radio di
daerah yaitu radio Smart (Manado), DMS (Maluku), UNISI (Yogyakarta), PTPN
(Solo), Mara (Bandung) dan radio Prima FM yang merupakan jaringan 68 H. Jadi
melalui jaringan informasi pemikiran liberal
yangsyaratdenganmuatanilmiahdanintelektualtersebardengan sendirinya dapat
massif. Dengan semangat tersebut masyarakat keagamaan dapat menyaring dan
menjaring informasi untuk memaknai dan mengeksplorasikannya.
3. Penerbitan
Booklet. JIL mencoba membuat booklet ukuran sederhana setebal 40-50 halaman,
berisi utuh, wawancara atau ringkasan dari tulisan yang ada yang berisi isu-isu
yang acapkali menjadi bahan perdebatan dalam agama dan sering kali menjadi alat
kelompok-kelompok tertentu untuk melancarkan kampanye mereka, seperti jihad,
penerapan syari’at Islam, penerapan ajaran memerintahkan yang baik, dan
mencegah dari yang jahat, konsep tentang pembangunan rumah ibadah dan
lain-lain. Booklet ini diterbitkan dua bulan sekali dan dicetak sebanyak 1000
buah. Booklet tersebut di atas dijadikan sebagai media ringan guna mengakses
informasi dari perkembangan pemikiran Jaringan Islam Liberal.
4. Website
islamlib.com. Program ini berawal dari
dibukanya mailing list Islam Liberal (isalamliberal@yahoogroups.com)
yang mendapat respon positif. Ada usulan dari
beberapa anggota untuk meluaskan mailing list ini ke dalam
bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan. Sementara mailing list
tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua program kampanye,
buletin, sindikasi media, talk show radio akan dimuat dalam website ini. Web
ini juga akan memuat setiap perkembangan berita, artikel atau apapun yang
berkaitan dengan misi jaringan Islam liberal.[90]
H. Corak Pemikiran JIL di Indonesia
Munculnya
berbagai corak pemikiran Islamdi Indonesia tidak bisa dipisahkan begitu saja
dengan kebijakan politik pembangunan di bawah rezim Orde Baru yang dirasakan
oleh intelektual Islam, sangat memojokkan dan memarjinalkan kelompok Islam.
Umat Islam selalu toleran membangun Orde Baru diterapkan benar-benar mengalami
proses peminggiran yang dahsyat dan bertabrakan dengan arah modernisasi,
terutama yang hanya mengarah pada pertumbuhan sektor ekonomi, tidak diimbangi
dengan sektor religius.[91]
Setelah
merespon kebijakan pembangunan di bawah Orde Baru, pemikiran Islam terus berkembang
ke arah yang lebih luas dan subtansial, sehingga muncul pelbagai corak
pemikiran Islam yang sangat penting diperhatikan dalam perkembangan pemikiran
keagamaan Islam di Indonesia. Suasana peta pemikiran Islam di Indonesia, dapat
dikategorikan menjadi formalistik, substansialistik, transformalistik, totalistik,
idealistik dan realistik .[92]
Syafti
Ma’arif membedakan corak pemikiran Islam menjadi empat, yakni modernis dan
diteruskan oleh neo-modernis, neo-tradisionalis, ekslusif Islam, dan modernis
sekularis muslim.[93]
Sementara M. Dawam Raharjo membedakan corak pemikiran Islam menjadi nasionalis
muslim, humanis, sosialis-sekuler muslim, dan modernis-sekuler. [94]
Nurcholish
Madjid dalam buku Islam Kemodernan dan Keindonesiaan mengapresiasi konsep
modernisasi ialah identik dengan rasionalisasi. Konsep tersebut bermuara pada
liberalisasi pemikiran yang berupaya merombak pola pikir dan tata kerja lama yang tidak akliyah, menggantinya dengan
pola pikir dan tata kerja baru yang akliyah.[95]
Manfaatnya adalah untuk memperoleh daya guna dan eftsiensi yang maksimal. Hal
itu dilakukan demi menciptakan iklim pemahaman keberagamaan yang lebih
pluralis, harmonis, dan dinamis, guna membangun budaya ilmu yang ilmiyah dan
alamiah.
Berdasarkan
penjelasan di atas, perkembangan pola dan corak pemikiran Islam ternyata tidak
berhenti sampai di situ, tetapi terus berkembang sampai sekarang. Banyak hal
yang direspon oleh para pemikir Islam di atas. Beberapa tema pokok yang
direspon oleh para cendikiawan muslim antara lain, soal Islam dan negara
nasional Islam, Islam dan Keindonesiaan, Islam dan kemodernan, Islam dan demokrasi,
Islam dan pluralisme.[96]
Tema-tema
tersebut di atas menjadi fokus pembicaraan cendikiawan muslim karena tema-tema
ketika berhadapan dengan rezim Orde Baru yang banyak melakukan penekanan dan
intervensi dalam gerakan Islam di Indonesia, sehingga melahirkan gebrakan
pemikiran yang liberal dan dinamis.
Komunitas
Islam liberal sangat aktif dalam sosialisasi pemikiran-pemikiran Islam, yang
merupakan kelanjutan dari sosialisasi pemikiran Islam era 90-an, mereka dilatar
belakangi HMI, NU, Paramadina dan NGO lain, dan yang sebagian sedang atau telah
menyelesaikan studinya (S.2/ S.3) di luar negeri, baik Eropa, Amerika maupun
Timur Tengah. Nama-nama seperti Ulil Abshar
Abdalla dari Lakpesdam NU dan
ISAI Jakarta, Nurcholish Madjid dan Budi Munawar Rachman (Paramadina),
Nazaruddin Umar (Rahima), Rizal Malarangeng (Freedom Instutute), Saiful Muzani
(Ohio University), Ihzan Ali Fauzi (Jerman) dan lain-lain merupakan tokoh sentral
kajian JIL (Jaringan Islam Liberal), ISAI (Institut Studi Arus Informasi) dan
KUK (Kajian Utan Kayu).
Secara
historis, pemikir-pemikir Islam liberal banyak yang mendukung demokrasi,
menentang teokrasi, jaminan pada hak- hak kaum perempuan, hak-hak non muslim di
negara Islam, dan pembebasan terhadap kebebasan berftkir.[97]Salah
satu tema yang paling hangat dibahas oleh komunitas pemikir liberal Islam
adalah perlunya pemisahan yang tegas antara agama dan politik, atau agama dan
negara. Dalam pandangan liberal Islam, agama berbeda dengan politik. Agama
berurusan langsung dengan Tuhan dan berimbas pada manusia, sedangkan politik
adalah urusan antara manusia yang imbasnya juga antar-manusia. Tidak ada
sakralitas dalam politik, yang ada hanya etika, sementara dalam agama ada hal-hal
yang sakral. Memang keduanya bisa bertemu dalam etika universal bukan doktrin.
Bahtiar
Effendy dengan mengutip pendapat Nurcholish Madjid, menjelaskan kaitan antara
Islam dan politik di Indonesia yaitu:
1 .Keterkaitan antara yang setidak-tidaknya
dianggap sakral (agama) dan yang profan (politik).
2. Dalam kritik sejarah, keterkaitan
antara Islam dan politik ini menyangkut soal ijtihad dan keikhlasan para
pemikir dan aktivitas Islam generasi pertama.
3. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
pemikiran dan aktivitas politik Islam di masa lampau.[98]
Demikian
pula Soekarno (sebelum jadi Presiden) pernah menulis sebuah artikel berjudul
”memudahkan Islam”. menurut Soekarno langkah-langkah pemikiran liberalisasi
yang dijalankan oleh Kemal Attaturk adalah “tindakan paling modern” dan
tindakan “paling radikal”. Katanya “Agama dijadikan urusan perorangan”. Bukan
Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada
manusia-manusia Turki sendiri dan tidak kepada negara. Oleh karena itu, salahlah
kalau kita mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita,
kalau kita samakan Turki itu dengan, misalnya, Rusia”. [99]Mengutip
Frances Woodmall, Soekarno telah mencatat bahwa:“Perilaku Turki modern terhadap
Islam adalah sikap anti- ortodoksi, atau anti-institusi keagamaan, ketimbang
disebut sebagai anti agama… Validitas Islam sebagai agama yang menjadi
persoalan keyakinan pribadi tidak ditolak. Tidak ada penghentian pelaksanaan
ritual agama di masjid, atau lebih- lebih pelaksanaan kegiatan kegamaan”[100]
Menurut
Soekarno apa yang dilakukan Turki sama sebagaimana dilakukan oleh negara-negara
Barat, seperti Inggris, Perancis, Belanda, Belgia, Jerman dan lain-lainya,
dimana urusan agama diserahkan kepada masing-masing pemeluknya, agama dijadikan
urusan pribadi dan tidak dijadikan urusan negara, tidak dijadikan sebagai agama
resmi negara.
Kemal
Attaturk juga menghapus hukum-hukum Allah, dari masyarakat Turki. Tulisan Arab
digantikan tulisan Latin, azan harus menggunakan bahasa Turki, dengan demikian
pengaruh Islam kata Soekarno lebih didominasi oleh Negara/Pemerintah. Faktanya
penguasa Islam pada waktu itu tidak menjalankan dan memelihara Islam
sebagaimana yang diajarkan Islam. Bahkan tidak jarang agama hanya dijadikan
alat untuk memepertahankan legitimasi kekuasaan.
Dalam
wawancara dengan harian Kompas tanggal 1 April 1970, [101]Nurcholish
mengatakan, “Orang yang menolak sekularisasi lebih baik mati saja. Karena
sekularisasi adalah inheren dengan kehidupan manusia sekarang di dunia ini”.
Ini diartikan juga bahwa zaman atau keadaan sekarang, juga berarti dunia ini.
Pada makalah lain Nurcholis mengatakan, agama Islam, bila diteliti benar-benar
dimulai dari proses sekularisasi terlebih dulu. Justru ajaran tauhid
menurutnya, itu merupakan pangkal tolak proses sekularisasi terlebih dulu.
Di
lain sisi, Nurcholish juga mengatakan, ”Dari tinjauan yang lebih prinsipil,
konsep ‘Negara Islam’ adalah suatu distorsi, hubungan proporsional antara agama
dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya
adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang
dimensinya spiritual dan pribadi.” Sosok ketokohan Nurcholish Madjid sebagai
locomotif pembaharuan Islam yang liberal rasional dan fugsional.
Greg
Barton, menjelaskan beberapa prinsip gagasan prinsip Islam liberal adalah
sebagai berikut:
1 .Pentingnya
kontekstual ijtihad.
2 .Komitmen
terhadap rasionalitas dan pembaharuan.
3. Penerimaan
terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama.
4. Pemisahan
agama dari partai politik dan adanya posisi non- sektarian agama.[102]
Koordinator
Islam liberal Ulil Absar Abdalla menuangkan gagasan-gagasanliberalnya tanpa
tedeng aling-aling dengan mengatakan bahwa: “Islam liberal bisa menerima bentuk
negara sekuler…sebab, negara sekuler bisa menampung energi kesalehan dan energi
kemaksiatan sekaligus”.[103]Aktivis
Islam liberal lainnya, Denny JA, juga menulis gagasan liberal sebagai berikut:
“Sudah
saatnya komunitas Islam Liberal di Indonesia mengembangkan sebuah teologi
tersendiri yang sah secara substansi dan metodologi, yaitu teologi Islam
Liberal. Ini sebuah ftlsafat keagamaan yang bersandar kepada teks dan tradisi
Islam tersendiri, yang membenci pembenaran pada sebuah kultur liberal. Dalam
politik, teologi itu menjadi Teologi Negara Sekuler (TNS), yaitu sebuah
ftlsafat keagamaan, yang menggali dari teks dan tradisi Islam, yang paralel
atau membenarkan perlunya sebuah negara yang sekuler sekaligus demokratis.”[104]
Dawam
Raharjo, seorang tokoh Muhammadiyah Indonesia, memberi pembelaan keberadaan
Ahmadiyah di Indonesia dengan statemen yang agak radikal, sebagai berikut:
“Ahmadiyah
sama dengan kita… Jadi kita tidak bisa menyalahkan atau membantah akidah
mereka, apapun akidah mereka itu. Kita menyangka, akidah mereka menyimpang.
