BREAKING NEWS

Monday, July 9, 2018

Isu-Isu Kontemporer Dunia Islam Indonesia




ISU-ISU KONTEMPORER DUNIA ISLAM DALAM SEJARAH DI INDONESIA

Abstrak
Pembahasan artikel ini bertujuan untuk mengingat kembali kejadian atau momentum yang berkembang dalam lapisan masyarakat kususnya isu mengenai agama islam yang berkaitan dengan kehidupan baik dari segi hukum, budaya, sosial, politik dan ekonomi yang ada di masyarakat kita bagaimana dampak dan keterkaikatan isu itu, apakah ada tujuan motif para pelaku sejarah yang berkembang dengan isu kepentingan kelompok mencari jawaban dari posisi agama menjadi motif kepentingan saja atau hanya kemurnian beragama yang berpengaruh tapi kita sebagai profesional dalam disiplin ilmu haruslah meneliti juga menelaah fenomena agama yang memunculkan gesekan sosial di indonesia sendiri gesekan agama banyak sekali bermunculan konflik sosial keberagaman indonesia yang seharusnya kita hargai sebaliknya mulai bergeser nilai keragaman menjadi kubu dan clan yang saling mengeksiskan diri memunculkan presfektif baru dalam hal pemikiran melihat dari time record konflik sosial dan gesekan yang sering muncul juga kolaborasi agama dari berbagai sudut budaya menjadi hal yang unik yang diperbincangkan.

Pembahasan
A. REKONSTRUKSI “ISLAM TEH SUNDA, SUNDA TEH ISLAM”
Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, kehadirannya membawa kedamaian bagi seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melain- kan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.[1] Imâm Ibn Katsir menafsirkan bahwa- sannya Allah SWT berfirman kepada kita bah- wa Dia telah menciptakan Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘âlamîn), artinya, Dia mengirimnya sebagai rahmat untuk semua orang.[2] Kehadiran Nabi Muhammad SAW dan risalah yang dibawa- nya (Islam) akan membawa rahmat (keda- maian) bagi seluruh umat manusia dari ber- bagai suku bangsa di dunia ini.
Ketika Islam masuk ke Tatar Sunda, ia dihadapkan pada kepercayaan yang telah ada sebelumnya. Kepercayaan yang diwarisi secara turun-temurun dan dipengaruhi oleh berbagai kepercayaan yang datang setelah- nya yaitu agama Hindu dan Budha.[3] Keper- cayaan asli di Tatar Sunda menurut beberapa ahli adalah Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Makna wiwitan yaitu mula pertama, asal, pokok atau jati sedangkan “Sunda” ber- makna cahaya cemerlang yang putih dan bersih.[4] Sehingga dikatakan kepercayaan Sunda Wiwitan adalah kepercayaan masyara- kat sunda yang pertama (asli).[5]
Setelah kehadiran Hindu dan Budha, agama asli sunda mengalami perubahan de- ngan masuknya pengaruh kedua agama ter- sebut. Salah satu pengaruh yang ada adalah penyebutan Batara Tunggal sebagai Dzat yang diyakini sebagai penguasa alam raya yaitu Nu Ngersakeun. Dewa-dewa dalam agama Hindu-pun masuk ke dalam keyakinan
asli ini hingga diyakini sebagai bagian tidak terpisahkan dari keyakinan asli sunda (Jati Sunda). Komunitas Baduy di Banten selatan masih meyakini bahwa Batara Tunggal telah menurunkan beberapa batara yaitu Batara Cikal, Batara Patanjala, Batara Wisawara, Ba- tara Wisnu, Batara Brahma, Batara Hyang Niskala dan Batara Mahadewa.[6] Berdasarkan nama-nama batara tersebut tampak sekali bahwa sebagiannya adalah nama dewa dari agama Hindu yang berasal dari India.
Selanjutnya ketika Islam masuk ke Tatar Sunda, kepercayaan akan adanya Nu Kawasa (al-Qadîr) kembali mendapatkan posisinya kembali. Jika pada masa Hindu dan Budha masyarakat Sunda “dipaksa” untuk meyakini begitu banyak dewa impor yang berasal dari India, maka ketika Islam datang, keyakinan adanya Sang Penguasa Alam Raya kembali muncul dan bertemu pada satu titik yaitu penyembahan terhadap satu Tuhan (mono- teisme). Kehadiran Islam dengan konsep tawhidullâh (Keesaan Allah) disambut de- ngan suka cita oleh seluruh masyarkat sunda sehingga mereka menganggap Islam adalah fitrah sunda yang selama ini dijajah oleh agama-agama politeisme.
Pada bidang perilaku sehari-hari, masya- rakat Sunda yang telah dipandu selama ber- abad-abad dengan tradisi karuhun yang adi- luhung, kemudian ditemukan dengan Islam yang sangat mengutamakan keluhuran akh- lak (budi pekerti). Ketika Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mu- lia”.[7] Oleh karena itu, masyarakat sunda mengejawantahkannya dengan istilah silih asah, silih asih, dan silih asuh serta ulah nga- liarkeun taleus ateul yang berarti jangan me- nyebarkan keburukan/kejahatan. Kaidah hi- dup ini dikuatkan kembali oleh sabda Nabi Muhammad SAW: “Orang beriman itu ber- sikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi se- orang yang tidak bersikap ramah. Dan se- baik-baik manusia adalah orang yang paling
bermanfaat bagi manusia. (HR. Thabrânî dan Dâruquthnî.
Penyembahan kepada satu Penguasa Alam Raya (Nu Kawasa) dan keluhuran peri- laku yang ada pada masyarakat sunda me- nyambut dengan suka cita nilai-nilai aqidah dan kemuliaan akhlak yang ada pada Islam. Sehingga keduanya seperti saudara kembar yang kembali berjumpa setelah sekian lama terpisahkan dan dipisahkan dari tangan- tangan durjana para penyembah dewa dan berhala.
B. Latar Belakang Munculnya Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”
Fenomena masyarakat sunda yang me-nerima Islam dengan suka cita dan melaksa- nakannya dalam kehidupan sehari-hari telah memberikan inspirasi kepada Haji Endang Saefudin Anshari untuk menyatakan secara retoris bahwa “Islam teh Sunda dan Sunda teh Islam” artinya bahwa “Islam itu sama de- ngan Sunda dan Sunda itu ya Islam”.[8]
Istilah ini tidak berlebihan kiranya apa- bila kita menyaksikan bagaimana masyarakat sunda menjalani kehidupannya sehari-hari. Kekuatan aqidah akan adanya satu-satunya illâh (sesembahan) yang berhak disembah dan pengamalan keislaman yang dipandu oleh kesadaran keimanan yang mendalam te- lah menjadikan komunitas sunda identik de- ngan Islam. Terasa aneh apabila orang sunda itu bukan Islam, demikian seperti yang dapat kita saksikan pada masyarakat sunda saat ini. Islam menjadi jiwa bagi masyarakat sunda di bumi Parahyang dengan tetap menjalankan tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan syariatnya.
Bukti-bukti keharmonisan antara sunda dan Islam tampak dari berbagai sikap reli- giositas orang sunda itu seperti terungkap dalam peribahasa, “diri sasampiran awak sa- sampaian”.  Artinya,  semuanya  merupakan kepunyaan Allah SWT (Gusti nu murbeng alam). Oleh karena itu, manusia sunda dalam kehidupannya selalu menggunakan rasa (bo- ga rasa rumasa, ngaji diri). Bahkan dalam ba- nyak hal, orang sunda selalu bersyukur atas apa yang diterimanya, sehingga “syukuran” bagian dari tradisi atas nikmat yang diper- olehnya. Lebih dari itu, ketika ditimpa mu- sibah ia selalu bersyukur dengan istilah “un- tung”. Bahkan ketika musibah meninggal ter- jadi sekalipun tidak jarang orang sunda ma- sih terucap kata “untung”, “untung maot coba mun hirup meureun jadi tanpa daksa”. Dalam terminologi Islam ini disebut qana‘ah, yang artinya merasa cukup dengan yang ada khususnya masalah dunia sebagai kebajikan yang dianjurkan.
Jika dikategorikan, ada beberapa pan- dangan hidup orang sunda tentang berbagai hal mengenai manusia sebagai pribadi, ma- nusia dengan masyarakat, dengan alam, de- ngan Tuhan dan hakikat manusia. Misalnya, dalam mencapai tujuan hidup, orang sunda harus mempunyai keseimbangan yang di- sebut sineger tengah yang berarti wajar, tidak berlebihan. Dalam bahasa Islam disebut ummatan wasathan, umat yang pertengahan. Hal itu tertuang dalam petuah, “jaga urang hees tamba tunduh, nginum tuak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo ulah urang kajongjonan”. Artinya, hendaklah tidur se- kedar menghilangkan kantuk, minum tuak sekedar menghilangkan haus, makan seke- dar menghilangkan lapar, jadi dalam perike- hidupan tidak berlebihan. Ini sejalan dengan ajaran Islam, sikap tamak merupakan sikap yang sangat tercela. Bahkan, dalam hidup kita juga dianjurkan untuk adanya keseim- bangan di dunia dan akhirat, seperti diung- kapkan dalam ayat al-Quran Allah SWT ber- firman: “Dan carilah pada apa yang telah di- anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu me- lupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”.[9]
Manusia sunda sebagai pribadi digambarkan oleh tingkah laku dan budi bahasa- nya. Oleh karena itu, dituntut “kudu hade gogog hade tagog” (baik budi bahasa dan tingkah laku) dan “nyaur kudu diukur, nyabda kudu diungang” serta manusia sunda juga harus “sacangreud pageuh, sagolek pangkek” (teguh pendirian tidak pernah ingkar janji). Ini juga merupakan nilai-nilai utama da- lam Islam, seperti diungkapkan dalam hadits, “seutama-utama manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”. Artinya, kehadiran kita bukan saja tidak menimbulkan kerusakan atau kesulitan bagi orang lain te- tapi juga dapat memberikan manfaat dan maslahat.
Orang sunda memiliki filosofi ketuhanan yaitu keyakinan seperti ajaran Islam, innâ lillâ- hi wa innâ ilayhi râji‘ûn dengan ungkapan “mulih ka jati mulang ka asal”. Dengan demi- kian juga dalam menjalani kehidupan, orang sunda mempunyai norma dan etika seperti “ulah pagiri-giri calik pagirang-girang tampian” (janganlah berebut kekuasaan dan jabat- an). Dalam Islam ada hadits, yang berbunyi, “Jangan berikan jabatan kepada orang yang memintanya”. Hal ini berbeda dengan feno- mena demokrasi sekarang, di mana orang yang ingin jabatan harus pamer dan me- nyombongkan diri lewat kampanye, istilah sundanya, “agul ku payung butut” (bangga dengan prestasi buruk).[10]
Nilai kesundaan yang islami lainnya seperti, “ulah nyaliksik ka buuk leutik” (jangan- lah memeras rakyat kecil), “ulah kumeok memeh dipacok” (jangan mundur sebelum berusaha), “kudu bisa ka bala ka bale” (bisa fleksibel dalam mengerjakan apa saja) dan “mun teu ngakal moal ngeukeul, mun teu ngarah moal ngarih” (berusaha/berikhtiar se- kuatnya).
Demikian juga dalam membangun lingkungan sosial yang damai dalam Islam istilah rahmatan lil ‘âlamîn, orang sunda mempunyai filosofi, “tiis ceuli herang panon” (hidup damai dan tentram) serta “kudu bisa mihape- keun maneh” (tingkah laku menyesuikan dengan lingkungan). Nilai-nilai itu turunan atau tafsir terhadap nilai-nilai keislaman, tetapi juga warisan budaya dan filosofi masyarakat sunda bahkan sebelum datangnya Islam. Ini tidak aneh, karena Islam sebagai aga- ma fitrah pada dasarnya saluran dan periwajar jika kemudian sunda identik dengan Islam dan Islam identik dengan sunda “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”.
Namun harmoni ini tidak semua orang menyukainya, pihak-pihak yang tidak menginginkan Islam dan sunda bergandengan tangan melakukan berbagai agitasi untuk memisahkan dan me- ngadu domba antara keduanya. Maka saat ini kita saksikan terjadi jurang pemisah yang dalam antara para penganut Islam yang berusaha untuk istiqamah yang menganggap bahwa budaya dan tradisi lokal tidak sesuai dengan nilai-nilai Illâhiyyah sebagai agama samawi, sementara pihak-pihak yang berusa- ha menapaki jalan karuhun bersikap apatis seolah-olah Islam adalah agama impor yang hendak menghancurkan kebudayaan sunda. Maka sudah selayaknya kita kembali untuk merajut kebersamaan itu sunda yang memi- liki jiwa kesundaan yang tidak bertentangan dengan Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.
C. Perkembangan Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”
Masyarakat sunda secara mayoritas ber- agma Islam, sehingga sangat wajar jika Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Ia telah mendarah da- ging, menjadi ruh bagi jasad sunda dan men- jadi energi bagi berlangsungnya kebudayaan masyarakat ini. Tidaklah berlebihan jika Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” mun- cul dan mewakili jati diri muslim di tanah Pasundan. Namun tetap saja ada orang- orang yang tidak suka dengan hal ini, di antara mereka adalah budayawan Katolik ahli sunda, Jakob Sumardjo. Dalam tiga jilid bukunya  yang  berjudul  “Simbol-Simbol  Ar- tefak Budaya Sunda” (diterbitkan oleh Pe- nerbit Kelir Bandung Tahun 2009), Sumardjo berusaha mengaitkan jati diri kasundaan de- ngan mengembalikannya pada kepercayaan sunda yang dipengaruhi animisme[11] dan dina-ngatan terhadap kecenderungan baik (hanif)        dalam diri manusia.Berdasarkan sekian banyak titik temu antara budaya sunda dan Islam maka sangat misme[12]; atau Hindu-Budha. Dalam jilid ketiga yang secara khusus mengenai pantun- pantun sunda, tafsiran istilah pada pantun itu ia kaitkan dengan kepercayaan lama yang bukan Islam, padahal dalam konteks kekini- an, pandangan hidup sunda tidak dapat dipi- sahkan dari Islam.[13]
Teori-teori dari Barat (Eropa dan sekutu- nya) yang menyatakan bahwa agama asli Indonesia adalah animisme dan dinamisme sepertinya perlu ditinjau ulang kembali. Keti- dakpahaman mereka akan kepercayaan ma- syarakat lokal menjadikannya dengan mudah menyatakan hal tersebut. Pendapat seperti ini kemudian diteruskan oleh anak-anak di- diknya yang belajar dan membebek kepada barat, sebagai contoh Rachmat Subagya yang menulis buku dengan judul: “Agama Asli Indonesia”. Buku tersebut sangat sub- jektif sekali berbicara tentang agama asli Indonesia tanpa memperhatikan substansi dari masing-masing agama dan kepercayaan tersebut. Sehingga dengan mudah penulis menyatakan bahwa agama asli Indonesia adalah paham animisme, dinamisme dan to- temisme. Padahal apabila kita lebih jeli dalam melihatnya maka seluruh kepercayaan yang ada di Indonesia bersumber pada kepercaya- an adanya satu Penguasa Alam Raya yaitu Allah SWT dalam keyakinan Islam.
Bukti-bukti yang menguatkan pendapat ini sangat banyak sekali, salah satunya ada- lah kepercayaan yang ada pada komunitas Baduy di mana mereka meyakini adanya satu Nu Kawasa yang menjadi penguasa bagi alam semesta ini. Demikian pula komunitas Dayak yang meyakini adanya Ranying sebagai Tuhan penguasa alam semesta. Pada komu- nitas suku Mee di Papua mengenal Ugatamee sebagai sebagai Pencipta, Penyelengara, dan Penjaga dalam hidup suku bangsa ini.[14] Maka teori tentang agama animisme dan dinamis- me di Indonesia perlu dikaji ulang.
D.        Rekonstruksi Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”
Rekonstruksi secara bahasa berarti pe- ngembalian seperti semula serta penyusun- an (penggambaran) kembali. Istilah mere konstruksi bermakna melakukan rekon- struksi.[15] Maka rekonstruksi istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” bermakna menyu- sun dan membangun kembali makna istilah ini dalam ranah kekinian. Upaya ini sebagai bentuk penyegaran kembali pemahaman ter- hadap harmoni antara Islam dan budaya Pasundan.
Apabila Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” pada awalnya berasal dari realitas bahwa komunitas sunda telah menjadikan Islam sebagai bagian tidak terpisahkan da- lam kehidupan sehari-hari, maka upaya rekonstruksi dilakukan dengan kembali membangun pondasi dan menegakkan tiang-tiang penyangganya. Setelah itu melengkapinya dengan atap yang memayungi bangunan istilah ini.
Pondasi dasar bagi istilah ini adalah pe- mahaman yang sama antara kepercayaan asli sunda (Jatisunda) dengan Islam. Asas monoteisme yaitu penyembahan kepada satu Tuhan (Allah SWT) adalah fakta yang tidak bisa disangkal. Pemahaman masyarakat sun- da awal tentang hakikat dari Sang Pencipta yang mengatur seluruh alam raya masih ter- lihat jelas pada komunitas-komunitas adat di Tatar Sunda. Sebagai contoh komunitas adat Baduy di Kenekes, hingga saat ini mereka masih meyakini bahwa Batara Tunggal (Yang Maha Esa) adalah satu-satunya Dzat yang harus disembah. Salah satu dogma mereka menyebutkan “Sagala nu Lir Kumelip di Bumi Langit, Engkena mah Bakal Balik deui Jadi Hiji jeung Batara Tunggal” (Semua ciptaan-Nya di Bumi dan di Langit, pada Waktunya akan Kembali lagi Menyatu dengan Batara Tunggal).[16]
Dogma ini harus dianalisis terlebih da- hulu, apakah ia murni berasal dari keperca- yaan lokal? atau telah mengalami reduksi dan pengaruh dari agama lain? Saya berpendapat bahwa dogma ini telah mengalami pengaruh dari agama Hindu, terbukti dengan istilah “Batara Tunggal” yang berasal dari ajaran Hindu aliran Ciwa yang hidup pada masa kerajaan Pajajaran hingga menjadi agama Ciwa-Pajajaran.[17]Berikutnya kepercayaan pe- nyatuan antara makhluk dengan Tuhan juga merupakan keyakinan dari orang-orang Sufi dengan slogan manunggaling kawulo lan gus- ti (menyatunya antara hamba dan Tuhan) yang banyak dipengaruhi oleh agama-agama Persia dan India. Sehingga pemahaman ter- hadap satu-satunya Dzat yang telah mencip- takan alam semesta dan satu-satunya yang harus disembah merupakan kepercayaan sunda.
Merujuk kepada teori-teori agama primitive,[18] bahwa sejatinya kepercayaan-keperca- yaan yang ada pada masyarakat lokal di ber- bagai penjuru dunia merujuk pada satu- satunya Dzat yang menciptakan, mengatur dan menguasai alam raya dengan berbagai nama dan istilahnya.[19] Demikian pula yang kita dapati pada komunitas sunda di masa lalu, ia berakar kuat di tengah masyarakat sehingga ketika Islam datang mereka menyambutnya seolah-olah seorang Panglima Perang yang membebaskan mereka dari segala bentuk keyakinan kepada banyaknya dewa-dewa (baca: berhala).
Rekonstruksi berikutnya adalah bahwa tiang-tiang penyangga ini didasarkan kepada fitrah manusia yang sejatinya berada pada jalan yang lurus (hanif). Rasulullah SAW bersabda: “Seorang bayi tak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi”. (HR. Muslîm) Fitrah yang dimaksud dalam ayat ini adalah bahwa setiap manusia akan senan- tiasa meyakini bahwasanya hanya Allah-lah satu-satunya pencipta dan Dzat yang berhak untuk disembah. Hal sebagaimana firman Allah SWT: “…tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah- nya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah itulah agama yang lurus”.[20]
Ayat dan hadits ini menjadi tiang penopang bahwasanya setiap manusia memiliki fitrah yang lurus yaitu meyakini adanya satu al-Khâliq (Sang Pencipta) dan satu-satunya Illâh yang harus diibadhi (Sesembahan). Masyarakat sunda sejak awal telah meyakini bahwasanya hanya ada satu Pencipta yaitu Sang Hyang Keresa. Dialah yang telah mencip- takan alam semesta ini. Selain itu mereka ju- ga mengenal satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi (ditaati) yaitu Illâh (Batara Jagat) sebagai penguasa alam raya yang harus ditaati. Adanya berbagai keyakinan dewa-dewa dan makhluk-makhluk ghaib lain- nya disinyalir adalah pengaruh dari agama berhalaisme.
Bidang hukum Islam yang telah ada se jak masa awal masyarakat sunda adalah sundat atau khitan. Prabu Ratu Dewata (1535 – 1543 M) sebagai salah satu raja Pajajaran yang sangat alim dan taat kepada agama telah melakukan upacara “sunatan” (adat khitan pra-Islam).[21] Satu sisi dapat dipahami bahwa sunat atau khitan telah ada di Tatar Sunda sebelum kehadiran Islam, sehingga ketika Islam datang maka ia menyempurna- kan tradisi yang baik ini. Pada bidang perka- winan adanya istilah seserahan sejatinya ada- lah bukti penghormatan calon pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan dan keluarganya. Demikian juga nasihat-nasihat yang diberikan pada saat saweran adalah se-laras dengan tradisi Arab pra Islam yang memberikan nasihat kepada calon pe- ngantin.Sebuah riwayat yang dibawakan oleh Sayyid Sabbiq dalam al-Fiqh al-Sunnah me- ngenai seorang ibu bernama Bintu al-Hârits, sedangkan si pengantin perempuan berna- ma Umm ‘Ayyâys binti ‘Auf bin ‘Alam al- Syaybanî.[22] Ia memberikan nasihat kepada anak perempuannya yang akan menikah dan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan ketika menjadi seorang istri. Allah SWT telah memberikan nasihat bagi pasangan suami istri dalam firman-Nya: “Dan gaulilah istri- istrimu dengan cara yang ma‘ruf. Maka sean- dainya kalian membenci mereka, karena bo- leh jadi ada sesuatu yang kalian tidak sukai dari mereka, sedangkan Allah menjadikan pa- danya banyak kebaikan.”[23] Demikian pula wasiat Nabi Muhammad SAW kepada setiap suami “Pergaulilah istri-istri dengan baik, ka- rena sesungguhnya mereka itu mitra hidup kalian”, riwayat yang lainnya beliau bersabda “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya. Dan se- baik-baik kalian adalah yang paling baik ter- hadap istrinya”. (HR. Ahmad)
Ayat dan hadits tersebut merupakan na- sihat bagi calon pengantin serta suami istri agar bisa hidup damai, bahagia di dunia di akhirat. Makna nasihat-nasihat tersebut ter- dapat pula dalam teks sawer “Bismillâh da- mel wiwitan, Mugi Gusti nangtayungan, Eulis-Asép nu réndéngan, Mugia kasalamet- an. Salamet nu panganténan, ulah aya kaki- rangan, sing tiasa sasarengan, sangkan jadi kasenangan. Sing senang laki rabina, nu diwuruk pangpayunna, nyaéta badé istrina, masing dugi ka hartina. Hartikeun Eulis ayeuna, Lebetkeun kana manahna, manawi aya gunana, nu dipamrih mangfaatna. Mang- faatna lahir batin, Eulis téh masing prihatin, ayeuna aya nu mingpin, ka carogé masing tigin. Tigin Eulis kumawula, ka raka ulah ba- hula, bisi raka meunang bahla, kudu bisa silih béla. Silih béla jeung carogé, ulah ngan pe- lesir baé, mending ogé boga gawé, ngarah rapih unggal poé. Répéh rapih nu saimah, rumah tangga tumaninah, tapi lamun loba salah,  laki  rabi  moal  genah….”.[24]  Kearifan lokal ini tentunya harus dijaga jangan sampai hanya sekadar tradisi yang tidak memberi ar- ti bagi pengantin dan keluarga.
Rekonstruksi istilah ini adalah dengan menggali sumber-sumber Islam yaitu al- Quran dan al-Sunnah yang berkaitan dengan tradisi dan adat-istiadat pada suatu masyara- kat. Ranah hukum Islam menyebut istilah ini dengan ‘urf, العرف yaitu kebiasaan yang dila- kukan oleh kebanyakan masyarakat, baik da- lam perkataan maupun perbuatan yang dila- kukan secara terus-menerus dan diakui seba- gai sesuatu yang baik oleh mereka.[25]Teori ‘urf merupakan respon ahli hukum Islam ter- hadap adat kebiasaan yang berlaku di masya- rakat. Inti teori ini adalah bahwa adat ke- biasaan yang dilakukan oleh manusia secara berulang-ulang dan dipandang baik oleh me- reka bisa diterima oleh Islam sebagai dalil hu- kum. Sejatinya penerimaan ‘urf sebagai dalil hukum Islam telah dilakukan sejak masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.[26] Tra- disi ini dilanjutkan oleh para ahli hukum Islam pada masa-masa berikutnya.
Ahli hukum Islam yang menggagas teori ini adalah Mâlik bin Anas, beliau berpendapat bahwa ‘urf masyarakat harus dipertimbang- kan dalam memformulasikan suatu ketetap- an dalam hukum Islam. Ia menetapkan ‘amal penduduk Madinah sebagai sumber hukum ketika tidak ditemukan secara eksplisit dalil dalam al-Quran maupun al-Hadits.[27] Ia juga melakukan takhshish terhadap ayat al-Quran dengan ‘urf Arab pada permasalahan hak menyusui bagi seorang ibu.[28] Menurutnya, walaupun ayat ini memerintahkan para ibu untuk menyusui anaknya hingga dua tahun, namun dalam praktiknya ibu-ibu di Arab te-ah terbiasa dengan menyusukan anak-anak nya kepada perempuan-perempuan dari wilayah pedalaman dengan harapan anak-anaknya tersebut mendapatkan pendidikan dan lingkungan pertumbuhan yang baik.
Imâm Syâfi’î juga menggunakan ‘urf sebagai dalil dalam menetapkan suatu hukum Islam, terlihat dari perubahan hukum ketika ia berpindah dari Baghdad ke Mesir dengan pertimbangan ‘urf penduduk Mesir.[29] Ulama
Syâfi‘iyyah  yang  membahas  masalah ‘urf Bahwa adat dan ‘urf merupakan sumber hukum yang bisa memecahkan dalam berbagai persoalan, diantaranya masa- lah haid masalah batas dewasa dll.[30]
Abû Hanîfah telah banyak menggunakan istihsan yang salah satunya menjadikan adat kebiasaan sebagai bahan pertimbangan. Me- tode ini diteruskan oleh murid-muridnya yaitu Abû Yûsuf, Sarakhsî dan Syaybanî. Abû Yûsuf berpendapat bahwa ‘urf menjadi bahan pertimbangan utama dalam sistem hu- kum Hanafiyyah, ketika nash yang jelas tidak ditemukan.[31] Menurut Sarakhsi, Abû Hanîfah akan menolak qiyas untuk lebih memilih Selain ahli hukum Islam dari empat maz- hab klasik, ahli hukum Islam kontemporer juga menyepakati bahwa ‘urf menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam.
Hasil Kajian Sunda Islam
Berdasarkan pembahasan mengenai re- konstruksi istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” maka ada beberapa kesimpulan :
1.           Sejarah munculnya istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” adalah realitas masyarakat Sunda yang telah menerima Islam karena selaras dengan nilai-nilai ke- sundaan yang mereka miliki;
2.           Keselarasan antara sunda dan Islam tampak dari kepercayaan mereka terha- dap adanya satu Tuhan Pencipta dan Pe- milik Alam (Monoteisme) serta perilaku dan etika Sunda yang selaras dengan adab dan akhlak dalam Islam;
3.           Agama dan kepercayaan berhalaisme atau keyakinan dengan banyak tuhan (tri- nitas, dewa-dewa dan politeisme lainnya) tidak mungkin diterima oleh komunitas sunda karena bertentangan dengan keya- kinan awalnya; dan
4.           Rekonstruksi istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” dilakukan dengan me- nguatkan kembali pondasi tawhidullâh (keyakinan adanya satu Tuhan yaitu Allah SWT), membangun tiang-tiang penopang berupa mengembalikan fitrah hanif umat manusia dan merumuskan atap sebagai payung yaitu kaidah-kaidah fiqhiyyah khu- susnya kaidah “al-‘âdah al-muhakkamah”.