Misalnya, mereka percaya kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi. Tapi kalau sudah
menjadi kepercayaan mereka mau apa? Itu kan soal kepercayaan. Itu kan sama saja
dengan kita percaya kepada Nabi Muhammad saw.”[105]
Said
Aqiel Siradj, ketua Syuriah Pengurus Besar NU, juga mengapresiasikan
pikiran-pikirannya yang radikal megatakan: “Agama yang membawa misi Tauhid
adalah Yahudi, Nasrani (Kristen) dan Islam. Ketiga agama tersebut datang dari
Tuhan melalui Rasul dan Nabi pilihan. Agama Yahudi diturunkan melalui Musa,
Nasrani diturunkan melalui Isa (Yesus), dan Islam melalui Muhammad. Kedekatan
ketiga agama Samawi yang sampai saat ini masih dianut oleh umat manusia itu
semakin tampak jika dilihat dari geneologi ketiga utusan (Musa, Isa dan
Muhammad) yang bertemu pada Ibrahim sebagai the foundation father’s bagi agama
tauhid. Singkatnya, ketiga agama tersebut sama-sama memiliki komitmen untuk
menegakkan kalimat tauhid... Dari ketiga macam Tauhid di atas, Tauhid Kanisah
Ortodoks Syiria tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan Islam.”[106] Cendikiawan
Muslim, Alwi Shihab memberi argumen yang logis dan politis dengan mengatakan
bahwa:
“Prinsip
lain yang digariskan oleh al-Qur’an adalah pengakuan eksistensi orang-orang
yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan dengan begitu, layak memperoleh
pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai pluralisme
keagamaan dan menolak eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat
al-Qur’an. Sebab al-Qur’an tidak membeda- bedakan antara satu komunitas agama
dari lainnya.”[107] Pada
sisi lain Abdul Munir Mulkhan, memberi gagasan- gagasan liberal dalam mengubah
nuansa berftkir yang lebih praksis sebagai berikut:
“Jika
semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu
itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk
tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan
pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan tanpa
melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini
kerja sama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”[108] Sementara
itu, Abdurrahman Wahid, saat menjabat sebagai Presiden Indonesia pernah
berpidato pada malam perayaan Natal bersama, 27 Desember 1999. Beliau
menyampaikan pesannya bahwa:
“Bagi
saya, peringatan Natal adalah peringatan kaum Muslim juga. Kalau kita konsekuen
sebagai seorang Muslim merayakan kelahiran Nabi Muhammad saw, maka adalah harus
konsekuen merayakan malam Natal.”[109] Tokoh
gerakan sekularisasi di Indonesia, Nurcholish Madjid, juga tidak hanya
berpendapat dalam bidang sosial politik, tetapi juga mempromosikan Teologi
inklusif. Pendapatnya ditulis oleh Sukidi dalam sebuah buku yang berjudul
“Teologi Inklusif Cak Nur”. Dalam buku tersebut diuraikan:
“Bangunan epistimologi teologi inklusif Cak Nur diawali dengan
tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah ke hadirat Tuhan. Kepasrahan ini, kata
Cak Nur menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah kata yang
tersingkap dalam al-Qur’an, bahwa semua agama yang benar adalah Islam, yakni
sikap berserah diri ke hadirat Tuhan (Q.S.29:
46). Dalam konteks inilah, sikap pasrah menjadi kualiftkasi signiftkan
pemikiran teologi inklusif Cak Nur. Bukan saja kualiftkasi seorang beragama
Islam, tetapi ‘muslim’ itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi
kualiftkasi bagi penganut agama lain, khususnya para penganut kitab suci, baik
Yahudi maupun Kristen. Maka konsekwensi secara teologis bahwa siapa pun di
antara kita, baik sebagai seorang Islam, Yahudi, Kristen maupun Shabi’in yang
benar-benar beriman kepada Tuhan dan hari kemudian, serta berbuat kebaikan,
maka akan mendapatkan pahala di sisi Allah…(Q.s.2:62, 5:69). Dengan kata lain,
sesuai ftrman Tuhan ini, terdapat jaminan teologis bagi umat beragama, apa pun
‘agama’nya, untuk menerima pahala (surga) dari Tuhan.”[110]
Di lain sisi tokoh pemikir liberal Ahmad wahib mengekplorasikan
ftkiran-ftkiranya dengan mengatakan bahwa:“Wah, andaikata hanya tangan kiri
Muhammad memegang kitab, yaitu al-Hadis, sedang dalam tangan kanannya tidak ada
Wahyu Allah (al-Qur’an), maka dengan tegas aku akan berkata bahwa Karl Marx dan
Frederich Engels lebih hebat dari utusan Tuhan itu. Otak kedua orang itu yang
luar biasa dan pengabdiannya yang luar biasa pula, akan meyakinkan setiap orang
bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni surga tingkat pertama, berkumpul dengan
para Nabi dan Syuhada.”[111]
Nurcholish Majid, yang tak henti-hentinya memberi argumen dengan
ikhlas guna mengangkat langit keilmuan di kalangan intelektual dengan begitu dapat
mengartikulasi nilai pemikiran keagamaan yang lebih netral, inovatif dan
produktif, seperti di bawah ini:
“Semua agama, dalam inti yang paling mendalam adalah sama, dalam
bulan yang suci ini karena bersama ada perayaan Waisak, Maulid Nabi Muhammad saw,
dan kenaikan Isa al- Masih, kita semua harus menuju pada kedamaian.”[112] Tauftk
Adnan Amal salah seorang sosok pemikir cendikiawan muda yang kritis dari UIN
Makasar memberi gagasan-gagasan liberalnya sebagai berikut:
“Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan
secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan al-Qur’an sembari menegaskan
bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam
otograft teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushap tercetak
dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga menggagas bagaimana menyelesaikan itu
lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis al-Qur’an”.[113]
Sumanto al-Qurtuby, pada Jurnal Justisia, edisi 27/2005 yang di
kutip oleh Adian Husaini memberikan ide-idenya yang liberal dan dinamis sebagai
berikut:“Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (“wahyu
eksplisit” dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal”
(“wahyu implisit” berupa konteks sosial waktu itu)”.[114]
Dari
tokoh-tokoh berftkir di atas, yang telah mengeks- plorasikan gagasan-gagasannya
merupakan kesadaran kolektif dan konstruktif dalam membangun horizon berftkir
yang tercerahkan dengan mengangkat langit keilmuan yang lebih dinamis dan
praksis. Hal tersebut disesuaikan dengan suasana kultur dan struktural
pemahaman keagamaan yang lebih kompetitif dan itu suatu keharusan sebagai anak
bangsa yang memiliki kesadaran moral berftkir dalam membangun tata nilai
beragama. Dengan demikian revitalisasi dan realisasi kehidupan keberagamaan
tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya. Keharusan tersebut dapat
dimaknai sebagai jawaban masyarakat beragama terhadap perubahan- perubahan yang
terjadi yang dirasakan oleh umat manusia secara cepat (massif).
Jaringan
Islam Liberal memberi semangat berftkir dalam mengartikulasi nilai-nilai
keagamaan yang yang lebih holistik dan universal dengan mengedepankan sikap
ilmiah dan argumentatif. Menurut JIL satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah
dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama. Untuk menuju ke arah itu
memerlukan beberapa hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Ulil Abshar Abdalla,
yaitu:
1. Penafsiran
Islam yang non-literal, subtansial, kontekstual dan sesuai dengan denyut nadi
peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
2. Penafsiran
Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur yang di dalamnya merupakan kreasi
budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus
membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana
yang tidak. Islam itu kontekstual dalam makna bahwa nilai-nilainya yang
universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab,
Melayu, Asia Tengah dan seterusnya. Tetapibentuk-bentuk
Islamyangkontekstualituhanya ekspresi budaya dan tidak diwajibkan mengikutinya.
Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab misalnya, soal
jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah tidak wajib diikuti,
karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Yang harus diikuti
adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktek-praktek itu. Jilbab intinya
adalah mengenakan pakaian
yang
memenuhi standar kepantasan umum (publik decency). Kepantasan umum tentu
sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia.
3. Umat
Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang
terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang
dipersatukan dengan kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang
sejalan, bukan berlawanan dengan Islam. Larangan kawin beda agama, dalam hal
ini antara perempuan Islam dengan lelaki non Islam menrutnya, sudah tidak
relevan lagi. al-Qur’an sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena
al-Qur’an menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat,
tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan
antara kedudukan orang Islam dan non Islam harus diamandemen berdasarkan
prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan.
4. Kitamembutuhkan
struktursosialyangdenganjelasmemisahkan mana kekuasaan politik dan mana
kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan
publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat malalui prosedur
demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk
nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktek peribadatan agama yang sifatnya
partikular adalah urusan masin- masing agama. [115]
Dari
informasi tersebut di atas, dapat membuka pemahamkita bahwa seharusnya kita
bisa membawa pemikiran kita yang proporsional mana Islam Universal dan mana
yang partikular, dengan demikian manusia dapat memahami, membedakan dan
mengelaborasi gagasan keberagamaan yang semakin dinamis.
Di
lain sisi Ulil Abshar Abdalla meletakkan kedudukan Rasul Muhammad saw. dalam
konteks pemikiran bahwa, Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji
dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa
memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga ada kekurangannya)
sekalipun panutan yang harus diikuti.[116]
Dalam
konteks sosial politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan.
Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial universal dan spiritual
partikular Islam di madinah, tetapi Islam sebagaimana yang diwujudkan di sana
adalah Islam historis, partikular dan kontekstual.[117]
Umat
Islam harus berijtihad mencari formula
baru dalam menerjemahkan
nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. Islamnya di madinah
adalah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka bumi; ada
kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang
lain pula. Islam di Madinah adalah salah satu diantaranya, keadaan Islam yang
hadir di muka bumi. Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan
melihat contoh di Madinah saja, sebab
kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Baginya,
wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi, wahyu terus bekerja dan turun kepada
manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam al-Qur’an, tetapi wahyu non
verbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.
Temuan-temuan
besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha perbaikan mutu kehidupan
adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal
manusia yang merupakan anugerah Tuhan.
Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya adalah milik
orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara
peradaban Islam dan peradaban Barat, yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap
rendah. Sebab setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik
semua bangsa, termasuk milik orang Islam.
Jaringan
Islam Liberal dewasa ini telah berproses dan telah banyak kiprahnya yang
dilakukan, setidaknya mensosialisasikan wacana keislaman yang memang bisa
dibilang berani, terbuka dan demokratis. Membuka perdebatan dengan siapa saja,
dan yang paling penting adalah mencoba menawarkan model keislaman yang humanis,
inklusif dan dinamis.