E. PROSES BERAGAMA AHMADIYAH DALAM PERSPEKTIF ALFRED NORTH WHITEHEAD
Ajaran Ahmadiyah di Indonesia masih dinilai bertentangan dengan Umat Islam pada umumnya. Ajaran Ahmadiyah masih dirasakan dapat menganggu kerukunan internal beragama. Sebab apa, keberadaanya Ahmadiyah bertentangan dengan inti ajaran agama Islam. Ajaran-ajaran sangat menyesatkan dan membuat resah umat Islam.
Hal itu ditegaskan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam keputusan No. 11/Munas Vii/Mui/15/2005 tentang aliran Ahmadiyah yang berada diluar Islam, sesat dan menyesatkan serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).[32]Fatwa ini melanjutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatan. Bahkan hal ajaran Ahmadiyah dikategorikan bagian dari penodaan agama, yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahaan penyalahgunaan dan penodaan agama.[33] Persoalan apa yang membuat ajaran Ahmadiyah dianggap sesat. Ada beberapa doktrin Ahmadiyah yang dianggap kurang tepat dalam kehidupan beragama umat Islam di Indonesia. Pertama, berkaitan dengan doktrin masalah Al-Mahdi dan Isa Al Masih. Kedua, masalah mujaddid (pembaharu). Ketiga, masalah kenabian. Keempat, berkaitan dengan masalah Wahyu. Kelima, masalah khilafah. Keenam, masalah jihad.[34]
Ajaran Ahmadiyah banyak mengajarkan kesesatan. Hal itu di sebabkan, karena Kaum Ahmadiyah memahami Nabinya, bukan Nabi Muhammad. Mereka menggangap Nabinya adalah Mirzam Ghulam Ahmad, karena mendapatkan Wahyu langsung dari Tuhan, karena dia telah diutus oleh Tuhan.
Pemahaman ajaran Ahmadiyah yang berbeda itulah sehingga memunculkan beragam tafsiran, yang tak lain perbedaannya terletak pada konsepsinya. Dalam ajaran Ahmadiyah, ada beberapa pesan dari Mirzam Ghulam Ahmad, yakni dia mengaku sebagai pembaharu. Persoalaan keberagamaan ini semakin menarik untuk dikaji, yang yang kemudian dikaitkan dengan analisis dari ontologi Alfred North Whitehead.
F. SEKELUMIT         TENTANG     PEMIKIRAN ONTOLOGI ALFRED NORTH WHITHEAD
Alfred North Whithead, OM, dilahirkan di Ramsgate, Kent, Inggris, 15 Februari 1861 dan meninggal di Cambridge, Massachutsetts, Amerika Serikar, 30 Desember 1947. Ia adalah seorang matematikawan Inggris yang menjadi seorang filsuf. Ia menulis tentang aljabar, logika, dasar, filosofi ilmu pengetahuan, fisika, metafisika dan pendidikan.
Dalam konteks sejarah dunia, masa hidupnya tersebut merupakan masa yang penuh dengan gejolak. Secara umum, diketahui pada masa itu terjadi dua perang yang mengguncangkan kehidupan seluruh umat manusia. Dalam masa itu juga ditandai dengan munculnya berbagai penemuan penting dalam bidang ilmu pengetahuan serta munculnya gagasan-gagasan revolusioner yang menciptakan paradigma baru dan mengubah sejarah. Pada masa itu juga muncul tokoh-tokoh seperti Charles Darwin, Albert Einstein, William James dan Henri Bergson.
Ada beberapa kategori penting dan beberapa konsep ontologi Whitehead yang pokok antara lain, berkaitan dengan proses, kreatifitas, satuan-satuan aktual, Tuhan, objek-objek abadi, dan konsep substansi.[35] Dari beberapa konsep tersebut itulah yang perlu dijadikan pijakan dari landasan ontologi Whitehead dan kategori penting itu semua berjalin dalam pembahasan mengenai pemikiran ontologi Whitehead.
1. Proses
Dalam Pandangan Whitehead, kata proses seringkali muncul karena hal inilah yang menjadi titik tolak dari pemikiran Whitehead, melalui karyanya Process and Reality” (1978). Whitehead, menegaskan bahwa setiap wujud dan eksistensi itu mengalami sebuah proses dan perubahan, ada upaya dinamisasi dalam setiap entitas aktual.
Karena itu, di dalam membahas proses, tentunya tidak bisa dilepaskan dari istilah entitas, sebab apa, entitas aktual inilah yang melakukan sebuah proses, sehingga “menjadi” hal yang baru bagi yang lainnya. Doktrin positif menjadi ini jelas berhubungan dengan entitas aktual, yang juga memiliki kaitan dengan istilah “entitas occasion”, entitas yang setiap kesempatan bisa menjadi dan berubah menjadi kebaruan sebagai bagian dari proses.[36]
Whitehead mencoba membedakan dua macam proses. Yakni proses makrokosmik dan proses mikrokosmik. Proses makrokosmik adalah perpindahan dari aktualitas yang telah dicapai kepada aktualitas yang lain. Proses ini membuat perubahan dari nyata aktual menjadi sungguh-sungguh nyata. Sedangkan, proses mikrokosmik adalah perubahan keadaan nyata melulu menjadi suatu aktualitas tertentu. Proses ini menghasilkan perkembangan dari yang semata-mata nyata menjadi aktual. Dalam pandangan Whitehead proses makrokosmik berhubungan dengan hasil atau guna. Sedangkan, proses mikrokosmik berhubungan dengan tujuan.[37]Pada tataran kedua proses itulah sebenarnya manusia terus berproses dalam ranah yang luas yang berhubungan Tuhan, maupun yang kecil berhubungan antara manusia dengan manusia lainnya serta makhluk-makhluk lainnya seperti binatang, tumbuhan, dan makhluk lainnya.
2. Kreativitas
Di dalam entitas aktual, termasuk diri manusia, di sadari atau tidak, mempunyai potensi kreativitas, kreativitas menjadi   salah   satu   prasyarat   bagi   diri   manusia   untuk menciptakan entitas aktual yang baru bagi diri dan masyarakat. Kreatifitas melibatkan diri manusia baik yang nampak maupun tidak nampak, setiap manusia mempunyai potensi-potensi untuk diwujudkan dalam proses kehidupan bermasyarakat dengan segala keunikannya.
Kreativitas adalah bagian sebuah cara bagaimana manusia menunjukkan potensinya lewat pengalaman hidup yang dialami dan dirasakannya. Proses kreatifitas manusia tentunya melibatkan unit manusia yang spesifik, setiap unit spesifik itu mempersepsi semua ke dalam kesatuan pengalamanya (unity of feeling) berdasarkan penilaiaan relevan dan pengalaman manusia yang dirasakan. Sehingga memunculkan sesuatu yang berbeda diri manusia.
Setiap pengalaman dengan identitas tertentu yang berbeda, dalam bentuk sederetan unit pengalaman yang sambung menyambung, kekinian demi kekinian, sepanjang kurun sejarah kehidupan, mengandaikan berlakunya tatanan stabil dari dunia aktual.[38] Kehidupan dari manusia adalah dinamis, dan perubahan itu tergantung dari proses kreatifitas manusia dalam mengembangkan dari seluruh pengalaman yang ada. Kreatifitas adalah karakter yang universal, yang menyatu dari beberapa unit-unit kreatifitas yang unik dan berbeda.
Kreativitas itu adalah salah satu bentuk di antara bentuk dasar, di samping Tuhan dan objek abadi (eternal objek). Sehingga dapat di kita pahami, bahwa kreativitas merupakan salah satu unsur dalam proses pembentukan segala sesuatu. Proses kreatif yang membentuk kesatuan alam.[39] Dalam hal ini Whitehead mengatakan demikian : „..Creativity is the principle of novelty. An Actual occasion is novel entity diverse from any entity in the many which..... the creative advance is the application of this ultimate principle of creativity to each novel situation which it originates [40]
Pernyataan di atas menegaskan bahwa setiap kreatifitas yang dilakukan manusia, sudah semestinya kita memahami adalah unsur kebaruan dan itu adalah proses bagiamana entitas aktual berperan dalam menemukan kreatifitas sehingga menjadi manusia yang unik dan berbeda, dengan tujuan sebagai bagian dari satuan aktual, yang melahirkan entitas aktual yang baru.
Kreativitas sendiri merupakan segala daya yang memperoleh wujud dalam dilahirkannya satu satuan aktual dari banyak satuan aktual lain sebelumnya. Kreativitas tidak mempunyai karakter tersendiri terlepas dari satuan aktual yang memberi wujud pada daya ciptanya. Kreativitas dapat dikenali dan dimengerti tidak bisa lepas dari perwujudannya dalam proses terjadinya suatu satuan aktual.[41]
Lahirnya denyut pengalaman atau unit spesifik yang baru merupakan perjalanan kepada kebaruan. Setiap kebaruan yang memasuki unit spesifik yang “baru lahir” itu ialah ikut sertanya informasi baru berupa seperangkat bentuk ideal baru ke dalam dunia aktual.[42] Kreatifitas menjadi salah satu hal yang harus dilakukan oleh setiap manusia untuk menuju kebaruan. Kreatifitas bisa dinilai dari segala perilaku tindakan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Satuan-Satuan Aktual
Konsep satuan-satuan aktual merupakan salah satu konsep dalam filsafat proses .Satuan-satuan aktual merupakan kenyataan dasar yang membentuk sesuatu yang ada. Setiap satuan aktual adalah peristiwa pengalaman yang rumit. Whitehead menegaskan, konsep satuan-satuan aktual itu merupakan suatu prinsip ontologik dalam filsafat proses.[43] Satuan-satuan aktual (actual entitas) merupakan kategori eksistensi primer yang membentuk segala sesuatu yang ada. Menurut Whitehead, tidak ada suatu pun  yang lebih nyata danprimer dari padasatuan-satuanaktual;        ia juga menyebutnya sebagai final realitas. Menurutnya upaya pemahaman terhadap realitas didasarkan atas satuan-satuan aktual. Whitehead menyebutnya sebagai prinsip ontologis (ontologis           principle)bahwa segala sesuatu merupakansatuan-satuan aktual atau derivasi dari satuan-satuan aktual.
Semua satuan aktual diprehensi secara positif, namun hanya objek-objek abadi pilihan. Dalam rangkaian pemaduan aneka prehensi, satuan-satuan tipe kategorial lain menjadi relevan dan beberapa baru tipe ini seperti proposisi-proposisi baru dan kontras-kontras generik, menjadi bereksistensi. Satuan-satuan aktual relevan dari tipe-tipe yang lain ini juga diprehensi ke dalam penyusunan sel yang dikonkresi.
Suatu satuan aktual adalah suatu proses yang selama ini banyak beroperasi dengan kesatuan subjek yang tidak lengkap berakhir di dalam suatu kesatuan operasi yang lengkap yang disebut kepuasan. Kepuasan adalah desakan kreatif melalui pemenuhan tuntutan-tuntutan kategorial. Analisis kategori-kategori ini adalah tujuan dari metafisika.[44]
Proses dalam satuan aktual itu sendiri sebenarnya bagian dari penyatuan aktual. Satuan aktual yang meruang itu digerakkan oleh substansi dalam upaya mencapai kepenuhan atau subjektif aim, sehingga adanya satuan-satuan aktual itu menegaskan tentang sebuah proses dan proposisi-proposisi yang menyatu ketika diprehensi. Satuan-satuan aktual itu terdiri dari beberapa unsur entitas aktual yang menyatu dari berbagai elemen yang tidak mungkin dipisahkan satu sama lain.
Penganalisisan suatu satuan aktual ke dalam “prehensi” adalah cara analisis yang memperlihatkan unsur-unsur paling konkret dalam hakekat satuan-satuan aktual. Cara analisis ini akan disebut sebagai “kehadiran Tuhan” ke dalam diri manusia. Suatu prehensi dalam dirinya menghasilkan karakteristik-karakteristik umum suatu satuan aktual, prehensi merujuk pada dunia eksternal.[45]
Pada sisi lain, Whitehead juga selalu menekankan aspek perubahan dalam filsafatnya, namun ia juga menyatakan bahwa satuan-satuan aktual yang berproses dan menciptakan sebuah jaringan realitas organis, pada mereka tetap ada aspek “permanensi” sebagai pola-pola tetap (enduring patterns) yang menjadi identitas mereka. Hanya saja kategori gerak dan perubahan jauh lebih mendasar dari aspek permanen  pada satuan aktual tersebut. Konsep satuan aktual yang meliputi hampir seluruh kategori makhluk tersebut menjadikan Whitehead dikenal sebagai tokoh yang mengusung gagasan “pan-subjectivity”.
Gagasan ini (Pan-subjectivity) adalah paham bahwa seluruh realitas haruslah dilihat sebagai subjek yang utuh, yang berlaku tidak hanya untuk manusia, tetapi juga benda- benda mati, tumbuhan, binatang bahkan Nabi dan Tuhan. Pandangan seperti ini jelas berkaitan erat dengan pandangan ontologis Whitehead tentang alam semesta sebagai jaringan entitas-entitas aktual yang saling berproses dan mempengaruhi satu sama lainnya.
4.         Tuhan
Tuhan dalam pandangan Whitehead adalah actual entity. Sebagai actual entity, Tuhan berbeda dengan satuan-satuan aktual yang lain, karena Tuhan memiliki dua sifat yakni sifat primordial dan konsekuen. Dari pandang sifat primordial dan sifat konsekuen, Tuhan adalah tidak terbatas, asal dari segala kemungkinan-kemungkinan. Sebagai pencipta, Tuhan tidak berada di depan atau dibelakang ciptaanya, melainkan di tengah dan bersama dengan segala ciptaanya. Di pandang dari sifat „konsekuen‟ dan yang terakhir.[46]
Tuhan dalam aspeknya yang primordial memberi wujud konseptual pada semua objek abadi dengan memikirkan segala macam bentuk kemungkinan yang bisa terwujud untuk setiap satuan aktual. Oleh Karena itu Tuhan dalam aspeknya yang primordial menjadi sumber segala cita-cita atau tujuan akhir semua proses konkresi untuk perwujudan diri suatu satuan aktual. Demikian Tuhan menjadi prinsip dasar konkresi. Kendati setiap satuan actual itu memiliki kebebasan dalam mencipta diri, namun kebebasan dalam penciptaan diri itu tidak bersifat sewenang-wenang karena dibatasi oleh kondisi masa lalunya dan kerangka cita-cita atau tujuan sebagaimana kemungkinannya telah dipikirkan Tuhan dalam keabadiannya.
Tuhan Sang sahabat, ialah konsep yang paling matang atau dewasa dalam evolusi agama. Tuhan merupakan tempat sebagai “muara” atau “tumpahan” semua pengalaman religius dari semua yang ada (actual entity). Tuhan adalah sahabat karib kepada siapa seluruh ciptaan”mencurahkan hatinya”. Dalam primordial nature-nya, Tuhan menjadi “pola” bagi dan menginformasikan nilai kepada setiap entitas yang mengaktual.
Tuhan mulai digambarkan tidak hanya sebagai prinsip metafisis, tetapi juga sebagai satuan aktual (actual entity) karena hanya satuan aktualah yang betul-betul ada dalam kepenuhan arti kata. Sebagai satuan aktual, Tuhan memprehensi pengalaman-pengalaman aktual”ciptaan- ciptaan”, yang sesaat pernah ada dan lalu melenyap.[47] Dengan demikian, keberadaan Tuhan yang ada, sekaligus yang mengaktulkan entitas ke dalam diri manusia.
Tuhan dalam sistem metafisika Whitehead pertama kali dikaitkan dengan permanensi. Pertama, permanensi dari forma-forma yang tertata, diformatkan, diinduksikan, diinformasikan atau dipersuasikan kepada dunia semesta. Kedua, berhubungan dengan permanensi dari apa saja yang “menjadi”, semua yang pernah datang dan semua yang menghilang.[48] Hal-hal itu adalah bagian dari cara perwujudan Tuhan di dalam dunia aktual ini.
5. Objek-Objek Abadi
Whitehead merumuskan objek abadi sebagai hal-hal yang melulu merupakan kemungkinan bagi determinasi khusus kenyataan atau bentuk bentuk ketertentuan. Objek abadi hanya di deskripsikan di dalam potensialitasnya untuk ”ingresi” (partisipasi) ke dalam peristiwa terjadinya entitas aktual, dan analisisnya hanya menunjukkan objek abadi lainnya. Objek abadi hanya merupakan kemungkinan. Kata “ingresi” menunjuk pada cara tertentu di mana kemungkinan objek abadi tersebut direalisasikan di dalam entitas aktual partikular, menyumbang pada ketertentuan suatu entitas aktual.[49]
Dalam hubunganya dengan sistem objek abadi, yang tentunya berkaitan dengan entitas aktual. Di dalam entitas aktual itu memuat sejumlah objek abadi. Di dalam suatu entitas aktual tertentu, hanya sejumlah terbatas objek abadi diwujudkan dalam kenyataan sebagai struktur entitas aktual tersebut, di dalam determinasi jumlah objek abadi tersebut, sesungguhnya ingin menekankan bahwa tanpa adanya pembatasan itu tidak akan terjadi entitas aktual, sebab apa, untuk menjadi aktual berarti menjadi ”yang-ini bukan yang itu.”
Objek-objek abadi adalah murni potensi yang universal dan aktual entitas berbeda pada tiap-tiap bagian dalam realisasinya dari potensinya. Aktual entitas yang mana adalah konsepsinya tidak dikenal tapi meliputi bagian dari referensi beberapa definisi aktual entitas yang di dunia sementara ini.[50] Objek-objek abadi adalah terberi dari prehensi-prehensi yang memberikan data pada entitas aktual, di dalam prehensi objek        abadi   disebutkan       juga            conceptual.
prehension. Konseptual prehensi adalah datum-datum yang ada di dalam objek abadi. Perasaan konseptual adalah perasaan objek abadi yang paling dasar dalam diri manusia. Perasaan itu memiliki kapasitas dan karakter dari proses realisasi yang dibatasi.
6. Konsep Substansi
Dalam pemikiran Whitehead, awal mulanya munculnya “substansi”, itu di mulai perdebatan modern science mengenai materialisme alam semesta ini. Whitehead tidak setuju ketika subtansi yang berupa material itu dikatakan sebagai eksistensi yang pasif, Whitehead memberikan argumentasi bahwa substansi material itu sebenarnya aktif, karena memiliki dasar dasar entitas aktual yang bisa berubah dab berproses.[51]
Pandangan Whitehead tentang substansi merupakan reaksi kontra terhadap pandangan substansi yang menguasai pemikiran filsafat Barat sejak Aristoteles, yakni tentang independensi subtansi. Di mana materialisme dianggap eksis sendirinya, tanpa bantuan yang lain.[52]Padahal, materi itu membutuhkan entitas-entitas aktual yang lain, sebagai proses dan perubahannya dalam menemukan entitas aktual, sebagai satuan-satuan aktual.
Dengan begitu, saya hanya bisa menarik sebuah pendapat, materia-materia yang dimaksudkan oleh Whitehead tidak hanya menekankan sebuah benda-benda yang ada di dunia aktual, akan tetapi manusia itu sendiri merupakan bagian dari materi-materi juga, di dalam diri manusia juga terkandung berbagai elemen-elemen dasar pembentuk dari entitas aktual.
Pada dasarnya prinsip-prinsip ontologi dari Whitehead terletak pada entitas aktual, yakni terletak juga pada peran manusianya atau subjektifnya. Setiap kondisi adalah sebuah proses “menjadi” dalam bentuknya yang konkret, melainkan juga terletak pada karakter subjek sebagai proses dalam memahami hakekat. Subtansi ini ditransformasikan ke dalam entitas aktual.[53] Keberadaan subtansi ini yang dimaksudkan bukan Tuhan, sebagaimana substansi yang dimaksud Leibnez. Akan tetapi, substansi itu adalah gabungan dari berberbagai satuan-satuan aktual, yang disebut dengan satuan-satuan aktual. Karena itu, substansi yang terdiri dari banyak satuan-satuan aktual ini memiliki sebuah proses.
C. RELEVANSI ONTOLOGI WHITEHEAD DALAM PROSES BERAGAMA AHMADIYAH DI INDONESIA
1. Pengalaman Religius
Setiap manusia hidup di dunia ini memiliki pengalaman yang berbeda beda dalam menjalankan kehidupannya. Pengalaman manusia dalam beragama pun mempunyai perbedaaan satu dengan yang lain. Pengalaman religius adalah bersifat subjektif di mana itu berkaitan dengan keyakinan, dan perasaaan (feeling ) dalam perjumpaan dengan Tuhan dan bahkan Nabinya. Pengalaman religius manusia dalam beragama, terutama dalam agama Islam memiliki pandangan yang berbeda-beda. Setiap pengaman religius mengandung entitas aktual. Agama hadir di dunia dalam bentuknya doktrin dan dogma, yang mana meletakkanya dalam posisi untuk menuju kebenaran secara yang metafisik.
Dalam konteks ini, ajaran Ahmadiyah yang juga bisa dikategorikan bagian proses beragama yang hadir ditengah- tengah umat Islam. Eksistensi aliran Ahmadiyah dalam menjalankan ibadah dan ritual yang diyakini merupakan salah satu wujud-wujud entitas aktual, pengalaman feeling (pengalaman religius) dengan menggunakan analisa dari Whitehead, ini merupakan perasaan-perasaan religius adalah bagian dari tugas subjek-superjek.
Subjek-superjek adalah maksud proses yang menciptakan perasaan-perasaan. Perasaan-perasaan tidak dapat dipisahkan dari akhir yang ditujunya dan akhir ini adalah sang perasa. Perasaan-perasaan adalah apa yang ada agar subjeknya dapat menjadi apa adanya. Karena itu, secara transenden karena sang subjek adalah apa yang berdasarkan perasaan-perasaan, hanya melalui perasaan-perasaannya maka sang subjek mengondisikan secara objektif kreativitas mentransenden di luar dirinya. [54]
Keberadaan Ahmadiyah yang mungkin bisa juga dikatakan bagian dari pola keberagamaan yang inklusif, terbuka bagi siapa saja yang ingin mengikuti ajaran Ahmadiyah. Hal itu seakan-akan mengindikasikan bahwa ajaran Ahmadiyah, dengan menekankan bahwa Nabinya adalah Mirza Ghulam Ahmad merupakan muncul entitas aktual yang proses dalam menjalankan agamannya. Karena itu, landasan filosofis dari munculnya ajaran Ahmadiyah sebagai proses beragama disebabkan karena beberapa hal.
Pertama, hal itu muncul dari kebertentuan dari yang aktual muncul dan keeksklusifan objek-objek abadi di dalam fungsi mereka sebagai determinan. Jika satuan aktual adalah ini, maka karena hakikat ini kasus dari ajaran Ahmadiyah ia bukanlah itu dan itu. Hal itu menegaskan bahwa tujuan dari hakikat yang diinginkan dari semua agama Islam dan aliran keagamaan ajaran Ahmadiyah, ini menunjukkan bahwa hakekat setiap ajaran agama, maupun di dalam Ahmadiyah, itu bersifat subjektif. Melainkan karena ajaran Ahmadiyah yang subjektif, fenomena pengalaman religius yang tuju adalah Tuhan, bukan persoalan Nabi maupun Wahyu.
Kedua, terkait dengan perasaan konseptual adalah perasaan akan suatu objek abadi dalam kaitannya dengan kapasitas umum sebagai determinan karakter, yang dengan cara itu mencakup kapasitas keeksklusifannya. Dengan berpijak pada hal, itu saya berusaha mengasumsikan, ini benar atau tidak, sejauh pemahaman saya, objek-objek abadi ini adalah mewujudkannya perasaan manusisa akan nabinya Nabi, baik itu Nabi Muhammad maupun Nabi Mirza Ghulam Ahmad, bagi kaum Ahmadiyah. Nabi-Nabi itu merupakan objek-objek abadi dan ini merupakan bagian dari satuan-
satuan aktual yang akan memungkinan adanya perasaan- perasaan religius untuk selalu berproses atas objek-objek abadi yang diprehensikan setiap unsur manusia beragama, termasuk kaum Ahmadiyah.
Bagi Whitehead, pengalaman religius ialah the rightness of the very nature of things dan bukan adanya Tuhan yang berpribadi. Melalui penyimpulan, melalui penggambaran metafisis mencari syarat-syarat yang memungkinkan adanya kosmos atau dunia konkret ini, dapatlah diketahui bahwa dunia yang kita diami ini tak mungkin, eksis, tak mungkin terpikirkan, apabila tidak ada sang entitas aktual yang dalam agama-agama disebut Tuhan.[55] Karena itu, kita dapat memahami dalam konteks ini, kategori entitas aktual itu adalah manusia dan nabinya.
Satuan aktual, Tuhan merupakan satuan aktual yang memprehensi dalam entitas aktual dalam diri manusia, sehingga setiap kesadaran belaka, pengalaman religius, penginderaan, emosi belaka, penampakan belaka mengandung entitas occasion, untuk menuju entitas aktual. Tentunya, di dalam entitas aktual juga ada kebebasan dan kreatifitas.
Penulis melihat proses pengalaman religius yang dimiliki kaum Ahmadiyah melalui ajaran yang diusung Mirzam Ghulam Ahmad sebagai pembaharu dan Nabi ini merupakan suatu kreatifitas dan kebebasan dari kaum Ahmadiyah dalam memahami Nabinya. Sehingga di dalam kebebasan manusia boleh menentukan pilihan dan keyakinan, melainkan hal itu bagian dari kreatifitas manusia dalam konteks keagamaan.
Fenomena Ahmadiyah bagian dari proses keberagaaman dalam melihat ajaran kaum Ahmadiyah. Kebebasan dan kreatifitas dalam dogma dan doktrin ajaran Ahmadiyah merupakan hal yang sangat signifikan sekali untuk menekankan bahwa ternyata setiap pengalaman religius dengan munculnya aliran sempalan dalam hal keberagamaan seperti Ahmadiyah, menunjukkan agama itu ternyata sebagai proses beragama untuk “menjadi”.
Perlu kita pahami, bahwa kreatifitas bukan suatu agen luar dengan maksud-maksud tersembunyinya sendiri, semua satuan aktual memiliki karakteristik penyebabnyanya bersama Tuhan. Karena alasan ini setiap satuan aktual bersama Tuhan juga memiliki karakteristik mentransdensikan semua satuan aktual lainnya, termasuk Tuhan.[56] Karena itu, proses ajaran Ahmadiyah dalam memahami Nabi nya, merupakan kebaruan sebagai proses beragama.
Dalam pandangan Whitehead, perlunya transformasi gradual dari bentuk-bentuk religius yang sudah ada menuju tingkat generalitas yang lebih tinggi inilah lazim dikumandangkan oleh para nabi dan para pembaharu, dan merupakan arah ke mana agama sebagai proses, sebagai sesuatu yang “menjadi”, harus menunjukkan dirinya.[57] Karena itu, saya beranggapan Nabi Mirzam Ghulam dari ajaran Ahmadiyah sesungguhnya merupakan upaya transformasi dari satuan aktual dari Tuhan dan Nabi. Kaum Ahmadiyah adalah sebuah bagian dari entitas-entitas aktual yang berproses menuju kepenuhan dengan didukung oleh substansi aktivif dalam upaya memahami ajaran Ahmadiyah.
Proses keberagamaan kaum Ahmadiyah in merupakan satuan aktul, keterberian, dan proses dari Tuhan. Tuhan sudah memprehensi dalam diri umat Ahmadiyah, sehingga memunculkan upaya pemahaman ajaran Ahmadiyah yang berbeda dengan agama Islam pada umumnya. Kaum Ahmadiyah memiliki potensi dan kebebasan dalam meyakini Nabinya Mirzam Ghulam, karena itu berkaitan dengan potensi dan bahkan subtansi aktivis yang telah diberikan oleh Tuhan. Proses itu dibentuk oleh masuknya objek-objek abadi ke dalam suatu kebertentuan baru perasaan yang menyerap dunia aktual ke dalam suatu aktualitas yang baru. Entitas aktual kaum Ahmadiyah harus dipahami sebagai proses pencarian akan Nabinya dalam meyakini dan memahami Nabi serta Tuhannya.
Whitehead dalam fungsi rasio memiliki dua cara, yakni fungsi rasio praktis dan rasio konseptual. Pada tataran fungsi rasio konseptual, manusia mencari kebenaran pengetahuan dari gagasan yang baru sebaga proses dinaminasi. Dalam hal ini ontologi whitehead memiliki pengaruh yang besar dalam ajaran Ahmadiyah yang dikatakan sebagai pembaharu. Karena umat Ahmadiyah sedang berproses menuju hal-hal yang baru. Bukanlah yang mengulang-ulang dan paten.
2. Sumbangan Ontologi Whitehead dalam Agama
Dalam konteks ini, pengalaman religius kaum Ahmadiyah sudah seharusnya dilihat sebagai fakta atas kondisi sosial-keagamaan di Indonesia. Pengalaman yang menggejala di mana –mana itu berupa pemahaman langsung mengenai adanya suatu peran, suatu karakter, yang mewujudkan diri dalam alam semesta aktual. Di dalam karakter itu, dapat ditemukan prasyarat-prasyarat metafisis tertentu. Kita mesti yakin pula bahwa doktrin-doktrin metafisisnya memiliki dasar yang kukuh, yang dimiliki kaum Ahmadiyah.
Agama sebagai sebuah dogma dan doktrin tentunya memiliki juga sebuah proses dan tidak hanya mengandalkan individual saja, doktrin itu berproses Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Whitehead : The doctrine of the “individual independence of real facts” raises additional problems when one explicity recognize that it implies the “individual independence temporal occasion” Whitehead now turn his attention to this aspect of the problem [58]
Karena itu, proses ontologi kaum Ahmadiyah bergerak dalam wilayah pemikiran, penghayatan, perasaaan aktual yang setiap saat terjadi bersama dengan yang lain.. Karena itu, Whitehead mengatakan pandangan tentang agama, tidak bisa dilepaskan dari dogma dan doktrin, Whitehead tetap peduli pada segi perasaan yang bersumber dari doktrin dan dogma dalam sebuah peribadatan hidup beragama. Peribadatan dan perasaan perlu dintegrasikan dengan ajaranya. Hal ini adalah bagaimana nilai-nilai doktrin setiap agama harus berproses bersama dengan entitas aktual lainnya.
Keberadaan Ahmadiyah dengan ritual dan ajarannya itu merupakan wujud dari ekspresi. Setiap ekspresi membutuhkan dukungan dari yang lain. Ekspresi, muncul karena pemahaman terhadap dogma dan doktrin. Ekpresi itu menunjukkan bahwa keberadaan pengamalan religius, itu adalah kesendirian, di dalam kesendirian ia akan kembali pada masyarakat (society), tidak ada kesendirian yang mutlak. Setiap entitas perlu dukungan yang lain. Begitu juga manusia tidak mampu mengucilkan diri dari masyarakatnya.
Dengan begitu, kita dapat memahami bahwa kehadiran Kaum Ahmadiyah dalam bagian dari agama Islam ini hadir, sebagai entitas aktual yang mengalami “kebaruan”, untuk menemukan identitas, serta kebebasan dan kreatifitas bagi setiap penganut Ahmadiyah. Kreatifitas penganut Ahmadiyah adalah wujud nyata, bahwa kreatifitas, prehensi yang dihadirkan Tuhan kepada penganut Ahmadiyah. Ada beberapa hal yang menarik untuk dianalisa lebih lanjut mengenai   kreatifitas   penganut   kaum   Ahmadiyah   dalam ontologi Whitehead terhadap sumbangan agama di dunia Islam.
Pertama, berkaitan dengan kreatifitas, kreatifitas tidak harus dimaknai sebagai kreatifitas secara fisik. Akan tetapi, dalam konteks agama, kreatifitas bisa juga bisa ditafsirkan, sebagai kreatifitas yang transendental, sebab apa, proses beragama kaum Ahmadiyah ini muncul karena dilandasi sebuah keyakinan dan kepercayaan atas doktrin-doktrin dari Ahmadiyah. Di sinilah letak ontologi Whitehead, ketika dikaitkan dengan proses beragama Ajaran Ahmadiyah.
Kedua, karakter dan keunikan, tidak harus dipikirkan secara umum sebagai perilaku dan tindakan yang nyata. Akan tetapi, dalam hal agama, karakter dan keunikan  bagi penganut Ahmadiyah hal-hal yang berkaitan transenden, pengalaman religius yang sesungguhnya dilakukan dalam aktivitas ritual keagamaan itu mencerminkan dari perasaan- perasaan ontologis, yang melibatkan banyak bentuk bentuk dasar entitas aktual, sehingga melahirkan satuan-satuan aktual yang akan bermuara pada Tuhan dan hakekat yang ingin dituju bagi penganut Ahmadiyah. Setiap ajaran Ahmadiyah adalah proses “menjadi”.
Dalam konteks ini, proses beragama penganut ajaran Ahmadiyah ini sebenarnya bisa dikategorikan dalam analisis Whitehead sebagai metafisika spekulatif. Sebab apa, kategori ini masuk ke dalam kategori konseptual. Maksudnya, spekulatif ini, adalah kategori yang digeneralisasikan dari sistem konseptual yang mencakup semua unsur pengalaman.[59]
Keberadaan agama dalam artian ajaran Ahmadiyah ini akan menemukan kebenaranya jika disandingkan dengan metafisika. Sebab apa, agama merupakan kerinduan dari roh bahwa hal-hal aktual akan mampu menemukan pembenaran dalam ranah kenyataan.[60] Hal ini yang mendasari nilai-nilai kegunaan dari ontologi Whitehead untuk menyumbangkan pada agama, sehingga ketika ajaran Ahmadiyah hadir dalam agama itu menjadi ada dan benar, sebab penganut ini masih “berproses” dan “menjadi”. Fakta ini harus kita pahami sebagai sebuah kebenaran dalam hal agama, atau mungkin analisa ini lebih merupakan bagian dari teologi proses bagi penganut Ahmadiyah.
Dengan demikian, kita harus menyadari, bahwa proses beragama ajaran Ahmadiyah di Indonesia harus dimaknai sebagai “menjadi”, sebagai entitas aktual, yang melibatkan prehensi-prehensi dan pengalaman religius bagi penganut Ahmadiyah. Whitehead dalam “Religion in the Making” (1926), mengatakan bahwa pada mulanya agama merupakan kesendirianya (soliter) atau invidual, tapi pada tahap perkembanganya agama membutuhkan entitas aktual yang lain, di dalam kesendirianya itu agama mempunyai  kesadaran religius untuk menghayati doktrin-doktrin yang diyakini dengan tujuan menemukan “kebaruan”, di antara perbedaan keyakinan pada umumnya atau satuan aktual yang lain sehingga menjadikan yang lain tetapi terikat dalam satuan-satuan aktual yang mengarahkan pada subtansi aktif, dengan berdasarkan pada landasan pada ontologi Whitehead, setiap subtansi dan objek-objek abadi dalam doktrin dan dogma agama itu terus berproses.
Dengan demikian, dalam hubungan entitas aktual, penganut Ahmadiyah yang sedang proses dalam beragama, sebagaimana analisa dari Whitehead, penganut Ahmadiyah ini berproses secara makrokosmik. Secara makrokosmik, perpindahan aktualitas, yang telah dicapai kepada aktualitas yang lain, perpindahan dari ajaran agama Islam pada umumnya menuju aktualitas yang baru, yakni ajaran Ahmadiyah, sehingga kita dapat menafsirkan bahwa ontologi Whitehead sangat menyetujui dari karakter dan ajaran Ahmadiyah sebagai agama, dalam proses setiap saat sesuai dengan peristiwa yang di alami.
Dengan begitu, sumbangan ontologi Whitehead dalam proses beragama dari ajaran Ahmadiyah ini menemukan pembenarannya dalam agama. Oleh karena itu, kita tidak boleh menyesatkan dan mengkafirkan dari ajaran Ahmadiyah. Sebab apa, itu bagian dari proses beragama dari ajaran Ahmadiyah, untuk “menjadi”. Intinya, kehadiran eksistensi ajaran Ahmadiyah di Indonesia adalah bagian dari “proses”.
Hasil Kajian Ahmadiayah
Dalam membahas persoalan ontologi Whithead bukanlah hal yang mudah sekali. Saya merasakan sekali sulitnya untuk memahami dan menemukan titik tolak dari ontologi Whitehead yang begitu ketat dan banyak istilah-istilah yang digunakan, semisalnya mengenai proses, entitas aktual, kreatifitas, Tuhan, objek-objek abadi, dan konsep subtansi.
Dari kajian ontologi Whitehead terkait dengan proses beragama ajaran Ahmadiyah di Indonesia di atas dapat disimpulkan, bahwa Ajaran Ahmadiyah sebagai sebuah agama tetap mengakui sebagai agama Islam. Karena itu, ajaran Ahmadiyah merupakan agama Islam yang secara terus menerus menyusun dogma dan doktrin menjadi sistem yang koheren, logis, adekuat dan aplikatif. Agama Islam yang berkembang dalam aliran sempalan keagamaan Ahmadiyah sesungguhnya berada dalam proses, sesuatu yang “menjadi”.
Dengan begitu, kita harus memahami perbedaan ajaran Ahmadiyah dalam agama Islam secara umum dan itu bagian dari filsafat proses. Whitehead pun mengatakan bahwa setiap pengalaman manusia itu merupakan suatu perubahan dan proses manusia yang berbeda dengan yang lain, untukmenciptakan “kebaruan”, dengan adanya satuan-satuan aktual. Hal itu semakin menegaskan bahwa pemikiran Whitehead ingin menekankan pada adanya pluralitas atau kemajemukan realitas.
Setiap kemajemukan dan pluralitas yang berbeda antar indinvidu yang satu dengan indvidu yang lain adalah hal yang wajar, karena dengan adanya perbedaan ajaran Ahmadiyah adalah suatu bentuk dan bagian dari proses, di mana setiap subjek yang berbeda, adalah berkaitan dengan satuan aktual yang lain dalam menuju :kebaruan” dan “proses menjadi”. Oleh karena itu, kita dapat menegaskan bahwa keberadaan dari ajaran Ahmadiyah di Indonesia sebagai aliran keagamaan itu adalah proses pengalaman religius dari tiap tiap manusia untuk “menjadi‟ yang baik dan menciptakan kreatifitas dan keunikannya secara transendental.
D. PENJELASAN TENTANG FATWA ALIRAN AHMADIYAH
Musyawarah Nasional (MUNAS) VII MUI tanggal 26-29 Juli 2005 M./19-22 Jumadil Akhir 1426 H. menegaskan kembali  fatwa dan keputusan MUNAS II MUI tahun 1980 tentang Ahmadiyah sebagai aliran yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan serta menghukumi orang yang mengikutinya sebagai murtad (telah keluar dari Islam). Meski demikian, dalam fatwa tersebut MUI menyerukan mereka yang telah terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq) sejalan dengan al- Qur’an dan Hadis. Dalam fatwa tersebut juga dinyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham aliran Ahmadiyah di seluruh Indonesia, membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.
Dengan fatwa tersebut, ada tiga point yang harus digaris-bawahi :
1. Aliran Ahmadiyah adalah kelompok yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
2. Dengan adanya hukum murtad tersebut, MUI menyerukan mereka yang telah terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejalan dengan al-Qur’an dan Hadis (al- ruju’ ila al-haqq).
3. Pelaksanaan butir-butir fatwa yang terkait dengan pelarangan aliran Ahmadiyah di wilayah negara Republik Indonesia harus dikoordinasikan kepada pihak-pihak terkait, karena yang memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi adalah Pemerintah selaku ulil amri. MUI tidak membenarkan segala bentuk tindakan yang merugikan pihak lain, apalagi tindakan anarkis terhadap pihak- pihak, hal-hal atau kegiatan yang tidak sejalan dengan fatwa MUI ini.
Seluruh fatwa MUNAS VII MUI, termasuk fatwa tentang Aliran Ahmadiyah, dijaring dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat dalam berbagai forum, seperti Rakorda, Rakernas, Musda, dan berbagai surat serta e-mail yang diterima oleh MUI. Fatwa tentang Aliran Ahmadiyah diputuskan setelah terlebih dahulu dilakukan studi yang mendalam atas ajaran-ajaran Ahmadiyah dengan menggunakan pendekatan historis dan studi kepustakaan (library research), yaitu dengan cara menelusuri sejarah Ahmadiyah, mengkaji kitab-kitab dan
tulisan karya Mirza Ghulam Ahmad dan para tokoh Ahmadiyah serta mengkaji dua kelompok Ahmadiyah dan ajarannya masing-masing dengan merujuk langsung berbagai literature asli terbitan mereka.Selain itu, tentu saja dilakukan pula kajian yang mendalam terhadap al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Aqwal Ulama serta keputusan- keputusan fatwa ulama di dunia Islam.
Aliran Ahmadiyah adalah aliran yang mengikuti ajaran Mirza Ghulam Ahmad al-Qodiyani dan berdiri pada tanggal 23 Maret 1889. Mirza Ghulam Ahmad sendiri lahir di Qodiyan, nama sebuah desa  di India, pada tanggal 13 Februari 1835 dan meninggal pada 26 Mei 1908.[61]
Pada awalnya (tahun 1882) Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid (reformer), namun pada tanggal 4 Maret 1889 Mirza Ghulam Ahmad mengaku dan mengumumkan dirinya menerima wahyu langsung dari Tuhan yang menunjukknya sebagai al-Mahdi al- Ma’huud (Imam Mahdi yang dijanjikan) dan agar umat Islam berbai’at kepadanya.[62] Pada 23 Meret tahun itu pula Ghulam Ahmad menerima bai’at 20 orang dari kota Ludhiana, di antara mereka terdapat Hadrat Hakim Nurudin yang kelak menjadi Khalifah al-Masih I, pemimpin tertinggi Ahmadiyah.
Pada tahun 1890 Mirza Ghulam Ahmad membuat pengakuan yang lebih menghebohkan. Ia mengatakan, selain sebagai al-Mahdi ia juga mengaku mendapat wahyu dari Allah yang menyatakan bahwa Nabi Isa a.s., yang dipercaya umat Islam dan umat Kristen bersemayam di langit, sebenarnya telah wafat.[63]
Menurut Mirza Ghulam Ahmad, janji Allah untuk mengutus Nabi Isa kedua kalinya ke dunia diwujudkan dengan jalan menunjuk dirinya sebagai al-Masih al-Mau’ud (al- Masih yang dijanjikan). [64] Penunjukan Allah terhadap Mirza Ghulam Ahmad tersebut menurutnya adalah ”wahyu” sebagaimana termuatdalam Kitab Tadzkirah[65] yang berbunyi sebagai berikut :“al-Masih anak Maryam, rasulullah, telah wafat. Sesuai dengan janji, engkau datang menyandang warna sifatnya. Janji Allah pasti akan genap”.[66]
Dengan pengakuan ini, maka menurut Ahmadiyah, dalam diri Mirza Ghulam Ahmad terdapat dua personifikasi, yaitu al-Masih yang dijanjikan dan al-Mahdi yang dinantikan.[67]Pada tahun 1901, Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul. Pengakuan sebagai nabi dan rasul itu dapat dilihat dalam berbagai buku dan tulisan Mirza Ghulam Ahmad, baik dalam buku-buku karyanya sendiri maupun dalam tulisannya di berbagai media massa, seperti surat kabar atau majalah.[68]
Fatwa dan Sikap Dunia Islam
Berdasarkan kajian yang mendalam dan fakta-fakta ajaran mereka para ulama Pakistan dan India sepakat menghukumi kafir kepada Mirza Ghulam Ahmad serta kedua kelompok pengikutnya tersebut sejak 70 tahun yang lalu. Pelarangan Ahmadiyah juga dilakukan oleh berbagai negara/pemerintahan muslim seperti Malaysia, Brunei, Saudi Arabia dan berbagai negara Islam lainnya.
DinegaraPakistan,Ahmadiyahdigolongkansebagaiminoritasnon- muslim. Pada tanggal 26 April 1984 pemerintah Pakistan menetapkan ketentuan bahwa pengikut Mirza G A (Qodiyan dan Lahore) merupakan non-muslim dan melarang mereka menggunakan istilah dan simbol- simbol Islam untuk menyesatkan kaum muslim, seperti masjid, azan, ummahatul mu’minin, khulafa rasyidun, dan shahabat. Menanggapi peraturan ini, pengikut Ahmadiyah mengajukan banding kepada pengadilan syari’ah. Kemudian pada tanggal 15 Juli 1984, pengadilan syari’ah Pakistan menolak tuntutan banding pengikut Ahmadiyah dan menguatkan keputusan pemerintah. Selanjutnya pengikut Ahmadiyah mengajukan banding ke  pengadilan  yang lebih  tinggi. Pada tanggal  3 Juli 1993, setelah melalui proses peradilan dari tahun 1988-1993 Mahkamah Agung (supreme court) Pakistan memutuskan bahwa Aliran Ahmadiyah bukan merupakan bagian dari agama Islam, pengikutnya digolongkan sebagai non muslim, dan menetapkan Aliran Ahmadiyah sebagai agama minoritas seperti Kristen dan Hindu.
Selain itu, para ulama dari berbagai negeri Islam lain yang terdiri dari 144 organisasi Islam dan tergabung dalam organisasi Rabithah Alam Islami dalam keputusannya di Mekkah al-Mukarromah