Hasil Kajian
JIL
Setelah
diuraikan secara singkat, JIL dengan pemikiran-pemikirannya, mencoba menyatukan
komunitas Islam dalam bingkai modernitas. Salah satu pemikiran JIL yang perlu
diapresiasi adalah konsep tentang pluralisme, modernisasi, demokrasi dan
sejenisnya, yang sampai saat ini bagi sebagian umat Islam masih dianggap
sebagai bukan ajaranorisinal Islam. Bagi JIL konsep tersebut memiliki pijakan
teologis yang kuat dalam al-Qur’an bahkan Sunnah Rasul dan generasi-generasi
awal Islam. Bila tidak, maka fenomena yang akan berkembang merebaknya kekerasan
yang dalam kasus-kasus tertentu sarat dengan muatan agama, atau minimal
dilakukan oleh umat beragama, terutama umat Islam.
Maraknya
tindakan kekerasan ini, selain muncul akibat ketidak mampuan manusia dalam
menyikapi modernitas yang sangat kompleks, juga berpeluang pada pola
keberagamaan mereka yang mengedepankan eksklusivisme dan klaim kebenaran
sepihak, serta tidak bisa membedakan Islam normatif dengan Islam sejarah. Dalam
suasana ini, umat Islam melakukan mistiftkasi Jihad,35 dan simbol agamayang
lain, mereduksi sekedarmemeperkentalidentitas diri dan menjadikannya sebagai
media untuk menyerang kelompok dan umat lain yang berbeda.
Dengan
konteks itu JIL, mencoba membangun dan mengembangkan suasana beragama yang
transformatif dan inklusif, menampakkan signiftkansinya untuk selalu “dilirik”
oleh komunitas umat. Melalui pemahaman keagamaan yang holistik dan pola
keagamaan yang inklusif, umat Islam diharapkan dapat menyelesaikan krisis
kemanusiaan, serta menjadikan modernitas sebagai proses yang memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi manusia.
I. RADIKALISME DI INDONESIA: Antara
Historisitas dan Antropisitas
Secara
historis munculnya Islam di Indonesia sangat damai dan toleransi relevan dengan
apa yang diajarkan oleh para wali melalui singkronitas budaya lokal, bahan
saling dapat hidup damai berdampingan dengan umat lain yang hidup masa itu.
Namun sangat disayangkan dengan perkembangan zaman dan tuntutan stratiftkasi
sosial di tengah masyarakat Indonesia yang begitu luas, maka bermunculanlah
sekte-sekte, aliran-aliran, dan mazhab-mazhab baru yang mengatasnamakan Islam
berkembang pesat sesuai dengan latar belakang kebudayaan dan kondisi alam yang
eksis di daerah penganutnya.
Dari
term di atas, dapat dicermati bahwa di Indonesia akhir- akhir ini banyak
berkembang isu-isu radikalisme[118]
di antaranya adalah kelompok yang mengklaim dirinya al-Qaeda dan ISIS, dimana
keduanya menjadi isu global. Munculnya kelompok ini merupakan format perlawanan
global kelompok radikal Islam terhadap ketidakadilan dunia. Hal ini dikaitkan
dengan kebijakan miring pemimpin dunia terhadap Palestina, kesenjangan sosial-
ekonomi di negara-negara muslim
bahkan ekspansi budaya Barat yang dianggap merusak
nilai-nilai Islam seperti hedonisme dan materialisme. Para pemimpin dunia Islam
dianggap tidak berdaya dan tunduk pada kemauan Barat. Isu tersebut dengan cepat
menyebar keseluruh penjuru dunia melalui jaringan maya, bukan saja di
negara-negara Islam, tetapi juga di negara-negara Barat sebagai akibat
kebijakan banyak negara yang memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok
perlawanan yang lari dari negara masing-masing. Di sisi lain, munculnya
radikalisme di Indonesia menjadi nyata,
seiring perubahan tatanan
sosial dan politik,
terlebih setelah hadirnya orang-orang Arab muda dari Hadramaut Yaman ke
Indonesia yang membawa ideologi baru ke tanah air, turut mengubah konstelasi
umat Islam di Indonesia. Ideologi baru yang mereka bawa lebih keras dan tidak
mengenal toleransi, sebab banyak dipengaruhi oleh mazhab maliki yang diadobsi
dan diintrodusir oleh Muhammad bin Abdul Wahab atau Wahabi yang saat ini
menjadi ideologi resmi pemerintah Arab Saudi. Di samping historisitas
radikalisme di Indonesia
dan pertumbuhannya begitu pesat,
dan hal itu merupakan kemungkaran, maka antropositas faham dimaksud harus
dilakukan secara bijak dan cermat sebagaimana yang diintrodusir Ibnu Qayyim
al-Jauziyah menegaskan bahwa ada empat dimensi di dalam memberikan solusi
kemungkaran atau radikalisme: pertama, menyingkirkan kemungkaran dan menggantinya
dengan kema’rufan; kedua, menyingkirkan kemungkaran dengan menguranginya
walaupun tidak menghapuskan secara keseluruhan; ketiga, menyingkirkan
kemungkaran dengan memunculkan kemungkaran serupa; dan keempat, menyingkirkan
kemungkaran dengan memunculkan kemungkaran yang lebih jahat dari padanya.
Dengan demikian dapat dicermati bahwa dimensi pertama dan kedua merupakan
penanggulangan radikalisme yang disyari’atkan, sementara dimensi kedua
merupakan penanggulangan radikalisme ijtihadi, sedangkan dimensi keempat
merupakan penanggulangan
radikalisme yang diharamkan.
Berdasarkan
paparan di atas, maka kajian ini sangatmenarik untuk diketengahkan, karena ia
merupakan kajian aktual dan kontemporer yang masih hangat untuk didiskusikan
secara mendalam dan panjang lebar, sehingga tampak jelas peta persoalan yang
akan dipaparkan. Secara ringkas, tulisan ini akan mencari alasan mengapa
radikalisme muncul di Indonesia? Bagaimana sejarah kemunculannya, dan cara apa
yang tepat dalam antropisitas radikalisme di Indonesia.
1. Pembahasan
Dalam catatan sejarah radikalisme Islam[119] semakin menggeliat pada pasca kemerdekaan
hingga pasca reformasi, Sejak Kartosuwirjo memimpin operasi 1950-an di bawah
bendera Darul Islam (DI). Sebuah gerakan politik dengan mengatasnamakan agama,
justiftkasi agama dan sebagainya. Dalam sejarahnya gerakan ini akhirnya dapat
digagalkan, akan tetapi kemudian gerakan ini muncul kembali pada masa
pemerintahan Soeharto, hanya saja bedanya, gerakan radikalisme di era Soeharto
sebagian muncul atas rekayasa oleh militer atau melalui intelijen melalui Ali
Moertopo dengan Opsusnya, ada pula Bakin yang merekayasa bekas anggota DI/TII,
sebagian direkrut kemudian disuruh melakukan berbagai aksi seperti Komando
Jihad, dalam rangka memojokkan Islam. Setelah itu sejak jatuhnya Soeharto, ada
era demokratisasi dan masa-masa kebebasan, sehingga secara tidak langsung
memfasilitasi beberapa kelompok radikal ini untuk muncul lebih nyata, lebih
militan dan lebih vokal, ditambah lagi dengan liputan media, khususnya media
elektronik, sehingga pada akhirnya gerakan ini lebih tanpak.[120]
Setelah DI,
muncul Komando Jihad
(Komji) pada 1976 kemudian meledakkan tempat ibadah. Pada
1977, Front Pembebasan Muslim Indonesia melakukan hal sama. Dan tindakan teror
oleh Pola Perjuangan Revolusioner Islam, 1978.[121]
Tidak lama kemudian, setelah pasca reformasi muncul lagi gerakan yang beraroma
radikal yang dipimpin oleh Azhari dan Nurdin M. Top dan gerakan-gerakan radikal
lainnya yang bertebar di beberapa wilayah Indonesia, seperti Poso, Ambon dan
yang lainnya. Semangat radikalisme tentu tidak luput dari persoalan politik.
Persoalan politik memang sering
kali menimbulkan gejala-gejala tindakan yang radikal. Sehingga berakibat
pada kenyamanan umat beragama yang ada di Indonesia dari berbagai ragamnya.
DalamkonstelasipolitikIndonesia,masalahradikalismeIslam
makin besar karena pendukungnya juga makin meningkat. Akan tetapi
gerakan-gerakan ini lambat laun berbeda tujuan, serta tidak mempunyai pola yang
seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syari’at Islam tanpa
keharusan mendirikan “negara Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan
berdirinya negara Islam Indonesia, di samping yang memperjuangkan berdirinya
“kekhalifahan Islam’, pola organisasinya pun beragam, mulai dari gerakan moral
ideologi seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
sampai kepada gaya militer seperti Laskar Jihad, dan FPI.[122]
Di
sisi lain, radikalisme adalah suatu paham yang dibuat- buat oleh sekelompok
orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara
drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut
pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada
fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat
tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran tersebut menggunakan
kekerasan kepada orang yang berbeda paham/aliran untuk mengaktualisasikan
paham keagamaan yang
dianut dan dipercayainya untuk
diterima secara paksa.
Lebih
jauh dipaparkan bahwa radikalisme menurut kamus besar bahasa Indonesia ikhtiar
baru tahun 1995 adalah suatu paham aliran yang menghendaki perubahan secara
drastic. (kamus besar bahasa Indonesia ikhtiar baru:1995). Sedangkan menurut
kamus ilmiah popular radikalisme adalah inti dari perubahan. (bary, kamus
ilmiah popular:1994). Sementara radikalisme agama berarti, prilaku keagamaan
yang menyalahi syariat, yang mengambil karakter keras sekali antara dua pihak
yang bertikai, yang bertujuan merealisasikan target-target tertentu, atau
bertujuan merubah situasi sosial tertentu dengan cara yang menyalahi aturan
agama.
Dari
konteks di atas dapat dipahami bahwa radikalisme agama adalah prilaku keagamaan
yang menghendaki perubahan secara drastis dengan mengambil karakter keras yang
bertujuan untuk merealisasikan target-target tertentu. Secara historis,
kemunculan kelompok radikal di kalangan umat Islam Indonesia bukanlah hal yang
baru. Karena pada awal abad ke-20, dalam peningkatan semangat dan ekonomi kian
parah di kalangan pribumi, radikalisme muslim diambil alih oleh kelompok
Serikat Islam (SI).[123]
Gerakan radikalisme di
Indonesia[124] tidak
seperti yang terjadi di Timur tengah yang sangat menekankan agenda-
agenda politk.Gerakan radikal Islam di Indonesia baru sebatas pada tuntutan
dipenuhinya aspirasi Islam, seperti pemberlakuan syariat Islam atau piagam
Jakarta.[125]
Kemunculan gerakan islam radikal di Indonesia disebabkan oleh dua faktor;
Pertama, faktor internal dari dalam umat islam sendiri yang telah terjadi
penyimpangan norma-norma agama. Kedua, faktor eksternal di luar umat Islam,
baik yang dilakukan penguasa maupun hegemoni Barat, seperti kasus gerakan Warsidi, Salaman haftdz dan Imron atau yang
dikenal sebagai komando Jihad telah membangkitkan radikalisme di Indonesia.[126]
Jihad sebenarnya menjadi simbol perlawanan yang efektif untuk menggerakkan
perang melawan Barat. Kondisi inilah yang menyebabkan permusuhan yang terus
menerus antara Islam dan Barat. Fenomena yang terjadi di Indonesia ketika umat
islam bereaksi terhadap serangan Amerika Serikat pada
Afghanistan. Di masa inilah, islam menemukan moment untuk menyuarakan
aspirasi Islam (Solidaritas Islam). Karena itulah, kelompk Islam radikal
seperti KISDI, Lakar Jihad, FPI, Ikhwanul Muslimin, dan Mujahidin bergerak
menentang penyerangan AS. Bahkan, komando jihad juga dikirim ke Afghanistan sebagai
bagian dari tugas suci.[127] Di
sisi lain, aksi terorisme di Indonesia saat ini memang tengah menurun sejak
awal tahun 2000-an. Namun akar terorisme, yaitu radikalisme agama, tetap tumbuh
subur dan mendapatkan posisi di sebagian masyarakat. Selain radikalisme agama,
aksi teror juga masih berisiko muncul akibat gesekan-gesekan lainnya, seperti
anti persatuan, separatisme, dan lain-lain. Oleh karena imunitas harus
senantiasa mengingat bahwa kita hidup di Indonesia, negeri yang terdiri dari
keberagaman. Jika kita tidak bersikap tenggang rasa dan berpikiran terbuka,
maka akar-akar radikalisme pun dapat leluasa masuk memengaruhi kita. Pemerintah
juga perlu untuk menjadi lokomotif dalam pembangunan persatuan dan
kesejahteraanbangsagunamenghindarkannegeriinidariancaman radikalisme yang
memanfaatkan celah-celah ketidak adilan.