pada tahun 1973 secara bulat (ijma’) juga menfatwakan Ahmadiyah kelompok yang kafir, keluar dari Islam. Bahkan dalam Konferensi Organisasi-Organisasi Islam se-dunia pada tanggal 6-10 April 1974, dibawah anjuran Rabithah ‘Alam Islami, merekomendasikan antara lain : (1) Setiap lembaga Islam harus melokalisir kegiatan Ahmadiyah dalam tempat ibadah, sekolah, panti dan semua tempat kegiatan mereka yang destruktif; (2) Menyatakan Ahmadiyah sebagai kafir dan keluar dari Islam; (3) Memutuskan segala hubungan bisnis dengan mereka;
(4) Mendesak pemerintah-pemerintah Islam untuk melarang setiap kegiatan pengikut Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap mereka sebagai minoritas non-Islam.
Kekufuran Ahmadiyah juga telah ditetapkan oleh Fatwa ulama negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI), yaitu dalam fatwa Majma’ al-Fiqh al-Islami OKI, melalui keputusannya No 4 (4/2) dalam Muktamar kedua di Jeddah Arab Saudi pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406 H./22-28 Desember 1985. Dalam fatwa tersebut dinyatakan :
“Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath’i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pengikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad SAW”.
Fatwa serupa ini juga telah ditetapkan oleh lembaga-lembaga fatwa/ulama di berbagai negara Islam. Di Mesir, misalnya, Majma’ al-Buhuts juga telah menetapkan fatwa kafir terhadap Ahmadiyah.
E. Kontradiksi Pandangan HTI atas Pancasila
Sebagai organisasi trans-nasional, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang merupakan cabang Indonesia dari Hizbut Tahrir (HT) internasional; tentu mengembangkan paham keagamaan yang melampaui kebangsaan. Ini terlihat pada cita-cita untuk menegakkan khilafah Islamiyah, berporos di Indonesia. Dalam konteks inilah menjadi penting memahami pandangannya atas Pancasila, karena hal ini menggambarkan inti pandangan ideologisnya atas bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
HT sendiri adalah organisasi Islam yang didirikan oleh Taqiyudin Al-Nabhani. Organisasi ini mendeklarasikan diri sebagai partai politik meskipun menolak terlibat dalam sistem demokrasi (pemilu). Sebagai partai yang menolak demokrasi, HT ingin menawarkan konsep politik yang sama sekali berbeda dengan demokrasi, yakni khilafah Islamiyyah. Sebuah sistem politik yang mereka klaim, otentik Islam dan bersumber langsung pada praktik kenegaraan Nabi Muhammad SAW.
Pada awalnya, Taqiyudin melontarkan kritik kepada Ikhwanul Muslimin  (IM).  Sebuah  gerakan  Islam  kawakan  yang   dilahirkan   oleh Hassan Al-Banna di Mesir. Kritik Taqiyudin kepada IM terletak pada akomodasi IM terhadap sistem demokrasi, sehingga IM hendak menerapkan syariat melalui mekanisme demokratis (pemilu).[69] Sikap seperti ini menurut Taqiyudin terlalu moderat dan tidak merasuk ke dalam jantung persoalan umat Islam, yakni hegemoni demokrasi atas sistem politik Islam. Perseteruan antara HT dan IM ini berlanjut hingga pada perebutan massa, karena meskipun keduanya masuk dalam kategori gerakan Islam radikal, namun masing-masing memiliki kiblat pemikiran yang berbeda.
Sayangnya garis politik HT yang radikal ini kemudian berbenturan dengan realitas politik umat Islam itu sendiri. Mengapa? Karena sebagian besar negara Timur-Tengah telah lama mengadopsi sistem negara- bangsa, sehingga di negara-negara Timur-Tengah yang nota bene Dunia Islam, HT sering berbenturan dengan pemerintah negeri setempat. Sejak dideklarasikan pada tahun 1953 di Al-Quds (saat itu di bawah yurisdiksi Yordania yang dikuasai Inggris), HT senantiasa berseberangan dengan pemerintah yang berkuasa dan juga dengan para aktivis nasionalisme Arab.
Pemerintah Yordania segera melarang HT dan melakukan penangkapan terhadap sejumlah pengurus teras, tidak lama setelah partai ini dideklarasikan. Taqiyudin bersama Dawud Hamdan ditangkap di Al-Quds, sementara Munir Syaqir dan Ghanim Abduh ditangkap di Amman. Lalu beberapa hari berikutnya, Dr. Abd Al-Azizi Al-Khiyath  juga ditangkap, semuanya dijebloskan dalam penjara. Berkat petisi sekelompok wakil rakyat, Taqiyudin kemudian dibebaskan.
Sejak saat itu HT harus bergerak secara underground, menjadi gerakan clandestine di Yordania dan Syiria. Pada November 1953, Taqiyudin berpindah ke Damaskus. Saat itu intelijen Syiria membawa Taqiyudin ke perbatasan Syiria-Lebanon. Atas bantuan Mufti Lebanon, Syekh Hasan Al-Alaya, akhirnya ia diizinkan masuk ke Lebanon yang sebelumnya melarangnya. Taqiyudin lalu menyebarkan pemikirannya di Lebanon dengan leluasa sampai tahun 1958, yaitu ketika pemerintah Lebanon mulai mempersempit kehidupannya karena merasakan bahaya dari pemikirannya. Akhirnya, Taqiyudin berpindah dari Beirut ke Tharablus dan terpaksa mengubah penampilannya agar leluasa menjalankan kepemimpinan HT. Sejak saat itulah gagasan dan gerakan HT harus disebarkan secara diam-diam, sehingga mulai menyebar terutama di Yordania, Syiria dan Lebanon.
Kehadiran HT di Indonesia bisa dibilang secara tak sengaja. Adalah Kiai Abdullah bin Nuh, pemilik Pesantren Al-Ghazali, Bogor yang mengajak Abdurrahman Al-Baghdadi, seorang aktivis HT yang tinggal   di Australia untuk menetap di Bogor pada  kisaran  1982-1983.  Pada  saat mengajar di Pesantren tersebut, Abdurrahman mulai berinteraksi dengan para aktivis masjid kampus di Masjid Al-Ghifari, IPB Bogor. Dari sini pemikiran Taqiyudin Al-Nabhani, pendiri HT mulai didiskusikan. Dibentuklah kemudian halaqah-halaqah (pengajian-pengajian kecil) untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan HT. Para aktivis inilah yang kemudian menyebarkan gagasan HT, termasuk putra Abdullah bin Nuh, Muhammad Mustofa yang telah menjadi aktivis di HT sejak kuliah di Yordania. Melalui jaringan Lembaga Dakwah Kampus  (LDK),  ajaran  HT menyebar ke kampus-kampus di luar Bogor, seperti UNPAD, IKIP Malang, UNAIR bahkan hingga keluar Jawa, seperti UNHAS.[70]
Merasa mendapat sambutan antusias, sebuah konferensi internasional bertajuk Khilafah Islamiyyah digelar di Istora Senayan pada 2002. Konferensi ini menghadirkan tokoh-tokoh HT dari dalam dan luar negeri sebagai pembicara. Konferensi ini juga menandai lahirnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini langsung memproklamirkan diri sebagai partai politik berideologi Islam. Namun berbeda dengan partai Islam lainnya, HTI menolak untuk masuk dalam sistem politik di Indonesia sehingga   ia tidak mengikuti pemilihan umum (pemilu). Penolakan ini merupakan bentuk baku dari HT Internasional.3[71]
Kepemimpinan HTI mulanya dipegang oleh Muhammad Al-Khattat, kemudian digantikan oleh Hafidz Abdurrahman. Sedangkan juru bicara tetap dijabat oleh Ismail Yusanto. HTI sudah memiliki kepengurusan di berbagai daerah, namun pola pergerakannya tetap tertutup. Kecuali Dewan Pimpinan Pusat (DPP), di berbagai daerah tidak terdapat papan nama HTI. Para kader mengembangkan pola komunikasi rahasia dengan memaksimalkan teknologi berupa hand phone dan email.
1. Pandangan atas Pancasila
Pandangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas Pancasila, menarik dan mengandung kontradiksi. Di satu sisi, Pancasila disebut sebagai ideologi kufur yang harus ditolak karena keburukan Pancasila di dalam dirinya sendiri. Di sisi lain, Pancasila diterima sebagai seperangkat falsafah (set  of philosophy). Sebagai set of philosophy, di dalam dirinya sendiri, Pancasila merupakan gagasan yang baik. Persoalan hadir ketika gagasan tersebut diturunkan oleh ideologi turunan yang dilakukan oleh setiap rezim politik, yang dianggap berbeda dengan Pancasila.
Menurut pandangan pertama, Pancasila adalah ideologi kufur. Hal ini digambarkan oleh Ainur Rafiq, dengan mengutip nasyrah (selebaran) HTI yang bertajug, Al-Banshasila Falsafah Kufr laa Tattafiq ma’a al-Islaam. Karena kekufuran ini, Pancasila tidak sesuai dengan Islam. Dalam kaitan ini pengufuran Islam dilandasi dua argumen.
Argumen pertama, karena Pancasila mengakomodir pluralisme agama. Hal ini terdapat pada sila Persatuan Indonesia  yang  menjaga dan menghormati kemajemukan bangsa, salah satunya kemajemukan agama. Penghargaan atas kemajemukan agama ini bertentangan dengan prinsip HTI yang menekankan kebenaran tunggal agama Islam. Argumen kedua, karena Pancasila berisi kemajemukan ideologi (mabda’) dengan mengakomodir ideologi-ideologi non-Islam, seperti sosialisme, demokrasi dan nasionalisme. Padahal menurut HTI, mabda’ yang paling benar adalah mabda’ Islam. Dengan argumentasi ini, maka Pancasila adalah falsafah kufur yang bertentangan dengan Islam.[72]Sementara itu menurut pandangan kedua, Pancasila bukanlah ideologi kufur, melainkan seperangkat falsafah (set of philosophy).
Seperangkat falsafah ini baik di dalam dirinya sendiri karena memuat gagasan filosofis berupa ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Dengan demikian tidak ada yang bermasalah di dalam rumusan Pancasila, karena ia memang merupakan rangkaian gagasan filosofis yang baik.
Pandangan ini dinyatakan oleh juru bicara HTI, M. Ismail Yusanto. Bagi Ismail, Pancasila adalah gagasan filosofis yang baik. Hanya saja sebagai set of philosophy, ia tidak mencukupi (not sufficient) untuk mengatur tata pemerintahan di Indonesia. Mengapa? Selain karena jumlahnya yang hanya lima sila, Pancasila hanya  merupakan  gagasan  filosofis  yang tidak memiliki turunan sistemik di dalam realitas politik. Turunan sistemik ini menyangkut sistem hukum yang mewujudkan keadilan sosial, sistem politik yang mendukung kerakyatan, sistem ekonomi yang mendukung kesejahteraan, dsb. Dengan tidak adanya rumusan sistem sebagai ejawantah dari Pancasila ini, maka set of philosophy tersebut tidak mencukupi dalam kerangka ketatanegaraan dan tata politik.
Karena ketiadaan sistem turunan dari Pancasila inilah, maka perwujudan nilai-nilai Pancasila kemudian dilakukan oleh ideologi- ideologi selain Pancasila. Ideologi itu merujuk pada penggunaan sosialisme oleh Soekarno sebagai ejawantah Pancasila di era Orde Lama; kapitalisme oleh Soeharto di era Orde Baru dan neo-liberalisme oleh rezim pasca-Reformasi 1998. Dengan demikian, Pancasila era Orde Lama adalah Pancasila yang sosialistik; Pancasila era Orde Baru adalah Pancasila yang kapitalistik dan Pancasila era Reformasi adalah Pancasila yang neo- liberalistik. Hal inilah yang bermasalah bagi HTI.
Oleh karena itu, titik perlawanan HTI tidak mengarah pada Pancasila, melainkan kepada sosialisme, kapitalisme, dan neo-liberalisme yang digunakan rezim politik di Indonesia untuk mewujudkan  nilai-  nilai Pancasila. Sosialisme dikritik oleh HTI karena sifatnya yang sekular. Sedangkan kapitalisme dan neo-liberalisme dilawan HTI sebab sistemnya yang menindas umat dan merupakan “anak kandung” dari sekularisme.
Pada titik ini, pandangan Ismail bertentangan dengan pandangan pertama yang menyebut Pancasila sebagai ideologi kufur. Hal ini beralasan karena bagi Ismail, Islam dan Pancasila tidak bisa diperhadapkan. Mengapa? Karena Pancasila hanyalah serangkaian gagasan filosofis. Ia merupakan hasil renungan para founding fathers yang tidak absolut dan dinamis. Sementara itu Islam adalah agama, dan ia turun langsung dari Allah. Menghadapkan keduanya sebagai binaritas oposisional menjadi bermasalah, karena status kategoris dari keduanya yang berbeda.
Dalam kerangka ini, maka Ismail menekankan dasar perjuangan HTI yang justru berangkat dari nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Argumentasinya sebagai berikut: “Jika rezim politik di Indonesiamenggunakansosialisme, kapitalisme dan neo-liberalisme untuk menafsiri dan merealisasikan Pancasila. Kenapa Hizbut Tahrir dilarang untuk menafsiri dan mewujudkan Pancasila melalui syariat Islam? Justru perjuangan menegakkan syariat merupakan komitmen kami atas sila ketuhanan, karena sebagai kaum berketunanan, umat Islam memiliki syariatnya.”[73]
Penggunaan syariah untuk menafsiri dan mewujudkan nilai-nilai Pancasila ini merupakan kewajaran, sebab Islam juga memiliki kepedulian terhadap hal-hal yang dilindungi oleh Pancasila. Oleh karenanya, pandangan HTI atas Pancasila yang moderat ini tidak menggambarkan pemikiran HTI yang Pancasilais dan nasionalis, tetapi tetap dalam kerangka Islamis. Artinya, gagasan filosofis yang mendasari HTI bukanlah Pancasila itu sendiri. Melainkan syariat Islam yang pada satu titik tidak bertentangan dengan Pancasila.
Pada titik ini menarik mencermati pandangan HTI atas Piagam Jakarta. Bagi HTI, Piagam Jakarta merupakan kesepakatan yang diciptakan oleh Soekarno. Dengan demikian, tujuh kata, “Menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” merupakan kalimat besutan Soekarno. “Tujuh kata” ini dibuat sebagai gentlemen agreement atas dua tuntutan berbeda. Tuntutan pertama dari kaum Islam yang menginginkan dasar negara Islam. Serta tuntutan kaum nasionalis yang menolak dasar negara Islam. “Tujuh kata” dalam sila pertama merupakan pemberian keistimewaan bagi umat Islam untuk mengamalkan syariat Islam. Hanya saja “tujuh kata” ini ditolak oleh para pemimpin Islam, seperti Kiai Wahid Hasyim, Kahar Muzakkar dan Ki Bagoes Hadikusumo karena tidak mencerminkan hakikat Islam. Menurut mereka, syariat Islam tidak hanya berlaku bagi umat Islam, melainkan kepada seluruh umat manusia dan  semesta  alam. Hal ini dilandasi oleh sifat Islam sebagai agama yang rahmatan lil‘alamin. Oleh karena itu, para pemimpin Islamlah yang mengusulkan dihapuskannya “tujuh kata” dalam sila pertama, yang kemudian disusul dengan interupsi wakil non-muslim dari Indonesia Timur, yakni A.A. Maramis. Interupsinya senada dengan ketidaksepakatan para pemimpin Islam atas “tujuh kata” tersebut.
Berdasarkan realitas historis ini, maka HTI sampai pada kesimpulan bahwa umat Islam telah kalah dua kali dalam perumusan bangunan negara. Kekalahan pertama terjadi pada tidak dijadikannya Islam sebagai dasar negara. Kekalahan kedua terjadi pada dihapuskannya “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta. Hanya saja kekalahan secara konstitusional ini tampaknya tidak membuat HTI jera, sebab ia tetap memperjuangkan tegaknya syariah meskipun saat ini harus tetap dalam kerangka Pancasila. Dengan demikian, secara mendasar HTI tetap menerima Pancasila sebagai gagasan filosofis, dan mendasarkan perjuangan penegakan syariah di dalam rangka sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.[74]
Pertanyaannya, ketika HTI menerima Pancasila sebagai set of philosophy, apakah ia juga menerima Pancasila sebagai dasar negara? Pertanyaan ini mendasar karena cita-cita politik HTI adalah pendirian khilafah Islamiyyah di Indonesia, yang tentunya mendasarkan asas kenegaraannya kepada Islam.
Dalam menjawab pertanyaan ini, Ismail mengajukan dua jawaban. Pertama, realitas politik di Indonesia yang tidak selalu mendasarkan diri pada Pancasila sehingga ia tidak benar-benar ditempatkan sebagai dasar negara. Hal ini terjadi karena Pancasila sering ditempatkan sebagai “kedok politik” oleh dua kepentingan. Yakni oleh sistem politik yang kemudian disebut Pancasilais untuk menormatifkan sistem tersebut. Dengan cara ini, rakyat tidak memiliki alasan untuk menolak sistem tersebut.
Hal ini dilakukan oleh Orde Lama yang menyebut sistem Demokrasi Terpimpin sebagai Pancasilais. Mengapa? Karena Demokrasi Terpimpin adalah sistem politik yang berupay amewujudkan prinsip permusyawaratan dalam kepemimpinan hikmat/kebijaksaaan sebagaimana termaktub dalam sila keempat, Pancasila. Hal sama terjadi pada Orde Baru yang menamai sistem politiknya dengan Demokrasi Pancasila. Yakni sistem demokrasi yang mendasarkan diri pada pemahaman atas Pancasila yang murni dan konsekuen. Selain sebagai kedok sistem politik, Pancasila juga sering dijadikan sebagai kedok kebijakan. Sayangnya sebagian besar kebijakan politik pasca-Reformasi, ternyata lebih sering bertentangan dengan Pancasila, daripada mencerminkan nilai-nilai falsafah bangsa tersebut.
Kedua, sebagai set of philosophy, Pancasila hanyalah rumusan pemikiran dari founding fathers. Oleh karenanya, kebenarannya tidak mutlak sehingga ia memiliki sifat dinamis. Artinya, ia bisa saja ditambah, dikurangi, dikokohkan atau bahkan ditiadakan. Dari sini terlihat bahwa HTI telah merelativisir Pancasila hanya menjadi rangkaian gagasan filosofis yang bisa dibongkar-pasang setiap saat. Pandangan ini dipilih HTI demi desakralisasi Pancasila. Karena Pancasila bukan agama; ia bisa diganti, jika pergantian itu dibutuhkan. Baik pergantian dalam batang tubuh Pancasila itu sendiri. Maupun pergantian Pancasila dengan dasar negara yang lain, yakni Islam.
Hanya saja mewacanakan penggantian Pancasila pada saat ini pasti bermasalah, seperti bahaya amandemen UUD 1945 di era Orde Baru. Di era Orde Baru itu, pewacanaan atas amandemen UUD 1945 merupakan wacana subversif yang dilarang oleh negara. Namun bersamaan dengan pergantian rezim politik, amandemen UUD 1945 itupun kini  telah  terjadi bahkan berulang kali. Oleh karena itu, “amandemen Pancasila” bisa saja terjadi ketika kondisi politik memungkinkan. Dalam kaitan ini, kemungkinan penggantian Pancasila bisa dilakukan melalui kehendak rakyat/umat yang menginginkan penggantian itu. Proses ini senapas dengan tahapan ketiga dari perjuangan HT, yakni marhalah istilam al-hukm, yang merupakan proses penyerahan kekuasaan dari ahl al- quwwah (rakyat) kepada HT. Penyerahan kekuasaan ini menggambarkan persetujuan umat dalam kerangka pemberian mandat kepada HT untuk mendirikan khilafah Islamiyyah. Jika hal itu terjadi, maka Pancasila sebagai dasar negara RI secara otomatis akan terganti oleh konstitusi Islam. Pada titik ini, pandangan kedua HTI atas Pancasila, bisa dirumuskan melalui bagan berikut:


Dari bagan di atas terlihat bahwa lawan HTI bukanlah Pancasila, melainkan ideologi-ideologi yang dijadikan oleh rezim politik Indonesia untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini yang membuat HTI menyebut Pancasila sebagai tidak mencukupi (not sufficient), karena ia masih memerlukan ideologi lain untuk mengimplementasikan nilai- nilainya. Dengan demikian, ketika Pancasila ditempatkan sebagai ideologi nasional, maka menurut HTI, ia bersifat tidak mencukupi.  Buktinya, para penguasa Indonesia masih perlu menggunakan ideologi lain untuk menerjemahkan Pancasila.
Oleh karena itu, ketika HTI mengajukan jargon “Selamatkan Indonesia dengan syariah”, maka penyelamatan itu tertuju pada kelemahan sosialisme, kapitalisme dan neo-liberalisme dalam menghantarkan rakyat kepada kesejahteraan. Meski tidak melakukan perincian atas apa yang disebut sebagai sosialisme dan sosialisme di era Soekarno, HTI telah mengajukan “talak tiga” kepada ideologi tersebut. Hal  sama  terjadi  pada kapitalisme yang dipahami sebagai ideologi Orde Baru, atau neo- liberalisme di era Reformasi. Berbagai isme ini kemudian ditempatkan sebagai musuh bersama Islam, dan HTI menawarkan Islam sebagai alternatif atas ketiga ideologi tersebut.
Pada titik ini, pandangan HTI atas Pancasila menjadi jelas. Kejelasan ini terangkum dalam beberapa hal. Pertama, HTI menerima Pancasila hanya sebagai gagasan filosofis atau set of philosophy. Sebagai gagasan filosofis, Pancasila baik dan tidak bermasalah serta selaras dengan prinsip- prinsip syariat Islam. Hanya saja dengan menempatkan Pancasila an sich sebagai set of philosophy, HTI telah meletakkan Pancasila menjadi gagasan filosofis biasa yang tidak memiliki kemutlakan dalam konteks negara- bangsa Indonesia. Resikonya, Pancasila bisa dibongkar-pasang; bisa ditambah atau dikurangi sila-silanya, atau bahkan bisa diganti dengan dasar negara lain, meskipun saat ini HTI tidak mewacanakan penggantian dasar negara tersebut.
Kedua, dengan menempatkan Pancasila an sich sebagai set of philosophy, maka HTI tidak menempatkan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Sebagai dasar negara, Pancasila bersifat mutlak, sejak di dalam rumusan internalnya, maupun dalam fungsi permanen sebagai dasar negara yang mendasari segenap tata lembaga dan kebijakan politik di Indonesia. Sementara itu sebagai ideologi nasional, Pancasila ditempatkan sebagai ideologi politik dalam kerangka nasionalisme Indonesia. Dalam kerangka ini, Pancasila akhirnya menjadi dasar bagi pemikiran politik rakyat Indonesia, dan mengarahkan cita-cita segenap masyarakat Indonesia.[75]
Secara implisit, HTI menolak kedua posisi ini, karena sejak awal ia memang mendasarkan konsepsi politiknya pada Islam. Artinya, di dalam konsep politik khilafah, dasar negara khilafah tentulah bukan Pancasila, melainkan Islam. Oleh karenanya, dengan sifat relatif-dinamis dalam kerangka set of philosophy, Pancasila tidak mutlak sebagai dasar negara, sehingga ketika kondisi politik memungkinkan, ia bisa diganti.
Hal sama terjadi pada posisi Pancasila sebagai ideologi nasional. Karena dasar politik HTI adalah Islam, maka ideologi politiknya tentulah Islam, bukan Pancasila. Oleh karena itu, HTI kemudian menawarkan Islam sebagai ideologi alternatif untuk Indonesia. Meskipun common enemy dari ideologi Islam ini bukanlah Pancasila, melainkan sosialisme, kapitalisme dan neo-liberalisme. Namun HTI tidak mungkin menempatkan Pancasila setara dengan Islam. Mengapa? Karena Pancasila hanyalah gagasan filosofis, sementara Islam adalah  agama.  Sebagai  agama,  Islam  tentu di atas Pancasila, sehingga ketika Islam dipahami sebagai ideologi, ia mengatasi dan melampaui ideologi Pancasila.
Penempatan Islam sebagai ideologi yang melampaui Pancasila ini akhirnya tidak membenturkan kedua paham ini.  Artinya,  meskipun  HTI berideologi Pancasila, namun ideologi ini tentu tidak bertentangan dengan Pancasila. Justru sebaliknya: berideologi Islam adalah hak kaum muslim yang dijamin oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam kerangka inilah, HTI kemudian mengritik Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat  (RUU  Ormas)  tahun  2012 yang ingin menjadikan Pancasila sebagai asas dasar semua organisasi masyarakat di Indonesia. Pada titik ini HTI menolak kewajiban asas dasar Pancasila, sebab dengan demikian, pemerintah telah mengajukan kembali kebijakan represif asas tunggal Pancasila ala Orde Baru. Yang ditawarkan oleh HTI adalah kewajiban ormas untuk memiliki asas organisasi yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Pada titik ini, asas Islam tentu tidak bertentangan dengan Pancasila. Sifat tidak bertentangan ini telah dibuktikan sendiri oleh RUU Ormas dengan merinci asas mana saja yang bertentangan dengan Pancasila. Asas-asas tersebut meliputi kapitalisme, komunisme dan liberalisme. Islam tentu tidak ditempatkan dalam rangkaian asas yang bertentangan dengan Pancasila tersebut.[76]
Meskipun terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai Pancasila, namun pandangan kedua sepertinya lebih valid dalam melihat pandangan HTI atas Pancasila. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh sumber pandangan kedua yang keluar dari jubir HTI. Melainkan pandangan kedua ini lebih argumentatif dan merasuk dalam  jantung  pemikiran  keislaman  HTI  itu sendiri. Oleh karena itu, pandangan ini bisa dipahami dalam artian substantif maupun strategis. Dalam artian substantif, penempatan HTI atas Pancasila sebagai set of philosophy menunjukkan kejernihan pemikiran gerakan ini dalam menempatkan Islam secara proporsional. Hal ini yang menunjukkan rasionalitas dari HTI yang selama ini mengklaim sebagai gerakan Islam berbasis rasionalitas.
Hanya saja pandangan ini juga bisa dipahami dalam konteks strategis. Dalam konteks ini, penempatan Pancasila sebagai set of philosophy dan secara tidak langsung mendeligitimasi falsafah bangsa ini sebagai dasar negara dan ideologi nasional, menyiratkan penolakan HTI atas Pancasila sebagai asas politik. Hal ini wajar mengingat asas politik HTI adalah Islam, sehingga dasar negara khilafah dan ideologi trans-nasional HTI tentulah Islam. Oleh karena itu, secara fundamental, pandangan pertama dan kedua atas Pancasila ini tidak jauh berbeda di dalam muara tujuannya. Sebab meskipun Ismail Yusanto tidak menyebut Pancasila sebagai ideologi kufur, namun ia dan HTI tetap tidak akan menempatkan Pancasila sebagai dasar negara Islam dan ideologi politik gerakan Islam.
Dengan demikian, pemikiran yang  moderat  atas  Pancasila  ini tetap ditempatkan dalam perjalanan panjang menuju cita-cita politik HTI: menegakkan khilafah Islamiyyah di Indonesia. Hal ini terjadi karena keyakinan para aktivis HTI bahwa Indonesia adalah negeri subur bagi penegakan khilafah.[77]Sebab Indonesia memiliki potensi bagi kemandirian politik dari dominasi negara lain, serta memiliki potensi keamanan nasional untuk melindungi umat Islam. Dua hal ini yang menjadi prasyarat bagi tegaknya khilafah di sebuah negeri.[78]
Keyakinan HTI atas potensi Indonesia sebagai negeri khilafah ini pernah dilontarkan kepada pemerintah. Lontaran ini dilakukan melalui pengajuan surat terbuka kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk menegakkan khilafah di Indonesia. Pengajuan surat terbuka kepada presiden ini dilatari oleh keyakinan HTI bahwa Indonesia adalah negeri yang strategis bagi penegakan khilafah.11[79] Demi keyakinan ini, para aktivis HTI kemudian mengutip pernyataan Presiden Asosiasi Muslim Jepang, Prof. Hasan Ko Nakata, yang menyatakan, “Indonesia adalah tempat yang memenuhi persyaratan untuk mendirikan kembali khilafah”.
Keyakinan bahwa Indonesia adalah tempat strategis bagi pendirian khilafah ini  didasarkan  pada  beberapa  alasan.  1)  Dukungan  umat Islam yang besar. 2) HTI semakin besar dan dakwah berjalan aman. 3) Kepercayaan  publik  kepada  pemerintah  Indonesia  semakin  merosot.4) Besarnya potensi SDM dan SDA di Indonesia, dan 5) Pengalaman historis Indonesia dalam menerapkan syariat Islam. Pengajuan surat terbuka kepada Presiden RI ini mengindikasikan keberanian HTI untuk memproklamirkan  garis  politik  yang  berbeda  dengan  sistem  politik di Indonesia dan dengan bangunan dasar NKRI.[80]
Keyakinan ini kemudian diperkuat oleh ancaman para pemimpin HT atas para pemimpin nasional yang tidak mendukung pendirian khilafah. Ancaman ini dilontarkan melalui Muktamar Ulama Nasional di Jakarta pada 21 Juli 2009. Dalam muktamar ini, HTI melakukan ancaman akan menghukum pihak-pihak yang mengabaikan dan menghambat pendirian khilafah di Indonesia. Artinya seandainya HTI berhasil mendirikan khilafah, maka pihak-pihak dalam pemerintah Indonesia serta pihak- pihak keagamaan yang menentang pendirian khilafah akan mendapatkan hukuman oleh pemerintahan khilafah Indonesia. Muktamar Ulama Nasional ini dihadiri oleh 7000 ulama, termasuk dari luar negeri seperti India, Bangladesh, Pakistan, Turki, Mesir, Yaman, Lebanon, Palestina, Syam, Sudan dan Inggris.[81]
Lontaran ancaman ini dilakukan mengingat situasi politik Indonesia yang masih berada dalam kerangka nasionalisme. Hal ini yang menghambat penegakan kembali khilafah, sebab dengan nasionalisme, umat Islam kemudian terpecah-belah.[82] Kritik terhadap para pemimpin nasional Indonesia merupakan langkah awal bagi kritik atas bangunan negara-bangsa Indonesia, sehingga cita-cita penegakan khilafah bisa ditegarkan di negeri muslim terbesar di dunia ini.
Hasil Kajian HTI
Berdasarkan paparan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan ini mengacu pada tahapan kedua dari pergerakan  mereka, yakni marhalah tafa’ul ma’al ummah: tahapan bersosialisasi kepada masyarakat secara luas.
Dalam tahapan ini, HTI sudah tidak malu lagi menyampaikan gagasan besarnya, yakni penegakan syariah dalam kerangka pendirian kembali khilafah Islamiyyah di Indonesia. Indonesia memang menjadi lahan subur bagi persemaian gagasan HTI karena negeri ini adalah negeri muslim terbesar di dunia dengan penerimaan ide-ide Islam yang sangat terbuka.
Hal ini terlihat dari pola sosialisasi HTI yang menyentuh dari level masyarakat bawah hingga atas. Masyarakat bawah adalah masyarakat muslim umum di pedesaan yang memiliki hubungan sosial patron-klien dengan orang-orang tua ahli agama. Maka masyarakat pedesaan ini ditandai dengan adanya pesantren, kiai serta habib. Oleh karena itu, HTI tidak segan-segan masuk ke pesantren, menawarkan gagasannya dengan menggunakan logika pesantren. Misalnya, HTI mendasarkan argumentasi perlunya penegakan khilafah dari fakta historis pernah berdirinya kerajaan- kerajaan Islam di Nusantara. Fakta historis ini tentu diketahui masyarakat pesantren, dan merekapun bisa menerima kelogisan gagasan khilafah.
Di masyarakat pedesaan inipun HTI menggunakan media dakwah khas desa, yakni pengajian dan tabligh akbar di tengah lapangan, dengan mengundang kiai pesantren atau habib yang disegani masyarakat. Pengajian ini merupakan pola dakwah khas masyarakat pedesaan yang selama ini digunakan oleh gerakan-gerakan Islam tradisional seperti  NU. HTI kemudian memanfaatkan pola dakwah tradisional ini dengan menyisipkan agenda baru, yakni penegakan khilafah.[83]
Sementara itu di level perkotaan, HTI menggunakan pendekatan akademis, berupa seminar nasional, sarasehan, workshop dan diskusi. Seminar ini dilakukan di pusat-pusat peradaban kota seperti perguruan tinggi, masjid agung, aula dinas pemerintahan dan hotel. Tema seminar pun tentu sudah mafhum, yakni sosialisasi negara khifalah sebagai negara kesejahteraan. Dalam kaitan ini, HTI telah membentuk beberapa pola dakwah modern yang bersifat diskursif-intelektual, seperti Halaqah Islam dan Peradaban (HIP), serta Forum Muslimah untuk Peradaban (Formuda). Kedua halaqah ini bukan lagi halaqah lingkaran kecil di masjid-masjid kampus, melainkan halaqah besar dengan jangkauan peserta yang luas, khususnya kaum terdidik perkotaan. Dengan cara ini, sosialisasi gagasan HTI akhirnya diterima sebagai wacana intelektual yang membawa perjuangan kebangkitan Islam.
Perkembangan  pesat  pada  ranah  marhalah  tafa’ul  ma’al ummahini  dibarengi  dengan  strategi  pemikiran  berupa  pelunakan  ideologi.
Pelunakan ideologi yang penulis maksud adalah pelunakan pandangan HTI atas Pancasila, yang pada awalnya bersifat keras dengan menolak Pancasila sebagai falsafah kufur, kepada penerimaan Pancasila sebagai set of philosophy yang baik. Dengan demikian, HTI tetap menerima Pancasila apa adanya, tanpa harus meresahkan ketiadaan “tujuh kata” Piagam Jakarta. Meskipun garis ideologi tetap dijaga dengan tidak memahami sila keempat, sebagai sila demokrasi, melainkan hanya sila kerakyatan. Penolakan pemahaman sila keempat sebagai sila demokrasi didasari oleh penolakan HTI atas demokrasi.
Hanya saja penerimaan Pancasila sebagai gagasan filosofis ini secara otomatis telah melakukan desakralisasi Pancasila yang juga berposisi sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Seperti diketahui, Pancasila ditempatkan dalam kesatuan segitiga yang saling mengikat. Yakni sebagai gagasan filosofis yang akhirnya ditetapkan sebagai dasar negara, dan dipahami masyarakat Indonesia sebagai ideologi nasional. Oleh karena itu, Pancasila tidak hanya dipahami sebagai gagasan filosofis. Sebab gagasan filosofis itu adalah status dasar Pancasila yang kemudian dilegalkan menjadi dasar negara dan diakui sebagai ideologi nasional. Dengan demikian, meskipun Pancasila pada awalnya merupakan gagasan filosofis, ia bersifat mutlak, baik pada redaksi dan jumlah sila, maupun mutlak sebagai dasar negara yang final.
Dengan penerimaan Pancasila hanya sebagai set of philosophy, HTI telah merelativisir Pancasila, semata sebagai gagasan filosofis yang relatif dan dinamis. Dinamis dalam hal ini berarti tidak mutlak. Maka sila Pancasila bisa ditambah bisa dikurangi, bahkan statusnya sebagai dasar negara bisa digantikan, jika kondisi politik memungkinkan. Dari sini bisa dipahami bahwa meskipun HTI tidak lagi menyebut Pancasila sebagai falsafah kufur, namun ia tetap menolak kemutlakan Pancasila sebagai dasar negara. Konsekuensinya, ia bisa diganti ketika negara khilafah satu saat bisa didirikan. Hal ini merupakan resiko logis dari garis politik HTI yang menjadikan Islam sebagai fikrah gerakan, dan khilafah sebagai khittah politik.
F. POTRET PEMIKIRAN RADIKAL JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL) INDONESIA
Sejak terjadinya peristiwa kelabu yang menimpa WorldTrade Center (WTC) dan Pantagon di Amerika Serikat 11 September 2001 yang lalu, istilah terorisme menjadi global issue. Terorisme merupakan bagian dari radikalisme yang pada hakekatnya ada dimana-mana dan di semua bentuk dan jenis agama manapun di dunia ini. Kesan kuat terhadap pemikiran radikalisme dikaitkan erat dengan Islam muncul dalam wacana dunia sejak peristiwa WTC itu dengan menjadikan al-Qaeda sebagai prime suspect-nya.
Di samping gerakan radikal yang diketagorikan sebagai terorisme itu, di Indonesia muncul gerakan-gerakan radikal baik dalam hal pemikiran maupun disertai gerakan. Gerakan radikal yang hanya bersifat pemikiran belaka seperti Hizbut Tahrir Indonesia yang menghendaki ditegakkannya sistim khilafah dalam sistem politik dan pemerintahan. Sedangkan gerakan radikal yang hanya bersifat gerakan tetapi tidak menghendaki perubahan terdapat dalam pemikiran seperti Front Pembela Islam (FPI). Disamping itu ada juga yang merupakan kombinasi dari keduanya seperti yang ditampilkan Laskar Jihad (LJ) di Maluku atau lainnya.
Pada dasarnya radikalisme diartikan sebagai sesuatu yang “tidak biasa”. HTI, FPI, LJ merupakan organisasi yang menampilkan kesan “tidak biasa”. Gagasan dan aksi mereka yang “tidak biasa” itu telahmenimbulkanreaksidarisebagianmasyarakatmuslim.Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan salah satu yang bereaksi terhadap organisasi-organisasi di atas. Menariknya dalam beraksi tersebut JIL juga menunjukkan pemikiran yang “tidak biasa”. Dalam membahas tema tersebut, tulisan ini diawali dengan memperkenalkan awal mula munculnya JIL, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai aktivitas JIL, serta corak pemikiran radikal dari Jaringan Islam Liberal Indonesia.
1. Mengenal Jaringan Islam Liberal
Pertengahan tahun 2001, nama Islam Liberal mulai dikenal luas di Indonesia. Segera nama itu menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Dengan semboyan “Islam yang membebaskan” kelompok  yang  kemudian  mengusung  bendera  “Jaringan Islam Liberal disingkat JIL berhasil membetot perhatian banyak kalangan baik yang pro maupun yang kontra.[84] Istilah liberal mengacu kepada keadaan atau sikap orang atau sebuah gerakan pemikiran tertentu yang bersedia merekonstruksi dan menghargai gagasan atau perasaan orang lain, yang juga mendukung perubahan-perubahan baik sosial, ekonomi, politik dan keagamaan melalui “pembebasan” pemikiran dari pandangan dunia dan sikap literal-dogmatis, reaksioner atau pro status quo.[85] Dalam konteks ini, berarti Islam tidak saja dikembangkan dalam area pemikiran murni dan spekulatif tetapi harus juga diletakkan pada posisi netral.
Jaringan Islam Liberal adalah salah satu lokomotif yang menggerakkan tata nilai pemikiran keagamaan yang menekankan pada pemahaman Islam yang terbuka, toleran, inklusif dan kontekstual. Di Indonesia penyebaran Islam liberal telah berlangsung sejak awal tahun 70-an. Yang termasuk tokoh pemikir liberal pada situs islamlib.com, antara lain adalah Nurcholish Madjid, Masdar F. Mas’udi, Goenawan Muhammad, Djohan Efendi, Jalaluddin Rahmat, Nazaruddin Umar, Komaruddin Hidayat, dan Ulil Abshar Abdalla.[86] Meskipun belum dikenal sebagai Islam liberal, pemikiran-pemikiran liberal seperti Cak Nur yang sering disebut sebagai pemikiran neo modernisme Islam, menjadi dasar dari pengembangan Islam liberal dewasa ini. Sejak tahun 2001, sejumlah aktivis dan intelektual muda Islam memulai penyebaran gagasan Islam liberal secara lebih terorganisir. Mereka ini kemudian mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL). Kitab suci agama Islam pada dasarnya merupakan prinsip dan petunjuk yang bersifat keagamaan dan moral, bukan sebuah “dokumen” hukum.[87] Dalam posisi seperti ini kehidupan Sunnah berada meskipun tidak dalam kedudukan yang sama. Kedua sumber ajaran Islam tersebut merupakan Islam normatif yang bernilai absolut dan universal. Tugas umat Islam adalah untuk memahami nilai-nilai dan pesan yang dikandungnya secara holistik, terpadu, sistematis, dan selalu dikontekstualisasikan ke dalam kehidupan yang nyata sehingga selalu aktual, berpihak pada pengembangan keadilan, kedamaian, kesejahteraan dan semacamanya. JIL  selalu  membuka diri pada pengembangan wawasan keislaman yang lebih dinamis sebagai berikut: [88] terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar “plural,” sebab sebuah penafsiran keagamaan dalam satu akan lain cara adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir disuatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
2. Pemihakan pada minoritas dan tertindas.
Islam liberal mendasarkan diri pada suatu penafsirankeislaman yang memihak kepada yang kecil tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial politik yang melaksanakan praktek ketidakadilan terhadap minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas yang dipahami dalam makna yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, budaya, politik, ekonomi, orientasi seksual dan lain-lain. Dalam konteks tersebut, di atas JIL mencoba memperluas wawasan berftkir yang lebih toleran dan saling menyapa diantara sesama ciptaan Tuhan dari beragam lapisan masyarakat, guna mewujudkan tatanan berftkir yang lebih sehat dan dinamis dalam membentuk budaya dan peradaban yang lebih anggun dan elok.
3. Kebebasan beragama dan berkepercayaan.
Islam liberal menganggap bahwa urusan beragama adalah hak perorangan yang harus dilindungi. Islam liberal tidak bisa membenarkan dasar suatu pendapat atau kepercayaan. Kepercayaan kepada agama dalam perspektif ini adalah sesuatu yang pokok, jelas dan universal yang mampu membentuk karakter pribadi yang lebih elegan dan mampu mengimplementasikan mana ajaran yang bersifat dasar dan mana yang non dasar, dengan suasana demikian akan membentuk nilai-nilai budaya berftkir yang lebih inovatif dan kreatif yang berujung terciptanya suasana masyarakat yang lebih humanis dan harmonis.
politik adalah suatu negara yang dua wewenang yang dipisahkan agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak serta merta mempunyai “privelse transendental” yang tidak bisa disangkal untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Pada akhirnya adalah bekerja pada ruang privat dan perorangan. Urusan publik haruslah diselenggarakan melalui proses “ijtihad kolektif”, di mana pelbagai pihak boleh saling menyangkal kebenaran ditentukan secara induktif melalui uji pendapat.[89]
Islam liberal menggambarkan prinsip yang dianut yang menekankan kebebasan pribadi (sesuai dengan doktrin kaum Mu’tazilah tentang kebebasan manusia) dan pembebasan struktur sosial politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Arah Islam liberal mempunyai dua makna sekaligus; kebebasan (being liberal) dan pembebasan (liberating).
G. Aktivitas Jaringan Islam Liberal
JILdalamkontekskeindonesiaansangatkentalmengartikulasidan menelaah nilai-nilai pemikiran Islam yang universal guna mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai umat yang terbaik disisi Allah melalui pemikiran dan kreativitas. Ada empat kegiatan atau aktivitas pokok Islam liberal adalah sebagai berikut :
1. Sindikasi penulisan Islam liberal. Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal (atau belum dikenal) oleh publik yang luas sebagai pembela pluralisme dan inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan, wawancara dan artikel yang baik untuk koran-koran di daerah yang biasanya mengalami kesulitan untuk mendapatkan penulis yang baik. Dengan adanya otonomi daerah maka peran media lokal semakin penting dan suara-suara keagamaan yang toleran juga penting untuk disebarkan melalui media daerah ini. Setiap minggu akan disediakan tiga artikel untuk koran-koran daerah.
2. Talk-show di Kantor Berita Radio 68 H. Talk show ini mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai pendekar pluralisme untuk berbicara berbagai isu sosial keagamaan ditanah  air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu dan disiarkan oleh seluruh jaringan KBR 68 H di seluruh Indonesia. Talk show ini akan diikuti oleh 10 radio: 4 radio di Jabotabek yaitu radio At-Tahiriyah, Muara FM, Star FM, Ria FM dan 6 radio di daerah yaitu radio Smart (Manado), DMS (Maluku), UNISI (Yogyakarta), PTPN (Solo), Mara (Bandung) dan radio Prima FM yang merupakan jaringan 68 H. Jadi melalui jaringan informasi pemikiran liberal yangsyaratdenganmuatanilmiahdanintelektualtersebardengan sendirinya dapat massif. Dengan semangat tersebut masyarakat keagamaan dapat menyaring dan menjaring informasi untuk memaknai dan mengeksplorasikannya.
3. Penerbitan Booklet. JIL mencoba membuat booklet ukuran sederhana setebal 40-50 halaman, berisi utuh, wawancara atau ringkasan dari tulisan yang ada yang berisi isu-isu yang acapkali menjadi bahan perdebatan dalam agama dan sering kali menjadi alat kelompok-kelompok tertentu untuk melancarkan kampanye mereka, seperti jihad, penerapan syari’at Islam, penerapan ajaran memerintahkan yang baik, dan mencegah dari yang jahat, konsep tentang pembangunan rumah ibadah dan lain-lain. Booklet ini diterbitkan dua bulan sekali dan dicetak sebanyak 1000 buah. Booklet tersebut di atas dijadikan sebagai media ringan guna mengakses informasi dari perkembangan pemikiran Jaringan Islam Liberal.
4. Website islamlib.com. Program ini berawal dari  dibukanya mailing list Islam Liberal (isalamliberal@yahoogroups.com) yang mendapat respon positif. Ada usulan dari  beberapa  anggota  untuk meluaskan mailing list ini ke dalam bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan. Sementara mailing list tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua program kampanye, buletin, sindikasi media, talk show radio akan dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat setiap perkembangan berita, artikel atau apapun yang berkaitan dengan misi jaringan Islam liberal.[90]
H. Corak Pemikiran JIL di Indonesia
Munculnya berbagai corak pemikiran Islamdi Indonesia tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan kebijakan politik pembangunan di bawah rezim Orde Baru yang dirasakan oleh intelektual Islam, sangat memojokkan dan memarjinalkan kelompok Islam. Umat Islam selalu toleran membangun Orde Baru diterapkan benar-benar mengalami proses peminggiran yang dahsyat dan bertabrakan dengan arah modernisasi, terutama yang hanya mengarah pada pertumbuhan sektor ekonomi, tidak diimbangi dengan sektor religius.[91]
Setelah merespon kebijakan pembangunan di bawah Orde Baru, pemikiran Islam terus berkembang ke arah yang lebih luas dan subtansial, sehingga muncul pelbagai corak pemikiran Islam yang sangat penting diperhatikan dalam perkembangan pemikiran keagamaan Islam di Indonesia. Suasana peta pemikiran Islam di Indonesia, dapat dikategorikan menjadi formalistik, substansialistik, transformalistik, totalistik, idealistik dan realistik .[92]
Syafti Ma’arif membedakan corak pemikiran Islam menjadi empat, yakni modernis dan diteruskan oleh neo-modernis, neo-tradisionalis, ekslusif Islam, dan modernis sekularis muslim.[93] Sementara M. Dawam Raharjo membedakan corak pemikiran Islam menjadi nasionalis muslim, humanis, sosialis-sekuler muslim, dan modernis-sekuler. [94]
Nurcholish Madjid dalam buku Islam Kemodernan dan Keindonesiaan mengapresiasi konsep modernisasi ialah identik dengan rasionalisasi. Konsep tersebut bermuara pada liberalisasi pemikiran yang berupaya merombak pola pikir dan tata kerja  lama yang tidak akliyah, menggantinya dengan pola pikir dan tata kerja baru yang akliyah.[95] Manfaatnya adalah untuk memperoleh daya guna dan eftsiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan demi menciptakan iklim pemahaman keberagamaan yang lebih pluralis, harmonis, dan dinamis, guna membangun budaya ilmu yang ilmiyah dan alamiah.
Berdasarkan penjelasan di atas, perkembangan pola dan corak pemikiran Islam ternyata tidak berhenti sampai di situ, tetapi terus berkembang sampai sekarang. Banyak hal yang direspon oleh para pemikir Islam di atas. Beberapa tema pokok yang direspon oleh para cendikiawan muslim antara lain, soal Islam dan negara nasional Islam, Islam dan Keindonesiaan, Islam dan kemodernan, Islam dan demokrasi, Islam dan pluralisme.[96]
Tema-tema tersebut di atas menjadi fokus pembicaraan cendikiawan muslim karena tema-tema ketika berhadapan dengan rezim Orde Baru yang banyak melakukan penekanan dan intervensi dalam gerakan Islam di Indonesia, sehingga melahirkan gebrakan pemikiran yang liberal dan dinamis.
Komunitas Islam liberal sangat aktif dalam sosialisasi pemikiran-pemikiran Islam, yang merupakan kelanjutan dari sosialisasi pemikiran Islam era 90-an, mereka dilatar belakangi HMI, NU, Paramadina dan NGO lain, dan yang sebagian sedang atau telah menyelesaikan studinya (S.2/ S.3) di luar negeri, baik Eropa, Amerika maupun Timur Tengah. Nama-nama seperti Ulil Abshar  Abdalla  dari Lakpesdam NU dan ISAI Jakarta, Nurcholish Madjid dan Budi Munawar Rachman (Paramadina), Nazaruddin Umar (Rahima), Rizal Malarangeng (Freedom Instutute), Saiful Muzani (Ohio University), Ihzan Ali Fauzi (Jerman) dan lain-lain merupakan tokoh sentral kajian JIL (Jaringan Islam Liberal), ISAI (Institut Studi Arus Informasi) dan KUK (Kajian Utan Kayu).
Secara historis, pemikir-pemikir Islam liberal banyak yang mendukung demokrasi, menentang teokrasi, jaminan pada hak- hak kaum perempuan, hak-hak non muslim di negara Islam, dan pembebasan terhadap kebebasan berftkir.[97]Salah satu tema yang paling hangat dibahas oleh komunitas pemikir liberal Islam adalah perlunya pemisahan yang tegas antara agama dan politik, atau agama dan negara. Dalam pandangan liberal Islam, agama berbeda dengan politik. Agama berurusan langsung dengan Tuhan dan berimbas pada manusia, sedangkan politik adalah urusan antara manusia yang imbasnya juga antar-manusia. Tidak ada sakralitas dalam politik, yang ada hanya etika, sementara dalam agama ada hal-hal yang sakral. Memang keduanya bisa bertemu dalam etika universal bukan doktrin.
Bahtiar Effendy dengan mengutip pendapat Nurcholish Madjid, menjelaskan kaitan antara Islam dan politik di Indonesia yaitu:
1 .Keterkaitan antara yang setidak-tidaknya dianggap sakral (agama) dan yang profan (politik).
2. Dalam kritik sejarah, keterkaitan antara Islam dan politik ini menyangkut soal ijtihad dan keikhlasan para pemikir dan aktivitas Islam generasi pertama.
3. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pemikiran dan aktivitas politik Islam di masa lampau.[98]
Demikian pula Soekarno (sebelum jadi Presiden) pernah menulis sebuah artikel berjudul ”memudahkan Islam”. menurut Soekarno langkah-langkah pemikiran liberalisasi yang dijalankan oleh Kemal Attaturk adalah “tindakan paling modern” dan tindakan “paling radikal”. Katanya “Agama dijadikan urusan perorangan”. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri dan tidak kepada negara. Oleh karena itu, salahlah kalau kita mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita samakan Turki itu dengan, misalnya, Rusia”. [99]Mengutip Frances Woodmall, Soekarno telah mencatat bahwa:“Perilaku Turki modern terhadap Islam adalah sikap anti- ortodoksi, atau anti-institusi keagamaan, ketimbang disebut sebagai anti agama… Validitas Islam sebagai agama yang menjadi persoalan keyakinan pribadi tidak ditolak. Tidak ada penghentian pelaksanaan ritual agama di masjid, atau lebih- lebih pelaksanaan kegiatan kegamaan”[100]
Menurut Soekarno apa yang dilakukan Turki sama sebagaimana dilakukan oleh negara-negara Barat, seperti Inggris, Perancis, Belanda, Belgia, Jerman dan lain-lainya, dimana urusan agama diserahkan kepada masing-masing pemeluknya, agama dijadikan urusan pribadi dan tidak dijadikan urusan negara, tidak dijadikan sebagai agama resmi negara.
Kemal Attaturk juga menghapus hukum-hukum Allah, dari masyarakat Turki. Tulisan Arab digantikan tulisan Latin, azan harus menggunakan bahasa Turki, dengan demikian pengaruh Islam kata Soekarno lebih didominasi oleh Negara/Pemerintah. Faktanya penguasa Islam pada waktu itu tidak menjalankan dan memelihara Islam sebagaimana yang diajarkan Islam. Bahkan tidak jarang agama hanya dijadikan alat untuk memepertahankan legitimasi kekuasaan.
Dalam wawancara dengan harian Kompas tanggal 1 April 1970, [101]Nurcholish mengatakan, “Orang yang menolak sekularisasi lebih baik mati saja. Karena sekularisasi adalah inheren dengan kehidupan manusia sekarang di dunia ini”. Ini diartikan juga bahwa zaman atau keadaan sekarang, juga berarti dunia ini. Pada makalah lain Nurcholis mengatakan, agama Islam, bila diteliti benar-benar dimulai dari proses sekularisasi terlebih dulu. Justru ajaran tauhid menurutnya, itu merupakan pangkal tolak proses sekularisasi terlebih dulu.
Di lain sisi, Nurcholish juga mengatakan, ”Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep ‘Negara Islam’ adalah suatu distorsi, hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya spiritual dan pribadi.” Sosok ketokohan Nurcholish Madjid sebagai locomotif pembaharuan Islam yang liberal rasional dan fugsional.
Greg Barton, menjelaskan beberapa prinsip gagasan prinsip Islam liberal adalah sebagai berikut:
1 .Pentingnya kontekstual ijtihad.
2 .Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan.
3. Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama.
4. Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non- sektarian agama.[102]