Sementara
peneliti LIPI Anas Saidi mengatakan bahwa paham radikalisme ini terjadi karena
proses Islamisasi yang dilakukan di kalangan anak muda ini berlangsung
secara tertutup, dan cenderung
tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya, apalagi yang berbeda keyakinannya.
Dia menegaskan jika pemahaman ini
dibiarkan bisa menyebabkan disintegrasi bangsa karena mereka menganggap
ideologi pancasila tidak lagi penting.[128]“Proses
Islamisasi ini terjadi secara monolitik dan terjadi masjid dikuasai kelompok
tertentu yang konsekuensi pengikutnya adalah sikap intoleran, dan jika nanti
mereka kemudian menjadi pejabat, misalnya menjadi menteri atau menjadi apa
sajalah, kalau tidak punya toleransi dan masih punya benak untuk mengganti
pancasila, itu yang saya kira ada kecemasan. Anas mengatakan lebih lanjut bahwa
proses Islamisasi di kalangan anak muda itu harus diimbangi dengan proses
Islamisasi yang terbuka, bervariasi dan penyelesaian perbedaan pendapat itu
dapat diselesaikan tidak dengan kekerasan. Jika itu dilakukan, Anas melihat ada
sisi positif proses Islamisasi ini dapat memberikan generasi muda yang lebih
dapat menerima perbedaan.
Selanjutnya
antropisitas radikalisme dapat dilakukan melalui Jalur Peran Pemerintah; Peran
Institusi Keagamaan dan Pendidikan; Peran Masyarakat Sipil; Beberapa Isu
Kritis; Peran Deradikalisasi; Rehabilitasi dan Reintegrasi; dan Pendekatan
Kesejahteraan. Paparan detail komponen antropisitas radikalisme dimaksud dapat
dicermati berikut ini.
1. Peran Pemerintah
Apa
peran pemerintah? Harus ada pembedaan soal peran
(kebijakan)
pemerintah yang berkaitan dengan (1) ekstremisme keagamaan dan (2) kekerasan
yang muncul karena ekstremisme (religious extremism based violence). Untuk yang
pertama, kebijakan pemerintah dalam
menanggulangi ekstremisme keagamaan
(religious extremism) dipandang relatif. Secara umum, kebijakan pemerintah
tentang pengurangan kekerasan
sudah nampak jelas karena kita punya UU anti terorisme. Namun untuk
ekstremisme keagamaan belum bisa dikatakan jelas karena jika ekstremisme belum
mewujud menjadi tindakan
statusnya tidak bisa diapa-apakan oleh hukum kita. Sebetulnya ada
mekanisme yang bisa digunakan
untuk menanggulangi masalah ekstremisme keagamaan lewat hate speech (kebencian)
tapi hukum kita belum mengatur masalah itu secara khusus. Meskipun belum berupa
tindakan, namun ujaran kebencian ini yang sering kita jumpai dimana-mana. Kita
lumrah menemukan di banyak pengajian,
tabligh akbar, media sosial dan bahkan di TV-TV yang memuatkan ujaran
kebencian atas pihak lain.
Ujaran
kebencian ini jika terus menerus berlanjut akan
mampu
memprovokasi masyarakat dan bisa menggiring pada tindakan kekerasan. Sementara
untuk kekerasan berbasis agama seperti terorisme, kebijakan negara sudah cukup
memadai dengan adanya UU No. 15/2003 yang menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti UU No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun
kemampuan institusi negara untuk melaksanakan kebijakan tersebut pada tataran
praktik masih perlu penyempurnaan. Kekurangan yang paling jelas misalnya adalah
adanya kesenjangan antara teori (kebijakan) dan
praktik
(implementasi)
di samping juga persoalan-persoalan seperti kurangnya sumber daya manusia dan
budaya etos kerja yang lemah di kalangan penegak hukum. Salah satu cetak biru
dari pemerintah dalam hal penanggulangan kekerasan berbasis agama adalah proyek
deradikalisasi. Deradikalisasi adalah kebijakan penting yang diambil oleh
pemerintah untuk mengurangi atau mengembalikan radikalisme keagamaan kepada
situasi yang normal, tidak radikal. Melalui pendirian BNPT (Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 201), Pemerintah
melakukan program deradikalisasi sebagaimana tercermin dalam fungsi BNPT yang
kesembilan: “pengoperasian Satuan Tugas-Satuan Tugas dilaksanakan dalam rangka
pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan dan penyiapan
kesiapsiagaan nasional di bidang penanggulangan terorisme.”Istilah
deradikalisasi secara harftyah sudah disebutkan dalam fungsi BNPT, namun jika
saya tidak salah pemerintah secara resmi tidak memiliki deftnisi
deradikalisasi. Lalu apa makna deradikalisasi? Saya melihat deftnisi deradikalisasi
yang diberikan oleh Yayasan Lazuardi Birru, lembaga ini konon pernah sangat
aktif melakukan riset-riset soal terorisme dan deradikalisasi, dalam websitenya
mendeftnisikan deradikalisasi sebagai:
“Segala
upaya untuk menetralisir paham-paham radikal
melalui
pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya
bagi mereka yang dipengaruhi atau tereksposepahamradikaldan/atauprokekerasan.
Deradikalisasi terorisme diwujudkan dengan program reorientasi motivasi,
re-edukasi, resosialisasi, serta mengupayakan kesejahteraan sosial dan
kesetaraan dengan masyarakat lain bagi mereka yang pernah terlibat terorisme
maupun bagi simpatisan, sehingga timbul rasa nasionalisme dan mau
berpartisipasi dengan baik sebagai Warga Negara Indonesia.”
Lazuardi
Birru juga merinci hal-hal yang dilakukan dalam rangka deradikalisasi: (a)
melakukan counter terrorism,(b) mencegah proses radikalisme,
(c) mencegah provokasi, penyebaran
kebencian, permusuhan antar
umat beragama,(d) mencegah
masyarakat dari indoktrinasi, (e) meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk
menolak paham terror (terorisme), dan (f) memperkaya khazanah atas perbandingan
paham. Berdasarkan deftnisi
di atas dan
juga cakupuan kerjanya maka
deradikalisasi diharapkan bukan hanya menjadi tugas pemerintah, namun menjadi
tugas semua pihak di dalam wilayah negara, masyarakat sipil dan juga kalangan
bisnis.
2. Institusi Keagamaan dan Pendidikan.
Apa
yang diharapkan dari mereka untuk berperan? Sesuai dengan wataknya, institusi
keagamaan dan pendidikan tidak bisa dituntut di luar proporsi mereka. Jika
mereka berperan dalam menanggulangi dampak ekstremisme keagamaan maka sifatnya
itu adalah sukarela dalam mendukung kebijakan pemerintah dalam menanggulangi dampak ekstrimisme
keagamaan. Institusi keagamaan
seperti pesantren dan
sekolah-sekolah agama bisa
berperan dalam menanggulangi dampak ekstremisme keagamaan melalui pemberian
materi pembelajaran agama yang mengutamakan gagasan-gagasan Islam yang rahmatal
lil alamin dan toleran. Meskipun lembaga seperti pesantren itu adalah lembaga
pengajaran agama, namun sepanjang sejarah kita, pesantren- pesantren di
Indonesia pada ghalibnya adalah lembaga yang sangat toleran dan terbuka. Dalam
memegang agama, mereka bukan ekstrem namun pious (taqwa). Ketaqwaan sangat
berbeda dengan ekstrem, ia lebih individual dan banding komunal. Sementara
ekstremisme keagamaan itu lebih bersifat komunal dibandingkan individual.
Pesantren kita dalam memegang agama bersifat tengah- tengah sebagaimana
anjuran populer, khayr
al-umu>r awsatuhu. Penyemaian
pendidikan keagamaan yang demikian ini adalah sumbangan terbesar yang diberikan
oleh pesantren.
3. Masyarakat Sipil
Masyarakat
Sipil yang saya maksud di sini adalah kelompokmasyarakat yang bukan merupakan
bagian dari negara (the state) dan juga bukan bagian dari lembaga
bisnis dan ekonomi (the economical). Contoh dari Masyarakat Sipil adalah ormas
semacam NU, Muhammadiyah di samping juga LSM-LSM. Pada umumnya, Ormas-ormas
besar Islam seperti NU dan Muhammadiyah memiliki pandangan yang sama soal
dampak yang diakibatkan oleh ekstremisme keagamaan. Sejalan dengan NU dan
Muhammadiyah adalah MUI yang sudah mengeluarkan fatwa tentang keharaman
tindakan terorisme. Berdasarkan paparan
di atas, dari
segiekstremisme keagamaan yang berdampak nyata seperti terorisme, sikap
lembaga keagamaan sangat jelas, namun untuk ekstremisme keagamaan par
excellence, maka masyarakat sipil masih bersikap ambigu. Misalnya, pada satu
sisi, mereka mengutukpelbagai bentuk kekerasan bermotif agama seperti terorisme
dan lainnya, namun pada sisi yang lain mereka tidak punya cara pandang dan
sikap yang jelas pada wacana keagamaan yang menganjurkan kebencian.
Atas
nama penghinaan keyakinan, fatwa-fatwa keagamaan yang memicu pada sikap
ekstremisme dan bahkan tindakan berbasis agama
tetap berjalan. Misalnya, NU, Muhammadiyah dan MUI mengutuk terorisme
namun mereka tidak berbicara apa-apa soal kekerasan yang menimpa kaum Syiah dan
Ahmadiyah. Sampai sekarang, kita tidak bisa menyelesaikan ekstremisme keagamaan
yang terjadi di internal umat
Islam sendiri. Suasana sekarang adalah suasana penuh propaganda dan setiap
upaya yang diupayakan untuk mencari jalan keluar distigmatisasi dengan hal-hal
yang buruk. Saya beri contoh, beberapa waktu lalu RMI –Rabithah Ma’ahid al-
Islamiyah—mengeluarkan kampanye AYOMONDOK. Kampanye ini ditujukan agar kita
bisa kembali ke pesantren karena pesantren memberikan cara pembelajaran agama
yang mendalam dan dekat dengan kultur keIndonesiaan yang wasatiyyah. Namun apa
yang terjadi bahwa karena kebencian yang sudah ada dibenak kalangan
konservatif, kampanye #AYOMONDOK distigmatisasi sebagai liberal. Hal-hal
seperti ini adalah tantangan bagi seluruh kalangan yang memiliki pandangan
bahwa ekstremisme bukan jalan bagi Islam di Indonesia sekarang maupun masa
depan.