Koordinator Islam liberal Ulil Absar Abdalla menuangkan gagasan-gagasanliberalnya tanpa tedeng aling-aling dengan mengatakan bahwa: “Islam liberal bisa menerima bentuk negara sekuler…sebab, negara sekuler bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus”.[103]Aktivis Islam liberal lainnya, Denny JA, juga menulis gagasan liberal sebagai berikut:
“Sudah saatnya komunitas Islam Liberal di Indonesia mengembangkan sebuah teologi tersendiri yang sah secara substansi dan metodologi, yaitu teologi Islam Liberal. Ini sebuah ftlsafat keagamaan yang bersandar kepada teks dan tradisi Islam tersendiri, yang membenci pembenaran pada sebuah kultur liberal. Dalam politik, teologi itu menjadi Teologi Negara Sekuler (TNS), yaitu sebuah ftlsafat keagamaan, yang menggali dari teks dan tradisi Islam, yang paralel atau membenarkan perlunya sebuah negara yang sekuler sekaligus demokratis.”[104]
Dawam Raharjo, seorang tokoh Muhammadiyah Indonesia, memberi pembelaan keberadaan Ahmadiyah di Indonesia dengan statemen yang agak radikal, sebagai berikut:
“Ahmadiyah sama dengan kita… Jadi kita tidak bisa menyalahkan atau membantah akidah mereka, apapun akidah mereka itu. Kita menyangka, akidah mereka menyimpang. Misalnya, mereka percaya kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi. Tapi kalau sudah menjadi kepercayaan mereka mau apa? Itu kan soal kepercayaan. Itu kan sama saja dengan kita percaya kepada Nabi Muhammad saw.”[105]
Said Aqiel Siradj, ketua Syuriah Pengurus Besar NU, juga mengapresiasikan pikiran-pikirannya yang radikal megatakan: “Agama yang membawa misi Tauhid adalah Yahudi, Nasrani (Kristen) dan Islam. Ketiga agama tersebut datang dari Tuhan melalui Rasul dan Nabi pilihan. Agama Yahudi diturunkan melalui Musa, Nasrani diturunkan melalui Isa (Yesus), dan Islam melalui Muhammad. Kedekatan ketiga agama Samawi yang sampai saat ini masih dianut oleh umat manusia itu semakin tampak jika dilihat dari geneologi ketiga utusan (Musa, Isa dan Muhammad) yang bertemu pada Ibrahim sebagai the foundation father’s bagi agama tauhid. Singkatnya, ketiga agama tersebut sama-sama memiliki komitmen untuk menegakkan kalimat tauhid... Dari ketiga macam Tauhid di atas, Tauhid Kanisah Ortodoks Syiria tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan Islam.”[106] Cendikiawan Muslim, Alwi Shihab memberi argumen yang logis dan politis dengan mengatakan bahwa:
“Prinsip lain yang digariskan oleh al-Qur’an adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat al-Qur’an. Sebab al-Qur’an tidak membeda- bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.”[107] Pada sisi lain Abdul Munir Mulkhan, memberi gagasan- gagasan liberal dalam mengubah nuansa berftkir yang lebih praksis sebagai berikut:
“Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerja sama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”[108] Sementara itu, Abdurrahman Wahid, saat menjabat sebagai Presiden Indonesia pernah berpidato pada malam perayaan Natal bersama, 27 Desember 1999. Beliau menyampaikan pesannya bahwa:
“Bagi saya, peringatan Natal adalah peringatan kaum Muslim juga. Kalau kita konsekuen sebagai seorang Muslim merayakan kelahiran Nabi Muhammad saw, maka adalah harus konsekuen merayakan malam Natal.”[109] Tokoh gerakan sekularisasi di Indonesia, Nurcholish Madjid, juga tidak hanya berpendapat dalam bidang sosial politik, tetapi juga mempromosikan Teologi inklusif. Pendapatnya ditulis oleh Sukidi dalam sebuah buku yang berjudul “Teologi Inklusif Cak Nur”. Dalam buku tersebut diuraikan:
“Bangunan epistimologi teologi inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah ke hadirat Tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah kata yang tersingkap dalam al-Qur’an, bahwa semua agama yang benar adalah Islam, yakni sikap berserah diri ke hadirat Tuhan (Q.S.29:  46). Dalam konteks inilah, sikap pasrah menjadi kualiftkasi signiftkan pemikiran teologi inklusif Cak Nur. Bukan saja kualiftkasi seorang beragama Islam, tetapi ‘muslim’ itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualiftkasi bagi penganut agama lain, khususnya para penganut kitab suci, baik Yahudi maupun Kristen. Maka konsekwensi secara teologis bahwa siapa pun di antara kita, baik sebagai seorang Islam, Yahudi, Kristen maupun Shabi’in yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan hari kemudian, serta berbuat kebaikan, maka akan mendapatkan pahala di sisi Allah…(Q.s.2:62, 5:69). Dengan kata lain, sesuai ftrman Tuhan ini, terdapat jaminan teologis bagi umat beragama, apa pun ‘agama’nya, untuk menerima pahala (surga) dari Tuhan.”[110]
Di lain sisi tokoh pemikir liberal Ahmad wahib mengekplorasikan ftkiran-ftkiranya dengan mengatakan bahwa:“Wah, andaikata hanya tangan kiri Muhammad memegang kitab, yaitu al-Hadis, sedang dalam tangan kanannya tidak ada Wahyu Allah (al-Qur’an), maka dengan tegas aku akan berkata bahwa Karl Marx dan Frederich Engels lebih hebat dari utusan Tuhan itu. Otak kedua orang itu yang luar biasa dan pengabdiannya yang luar biasa pula, akan meyakinkan setiap orang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni surga tingkat pertama, berkumpul dengan para Nabi dan Syuhada.”[111]
Nurcholish Majid, yang tak henti-hentinya memberi argumen dengan ikhlas guna mengangkat langit keilmuan di kalangan intelektual dengan begitu dapat mengartikulasi nilai pemikiran keagamaan yang lebih netral, inovatif dan produktif, seperti di bawah ini:
“Semua agama, dalam inti yang paling mendalam adalah sama, dalam bulan yang suci ini karena bersama ada perayaan Waisak, Maulid Nabi Muhammad saw, dan kenaikan Isa al- Masih, kita semua harus menuju pada kedamaian.”[112] Tauftk Adnan Amal salah seorang sosok pemikir cendikiawan muda yang kritis dari UIN Makasar memberi gagasan-gagasan liberalnya sebagai berikut:
“Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan al-Qur’an sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam otograft teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushap tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis al-Qur’an”.[113]
Sumanto al-Qurtuby, pada Jurnal Justisia, edisi 27/2005 yang di kutip oleh Adian Husaini memberikan ide-idenya yang liberal dan dinamis sebagai berikut:“Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (“wahyu eksplisit” dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal” (“wahyu implisit” berupa konteks sosial waktu itu)”.[114]
Dari tokoh-tokoh berftkir di atas, yang telah mengeks- plorasikan gagasan-gagasannya merupakan kesadaran kolektif dan konstruktif dalam membangun horizon berftkir yang tercerahkan dengan mengangkat langit keilmuan yang lebih dinamis dan praksis. Hal tersebut disesuaikan dengan suasana kultur dan struktural pemahaman keagamaan yang lebih kompetitif dan itu suatu keharusan sebagai anak bangsa yang memiliki kesadaran moral berftkir dalam membangun tata nilai beragama. Dengan demikian revitalisasi dan realisasi kehidupan keberagamaan tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya. Keharusan tersebut dapat dimaknai sebagai jawaban masyarakat beragama terhadap perubahan- perubahan yang terjadi yang dirasakan oleh umat manusia secara cepat (massif).
Jaringan Islam Liberal memberi semangat berftkir dalam mengartikulasi nilai-nilai keagamaan yang yang lebih holistik dan universal dengan mengedepankan sikap ilmiah dan argumentatif. Menurut JIL satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama. Untuk menuju ke arah itu memerlukan beberapa hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Ulil Abshar Abdalla, yaitu:
1. Penafsiran Islam yang non-literal, subtansial, kontekstual dan sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
2. Penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur yang di dalamnya merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak. Islam itu kontekstual dalam makna bahwa nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah dan seterusnya. Tetapibentuk-bentuk Islamyangkontekstualituhanya ekspresi budaya dan tidak diwajibkan mengikutinya. Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab misalnya, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktek-praktek itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian
yang memenuhi standar kepantasan umum (publik decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia.
3. Umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan dengan kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan dengan Islam. Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non Islam menrutnya, sudah tidak relevan lagi. al-Qur’an sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena al-Qur’an menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan.
4. Kitamembutuhkan struktursosialyangdenganjelasmemisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat malalui prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktek peribadatan agama yang sifatnya partikular adalah urusan masin- masing agama. [115]
Dari informasi tersebut di atas, dapat membuka pemahamkita bahwa seharusnya kita bisa membawa pemikiran kita yang proporsional mana Islam Universal dan mana yang partikular, dengan demikian manusia dapat memahami, membedakan dan mengelaborasi gagasan keberagamaan yang semakin dinamis.
Di lain sisi Ulil Abshar Abdalla meletakkan kedudukan Rasul Muhammad saw. dalam konteks pemikiran bahwa, Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga ada kekurangannya) sekalipun panutan yang harus diikuti.[116]
Dalam konteks sosial politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial universal dan spiritual partikular Islam di madinah, tetapi Islam sebagaimana yang diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular dan kontekstual.[117]
Umat Islam harus berijtihad  mencari  formula  baru  dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. Islamnya di madinah adalah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah salah satu diantaranya, keadaan Islam yang hadir di muka bumi. Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh   di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Baginya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi, wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam al-Qur’an, tetapi wahyu non verbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.
Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia  yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat, yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.
Jaringan Islam Liberal dewasa ini telah berproses dan telah banyak kiprahnya yang dilakukan, setidaknya mensosialisasikan wacana keislaman yang memang bisa dibilang berani, terbuka dan demokratis. Membuka perdebatan dengan siapa saja, dan yang paling penting adalah mencoba menawarkan model keislaman yang humanis, inklusif dan dinamis.
Hasil Kajian JIL
Setelah diuraikan secara singkat, JIL dengan pemikiran-pemikirannya, mencoba menyatukan komunitas Islam dalam bingkai modernitas. Salah satu pemikiran JIL yang perlu diapresiasi adalah konsep tentang pluralisme, modernisasi, demokrasi dan sejenisnya, yang sampai saat ini bagi sebagian umat Islam masih dianggap sebagai bukan ajaranorisinal Islam. Bagi JIL konsep tersebut memiliki pijakan teologis yang kuat dalam al-Qur’an bahkan Sunnah Rasul dan generasi-generasi awal Islam. Bila tidak, maka fenomena yang akan berkembang merebaknya kekerasan yang dalam kasus-kasus tertentu sarat dengan muatan agama, atau minimal dilakukan oleh umat beragama, terutama umat Islam.
Maraknya tindakan kekerasan ini, selain muncul akibat ketidak mampuan manusia dalam menyikapi modernitas yang sangat kompleks, juga berpeluang pada pola keberagamaan mereka yang mengedepankan eksklusivisme dan klaim kebenaran sepihak, serta tidak bisa membedakan Islam normatif dengan Islam sejarah. Dalam suasana ini, umat Islam melakukan mistiftkasi Jihad,35 dan simbol agamayang lain, mereduksi sekedarmemeperkentalidentitas diri dan menjadikannya sebagai media untuk menyerang kelompok dan umat lain yang berbeda.
Dengan konteks itu JIL, mencoba membangun dan mengembangkan suasana beragama yang transformatif dan inklusif, menampakkan signiftkansinya untuk selalu “dilirik” oleh komunitas umat. Melalui pemahaman keagamaan yang holistik dan pola keagamaan yang inklusif, umat Islam diharapkan dapat menyelesaikan krisis kemanusiaan, serta menjadikan modernitas sebagai proses yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia.
I. RADIKALISME DI INDONESIA: Antara Historisitas dan Antropisitas
Secara historis munculnya Islam di Indonesia sangat damai dan toleransi relevan dengan apa yang diajarkan oleh para wali melalui singkronitas budaya lokal, bahan saling dapat hidup damai berdampingan dengan umat lain yang hidup masa itu. Namun sangat disayangkan dengan perkembangan zaman dan tuntutan stratiftkasi sosial di tengah masyarakat Indonesia yang begitu luas, maka bermunculanlah sekte-sekte, aliran-aliran, dan mazhab-mazhab baru yang mengatasnamakan Islam berkembang pesat sesuai dengan latar belakang kebudayaan dan kondisi alam yang eksis di daerah penganutnya.
Dari term di atas, dapat dicermati bahwa di Indonesia akhir- akhir ini banyak berkembang isu-isu radikalisme[118] di antaranya adalah kelompok yang mengklaim dirinya al-Qaeda dan ISIS, dimana keduanya menjadi isu global. Munculnya kelompok ini merupakan format perlawanan global kelompok radikal Islam terhadap ketidakadilan dunia. Hal ini dikaitkan dengan kebijakan miring pemimpin dunia terhadap Palestina, kesenjangan sosial- ekonomi di negara-negara muslim  bahkan  ekspansi  budaya Barat yang dianggap merusak nilai-nilai Islam seperti hedonisme dan materialisme. Para pemimpin dunia Islam dianggap tidak berdaya dan tunduk pada kemauan Barat. Isu tersebut dengan cepat menyebar keseluruh penjuru dunia melalui jaringan maya, bukan saja di negara-negara Islam, tetapi juga di negara-negara Barat sebagai akibat kebijakan banyak negara yang memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok perlawanan yang lari dari negara masing-masing. Di sisi lain, munculnya radikalisme di Indonesia menjadi nyata,  seiring  perubahan  tatanan  sosial  dan  politik,  terlebih setelah hadirnya orang-orang Arab muda dari Hadramaut Yaman ke Indonesia yang membawa ideologi baru ke tanah air, turut mengubah konstelasi umat Islam di Indonesia. Ideologi baru yang mereka bawa lebih keras dan tidak mengenal toleransi, sebab banyak dipengaruhi oleh mazhab maliki yang diadobsi dan diintrodusir oleh Muhammad bin Abdul Wahab atau Wahabi yang saat ini menjadi ideologi resmi pemerintah Arab Saudi. Di samping historisitas radikalisme  di  Indonesia  dan  pertumbuhannya begitu pesat, dan hal itu merupakan kemungkaran, maka antropositas faham dimaksud harus dilakukan secara bijak dan cermat sebagaimana yang diintrodusir Ibnu Qayyim al-Jauziyah menegaskan bahwa ada empat dimensi di dalam memberikan solusi kemungkaran atau radikalisme: pertama, menyingkirkan kemungkaran dan menggantinya dengan kema’rufan; kedua, menyingkirkan kemungkaran dengan menguranginya walaupun tidak menghapuskan secara keseluruhan; ketiga, menyingkirkan kemungkaran dengan memunculkan kemungkaran serupa; dan keempat, menyingkirkan kemungkaran dengan memunculkan kemungkaran yang lebih jahat dari padanya. Dengan demikian dapat dicermati bahwa dimensi pertama dan kedua merupakan penanggulangan radikalisme yang disyari’atkan, sementara dimensi kedua merupakan penanggulangan radikalisme ijtihadi, sedangkan dimensi  keempat  merupakan  penanggulangan radikalisme yang diharamkan.
Berdasarkan paparan di atas, maka kajian ini sangatmenarik untuk diketengahkan, karena ia merupakan kajian aktual dan kontemporer yang masih hangat untuk didiskusikan secara mendalam dan panjang lebar, sehingga tampak jelas peta persoalan yang akan dipaparkan. Secara ringkas, tulisan ini akan mencari alasan mengapa radikalisme muncul di Indonesia? Bagaimana sejarah kemunculannya, dan cara apa yang tepat dalam antropisitas radikalisme di Indonesia.
1. Pembahasan
Dalam  catatan sejarah radikalisme      Islam[119]  semakin menggeliat pada pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi, Sejak Kartosuwirjo memimpin operasi 1950-an di bawah bendera Darul Islam (DI). Sebuah gerakan politik dengan mengatasnamakan agama, justiftkasi agama dan sebagainya. Dalam sejarahnya gerakan ini akhirnya dapat digagalkan, akan tetapi kemudian gerakan ini muncul kembali pada masa pemerintahan Soeharto, hanya saja bedanya, gerakan radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas rekayasa oleh militer atau melalui intelijen melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya, ada pula Bakin yang merekayasa bekas anggota DI/TII, sebagian direkrut kemudian disuruh melakukan berbagai aksi seperti Komando Jihad, dalam rangka memojokkan Islam. Setelah itu sejak jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan masa-masa kebebasan, sehingga secara tidak langsung memfasilitasi beberapa kelompok radikal ini untuk muncul lebih nyata, lebih militan dan lebih vokal, ditambah lagi dengan liputan media, khususnya media elektronik, sehingga pada akhirnya gerakan ini lebih tanpak.[120]
Setelah  DI,  muncul  Komando  Jihad  (Komji)  pada  1976 kemudian meledakkan tempat ibadah. Pada 1977, Front Pembebasan Muslim Indonesia melakukan hal sama. Dan tindakan teror oleh Pola Perjuangan Revolusioner Islam, 1978.[121] Tidak lama kemudian, setelah pasca reformasi muncul lagi gerakan yang beraroma radikal yang dipimpin oleh Azhari dan Nurdin M. Top dan gerakan-gerakan radikal lainnya yang bertebar di beberapa wilayah Indonesia, seperti Poso, Ambon dan yang lainnya. Semangat radikalisme tentu tidak luput dari persoalan politik. Persoalan politik  memang  sering  kali menimbulkan gejala-gejala tindakan yang radikal. Sehingga berakibat pada kenyamanan umat beragama yang ada di Indonesia dari berbagai ragamnya.
DalamkonstelasipolitikIndonesia,masalahradikalismeIslam makin besar karena pendukungnya juga makin meningkat. Akan tetapi gerakan-gerakan ini lambat laun berbeda tujuan, serta tidak mempunyai pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syari’at Islam tanpa keharusan mendirikan “negara Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia, di samping yang memperjuangkan berdirinya “kekhalifahan Islam’, pola organisasinya pun beragam, mulai dari gerakan moral ideologi seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sampai kepada gaya militer seperti Laskar Jihad, dan FPI.[122]
Di sisi lain, radikalisme adalah suatu paham yang dibuat- buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham/aliran untuk mengaktualisasikan paham  keagamaan  yang  dianut  dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.
Lebih jauh dipaparkan bahwa radikalisme menurut kamus besar bahasa Indonesia ikhtiar baru tahun 1995 adalah suatu paham aliran yang menghendaki perubahan secara drastic. (kamus besar bahasa Indonesia ikhtiar baru:1995). Sedangkan menurut kamus ilmiah popular radikalisme adalah inti dari perubahan. (bary, kamus ilmiah popular:1994). Sementara radikalisme agama berarti, prilaku keagamaan yang menyalahi syariat, yang mengambil karakter keras sekali antara dua pihak yang bertikai, yang bertujuan merealisasikan target-target tertentu, atau bertujuan merubah situasi sosial tertentu dengan cara yang menyalahi aturan agama.
Dari konteks di atas dapat dipahami bahwa radikalisme agama adalah prilaku keagamaan yang menghendaki perubahan secara drastis dengan mengambil karakter keras yang bertujuan untuk merealisasikan target-target tertentu. Secara historis, kemunculan kelompok radikal di kalangan umat Islam Indonesia bukanlah hal yang baru. Karena pada awal abad ke-20, dalam peningkatan semangat dan ekonomi kian parah di kalangan pribumi, radikalisme muslim diambil alih oleh kelompok Serikat Islam (SI).[123] Gerakan  radikalisme  di  Indonesia[124]  tidak  seperti yang terjadi di Timur tengah yang sangat menekankan agenda- agenda politk.Gerakan radikal Islam di Indonesia baru sebatas pada tuntutan dipenuhinya aspirasi Islam, seperti pemberlakuan syariat Islam atau piagam Jakarta.[125] Kemunculan gerakan islam radikal di Indonesia disebabkan oleh dua faktor; Pertama, faktor internal dari dalam umat islam sendiri yang telah terjadi penyimpangan norma-norma agama. Kedua, faktor eksternal di luar umat Islam, baik yang dilakukan penguasa maupun hegemoni Barat, seperti kasus gerakan  Warsidi, Salaman haftdz dan Imron atau yang dikenal sebagai komando Jihad telah membangkitkan radikalisme di Indonesia.[126] Jihad sebenarnya menjadi simbol perlawanan yang efektif untuk menggerakkan perang melawan Barat. Kondisi inilah yang menyebabkan permusuhan yang terus menerus antara Islam dan Barat. Fenomena yang terjadi di Indonesia ketika umat islam bereaksi terhadap serangan Amerika Serikat  pada  Afghanistan. Di masa inilah, islam menemukan moment untuk menyuarakan aspirasi Islam (Solidaritas Islam). Karena itulah, kelompk Islam radikal seperti KISDI, Lakar Jihad, FPI, Ikhwanul Muslimin, dan Mujahidin bergerak menentang penyerangan AS. Bahkan, komando jihad juga dikirim ke Afghanistan sebagai bagian dari tugas suci.[127] Di sisi lain, aksi terorisme di Indonesia saat ini memang tengah menurun sejak awal tahun 2000-an. Namun akar terorisme, yaitu radikalisme agama, tetap tumbuh subur dan mendapatkan posisi di sebagian masyarakat. Selain radikalisme agama, aksi teror juga masih berisiko muncul akibat gesekan-gesekan lainnya, seperti anti persatuan, separatisme, dan lain-lain. Oleh karena imunitas harus senantiasa mengingat bahwa kita hidup di Indonesia, negeri yang terdiri dari keberagaman. Jika kita tidak bersikap tenggang rasa dan berpikiran terbuka, maka akar-akar radikalisme pun dapat leluasa masuk memengaruhi kita. Pemerintah juga perlu untuk menjadi lokomotif dalam pembangunan persatuan dan kesejahteraanbangsagunamenghindarkannegeriinidariancaman radikalisme yang memanfaatkan celah-celah ketidak adilan.
Sementara peneliti LIPI Anas Saidi mengatakan bahwa paham radikalisme ini terjadi karena proses Islamisasi yang dilakukan di kalangan anak muda ini  berlangsung  secara  tertutup, dan cenderung tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya, apalagi yang berbeda keyakinannya. Dia menegaskan  jika pemahaman ini dibiarkan bisa menyebabkan disintegrasi bangsa karena mereka menganggap ideologi pancasila tidak lagi penting.[128]“Proses Islamisasi ini terjadi secara monolitik dan terjadi masjid dikuasai kelompok tertentu yang konsekuensi pengikutnya adalah sikap intoleran, dan jika nanti mereka kemudian menjadi pejabat, misalnya menjadi menteri atau menjadi apa sajalah, kalau tidak punya toleransi dan masih punya benak untuk mengganti pancasila, itu yang saya kira ada kecemasan. Anas mengatakan lebih lanjut bahwa proses Islamisasi di kalangan anak muda itu harus diimbangi dengan proses Islamisasi yang terbuka, bervariasi dan penyelesaian perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan tidak dengan kekerasan. Jika itu dilakukan, Anas melihat ada sisi positif proses Islamisasi ini dapat memberikan generasi muda yang lebih dapat menerima perbedaan.
Selanjutnya antropisitas radikalisme dapat dilakukan melalui Jalur Peran Pemerintah; Peran Institusi Keagamaan dan Pendidikan; Peran Masyarakat Sipil; Beberapa Isu Kritis; Peran Deradikalisasi; Rehabilitasi dan Reintegrasi; dan Pendekatan Kesejahteraan. Paparan detail komponen antropisitas radikalisme dimaksud dapat dicermati berikut ini.
1.         Peran Pemerintah
Apa peran pemerintah? Harus ada pembedaan soal peran
(kebijakan) pemerintah yang berkaitan dengan (1) ekstremisme keagamaan dan (2) kekerasan yang muncul karena ekstremisme (religious extremism based violence). Untuk yang pertama,  kebijakan pemerintah dalam menanggulangi ekstremisme  keagamaan (religious extremism) dipandang relatif. Secara umum, kebijakan pemerintah tentang  pengurangan  kekerasan  sudah nampak jelas karena kita punya UU anti terorisme. Namun untuk ekstremisme keagamaan belum bisa dikatakan jelas karena jika ekstremisme belum mewujud  menjadi  tindakan  statusnya  tidak  bisa diapa-apakan oleh hukum kita. Sebetulnya  ada  mekanisme  yang bisa digunakan untuk menanggulangi masalah ekstremisme keagamaan lewat hate speech (kebencian) tapi hukum kita belum mengatur masalah itu secara khusus. Meskipun belum berupa tindakan, namun ujaran kebencian ini yang sering kita jumpai dimana-mana. Kita lumrah menemukan di  banyak  pengajian,  tabligh akbar, media sosial dan bahkan di TV-TV yang memuatkan ujaran kebencian atas pihak lain.
Ujaran kebencian ini jika terus menerus berlanjut akan
mampu memprovokasi masyarakat dan bisa menggiring pada tindakan kekerasan. Sementara untuk kekerasan berbasis agama seperti terorisme, kebijakan negara sudah cukup memadai dengan adanya UU No. 15/2003 yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun kemampuan institusi negara untuk melaksanakan kebijakan tersebut pada tataran praktik masih perlu penyempurnaan. Kekurangan yang paling jelas misalnya adalah adanya kesenjangan antara teori (kebijakan) dan  praktik
(implementasi) di samping juga persoalan-persoalan seperti kurangnya sumber daya manusia dan budaya etos kerja yang lemah di kalangan penegak hukum. Salah satu cetak biru dari pemerintah dalam hal penanggulangan kekerasan berbasis agama adalah proyek deradikalisasi. Deradikalisasi adalah kebijakan penting yang diambil oleh pemerintah untuk mengurangi atau mengembalikan radikalisme keagamaan kepada situasi yang normal,  tidak  radikal. Melalui pendirian BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 201), Pemerintah melakukan program deradikalisasi sebagaimana tercermin dalam fungsi BNPT yang kesembilan: “pengoperasian Satuan Tugas-Satuan Tugas dilaksanakan dalam rangka pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan dan penyiapan kesiapsiagaan nasional di bidang penanggulangan terorisme.”Istilah deradikalisasi secara harftyah sudah disebutkan dalam fungsi BNPT, namun jika saya tidak salah pemerintah secara resmi tidak memiliki deftnisi deradikalisasi. Lalu apa makna deradikalisasi? Saya melihat deftnisi deradikalisasi yang diberikan oleh Yayasan Lazuardi Birru, lembaga ini konon pernah sangat aktif melakukan riset-riset soal terorisme dan deradikalisasi, dalam websitenya mendeftnisikan deradikalisasi sebagai:
“Segala upaya untuk menetralisir paham-paham radikal
melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau tereksposepahamradikaldan/atauprokekerasan. Deradikalisasi terorisme diwujudkan dengan program reorientasi motivasi, re-edukasi, resosialisasi, serta mengupayakan kesejahteraan sosial dan kesetaraan dengan masyarakat lain bagi mereka yang pernah terlibat terorisme maupun bagi simpatisan, sehingga timbul rasa nasionalisme dan mau berpartisipasi dengan baik sebagai Warga Negara Indonesia.”
Lazuardi Birru juga merinci hal-hal yang dilakukan dalam rangka   deradikalisasi:   (a)   melakukan   counter   terrorism,(b) mencegah proses radikalisme, (c) mencegah provokasi, penyebaran   kebencian,   permusuhan   antar   umat   beragama,(d) mencegah masyarakat dari indoktrinasi, (e) meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk menolak paham terror (terorisme), dan (f) memperkaya khazanah atas perbandingan paham.     Berdasarkan  deftnisi  di  atas  dan  juga   cakupuan kerjanya maka deradikalisasi diharapkan bukan hanya menjadi tugas pemerintah, namun menjadi tugas semua pihak di dalam wilayah negara, masyarakat sipil dan juga kalangan bisnis.
2.         Institusi Keagamaan dan Pendidikan.
Apa yang diharapkan dari mereka untuk berperan? Sesuai dengan wataknya, institusi keagamaan dan pendidikan tidak bisa dituntut di luar proporsi mereka. Jika mereka berperan dalam menanggulangi dampak ekstremisme keagamaan maka sifatnya itu adalah sukarela dalam mendukung kebijakan pemerintah  dalam menanggulangi dampak ekstrimisme keagamaan. Institusi keagamaan  seperti   pesantren   dan   sekolah-sekolah   agama bisa berperan dalam menanggulangi dampak ekstremisme keagamaan melalui pemberian materi pembelajaran agama yang mengutamakan gagasan-gagasan Islam yang rahmatal lil alamin dan toleran. Meskipun lembaga seperti pesantren itu adalah lembaga pengajaran agama, namun sepanjang sejarah kita, pesantren- pesantren di Indonesia pada ghalibnya adalah lembaga yang sangat toleran dan terbuka. Dalam memegang agama, mereka bukan ekstrem namun pious (taqwa). Ketaqwaan sangat berbeda dengan ekstrem, ia lebih individual dan banding komunal. Sementara ekstremisme keagamaan itu lebih bersifat komunal dibandingkan individual. Pesantren kita dalam memegang agama bersifat tengah- tengah   sebagaimana   anjuran   populer,   khayr   al-umu>r   awsatuhu. Penyemaian pendidikan keagamaan yang demikian ini adalah sumbangan terbesar yang diberikan oleh pesantren.
3.         Masyarakat Sipil
Masyarakat Sipil yang saya maksud di sini adalah kelompokmasyarakat yang bukan merupakan bagian dari negara  (the  state) dan juga bukan bagian dari lembaga bisnis dan ekonomi (the economical). Contoh dari Masyarakat Sipil adalah ormas semacam NU, Muhammadiyah di samping juga LSM-LSM. Pada umumnya, Ormas-ormas besar Islam seperti NU dan Muhammadiyah memiliki pandangan yang sama soal dampak yang diakibatkan oleh ekstremisme keagamaan. Sejalan dengan NU dan Muhammadiyah adalah MUI yang sudah mengeluarkan fatwa tentang keharaman tindakan    terorisme.    Berdasarkan    paparan    di    atas,    dari  segiekstremisme keagamaan yang berdampak nyata seperti terorisme, sikap lembaga keagamaan sangat jelas, namun untuk ekstremisme keagamaan par excellence, maka masyarakat sipil masih bersikap ambigu. Misalnya, pada satu sisi, mereka mengutukpelbagai bentuk kekerasan bermotif agama seperti terorisme dan lainnya, namun pada sisi yang lain mereka tidak punya cara pandang dan sikap yang jelas pada wacana keagamaan yang menganjurkan kebencian.
Atas nama penghinaan keyakinan, fatwa-fatwa keagamaan yang memicu pada sikap ekstremisme dan bahkan tindakan berbasis agama  tetap berjalan. Misalnya, NU, Muhammadiyah dan MUI mengutuk terorisme namun mereka tidak berbicara apa-apa soal kekerasan yang menimpa kaum Syiah dan Ahmadiyah. Sampai sekarang, kita tidak bisa menyelesaikan ekstremisme  keagamaan  yang  terjadi di internal umat Islam sendiri. Suasana sekarang adalah suasana penuh propaganda dan setiap upaya yang diupayakan untuk mencari jalan keluar distigmatisasi dengan hal-hal yang buruk. Saya beri contoh, beberapa waktu lalu RMI –Rabithah Ma’ahid al- Islamiyah—mengeluarkan kampanye AYOMONDOK. Kampanye ini ditujukan agar kita bisa kembali ke pesantren karena pesantren memberikan cara pembelajaran agama yang mendalam dan dekat dengan kultur keIndonesiaan yang wasatiyyah. Namun apa yang terjadi bahwa karena kebencian yang sudah ada dibenak kalangan konservatif, kampanye #AYOMONDOK distigmatisasi sebagai liberal. Hal-hal seperti ini adalah tantangan bagi seluruh kalangan yang memiliki pandangan bahwa ekstremisme bukan jalan bagi Islam di Indonesia sekarang maupun masa depan.
C.        Beberapa Isu Kritis
Isu-isu kritis ini saya angkat dari riset yang saya lakukan beberapa bulan lalu tentang“pengurangan ekstremisme keagamaan dan reintegrasi eks-teroris di dalam masyarakatnya.” Karenanya, dalam catatan kritis ini secara spesiftk saya mengarahkan pada salah satu dampak ekstremisme keagamaan yang paling kita kenal dan rasakan yaitu terorisme. Riset ini saya lakukan di Jakarta dan Surakarta dengan pendekatan kualitatif (survei publik) dan kualitatif –wawancara dengan eks-teroris, pejabat pemerintah dan kalangan masyarakat sipil. Berikut ini beberapa isunya:

1.         Deradikalisasi
Berdasarkan hasil wawancara saya, deradikalisasi adalah
proyek pemerintah yang mendapat kritik dari mantan teroris dan juga beberapa aktivis kemanusiaan. Eks-teroris menganggap jika deradikalisasi itu kurang efektif karena lebih mengarah pada aspek de-ideologisasi daripada aspek kemanusiaan. Mereka mengusulkan agar pendekatan pemerintah dalam penanggulangan terorisme yang diutamakan adalah pendekatan non-keamanan. Menurut mereka, ideologi adalah hal yang mendasar bagi mereka karenanya sulit untuk dihilangkan dari benak mereka. Meskipun mereka--- mantan teroris---sudah kembali ke dalam masyarakat (reintegrasi), namun untuk mengatakan mereka sudah meninggalkan ideologi mereka masih sangat jauh. Bagi mereka, segala bentuk upaya pemerintah untuk melunakkan mereka melalui jalan ideologi akan sulit. Karenanya, pemerintah, menurut mereka, lebih baik mengutamakan jalan kesejahtreraan. Bagi mantan teroris misalnya mereka sudah cukup senang apabila bisa kembali kedalam masyarakat mereka dan memiliki pekerjaan untuk menghidupi keluarga mereka. Dua informan yang saya wawancarai misalnya meskipun sudah kembali kepada masyakarat dengan sukses namun tetap apa yang mereka lakukan pada masa lalu adalah sesuatu yang tidak sepenuhnya salah. Jihad memang bisa dilaksanakan namun waktu dan tempat tidak bisa dipilih sembarangan. Mereka mengakui jika jihad yang sudah mereka lakukan tidak sesuai dengan syarat jihad (ftqh al-jihad). Bahkan mereka mengutip Osama Bin Laden untuk menjustiftkasi perbuatan mereka sebagai hal yang tidak tepat untuk dilaksanakan di Indonesia.
2.         Rehabilitasi dan Reintegrasi
Ketika eks-teroris itu dinyatakan bebas bersyarat, maka
mereka kembali kepada masyarakat dimana mereka hidup (habitus). Ketika mereka kembali, paham mereka harus berubah. Inilah yang dimaksud dengan rehabilitasi. Tanpa adanya perubahan mindset mereka ke arah yang lebih baik (restoration). Rehabilitasi bisa dimaknai sebagai upaya menolongan orang kembali kepada posisi atau status yang normal. Reintegrasi bagi sebagian kalangan diidentikkan dengan rehabilitasi namun sebagian dinyatakan sebagai proses lanjutan setelah rehabilitasi.