C. Beberapa Isu Kritis
Isu-isu
kritis ini saya angkat dari riset yang saya lakukan beberapa bulan lalu tentang“pengurangan
ekstremisme keagamaan dan reintegrasi eks-teroris di dalam masyarakatnya.”
Karenanya, dalam catatan kritis ini secara spesiftk saya mengarahkan pada salah
satu dampak ekstremisme keagamaan yang paling kita kenal dan rasakan yaitu
terorisme. Riset ini saya lakukan di Jakarta dan Surakarta dengan pendekatan
kualitatif (survei publik) dan kualitatif –wawancara dengan eks-teroris,
pejabat pemerintah dan kalangan masyarakat sipil. Berikut ini beberapa isunya:
1. Deradikalisasi
Berdasarkan
hasil wawancara saya, deradikalisasi adalah
proyek
pemerintah yang mendapat kritik dari mantan teroris dan juga beberapa aktivis
kemanusiaan. Eks-teroris menganggap jika deradikalisasi itu kurang efektif
karena lebih mengarah pada aspek de-ideologisasi daripada aspek kemanusiaan.
Mereka mengusulkan agar pendekatan pemerintah dalam penanggulangan terorisme
yang diutamakan adalah pendekatan non-keamanan. Menurut mereka, ideologi adalah
hal yang mendasar bagi mereka karenanya sulit untuk dihilangkan dari benak
mereka. Meskipun mereka--- mantan teroris---sudah kembali ke dalam masyarakat
(reintegrasi), namun untuk mengatakan mereka sudah meninggalkan ideologi mereka
masih sangat jauh. Bagi mereka, segala bentuk upaya pemerintah untuk melunakkan
mereka melalui jalan ideologi akan sulit. Karenanya, pemerintah, menurut mereka,
lebih baik mengutamakan jalan kesejahtreraan. Bagi mantan teroris misalnya
mereka sudah cukup senang apabila bisa kembali kedalam masyarakat mereka dan
memiliki pekerjaan untuk menghidupi keluarga mereka. Dua informan yang saya
wawancarai misalnya meskipun sudah kembali kepada masyakarat dengan sukses
namun tetap apa yang mereka lakukan pada masa lalu adalah sesuatu yang tidak
sepenuhnya salah. Jihad memang bisa dilaksanakan namun waktu dan tempat tidak
bisa dipilih sembarangan. Mereka mengakui jika jihad yang sudah mereka lakukan
tidak sesuai dengan syarat jihad (ftqh al-jihad). Bahkan mereka mengutip Osama
Bin Laden untuk menjustiftkasi perbuatan mereka sebagai hal yang tidak tepat
untuk dilaksanakan di Indonesia.
2. Rehabilitasi dan Reintegrasi
Ketika
eks-teroris itu dinyatakan bebas bersyarat, maka
mereka
kembali kepada masyarakat dimana mereka hidup (habitus). Ketika mereka kembali,
paham mereka harus berubah. Inilah yang dimaksud dengan rehabilitasi. Tanpa
adanya perubahan mindset mereka ke arah yang lebih baik (restoration).
Rehabilitasi bisa dimaknai sebagai upaya menolongan orang kembali kepada posisi
atau status yang normal. Reintegrasi bagi sebagian kalangan diidentikkan dengan
rehabilitasi namun sebagian dinyatakan sebagai proses lanjutan setelah
rehabilitasi.
Pemerintah
sampai sejauh ini tidak memiliki kerangka yang jelas tentang rehabilitasi dan
reintegrasi meskipun kedua ide ini hal yang penting dalam rangka
penanggulangan dampak terorisme. Selama ini yang ada adalah pendampingan BAPAS
terhadap para teroris yang sudah dinyatakan bebas bersyarat. Dalam bebas
bersyarat ini mereka boleh kembali kepada masyarakat, namun mereka harus lapor
secara periodik ke BAPAS setempat. Namun ternyata proses rehabilitasi dan
reintegrasi tidak semudah yang dibayangkan. Sering kali mereka mengalami
kesulitan dalam rehabilitasi, proses kembali ke masyarakat. Mereka menghadapi
stigmatisasi dari lingkungan sekitar.
Dalam
sebuah kasus di Solo, BAPAS merasa kesulitan untuk memberi penyadaran pada masyarakat
bahwa mantan teroris juga berhak untuk hidup di tengah-tengah masyarakat. Namun
jika masyarakatnya tetap menolak, BAPAS, lembaga terakhir yang berhubungan
dengan mantan napi teroris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dari kasus ini
pemerintah perlu memikirkan masalah rehabilitasi dan reintegrasi.
3. Pendekatan Kesejahteraan
Deradikalisasi
dianggap masih mengutamakan pendekatan
keamanan
dibandingkan dengan kesejahteraan. Berdasarkan riset saya, mereka menginginkan
kesejahteraan. Mengapa banyak mantan teroris yang kembali beraksi lagi, salah
satunya karena merekagagaldalammencaripekerjaanuntukmenghidupikeluarga mereka.
Karena keadaan yang sulit inilah sehingga mereka mereka kembali kepada jaringan
lamanya karena merekalah yang bersedia mensupply kebutuhan mereka. Inilah
kemudian yang melahirkan teori pendekatan ekonomi dalam penanggulangan
terorisme dan ekstremisme keagamaan.
Hasil
Kajian
Dari
Paparan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: Radikalisme muncul di
Indonesia disebabkan seiring perubahan tatanan sosial dan politik. terlebih
setelah kehadiran orang-orang Arab muda dari Hadramaut Yaman ke Indonesia yang
membawa ideologi baru ke tanah air, turut mengubah konstelasi umat Islam di
Indonesia. Ideologi baru yang mereka bawa lebih keras dan tidak mengenal toleransi,
sebab banyak dipengaruhi oleh mazhab
pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahab atau Wahabi yang saat ini menjadi ideologi resmi
pemerintah Arab Saudi. Selanjutnyahistorisitasmunculnyaradikalismedi Indonesia
disebabkan oleh tiga faktor mendasar, yaitu Faktor pertama adalah perkembangan
di tingkat global, dimana kelompok - kelompok radikal menjadikan situasi di
Timur Tengah sebagai inspirasi untuk mengangkat senjata dan aksi teror. Apa
yang terjadi di Afghanistan, Palestina, Irak, Yaman, Syiria, dan seterusnya
dipandang sebagai campurtangan Amerika, Israel, dansekutunya. Adapunfaktorkedua
adalah terkait dengan kian tersebar luasnya paham Wahabisme yang mengagungkan
budaya Islam ala Arab yang konservatif. Dalam kaitannya dengan radikalisme,
Wahabisme dianggap bukan sekadar aliran, pemikiran, atau ideologi, melainkan
mentalitas. Ciri mental itu antara lain gemar membuat batas kelompok yang
sempit dari kaum muslimin, sehingga dengan mudah mereka mengatakan di luar
kelompok mereka adalah kaftr, musuh, dan wajib diperangi. Sementara itu faktor
ketiga adalah karena kemiskinan, walaupun hal ini tidak berpengaruh langsung
terhadap merebaknya aksi radikalisme.
Hal
utama yang kemungkinan membuat keterkaitan antara kemiskinan dan radikalism eadalah
perasaan termarjinalkan. Situasi seperti itu menjadi persemaian subur bagi
radikalisme dan terorisme.Sedangkan cara tepat di dalam antropisitas
radikalisme diIndonesia adalah melalui jalur Peran Pemerintah; Peran Institusi
Keagamaan dan Pendidikan; Peran Masyarakat Sipil; Beberapa Isu Kritis; Peran
Deradikalisasi; Rehabilitasi dan Reintegrasi; dan Pendekatan Kesejahteraan.
Penutup
Daftar Pustaka
Anonimous. 2008. Kamus Besar Bahasa Indo- nesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Danasasmita, Saléh. 2003. Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Djatisunda, Anis. 1993. Baduy Rawayan Urang Kanekes. Bandung: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa barat.
Ekadjati, Edi S. 2009. Kebudayaan
Sunda: Studi Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pus-
taka Jaya.
Garna, Judistira K. 2012. Orang
Baduy. Bandung: Primaco Akademikan dan Ju- distira
Garna Foundation.
Hummam, Ibnu. 1937.
Syarh Fath al-Qadîr. Kairo: Mathba‘ah Mushthafâ Muham- mad.
Katsîr, Abû al-Fidâ’
Ismâ‘il bin. 1876. Tafsir al- Qur’ân al-‘Adzîm. Kuwait: Jam‘iyyah Ih- ya’
al-Turats al-Islamî.
Khallaf, ‘Abd
Wahhab. 1986. Ushul Fiqh. Bei- rut: Dâr al-Fikr.
Lubis, Nina Herlina.
2003. Sejarah Tatar Sun- da. Bandung: Lembaga Penelitian Uni- versitas
Padjadjaran.
Madanî, Muhammad
al-. 2002. Nadzarât fî Fiqh al-Farûq ‘Umar ibn al-Khattab. Kairo: Wizarah
al-Awqaf.
Mubarok, Jaih. 2002.
Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Mustapa, Hasan.
2010. Adat Istiadat Sunda.
Bandung: PT. Alumni.
Pekei, Demininggus. 2011. Tinjauan Keyakinan dan Agama Asli Orang Mee di Papua, dalam http://majalahselangkah.com/- content/tinjauan-keyakinan-dan-agama- asli-orang-mee-di-papua, diakses tanggal 28 Januari 2012.
Pritshard, E. Evans.
1984. Teori-teori tentang Agama Primitif. Yogyakarta: PLP2M. Qudamah, Abû ‘Abdillah Muhammad bin
Ahmad Ibnu.
1947. al-Mugnî. Kairo: Dâr al-Manar.
Rosjidi, Ajip. 2010. Mencari Sosok Manusia Sunda. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Rusyana, Yus. 1971. Bagbagan Puisi Sawer Sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pan- tun dan Folklore Sunda.
Sa‘bân, Zakî al-Dîn.
1968. Ushul al-Fiqh al- Islamî. Kairo: Dâr Nahdloh
‘Arabiyyah.
Sabiq, Sayyid. t.th. Fiqh Sunnah. Mesir:
Dâr al- Fath.
Sarakhsî, al-. 1912.
al-Mabsûth. Kairo:
Makta- bah al-Sa‘adah.
Sinnah, Ahmad Fahmi Abû. 1947. al-‘urf wa al-
‘Âdah fî Ra’yi
Fuqahâ. Mesir:
Mathba‘ah al-Azhar.
Suyûthî, Jalâl al-dîn
al-. t.th. al-Asybah wa al-
Nazhâir. Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Arabî.
Taysîr, ‘Abdurrahman
bin Nâshir al-. 2008. al-
Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Ma- nân. Kuwait: Jam‘iyyah Ihyâ’ al-Turats al- Islamî.
Hadi, Hardono, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead,
Kanisius: Yogyakarta,1996,.
Lindholm, Tore, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh ?, Kanisius,
Yogyakarta, 2010.
Pols, Edward, Whitehead’s
Metaphysics A Critical Examination of Process and Reality,
Southern Illinois University Press, United States of America, 1967.
Sherburne, Donald W, A Key To
Whitehead’s Process and Reality, Macmillan Company: United States of
America,1966.
Whithead, Alfred North, Process and Reality , The Free Press, New York,
1978.
, Religion in the Making, Macmillan, New York, 1926.
Zulkarnain, Iskandar, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, LKiS: Yogyakarta,
2005.