Pemerintah sampai sejauh ini tidak memiliki kerangka yang jelas tentang rehabilitasi dan reintegrasi  meskipun  kedua ide ini hal yang penting dalam rangka penanggulangan dampak terorisme. Selama ini yang ada adalah pendampingan BAPAS terhadap para teroris yang sudah dinyatakan bebas bersyarat. Dalam bebas bersyarat ini mereka boleh kembali kepada masyarakat, namun mereka harus lapor secara periodik ke BAPAS setempat. Namun ternyata proses rehabilitasi dan reintegrasi tidak semudah yang dibayangkan. Sering kali mereka mengalami kesulitan dalam rehabilitasi, proses kembali ke masyarakat. Mereka menghadapi stigmatisasi dari lingkungan sekitar.
Dalam sebuah kasus di Solo, BAPAS merasa kesulitan untuk memberi penyadaran pada masyarakat bahwa mantan teroris juga berhak untuk hidup di tengah-tengah masyarakat. Namun jika masyarakatnya tetap menolak, BAPAS, lembaga terakhir yang berhubungan dengan mantan napi teroris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dari kasus ini pemerintah perlu memikirkan masalah rehabilitasi dan reintegrasi.
3.         Pendekatan Kesejahteraan
Deradikalisasi dianggap masih mengutamakan pendekatan
keamanan dibandingkan dengan kesejahteraan. Berdasarkan riset saya, mereka menginginkan kesejahteraan. Mengapa banyak mantan teroris yang kembali beraksi lagi, salah satunya karena merekagagaldalammencaripekerjaanuntukmenghidupikeluarga mereka. Karena keadaan yang sulit inilah sehingga mereka mereka kembali kepada jaringan lamanya karena merekalah yang bersedia mensupply kebutuhan mereka. Inilah kemudian yang melahirkan teori pendekatan ekonomi dalam penanggulangan terorisme dan ekstremisme keagamaan.

Hasil Kajian
Dari Paparan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: Radikalisme muncul di Indonesia disebabkan seiring perubahan tatanan sosial dan politik. terlebih setelah kehadiran orang-orang Arab muda dari Hadramaut Yaman ke Indonesia yang membawa ideologi baru ke tanah air, turut mengubah konstelasi umat Islam di Indonesia. Ideologi baru yang mereka bawa lebih keras dan tidak mengenal toleransi, sebab banyak dipengaruhi oleh mazhab
pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab atau Wahabi yang saat ini menjadi ideologi resmi pemerintah Arab Saudi. Selanjutnyahistorisitasmunculnyaradikalismedi Indonesia disebabkan oleh tiga faktor mendasar, yaitu Faktor pertama adalah perkembangan di tingkat global, dimana kelompok - kelompok radikal menjadikan situasi di Timur Tengah sebagai inspirasi untuk mengangkat senjata dan aksi teror. Apa yang terjadi di Afghanistan, Palestina, Irak, Yaman, Syiria, dan seterusnya dipandang sebagai campurtangan Amerika, Israel, dansekutunya. Adapunfaktorkedua adalah terkait dengan kian tersebar luasnya paham Wahabisme yang mengagungkan budaya Islam ala Arab yang konservatif. Dalam kaitannya dengan radikalisme, Wahabisme dianggap bukan sekadar aliran, pemikiran, atau ideologi, melainkan mentalitas. Ciri mental itu antara lain gemar membuat batas kelompok yang sempit dari kaum muslimin, sehingga dengan mudah mereka mengatakan di luar kelompok mereka adalah kaftr, musuh, dan wajib diperangi. Sementara itu faktor ketiga adalah karena kemiskinan, walaupun hal ini tidak berpengaruh langsung terhadap merebaknya aksi radikalisme.
Hal utama yang kemungkinan membuat keterkaitan antara kemiskinan dan radikalism eadalah perasaan termarjinalkan. Situasi seperti itu menjadi persemaian subur bagi radikalisme dan terorisme.Sedangkan cara tepat di dalam antropisitas radikalisme diIndonesia adalah melalui jalur Peran Pemerintah; Peran Institusi Keagamaan dan Pendidikan; Peran Masyarakat Sipil; Beberapa Isu Kritis; Peran Deradikalisasi; Rehabilitasi dan Reintegrasi; dan Pendekatan Kesejahteraan.
Penutup


Daftar Pustaka
Anonimous. 2008. Kamus Besar Bahasa Indo- nesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Bachtiar, Tiar Anwar. 2011. Sunda dan Islam, dalam http://www.globalmuslim.web.id/2011/12
/sunda-dan-islam.html, diakses tanggal 28 Januari 2012.
Danasasmita, Saléh. 2003. Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Djatisunda, Anis. 1993. Baduy Rawayan Urang Kanekes. Bandung: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa barat.
Ekadjati, Edi S. 2009. Kebudayaan Sunda: Studi Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pus- taka Jaya.
Garna, Judistira K. 2012. Orang Baduy. Bandung: Primaco Akademikan dan Ju- distira Garna Foundation.
Hummam, Ibnu. 1937. Syarh Fath al-Qadîr. Kairo: Mathba‘ah Mushthafâ Muham- mad.
Katsîr, Abû al-Fidâ’ Ismâ‘il bin. 1876. Tafsir al- Qur’ân al-‘Adzîm. Kuwait: Jam‘iyyah Ih- ya’ al-Turats al-Islamî.
Khallaf, ‘Abd Wahhab. 1986. Ushul Fiqh. Bei- rut: Dâr al-Fikr.
Lubis, Nina Herlina. 2003. Sejarah Tatar Sun- da. Bandung: Lembaga Penelitian Uni- versitas Padjadjaran.
Madanî, Muhammad al-. 2002. Nadzarât fî Fiqh al-Farûq ‘Umar ibn al-Khattab. Kairo: Wizarah al-Awqaf.
Mubarok, Jaih. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mustapa, Hasan. 2010. Adat Istiadat Sunda.
Bandung: PT. Alumni.
Pekei, Demininggus. 2011. Tinjauan Keyakinan dan Agama Asli Orang Mee di Papua, dalam http://majalahselangkah.com/- content/tinjauan-keyakinan-dan-agama- asli-orang-mee-di-papua, diakses tanggal 28 Januari 2012.
Pritshard, E. Evans. 1984. Teori-teori tentang Agama Primitif. Yogyakarta: PLP2M. Qudamah, Abû ‘Abdillah Muhammad bin
Ahmad Ibnu. 1947. al-Mugnî. Kairo: Dâr al-Manar.
Rosjidi, Ajip. 2010. Mencari Sosok Manusia Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rusyana, Yus. 1971. Bagbagan Puisi Sawer Sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pan- tun dan Folklore Sunda.
Sa‘bân, Zakî al-Dîn. 1968. Ushul al-Fiqh al- Islamî. Kairo: Dâr Nahdloh ‘Arabiyyah.
Sabiq, Sayyid. t.th. Fiqh Sunnah. Mesir: Dâr al- Fath.
Sarakhsî, al-. 1912. al-Mabsûth. Kairo: Makta- bah al-Sa‘adah.
Sinnah, Ahmad Fahmi Abû. 1947. al-‘urf wa al- ‘Âdah Ra’yi Fuqahâ. Mesir: Mathba‘ah al-Azhar.
Suyûthî, Jalâl al-dîn al-. t.th. al-Asybah wa al- Nazhâir. Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Arabî.
Taysîr, ‘Abdurrahman bin Nâshir al-. 2008. al- Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Ma- nân. Kuwait: Jam‘iyyah Ihyâ’ al-Turats al- Islamî.

Hadi, Hardono, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, Kanisius: Yogyakarta,1996,.
Lindholm, Tore, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh ?, Kanisius, Yogyakarta, 2010.
Pols, Edward, Whitehead’s Metaphysics A Critical Examination of Process and Reality,
Southern Illinois University Press, United States of America, 1967.
Sherburne, Donald W, A Key To Whitehead’s Process and Reality, Macmillan Company: United States of America,1966.
Whithead, Alfred North, Process and Reality , The Free Press, New York, 1978.
          , Religion in the Making, Macmillan, New York, 1926.
Zulkarnain, Iskandar, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, LKiS: Yogyakarta, 2005.

Al-Amin, Ainur Rofiq. 2012. Membongkar Proyek Khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
Ali, As’ad Said. 2012. Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi. Jakarta: LP3ES.
Al-Nabhani, Taqiyudin al-Nabhani. 1991. Syakhshiyah Islam (Kepribadian Islam) Jilid I. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Arif, Syaiful. 2010. Deradikalisasi Islam, Paradigma dan Strategi Islam Kultural.
Depok: Koekoesan.
Hizbut Tahrir (1945-2005). 2009. Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, Jakarta: HTI-Press.
Hizbut Tahrir Indonesia. 2009. Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan Penyatuan Kembali Dunia Islam. Jakarta: HTI- Press.
Majalah al-Wa’ie, No. 108, Tahun IX, Agustus, 2009. Majalah al-Wa’ie, No. 137 Tahun XII, 1-31 Januari 2012.
Majalah al-Wa’ie, No. 144 Tahun XII, 1-31 Agustus 2012.
Majalah al-Wa’ie, No. 145 Tahun XIII, 1-30 September 2012.
Rahmat, M. Imdadun. 2005. Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme
Islam Timur-Tengah ke Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Review, Reform. Gerakan Keagamaan Transnasional di Dunia Islam dan Pemetaan Jejaknya di Indonesia, Vol. I No. 1, April-Juni 2007.
Sutrisno, Slamet. 2006. Filsafat dan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Penerbit ANDI
Tabloid Media Umat, Edisi 88, 7-20 September 2012.
Thabib, Hamd Fahmi Thabib. 2008. Khilafah Rasyidah yang Telah Dijanjikan,
dan Tantangan-tantangannya. Jakarta: HTI-Press.
Tim Penulis HTI. 2006. Syariah Islam dalam Kebijakan Publik. Jakarta: HTI Press.

Abdalla, Ulil Abshar, dkk., Islam Liberal dan Fundamenta, Sebuah Pertaungan Wacana, Jogjakarta: Elsaq Press, 2003.

35 Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 1996), h. 83-87.
Abdillah, Maskuri, Islam dan Politik Orde Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998.
Aly, Fachri dan Effendy, Bahtiar, Merambah jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, 1987.
Al-Anshori, Fauzan, Melawan Konspirasi Jaringan Islam Liberal,
Yogyakarta: Pustaka al-Furqan, 2003.
Azra, Azyumardi, Konflik Baru Antara Peradaban, Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas, Jakarta: Rajawali Press, 2002.
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1999.
Binder, Leonard, Islamic Liberalism A Critique of Depvelopment Ideologis,
Cichago & London: Cicago Press,1988.
Husaini, Adian dan Hidayat, Nuim, Islam Liberal, Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya, Jakarta: Gema Insani Pres, 2002.
---------------, Gus Dur Mau Kemana; Telaah Kritis Atas Pemikiran dan Politik Keagamaan Presiden Abdurrahman Wahid, Jakarta: DEA Press, 2002.
--------------, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual,
Surabaya: Risalah Gusti, 2005.
-------------, Apa Kata ‘Orang-Orang IAIN/UIN’ Seputar Islam, Pada kegiatan Internasional Workshop on Islamic Higher  Learning  Indonesia. Desember 20-23 2005 Di Wisma Sahida.
Internet, Www/islamlib.yahoo.com.
Jaiz, Hartono Ahmad, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
---------, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001.
---------, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Perbincangan mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, Yogyakarta: Galang Press, 2001.
---------, Islam dan Negara, Jakarta: Paramadina, 1998.
Karim, M. Rusly, Cendikiawan Muslim Indonesia dan Politik Orde Baru,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998.

Kurzaman, Charles (Edt), Wacana Islam Liberal, pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isus-Isu Global, Jakarta: Paramadina, 2003
Ma’arif, Ahmad Syaft’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3S, 1985.
---------, Peta Bumi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1992. Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, Bandung:
Mizan, 1989.
Majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002.
Majalah Tempo, edisi 19-25 Nopember 2001.
Mulkhan, Abdul Munir, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.
Qadir, Juli, “Wajah Islam Liberal di Indonesia: Sebuah Penjajagan Awala” dalam Al Jami’ah VOL.40, no. 2 July Desember 2002.
Qard}awi>, Yusuf,   Islam   dan Globalisasi Dunia, (Terj), Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
---------, Islam Radikal: Analisis Terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya, (Terj.), Solo: IKAPI, 1996.
Raharjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa, Bandung: Mizan, 1992.
Rahman, Fazlur, Islam, Chicago dan London, Unv. Of Chicago Press, 1973.
Roy, Oliver, Gagalnya Islam Politik, (Terj.), Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 1996.
Shihab,  Alwi,           Islam Inklisif: Menuju Sikap Terbuka dalam Agama,
Bandung: Mizan, 1997.
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, 2001.
Thalib, M. dan Fajar, Haris, Dialog Bung Karno - A. Hassan, Yogyakarta: Sumber Ilmu,1985.
Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam, Jakarta: LP3ES, 2003. Winarno, Budi, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru, Yogyakarta: Tajidu
Press, 2004.