Al-Amin, Ainur Rofiq. 2012. Membongkar
Proyek Khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
Ali, As’ad Said. 2012. Ideologi
Gerakan Pasca-Reformasi. Jakarta: LP3ES.
Al-Nabhani, Taqiyudin al-Nabhani. 1991. Syakhshiyah Islam (Kepribadian Islam) Jilid I. Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah.
Arif, Syaiful. 2010. Deradikalisasi
Islam, Paradigma dan Strategi Islam Kultural.
Depok: Koekoesan.
Hizbut Tahrir (1945-2005). 2009. Konsepsi
Politik Hizbut Tahrir, Jakarta: HTI-Press.
Hizbut Tahrir Indonesia. 2009. Manifesto
Hizbut Tahrir untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan Penyatuan Kembali Dunia
Islam. Jakarta: HTI- Press.
Majalah al-Wa’ie, No. 108,
Tahun IX, Agustus, 2009. Majalah al-Wa’ie,
No. 137 Tahun XII, 1-31 Januari 2012.
Majalah al-Wa’ie, No. 144
Tahun XII, 1-31 Agustus 2012.
Majalah al-Wa’ie, No. 145
Tahun XIII, 1-30 September 2012.
Rahmat, M. Imdadun. 2005. Arus
Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme
Islam Timur-Tengah ke
Indonesia. Jakarta:
Erlangga.
Review, Reform. Gerakan Keagamaan
Transnasional di Dunia Islam dan Pemetaan Jejaknya di Indonesia, Vol. I No.
1, April-Juni 2007.
Sutrisno, Slamet. 2006. Filsafat
dan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Penerbit ANDI
Tabloid Media Umat, Edisi 88,
7-20 September 2012.
Thabib, Hamd Fahmi Thabib. 2008. Khilafah
Rasyidah yang Telah Dijanjikan,
dan Tantangan-tantangannya.
Jakarta:
HTI-Press.
Tim Penulis HTI. 2006. Syariah
Islam dalam Kebijakan Publik. Jakarta: HTI Press.
Abdalla, Ulil Abshar, dkk., Islam Liberal dan Fundamenta, Sebuah
Pertaungan Wacana, Jogjakarta: Elsaq Press, 2003.
35 Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 1996), h. 83-87.
Abdillah, Maskuri, Islam dan Politik Orde Baru, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1998.
Aly, Fachri dan Effendy, Bahtiar, Merambah jalan Baru Islam, Bandung:
Mizan, 1987.
Al-Anshori, Fauzan, Melawan Konspirasi Jaringan Islam Liberal,
Yogyakarta: Pustaka al-Furqan, 2003.
Azra, Azyumardi, Konflik Baru Antara Peradaban, Globalisasi, Radikalisme
dan Pluralitas, Jakarta: Rajawali Press, 2002.
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Paramadina,
1999.
Binder, Leonard, Islamic Liberalism A Critique of Depvelopment
Ideologis,
Cichago & London: Cicago Press,1988.
Husaini, Adian dan Hidayat, Nuim, Islam Liberal, Sejarah, Konsepsi,
Penyimpangan dan Jawabannya, Jakarta: Gema Insani Pres, 2002.
---------------, Gus Dur Mau Kemana; Telaah Kritis Atas Pemikiran dan
Politik Keagamaan Presiden Abdurrahman Wahid, Jakarta: DEA Press, 2002.
--------------, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme
Intelektual,
Surabaya: Risalah Gusti, 2005.
-------------, Apa Kata ‘Orang-Orang IAIN/UIN’ Seputar Islam, Pada
kegiatan Internasional Workshop on Islamic Higher Learning
Indonesia. Desember 20-23 2005 Di Wisma Sahida.
Internet, Www/islamlib.yahoo.com.
Jaiz, Hartono Ahmad, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005.
---------, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara dan
Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001.
---------, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Perbincangan
mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, Yogyakarta: Galang
Press, 2001.
---------, Islam dan Negara, Jakarta: Paramadina, 1998.
Karim, M. Rusly, Cendikiawan Muslim Indonesia dan Politik Orde Baru,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998.
Kurzaman, Charles (Edt), Wacana Islam Liberal, pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Isus-Isu Global, Jakarta: Paramadina, 2003
Ma’arif, Ahmad Syaft’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3S,
1985.
---------, Peta Bumi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1992.
Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, Bandung:
Mizan, 1989.
Majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002.
Majalah Tempo, edisi 19-25 Nopember 2001.
Mulkhan, Abdul Munir, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.
Qadir, Juli, “Wajah Islam Liberal di Indonesia: Sebuah Penjajagan Awala”
dalam Al Jami’ah VOL.40, no. 2 July Desember 2002.
Qard}awi>, Yusuf, Islam dan Globalisasi Dunia, (Terj), Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2001.
---------, Islam Radikal: Analisis Terhadap Radikalisme dalam Berislam
dan Upaya Pemecahannya, (Terj.), Solo: IKAPI, 1996.
Raharjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa,
Bandung: Mizan, 1992.
Rahman, Fazlur, Islam, Chicago dan London, Unv. Of Chicago Press, 1973.
Roy, Oliver, Gagalnya Islam Politik, (Terj.), Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 1996.
Shihab, Alwi, Islam Inklisif: Menuju Sikap Terbuka
dalam Agama,
Bandung: Mizan, 1997.
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, 2001.
Thalib, M. dan Fajar, Haris, Dialog Bung Karno - A. Hassan, Yogyakarta:
Sumber Ilmu,1985.
Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam, Jakarta: LP3ES, 2003. Winarno,
Budi, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru, Yogyakarta: Tajidu
Press, 2004.
Amal, Ichlasul,
Cornelis Lay dan Erwin Endaryanta, “Mengenal Keamanan” dalam Bahan Perkuliahan
Politik Keamanan dan Pembangunan, Program Pascasarjana, Yogyakarta: Fisipol-
UGM, 2010.
Azra, Azumardi
dalam Artikel Tempo “Radikalisme Islam Indonesia,
15 Desember 2002
-------,“Muslimin
Indonesia: Viabilitas “Garis Keras” , dalam Gatra edisi khusus 2000,
Budiman, Arief.
Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2006
Denny JA,
“Al-Qaidah di Indonesia?” dalam Kompas, Jakarta:Eedisi Kamis, 26 September
2002.
Dijk, Van, Kees
and Kaptein, J.G., Nico, Islam, Politics, and change: The Indonesian Experience
after the fall of Suharto, Leiden Uniersity Press, 2016, Cet.ke-1
Hendropriyono,
AM.,Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Jakarta: Penerbit Kompas,
2009
Parolin,
Christina, Radical Spaces: Venues of Popular Politicts in London, 1790-c. 1845,
Australia: ANU E Press, 2010, Cet.ke-1
Pujianto,
Hendriawan. “Distorsi Jurnalisme dalam Isu Terorisme” dalam Jawa Pos, Surabaya:
Edisi Senin, 25 November 2002.
Mubarak, Zaki,
M., Geneologi Islam Radikal di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2008
Muzani, Saiful,
Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika,
Jakarta: Freedom institute-PPIM, dan Penerbit Nalar, 2005
Muhaimin, Yahya,
Bambu Runcing dan Mesiu: Masalah Kebijakan Pembinaan Pertanan
Indonesia, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2008.
Riyadi, Ahmad
Ali. “Studi Islam dan Radikalisme Pendidikan dalam Konteks Masyarakat Majemuk”
dalam Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), Surakarta, 2-5 November
2009.
Turmudi, Endang
(ed)., Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005
Working Group on
Security Sector Reform, Monograph-7: Kajian Kritis Paket Perundangan di Bidang
Pertahanan Keamanan. Jakarta: Propatria, 2006.
Zada, Khamami
Islam Radikalisme, Jakarta: Teraju, 2002.
[2]
Abû al-Fidâ’ Ismâ‘il
bin Katsîr, Tafsir al-Qur’ân al-‘Adzîm (Kuwait: Jam‘iyyah Ihya’
al-Turats al-Islamî. 2001), jilid ke-3, hlm. 1876.
[3] Nina Herlina Lubis, Sejarah Tatar
Sunda (Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
2003), jilid ke-1, hlm. 155.
[4]
Kata Sunda berasal dari kata “Sund” berarti bagus/baik, segala sesuatu
yang mengandung unsur kebaikan. Hasan Mustapa menyebutkan
bahwa kata “Sunda” berasal dari kata “Sundek” yang
berarti bagus secara arti
dan hakiki. Lihat Hasan Mustapa, Adat
Istiadat Sunda (Bandung: PT. Alumni. 2010),
hlm. 225. Orang Sunda
diyakini memiliki etos/watak/karakter kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan
hidup. Watak/karakter Sunda yang dimaksud adalah
cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/cerdas).
[5] Edi S. Ekadjati,
Kebudayaan Sunda: Studi Pendekatan Sejarah (Jakarta: Pustaka
Jaya. 2009), jilid
ke-1, cet. Ke-9, hlm. 62.
[6]
Anis Djatisunda, Baduy Rawayan Urang Kanekes (Bandung: Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa barat. 1993), hlm. 3.
[9] QS.
al-Qashash: 77.
[10] M. Didi
Turmudzi, Keserasian Islam & Sunda, dalam
http://pajajaran.blogspot.com/2008/09/ kesera- sian-islam-sunda.html, diakses
tanggal 28 januari 2012.
[11]
Kepercayaan animisme (dari bahasa latin anima atau “roh”) adalah kepercayaan
kepada makh- luk halus dan roh, yang mana animisme merupakan asas kepercayaan
agama yang mula-mula muncul di kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme
yaitu percaya bahwa setiap benda di bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua,
pohon atau batu besar) mem- punyai jiwa.
[12] Kepercayaan
terhadap benda-benda di seki- tar manusia yang diyakini memiliki kekuatan ghaib
se- perti batu, gunung, dan benda-benda keramat lainnya.
[13] Tiar
Anwar Bachtiar, Sunda dan Islam, dalam
http://www.globalmuslim.web.id/2011/12/sunda-dan-
islam.html, diakses tanggal 28 Januari 2012.
[14]
Demininggus Pekei, Tinjauan Keyakinan dan
Agama Asli Orang Mee di Papua, dalam http://majalah-
selangkah.com/content/tinjauan-keyakinan-dan-aga- ma-asli-orang-mee-di-papua,
diakses tanggal 28 Januari 2012.
[15] Anonimous,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Pusat
Bahasa. 2008), hlm. 1189.
[16]
Judistira K. Garna, Orang Baduy (Bandung: Primaco Akademikan dan Judistira
Garna Foundation. 2012), hlm. 61.
[17]
Ibid. hlm. 6.
[18]
Istilah primitive digunakan oleh ahli-ahli dari Barat yang menganggap bahwa
agama selain dari Eropa dianggap tertinggal. Penulis sangat tidak setuju dengan
istilah ini sebagaimana juga tidak setuju dengan istilah tradisional dan modern
dalam terminologi Barat.
[19]
E. E. Evans Pritshard, Teori-teori tentang Agama Primitif (Yogyakarta: PLP2M.
1984), hlm. 17.
[20]
QS. al-Rûm: 30.
[21]
Saléh Danasasmita, Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi
(Bandung: Kiblat Buku Utama. 2003), hlm. 23.
[22]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Mesir: Dâr al-Fath. t.th.), 128.
[23]
QS. al-Nisâ: 19.
[24]
Yus Rusyana, Bagbagan Puisi Sawer Sunda (Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan
Folklore Sunda. 1971), hlm. 68.
[25]
Wahbah al-Zuhaylî, Ushul Fiqh al-Islamî. hlm.
282. Lebih lanjut lihat
Muhammad Abû Zahrah, Ushul al- Fiqh, (t.t.: Dâr al-Fikr al-‘Arabi. 1958), hlm.
273. ‘Abd Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr. 1986), cet. ke-20,
hlm. 79. Ahmad Fahmi Abû Sinnah, al-‘urf wa al-‘Âdah fî Ra’yi Fuqahâ (Mesir:
Mathba‘ah al-Azhar. 1947), hlm. 11. Zakî al-Dîn Sa‘bân, Ushul al-Fiqh al-Islamî
(Kairo: Dâr Nahdloh ‘Arabiyyah. 1968), hlm. 192. Mushtafâ Ahmad Zarqâ,
al-Madkhal fî Fiqh al-‘Amm. hlm. 872. ‘Abdul Karîm Zaydân, al-Madkhal lî Dirâsah
al- Syarî‘ah al-Islâmiyyah (Iskandariyah: Dâr ‘Umar bin Khattan. t.th.), hlm.
205.
[26]
‘Umar bin Khattab tercatat sebagai khalifah yang banyak menjadikan adat
kebiasaan masyarakat
pada negeri-negeri taklukan
sebagai bagian dari sistem kekhalifahannya. Misalnya ia mengadopsi sistem
diwan, registrasi, kharaj dan layanan pos yang sebagian diambil dari adat
kebaisaan kekaisaran Bizantium dan Persia. Lihat lebih lanjut Muhammad
al-Madanî, Nadzarât fî Fiqh al-Farûq ‘Umar ibn al-Khattab (Kairo: Wizarah
al-Awqaf. 2002), hlm. 158.
[27] Ahmad
Fahmi Abû Sinnah, al-’urf fî Ra’yi Fuqaha. hlm. 12.
[28] Allah
SWT berfirman: “Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS. al-Baqarah: 233).
[29] Jaih
Mubarok, Modifikasi Hukum Islam: Studi
tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid (Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2002), hlm. 311.
[30] Jalâl
al-dîn al-Suyûthî, al-Asybah wa al-Nazhâir (Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Arabî.
t.th.) hlm. 90.
[31] Ibnu
Hummam, Syarh Fath al-Qadîr (Kairo: Mathba‘ah Mushthafâ Muhammad. 1937), jilid
5, hlm. 283.
[32] Tore
Lindholm, dkk, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa jauhkah ?
Kanisius, Yogyakarta, 2010, hlm: 712.
[33] Tore
Lindholm, dkk, Ibid, hlm: 682.
[34] Iskandar
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, LKiS, Yogyakarta, hlm; 83-125.
[35] Joko
Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998,
hlm:152.
[36]
Donald W. Sherburne, A Key
To Whitehead’S Procces
and Reality, Macmillan Company : United States of America, 1996, hlm: 7.
[37] Joko
Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998,
hlm:152.
[39] Joko
Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998,
hlm: 153.
[40] Edwards
Pols, Whitehead Metaphysics A Critical Examination of Process and Reality,
Southern Illinois University Press, United States of America, 1967, hlm:18-19.
[41] Alfred
North Whitehead, Process and Reality, The Free Press, New York, 1978, hlm: 591.
[42] Alfred
North Whitehead, Religion in the Making, Macmillan, New York, 1926, hlm: 122.
[43] Joko
Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998,
hlm; 154.
[44] Alfred
North Whitehead, Process and Reality, The Free Press, New York, 1978, hlm: 364.
[45] Alfred
North Whitehead, Ibid, hlm: 31.
[46] Joko
Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998,
hlm: 154.
[47] Alfred
North Whitehead, Religion in the Making, Macmillan New York, 1926, hlm: xvi
[48] Alfred
North Whitehead, Ibid, hlm : xvii.
[49] Hardono
Hadi, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, Kanisius,
Yogyakarta, 1996, hlm: 190.
Reality, Macmillan Company : United States of America,
1996, hlm: 21.
[51] Donald
W. Sherburne, Ibid, hlm: 164.
[52] Joko
Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, 1998, hlm : 155.
[53] Donald
W. Sherburne, A Key To Whitehead’S Procces and
Reality, Macmillan Company : United States of America,
1996, hlm: 18.
[54] Alfred
North Whitehead, Process and Reality, The Free Press, New York, 1978, hlm:368.
[55] Alfred
North Whitehead, Religion in the Making, Macmillan, New York, 1926, hlm: 85-86.
[56] Alfred
North Whitehead, Process and Reality, The Free Press, New York, 1978, hlm: 368.
[57] Alfred
North Whitehead, Religion in the Making, Macmillan : New York 1926, hlm : 38.
[58]
Donald W. Sherburne,
A Key To
Whitehead’S Procces and Reality, Macmillan Company : United
States of America, 1996, hlm: 142.
[59] Joko
Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998,
hlm : 151.
[60] Alfred
North Whitehead, Religion in the Making, Macmillan, New York, 1926, hlm: 95.
[61]
Hazrat Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, Da’watul Amir, diterjemahkan oleh Sayyid
Shah Muhammad al-Jaelani (Tanpa Tempat : Yayasan Wisma Damai, 1989),h.xi. Buku
Da’watul Amir karya Hazrat Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, putra Mir- za Ghulam
Ahmad yang juga Khalifah al-Masih II (pemimpin tertinggi Jemaat Ahmadi- yah),
adalah buku yang pada mulanya dimaksudkan sebagai penjelasan tentang apa itu
Ahmadiyah yang ditujukan kepada pada raja di Afganistan. Buku ini sekarang
menjadi salah satu pegangan hidup beragama Aliran Ahmadiyah Qodiyan.
[62] Hafizh
Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), h. 90.
[63]
Menurut Keyakinan pengikut Ahmadiyah, Nabi Isa Isa, setelah dipaku di palang
salib oleh kaum Yahudi, tidaklah mati tetapi hanya pingsan.
Sesudah sembuh beliau menyingkir
dari Palestina ke daerah-daerah Timur, di
mana bertebaran sepuluh suku Israil lainnya. Akhirnya beliau
sampai di Kashmir dimana beliau wafat dan diku- burkan di Khan Yar Street
Srinagar. Sampai kini kuburan itu masih ada. Lihat Syafi R. Batuah, Ahmadiyah :
Apa dan Mengapa, (Tanpa Tempat : Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986), Cet. XVII,
h. 4.
[64] Hazrat
Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, Op. Cit., h. xii
[65] Kitab
Tadzkirah, adalah kumpulan mimpi, kasyf dan wahyu yang diterima Mirza Ghulam
Ahmad. Kitab ini menjadi kitab suci dan pegangan utama Aliran Ah- madiyah.
[66] Tadzkirah,
h. 190. Terjemah dikutip dari kitab Da’watul Amir.
[67] Da’watul
Amir,h. 190-191.
[68]
Mirza Ghulam Ahmad menulis ± 84 buku. Diantara buku-buku yang pernah
ditulisnya, yang menjadi pegangan pengikut Ahmadiyah, adalah : Barahin
Ahmadiyah, Fath-i Islam, Kasyf al-Ghita, Masih Hindustan Man, Izalah-i Auham,
Mawahib al- Rahman, Haqiqat al-Wahyi, dan al-Wasiyah. Selain itu, terdapat pula
tulisan dalam harian al-Hakam, harian resmi Ahmadiyah. Sedangkan kumpulan
wahyu, ilham dan kasyf yang diterima Mirza terangkum dalam Kitab Tazkirah.
[69] Taqiyudin
al-Nabhani, Syakhshiyah Islam (Kepribadian Islam) Jilid I (Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 1991), 56.
[70] Reform
Review, Gerakan Keagamaan Transnasional di Dunia Islam dan Pemetaan Jejaknya di
Indonesia, Vol. I No. 1, April-Juni 2007, 39.
[71] As’ad
Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi (Jakarta: LP3ES, 2012), 70-73.
[72]
Selebaran ini didapatkan oleh Ainur Rafiq, ketika ia masih menjadi hizbiyyin
dalam halaqah HTI di Universitas Airlangga, Surabaya. Sayangnya selebaran
ini anonim, sehingga tidak teridentifikasi penulisnya. Hanya saja selebaran ini
kemudian diberikan kepada para peserta halaqah. Lihat Ainur Rafiq al-Amin,
Membongkar Proyek Khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia (Yogyakarta: LKiS,
2012), 62.
[73] Wawancara
dengan M. Ismail Yusanto pada 13 September 2012.
[74] Tim
Penulis HTI, Syariah Islam dalam Kebijakan Publik (Jakarta: HTI Press, 2006),
87.
[75] Slamet
Sutrisno, Filsafat dan Ideologi Pancasila (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2006),
131-132.
[76] Wawancara
dengan M. Ismail Yusanto pada 13 September 2012.
[77] Syamsuddin
Ramadhan, “Indonesia Butuh Khilafah,” dalam al-Wa’ie, No. 137 Tahun XII, 1-31
Januari 2012, 12-15.
[78]
Muhammad Bajuri, “Negeri yang Layak bagi Penegakan Kembali Khilafah,” dalam al-
Wa’ie, No. 144 Tahun XII, 1-31 Agustus 2012, 27-30.
[79] Surat
Terbuka HTI kepada Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono pada 8
Januari 2005.
[80] Ainur
Rafiq, Membongkar Proyek Khilafah, 5-6.
[81] “Piagam
Muktamar Ulama,” dalam Al-Wa’ie, No. 108, Tahun IX, Agustus, 2009, 63.
[82] Farid
Wadjdi, “Nasionalisme, Faktor Pemecah-Belah Umat,” dalam al-Wa’ie, No. 145
Tahun XIII, 1-30 September 2012, 19-21.
[83] Syaiful
Arif, Deradikalisasi Islam, Paradigma dan Strategi Islam Kultural (Depok:
Koekoesan, 2010), 48.
[84] Adian
Husaini dan Nuim Hidayat, Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya,
(Jakarta: Gema Insani, 2012), h. vii.
[85] Azyumardi
Azra, Konflik Baru Antara Peradaban, Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas,
(Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 112.
[86] Bahtiar
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi,
(Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 69.
[87] Fazlur
Rahman, Islam, (Chicago dan London: Unv. Of Chicago Press, 1973), h. 73.
[88] Yusuf
Qardawi, Islam dan Globalisasi Dunia, terj, (Jakarta: Pustaka al- Kautsar,
2001), h.74. Lihat pula, Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru,
(Yogyakarta: Tajidu Press, 2004), h.83.
[89] Fauzan
al-Anshori, Melawan Konspirasi Jaringan Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka
al-Furqan, 2003).
[90] Ibid.
[91]
Lihat Fachri Aly dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung:
Mizan, 1987). Lihat Pula Bahtiar Effendy, yang memberi pengantar, pada Oliver
Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1996).
[92]
Tipe pertama pemikiran formalistik dari kalangan cendikiawan Muslim merupakan
tipologi pemikiran Islam yang mengutamakan dan meneguhkan ketaatan secara ketat
pada format-format ajaran islam. Dalam konteks pemikiran politiknya, tipe
pemikiran formalistik menunjukkan orientasi yang cenderung menopang bentuk-bentuk masyarakat politik
Islam yang dibayangkan, seperti mewujudkan suatu “sistem politik Islam,”
munculnya partai Islam, ekspresi Islam simbolis dan idiom-idiom politik,
kemasyarakatan, budaya Islam serta eksperimen ketatanegaraan.
Tipe kedua, pemikiran
subtansialistik, pola pemikiran ini mengajukan argumen bahwa yang paling
penting dari seseorang adalah aksentuasi substansi iman atau peribadatan, bukan
hal-hal yang sifatnya simbolik formalistik dan ketaatan literal kepada teks
wahyu Tuhan dalam keberagamaan.
Tipe ketiga, pemikiran
transformatik, sebuah pandangan pemikiran yang bertolak bahwa Islam yang utama
adalah kemanusiaan. Oleh sebab itu secara terus menerus umat Islam harus
menjadi kekuatan yang dapat melakukan motivasi dan menstransformasi masyarakat
dari pelbagai aspeknya dalam skala teoritis maupun praksis.
Tipe keempat, pemikiran
totalistik, adalah sebua pola pemikiran yang mendasarkan bahwa Islam merupakan
doktrin yang kaffah (total), mengandung wawasan dan nilai-nilai yang bersifat
komplit dan langgeng yang meliputi seluruh aspek sosial, politik, ekonomi,
segi-segi individu, kolektif maupun masyarakat, menurutnya tidak ada ruang
kosong untuk menerima partikularistik dan kemajemukan dengan dasar Islam.
Tipe kelima, pemikiran
idealistik, sebuah pemikiran Islam yang mengarah pada “Islam cita-cita” (ideal
Islam) sebagai dasar perjuangannya.
Keenam, Pemikiran
realistik. Pemikiran ini berusaha menempatkan
antara Islam doktrin (ajaran Islam) sebagai ajaran subtansialis dengan
realitas sosial kultural yang ada dan terus berkembang sesuai dengan kontek
masyarakatnya. Lihat Zuli Qadir, Wajah Islam Liberal di Indonesia: Sebuah
Penjajagan Awal, (Yogyakarta: Jurnal Al Jami’ah, Vol. 40, No. 2, Juli-Desember
2002) h. 335-337. Lihat pula, Yusuf Qardawi, Islam Radikal; Analisis Terhadap
Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya, (Terj.), (Solo: IKAPI,
1996), h.113.
[93] Ahmad
Syafti Ma’arif, Peta Bumi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992),
h.12-13.
[94] M.Dawam
Raharjo, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan,
1992), h. 23-41.
[95] Nurcholish
Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1989). h.172.
[96] Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara, (Jakarta:
Paramadina, 1998). A. Syaft’i Ma’arif, Islam dan Masalah
Kenegaraan, (Jakarta: LP3S, 1985). M. Rusly Karim, Cendikiawan Muslim Indonesia
dan Politik Orde Baru, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1998). Maskuri Abdillah, Islam
dan Politik Orde Baru, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998).
[97] Charles
Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer Tentang
Isu-Isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. xiii-iii. Bandingkan Juga
Leonard Binder, Islamic Liberalism A Critique of Depvelopment Ideologis,
(Cicago & London: Cicago Press,1988), h. 4.
[98] Bahtiar
Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan,Perbincangan mengenai Islam,
Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h.
69.
[99] M.Thalib
dan Haris Fajar, Dialog Bung Karno - A. Hassan, (Yogyakarta: Sumber Ilmu,
1985), h. 75-89.
[100]
Ibid.
[101]
Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2005), h. 33-38.
[102]
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999),
23.
[103]
Majalah Tempo, edisi 19-25 Nopember 2001.
[104]
Adian Husaini, Islam Liberal…., h. 39.
[105]
Majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002. Lihat Pula www.Islamlib.com
[106]
Adian Husaini, Islam Liberal….., h. 41.
[107]
Alwi Shihab, Islam Inklisif: Menuju Sikap Terbuka dalam Agama, (Bandung: Mizan,
1997), h.108-109.
[108]
Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), h. 44.
[109]
Adian Husaini, Gus Dur Mau Kemana; Telaah Kritis Atas Pemikiran dan Politik
Keagamaan Presiden Abdurrahman Wahid, (Jakarta: DEA Press, 2002), h. 167.
[110]
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, 2001, Dalam Husaini Adian Islam
Liberal, h. 44.
[111]
Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 98.
[112]
Pidato dalam acara peringatan Waisak Nasional di JCC, 15 Mei 2003, dalam Adian
Husaini, Apa Kata ‘Orang-Orang IAIN/UIN’ Seputar Islam, Pada kegiatan
Internasional Workshop on Islamic Higher Learning Indonesia. Desember 20-23
2005 Di Wisma Sahida.
[113]
Makalah “Edisi Kritis al-Qur’an” dalam Adian Husaini, Ibid.
[114]
Ibid.
[115]
Internet, www/islamlib.yahoo.com
[116]
Ulil Abshar Abdalla dkk., Islam Liberal dan Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana,
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2003), h.3.
[117]
Yusuf Qardhawi, Islam Radikal Dan Upaya Pemecahannya, terj., (Solo: Intermedia,
2004).
[118]
Christina Parolin, Radical Spaces: Venues of Popular Politicts in London,
1790-c. 1845 (Australia: ANU E Press, 2010), Cet.ke-1, h. 3.
[119]
Pada awalnya Islam di Indonesia sangat
dipuji dengan toleransinya. Namun kebesaran nama baik tersebut telah dirusak
oleh beberapa peristiwa berdarah yang
melibatkan agama sebagai salah satu faktor pemicunya. Secara perlahan namun
pasti, kehadiran beberapa organisasi Islam radikal di
Indonesia telah mencitrakan Islam sebagai agama teroris. Lebih lanjut
lihat Kees Van Dijk and Nico J.G. Kaptein, Islam, Politics, and change: The
Indonesian Experience after the fall of Suharto (Leiden Uniersity Press, 2016),
Cet.ke-1, h. 13.
[120]
Azumardi Azra, dalam Artikel Tempo“Radikalisme Islam Indonesia” 15 Desember
2002. Lebih jauh ditegaskan bahwa Radikalisme dan terorisme kini menjadi musuh
“baru” umat manusia. Meskipun akar radikalisme telah muncul sejak lama, namun peristiwa peledakan
bom akhir-akhir ini seakan mengantarkan fenomena ini sebagai “musuh kontemporer”
sekaligus sebagai “musuh abadi”. Banyak pihak mengembangkan spekulasi secara
tendensius bahwa terorisme berpangkal dari fundamentalisme dan radikalisme
agama, terutama Islam. Tak heran
jika kemudian Islam
seringkali dijadikan ‘kambing
hitam’. Termasuk dan terutama
pada kasus bom paling fenomenal: WTC
dan kasus termutakhir
bom “Boston Marathon”. Dalam Softan Munawar Asgart, Melawan Radikalisme
dan Terorisme di Indonesia, Research Associate, The Interseksi Foundation,
Jakarta, h. 1.
[121]
M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal di Indonesia, (Jakarta
:LP3ES, 2008).
[122]
Endang Turmudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta :LIPI Press,
2005), h. 5. Paparan senada diekspresikan bahwa negara dengan komunitas Islam
terbesar di dunia, Indonesia seringkali harus menjadi ‘tertuduh’ dalam beragam
aksi teror yang kerap menyeruak akhir-akhir ini. Pengaitan-pengaitan peristiwa
peledakan bom di tanah air dan dunia hampir selalu pertama kalinya dikaitkan
dengan “fundamentalisme Islam”. Contoh paling dekat misalnya pada peristiwa bom
Boston Marathon, 15 April 2013 yang serta-merta juga dikait-kaitkan dengan
gerakan fundamentalisme Islam. Fenomena ini seolah mengingatkan kembali
peristiwa bom WTC yang amat mengharu biru itu. Presiden Amerika saat itu, George W. Bush, langsung menyebut Osama bin
Laden sebagai representasi umat Islam yang dituding menjadi dalang. Pernyataan
serupa juga pernah dilontarkan Dubes Amerika, Ralph Boyce yang secara spontan
menuduh jaringan Al-Qaidah berada di balik teror bom Bali. Ralph Boyce bahkan
menyebutkan keberadaan jaringan terorisme internasional Al-Qaidah itu telah
beroperasi di Indonesia. Sementara pemimpin senior Singapura saat itu, Lee Kwan
Yew bahkan mengatakan Indonesia sebagai sarang teroris. Tak heran pula jika
kemudian Indonesia menjadi sorotan dunia dalam konteks isu terorisme. Lihat
Softan Munawar Asgart, Melawan Radikalisme...., h. 2.
[123]
Khamami zada, Islam Radikalisme, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 87
[124]
Lihat Kees Van Dijk and Nico J.G. Kaptein, Islam, Politics…, h. 28.
[125]
Azyumardi Azra, “Muslimin Indonesia: Viabilitas “Garis Keras” , dalam Gatra
edisi khusus 2000, h. 45. Paparan sedikit berbeda bahwa pemerintah yang
terus-menerus menekan kelompok Ahmadiyah dan Syiah, secara tidak langsung
membangkitkan semangat organisasi militan untuk
membasmi kelompok minoritas tersebut. Menurut dia, semangat
militan yang semakin tumbuh tersebut menyebabkan munculnya kembali keinginan
untuk membentuk negara Islam di Indonesia. (Abba Gabrillin, Jakarta:
COMPAS.Com.).
[126]
Khamami zada, Islam..., h. 95. Paparansenada ditegaskan bahwa Setidaknya ada
tiga faktor yang menjadi akar paham radikal berkembang di Indonesia. Faktor
pertama adalah perkembangan di tingkat global, dimana kelompok - kelompok
radikal menjadikan situasi di Timur Tengah sebagai inspirasi untuk mengangkat
senjata dan aksi teror. Apa yang terjadi di Afghanistan, Palestina, Irak,
Yaman, Syiria, dan seterusnya dipandang sebagai campur tangan Amerika, Israel,
dan sekutunya. Adapun faktor kedua
adalah terkait dengan kian tersebar luasnya paham Wahabisme yang mengagungkan
budaya Islam ala Arab yang konservatif. Dalam kaitannya dengan radikalisme,
Wahabisme dianggap bukan sekadar aliran, pemikiran, atau ideologi, melainkan
mentalitas. Ciri mental itu antara lain gemar membuat batas kelompok yang sempit
dari kaum muslimin, sehingga dengan
mudah mereka mengatakan di luar kelompok mereka adalah kaftr, musuh, dan
wajib diperangi. Sementara itu faktor ketiga adalah karena kemiskinan, walaupun
hal ini tidak berpengaruh langsung terhadap merebaknya aksi radikalisme. Hal
utamayang kemungkinanmembuatketerkaitanantara kemiskinan danradikalisme adalah
perasaan termarjinalkan. Situasi seperti itu menjadi persemaian subur bagi
radikalisme dan terorisme. Bukan rahasia lagi, kelompok radikal menawarkan
bayaran materi lumayan untuk merekrut anggota. Itu jadi daya tarik. Aksi teror
mereka maknai sebagai jihad; jika mati, mereka mati sahid. Tak ada balasan bagi
kematian sahid selain surga. Dalam Menelisik Akar-Akar Radikalisme di
Indonesia, Compasiana, 22 Juli 2015.
[127]
Ibid., h. 97
[128]
ri Lestari, Anak-Anak Muda Indonesia Makin Radikal, BBC Indonesia, 18 Februari
2016, h. 1. Lebih jauh Anas mengungkapkan dalam penelitian yang dilakukan pada
2011 di lima universitas di Indonesia UGM, UI, IPB, Unair, Undip menunjukkan
peningkatan pemahaman konservatif atau fundamentalisme keagamaan khususnya di
kalangan mahasiswa di kampus-kampus umum. Dan Radikalisme di kalangan pelajar
dan mahasiswa itu terjadi pasca reformasi, dengan menyebar melalui Jamaah
Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), termasuk HTI dan salaft yang merupakan bagian
dari gerakan Islam transnasional.
Post a Comment
silahkan berkomentar bijak dan sesuai dengan topik pembahasan