Amal, Ichlasul, Cornelis Lay dan Erwin Endaryanta, “Mengenal Keamanan” dalam Bahan Perkuliahan Politik Keamanan dan Pembangunan, Program Pascasarjana, Yogyakarta: Fisipol- UGM, 2010.
Azra, Azumardi dalam Artikel Tempo “Radikalisme Islam Indonesia,
15 Desember 2002
-------,“Muslimin Indonesia: Viabilitas “Garis Keras” , dalam Gatra edisi khusus 2000,
Budiman, Arief. Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006
Denny JA, “Al-Qaidah di Indonesia?” dalam Kompas, Jakarta:Eedisi Kamis, 26 September 2002.
Dijk, Van, Kees and Kaptein, J.G., Nico, Islam, Politics, and change: The Indonesian Experience after the fall of Suharto, Leiden Uniersity Press, 2016, Cet.ke-1
Hendropriyono, AM.,Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Jakarta: Penerbit Kompas, 2009
Parolin, Christina, Radical Spaces: Venues of Popular Politicts in London, 1790-c. 1845, Australia: ANU E Press, 2010, Cet.ke-1
Pujianto, Hendriawan. “Distorsi Jurnalisme dalam Isu Terorisme” dalam Jawa Pos, Surabaya: Edisi Senin, 25 November 2002.
Mubarak, Zaki, M., Geneologi Islam Radikal di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2008
Muzani, Saiful, Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika, Jakarta: Freedom institute-PPIM, dan Penerbit Nalar, 2005
Muhaimin, Yahya, Bambu Runcing dan Mesiu: Masalah Kebijakan Pembinaan  Pertanan  Indonesia,   Yogyakarta:   Tiara   Wacana, 2008.
Riyadi, Ahmad Ali. “Studi Islam dan Radikalisme Pendidikan dalam Konteks Masyarakat Majemuk” dalam Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), Surakarta, 2-5 November 2009.
Turmudi, Endang (ed)., Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005
Working Group on Security Sector Reform, Monograph-7: Kajian Kritis Paket Perundangan di Bidang Pertahanan Keamanan. Jakarta: Propatria, 2006.
Zada, Khamami Islam Radikalisme, Jakarta: Teraju, 2002.



[1] QS. al-Anbiyâ’: 107.
[2] Abû al-Fidâ’ Ismâ‘il bin Katsîr, Tafsir al-Qur’ân al-‘Adzîm (Kuwait: Jam‘iyyah Ihya’ al-Turats al-Islamî. 2001), jilid ke-3, hlm. 1876.
[3] Nina Herlina Lubis, Sejarah Tatar Sunda (Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. 2003), jilid ke-1, hlm. 155.


[4] Kata Sunda berasal dari kata “Sund” berarti bagus/baik, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. Hasan Mustapa menyebutkan bahwa kata “Sunda” berasal dari kata Sundek” yang berarti bagus secara arti dan hakiki. Lihat Hasan Mustapa, Adat Istiadat Sunda (Bandung: PT. Alumni. 2010), hlm. 225. Orang Sunda diyakini memiliki etos/watak/karakter kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak/karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/cerdas).
[5] Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Studi Pendekatan Sejarah (Jakarta: Pustaka Jaya. 2009), jilid ke-1, cet. Ke-9, hlm. 62.
[6] Anis Djatisunda, Baduy Rawayan Urang Kanekes (Bandung: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa barat. 1993), hlm. 3.
[7] Muhammad Nashir al-Dîn al-Albânî, Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, dalam Maktabah Syamilah.

[8] Ajip  Rosjidi, Mencari Sosok Manusia Sunda (Jakarta: Pustaka Jaya. 2010), hlm. 50.
[9] QS. al-Qashash: 77.
[10] M. Didi Turmudzi, Keserasian Islam & Sunda, dalam http://pajajaran.blogspot.com/2008/09/ kesera- sian-islam-sunda.html, diakses tanggal 28 januari 2012.
[11] Kepercayaan animisme (dari bahasa latin anima atau “roh”) adalah kepercayaan kepada makh- luk halus dan roh, yang mana animisme merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul di kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme yaitu percaya bahwa setiap benda di bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua, pohon atau batu besar) mem- punyai jiwa.
[12] Kepercayaan terhadap benda-benda di seki- tar manusia yang diyakini memiliki kekuatan ghaib se- perti batu, gunung, dan benda-benda keramat lainnya.
[13] Tiar Anwar Bachtiar, Sunda dan Islam, dalam
http://www.globalmuslim.web.id/2011/12/sunda-dan- islam.html, diakses tanggal 28 Januari 2012.
[14] Demininggus Pekei, Tinjauan Keyakinan dan
Agama Asli Orang Mee di Papua, dalam http://majalah- selangkah.com/content/tinjauan-keyakinan-dan-aga- ma-asli-orang-mee-di-papua, diakses tanggal 28 Januari 2012.
[15] Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 2008), hlm. 1189.
[16] Judistira K. Garna, Orang Baduy (Bandung: Primaco Akademikan dan Judistira Garna Foundation. 2012), hlm. 61.
[17] Ibid. hlm. 6.
[18] Istilah primitive digunakan oleh ahli-ahli dari Barat yang menganggap bahwa agama selain dari Eropa dianggap tertinggal. Penulis sangat tidak setuju dengan istilah ini sebagaimana juga tidak setuju dengan istilah tradisional dan modern dalam terminologi Barat.
[19] E. E. Evans Pritshard, Teori-teori tentang Agama Primitif (Yogyakarta: PLP2M. 1984), hlm. 17.
[20] QS. al-Rûm: 30.
[21] Saléh Danasasmita, Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi (Bandung: Kiblat Buku Utama. 2003), hlm. 23.
[22] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Mesir: Dâr al-Fath. t.th.), 128.
[23] QS. al-Nisâ: 19.
[24] Yus Rusyana, Bagbagan Puisi Sawer Sunda (Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda. 1971), hlm. 68.
[25] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul Fiqh al-Islamî. hlm.
282. Lebih lanjut lihat Muhammad Abû Zahrah, Ushul al- Fiqh, (t.t.: Dâr al-Fikr al-‘Arabi. 1958), hlm. 273. ‘Abd Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr. 1986), cet. ke-20, hlm. 79. Ahmad Fahmi Abû Sinnah, al-‘urf wa al-‘Âdah fî Ra’yi Fuqahâ (Mesir: Mathba‘ah al-Azhar. 1947), hlm. 11. Zakî al-Dîn Sa‘bân, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Kairo: Dâr Nahdloh ‘Arabiyyah. 1968), hlm. 192. Mushtafâ Ahmad Zarqâ, al-Madkhal fî Fiqh al-‘Amm. hlm. 872. ‘Abdul Karîm Zaydân, al-Madkhal lî Dirâsah al- Syarî‘ah al-Islâmiyyah (Iskandariyah: Dâr ‘Umar bin Khattan. t.th.), hlm. 205.
[26] ‘Umar bin Khattab tercatat sebagai khalifah yang banyak menjadikan adat kebiasaan masyarakat
pada negeri-negeri taklukan sebagai bagian dari sistem kekhalifahannya. Misalnya ia mengadopsi sistem diwan, registrasi, kharaj dan layanan pos yang sebagian diambil dari adat kebaisaan kekaisaran Bizantium dan Persia. Lihat lebih lanjut Muhammad al-Madanî, Nadzarât fî Fiqh al-Farûq ‘Umar ibn al-Khattab (Kairo: Wizarah al-Awqaf. 2002), hlm. 158.
[27] Ahmad Fahmi Abû Sinnah, al-’urf fî Ra’yi Fuqaha. hlm. 12.
[28] Allah SWT berfirman: “Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS. al-Baqarah: 233).
[29] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam: Studi
tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002), hlm. 311.
[30] Jalâl al-dîn al-Suyûthî, al-Asybah wa al-Nazhâir (Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Arabî. t.th.) hlm. 90.
[31] Ibnu Hummam, Syarh Fath al-Qadîr (Kairo: Mathba‘ah Mushthafâ Muhammad. 1937), jilid 5, hlm. 283.
[32] Tore Lindholm, dkk, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa jauhkah ? Kanisius, Yogyakarta, 2010, hlm: 712.
[33] Tore Lindholm, dkk, Ibid, hlm: 682.
[34] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, LKiS, Yogyakarta, hlm; 83-125.
[35] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm:152.
[36] Donald  W.  Sherburne,  A  Key  To  Whitehead’S  Procces  and Reality, Macmillan Company : United States of America, 1996, hlm: 7.
[37] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm:152.
[38] Alfred North Whitehead, Religion in the Making, Macmillan,  New York, 1926, hlm: 120.
[39] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm: 153.
[40] Edwards Pols, Whitehead Metaphysics A Critical Examination of Process and Reality, Southern Illinois University Press, United States of America, 1967, hlm:18-19.
[41] Alfred North Whitehead, Process and Reality, The Free Press, New York, 1978, hlm: 591.
[42] Alfred North Whitehead, Religion in the Making, Macmillan, New York, 1926, hlm: 122.
[43] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm; 154.
[44] Alfred North Whitehead, Process and Reality, The Free Press, New York, 1978, hlm: 364.
[45] Alfred North Whitehead, Ibid, hlm: 31.
[46] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm: 154.
[47] Alfred North Whitehead, Religion in the Making, Macmillan New York, 1926, hlm: xvi
[48] Alfred North Whitehead, Ibid, hlm : xvii.
[49] Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, Kanisius, Yogyakarta, 1996, hlm: 190.
[50] Donald  W.  Sherburne,  A Key To Whitehead’S Procces and
Reality, Macmillan Company : United States of America, 1996, hlm: 21.
[51] Donald W. Sherburne, Ibid, hlm: 164.
[52] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, 1998, hlm : 155.
[53] Donald W. Sherburne, A Key To Whitehead’S Procces and
Reality, Macmillan Company : United States of America, 1996, hlm: 18.
[54] Alfred North Whitehead, Process and Reality, The Free Press, New York, 1978, hlm:368.
[55] Alfred North Whitehead, Religion in the Making, Macmillan, New York, 1926, hlm: 85-86.
[56] Alfred North Whitehead, Process and Reality, The Free Press, New York, 1978, hlm: 368.
[57] Alfred North Whitehead, Religion in the Making, Macmillan : New York 1926, hlm : 38.
[58] Donald  W.  Sherburne,   A  Key  To   Whitehead’S  Procces  and Reality, Macmillan Company : United States of America, 1996, hlm: 142.
[59] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm : 151.
[60] Alfred North Whitehead, Religion in the Making, Macmillan, New York, 1926, hlm: 95.
[61] Hazrat Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, Da’watul Amir, diterjemahkan oleh Sayyid Shah Muhammad al-Jaelani (Tanpa Tempat : Yayasan Wisma Damai, 1989),h.xi. Buku Da’watul Amir karya Hazrat Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, putra Mir- za Ghulam Ahmad yang juga Khalifah al-Masih II (pemimpin tertinggi Jemaat Ahmadi- yah), adalah buku yang pada mulanya dimaksudkan sebagai penjelasan tentang apa itu Ahmadiyah yang ditujukan kepada pada raja di Afganistan. Buku ini sekarang menjadi salah satu pegangan hidup beragama Aliran Ahmadiyah Qodiyan.
[62] Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), h. 90.
[63] Menurut Keyakinan pengikut Ahmadiyah, Nabi Isa Isa, setelah dipaku di palang salib oleh kaum Yahudi, tidaklah mati tetapi hanya  pingsan.  Sesudah  sembuh beliau menyingkir dari Palestina ke daerah-daerah Timur, di  mana  bertebaran  sepuluh suku Israil lainnya. Akhirnya beliau sampai di Kashmir dimana beliau wafat dan diku- burkan di Khan Yar Street Srinagar. Sampai kini kuburan itu masih ada. Lihat Syafi R. Batuah, Ahmadiyah : Apa dan Mengapa, (Tanpa Tempat : Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986), Cet. XVII, h. 4.
[64] Hazrat Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, Op. Cit., h. xii
[65] Kitab Tadzkirah, adalah kumpulan mimpi, kasyf dan wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad. Kitab ini menjadi kitab suci dan pegangan utama Aliran Ah- madiyah.
[66] Tadzkirah, h. 190. Terjemah dikutip dari kitab Da’watul Amir.
[67] Da’watul Amir,h. 190-191.
[68] Mirza Ghulam Ahmad menulis ± 84 buku. Diantara buku-buku yang pernah ditulisnya, yang menjadi pegangan pengikut Ahmadiyah, adalah : Barahin Ahmadiyah, Fath-i Islam, Kasyf al-Ghita, Masih Hindustan Man, Izalah-i Auham, Mawahib al- Rahman, Haqiqat al-Wahyi, dan al-Wasiyah. Selain itu, terdapat pula tulisan dalam harian al-Hakam, harian resmi Ahmadiyah. Sedangkan kumpulan wahyu, ilham dan kasyf yang diterima Mirza terangkum dalam Kitab Tazkirah.
[69] Taqiyudin al-Nabhani, Syakhshiyah Islam (Kepribadian Islam) Jilid I (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1991), 56.
[70] Reform Review, Gerakan Keagamaan Transnasional di Dunia Islam dan Pemetaan Jejaknya di Indonesia, Vol. I No. 1, April-Juni 2007, 39.
[71] As’ad Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi (Jakarta: LP3ES, 2012), 70-73.
[72] Selebaran ini didapatkan oleh Ainur Rafiq, ketika ia masih menjadi  hizbiyyin  dalam halaqah HTI di Universitas Airlangga, Surabaya. Sayangnya selebaran ini anonim, sehingga tidak teridentifikasi penulisnya. Hanya saja selebaran ini kemudian diberikan kepada para peserta halaqah. Lihat Ainur Rafiq al-Amin, Membongkar Proyek Khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2012), 62.
[73] Wawancara dengan M. Ismail Yusanto pada 13 September 2012.
[74] Tim Penulis HTI, Syariah Islam dalam Kebijakan Publik (Jakarta: HTI Press, 2006), 87.
[75] Slamet Sutrisno, Filsafat dan Ideologi Pancasila (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2006), 131-132.
[76] Wawancara dengan M. Ismail Yusanto pada 13 September 2012.
[77] Syamsuddin Ramadhan, “Indonesia Butuh Khilafah,” dalam al-Wa’ie, No. 137 Tahun XII, 1-31 Januari 2012, 12-15.
[78] Muhammad Bajuri, “Negeri yang Layak bagi Penegakan Kembali Khilafah,” dalam al-
Wa’ie, No. 144 Tahun XII, 1-31 Agustus 2012, 27-30.
[79] Surat Terbuka HTI kepada Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono pada 8 Januari 2005.
[80] Ainur Rafiq, Membongkar Proyek Khilafah, 5-6.
[81] “Piagam Muktamar Ulama,” dalam Al-Wa’ie, No. 108, Tahun IX, Agustus, 2009, 63.
[82] Farid Wadjdi, “Nasionalisme, Faktor Pemecah-Belah Umat,” dalam al-Wa’ie, No. 145 Tahun XIII, 1-30 September 2012, 19-21.
[83] Syaiful Arif, Deradikalisasi Islam, Paradigma dan Strategi Islam Kultural (Depok: Koekoesan, 2010), 48.
[84] Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya, (Jakarta: Gema Insani, 2012), h. vii.
[85] Azyumardi Azra, Konflik Baru Antara Peradaban, Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 112.
[86] Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 69.
[87] Fazlur Rahman, Islam, (Chicago dan London: Unv. Of Chicago Press, 1973), h. 73.
[88] Yusuf Qardawi, Islam dan Globalisasi Dunia, terj, (Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2001), h.74. Lihat pula, Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru, (Yogyakarta: Tajidu Press, 2004), h.83.
[89] Fauzan al-Anshori, Melawan Konspirasi Jaringan Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka al-Furqan, 2003).
[90] Ibid.
[91] Lihat Fachri Aly dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1987). Lihat Pula Bahtiar Effendy, yang memberi pengantar, pada Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1996).
[92] Tipe pertama pemikiran formalistik dari kalangan cendikiawan Muslim merupakan tipologi pemikiran Islam yang mengutamakan dan meneguhkan ketaatan secara ketat pada format-format ajaran islam. Dalam konteks pemikiran politiknya, tipe pemikiran formalistik menunjukkan orientasi yang cenderung  menopang bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan, seperti mewujudkan suatu “sistem politik Islam,” munculnya partai Islam, ekspresi Islam simbolis dan idiom-idiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam serta eksperimen ketatanegaraan.
Tipe kedua, pemikiran subtansialistik, pola pemikiran ini mengajukan argumen bahwa yang paling penting dari seseorang adalah aksentuasi substansi iman atau peribadatan, bukan hal-hal yang sifatnya simbolik formalistik dan ketaatan literal kepada teks wahyu Tuhan dalam keberagamaan.
Tipe ketiga, pemikiran transformatik, sebuah pandangan pemikiran yang bertolak bahwa Islam yang utama adalah kemanusiaan. Oleh sebab itu secara terus menerus umat Islam harus menjadi kekuatan yang dapat melakukan motivasi dan menstransformasi masyarakat dari pelbagai aspeknya dalam skala teoritis maupun praksis.
Tipe keempat, pemikiran totalistik, adalah sebua pola pemikiran yang mendasarkan bahwa Islam merupakan doktrin yang kaffah (total), mengandung wawasan dan nilai-nilai yang bersifat komplit dan langgeng yang meliputi seluruh aspek sosial, politik, ekonomi, segi-segi individu, kolektif maupun masyarakat, menurutnya tidak ada ruang kosong untuk menerima partikularistik dan kemajemukan dengan dasar Islam.
Tipe kelima, pemikiran idealistik, sebuah pemikiran Islam yang mengarah pada “Islam cita-cita” (ideal Islam) sebagai dasar perjuangannya.
Keenam, Pemikiran realistik. Pemikiran ini  berusaha  menempatkan  antara Islam doktrin (ajaran Islam) sebagai ajaran subtansialis dengan realitas sosial kultural yang ada dan terus berkembang sesuai dengan kontek masyarakatnya. Lihat Zuli Qadir, Wajah Islam Liberal di Indonesia: Sebuah Penjajagan Awal, (Yogyakarta: Jurnal Al Jami’ah, Vol. 40, No. 2, Juli-Desember 2002) h. 335-337. Lihat pula, Yusuf Qardawi, Islam Radikal; Analisis Terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya, (Terj.), (Solo: IKAPI, 1996), h.113.
[93] Ahmad Syafti Ma’arif, Peta Bumi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), h.12-13.
[94] M.Dawam Raharjo, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1992), h. 23-41.
[95] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1989). h.172.
[96] Bahtiar Effendy, Islam dan  Negara,  (Jakarta:  Paramadina,  1998).  A. Syaft’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3S, 1985). M. Rusly Karim, Cendikiawan Muslim Indonesia dan Politik Orde Baru, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1998). Maskuri Abdillah, Islam dan Politik Orde Baru, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998).
[97] Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. xiii-iii. Bandingkan Juga Leonard Binder, Islamic Liberalism A Critique of Depvelopment Ideologis, (Cicago & London: Cicago Press,1988), h. 4.
[98] Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan,Perbincangan mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 69.
[99] M.Thalib dan Haris Fajar, Dialog Bung Karno - A. Hassan, (Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1985), h. 75-89.
[100] Ibid.
[101] Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2005), h. 33-38.
[102] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999), 23.
[103] Majalah Tempo, edisi 19-25 Nopember 2001.
[104] Adian Husaini, Islam Liberal…., h. 39.
[105] Majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002. Lihat Pula www.Islamlib.com
[106] Adian Husaini, Islam Liberal….., h. 41.
[107] Alwi Shihab, Islam Inklisif: Menuju Sikap Terbuka dalam Agama, (Bandung: Mizan, 1997), h.108-109.
[108] Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), h. 44.
[109] Adian Husaini, Gus Dur Mau Kemana; Telaah Kritis Atas Pemikiran dan Politik Keagamaan Presiden Abdurrahman Wahid, (Jakarta: DEA Press, 2002), h. 167.
[110] Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, 2001, Dalam Husaini Adian Islam Liberal, h. 44.
[111] Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 98.
[112] Pidato dalam acara peringatan Waisak Nasional di JCC, 15 Mei 2003, dalam Adian Husaini, Apa Kata ‘Orang-Orang IAIN/UIN’ Seputar Islam, Pada kegiatan Internasional Workshop on Islamic Higher Learning Indonesia. Desember 20-23 2005 Di Wisma Sahida.
[113] Makalah “Edisi Kritis al-Qur’an” dalam Adian Husaini, Ibid.
[114] Ibid.
[115] Internet, www/islamlib.yahoo.com
[116] Ulil Abshar Abdalla dkk., Islam Liberal dan Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2003), h.3.
[117] Yusuf Qardhawi, Islam Radikal Dan Upaya Pemecahannya, terj., (Solo: Intermedia, 2004).
[118] Christina Parolin, Radical Spaces: Venues of Popular Politicts in London, 1790-c. 1845 (Australia: ANU E Press, 2010), Cet.ke-1, h. 3.
[119]  Pada awalnya Islam di Indonesia sangat dipuji dengan toleransinya. Namun kebesaran nama baik tersebut telah dirusak oleh beberapa  peristiwa berdarah yang melibatkan agama sebagai salah satu faktor pemicunya. Secara perlahan namun pasti, kehadiran beberapa organisasi Islam radikal  di  Indonesia telah mencitrakan Islam sebagai agama teroris. Lebih lanjut lihat Kees Van Dijk and Nico J.G. Kaptein, Islam, Politics, and change: The Indonesian Experience after the fall of Suharto (Leiden Uniersity Press, 2016), Cet.ke-1, h. 13.
[120] Azumardi Azra, dalam Artikel Tempo“Radikalisme Islam Indonesia” 15 Desember 2002. Lebih jauh ditegaskan bahwa Radikalisme dan terorisme kini menjadi musuh “baru” umat manusia. Meskipun akar radikalisme telah  muncul sejak lama, namun peristiwa peledakan bom akhir-akhir ini seakan mengantarkan fenomena ini sebagai “musuh kontemporer” sekaligus sebagai “musuh abadi”. Banyak pihak mengembangkan spekulasi secara tendensius bahwa terorisme berpangkal dari fundamentalisme dan radikalisme agama, terutama Islam.  Tak heran jika  kemudian  Islam  seringkali  dijadikan  ‘kambing   hitam’.   Termasuk dan terutama pada kasus bom paling  fenomenal:  WTC  dan  kasus  termutakhir  bom “Boston Marathon”. Dalam Softan Munawar Asgart, Melawan Radikalisme dan Terorisme di Indonesia, Research Associate, The Interseksi Foundation, Jakarta, h. 1.
[121] M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal di Indonesia, (Jakarta
:LP3ES, 2008).
[122] Endang Turmudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta :LIPI Press, 2005), h. 5. Paparan senada diekspresikan bahwa negara dengan komunitas Islam terbesar di dunia, Indonesia seringkali harus menjadi ‘tertuduh’ dalam beragam aksi teror yang kerap menyeruak akhir-akhir ini. Pengaitan-pengaitan peristiwa peledakan bom di tanah air dan dunia hampir selalu pertama kalinya dikaitkan dengan “fundamentalisme Islam”. Contoh paling dekat misalnya pada peristiwa bom Boston Marathon, 15 April 2013 yang serta-merta juga dikait-kaitkan dengan gerakan fundamentalisme Islam. Fenomena ini seolah mengingatkan kembali peristiwa bom WTC yang amat mengharu biru itu. Presiden Amerika saat itu,  George W. Bush, langsung menyebut Osama bin Laden sebagai representasi umat Islam yang dituding menjadi dalang. Pernyataan serupa juga pernah dilontarkan Dubes Amerika, Ralph Boyce yang secara spontan menuduh jaringan Al-Qaidah berada di balik teror bom Bali. Ralph Boyce bahkan menyebutkan keberadaan jaringan terorisme internasional Al-Qaidah itu telah beroperasi di Indonesia. Sementara pemimpin senior Singapura saat itu, Lee Kwan Yew bahkan mengatakan Indonesia sebagai sarang teroris. Tak heran pula jika kemudian Indonesia menjadi sorotan dunia dalam konteks isu terorisme. Lihat Softan Munawar Asgart, Melawan Radikalisme...., h. 2.
[123] Khamami zada, Islam Radikalisme, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 87
[124] Lihat Kees Van Dijk and Nico J.G. Kaptein, Islam, Politics…, h. 28.
[125] Azyumardi Azra, “Muslimin Indonesia: Viabilitas “Garis Keras” , dalam Gatra edisi khusus 2000, h. 45. Paparan sedikit berbeda bahwa pemerintah yang terus-menerus menekan kelompok Ahmadiyah dan Syiah, secara tidak langsung membangkitkan semangat organisasi militan untuk  membasmi  kelompok  minoritas tersebut. Menurut dia, semangat militan yang semakin tumbuh tersebut menyebabkan munculnya kembali keinginan untuk membentuk negara Islam di Indonesia. (Abba Gabrillin, Jakarta: COMPAS.Com.).
[126] Khamami zada, Islam..., h. 95. Paparansenada ditegaskan bahwa Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi akar paham radikal berkembang di Indonesia. Faktor pertama adalah perkembangan di tingkat global, dimana kelompok - kelompok radikal menjadikan situasi di Timur Tengah sebagai inspirasi untuk mengangkat senjata dan aksi teror. Apa yang terjadi di Afghanistan, Palestina, Irak, Yaman, Syiria, dan seterusnya dipandang sebagai campur tangan Amerika, Israel, dan  sekutunya. Adapun faktor kedua adalah terkait dengan kian tersebar luasnya paham Wahabisme yang mengagungkan budaya Islam ala Arab yang konservatif. Dalam kaitannya dengan radikalisme, Wahabisme dianggap bukan sekadar aliran, pemikiran, atau ideologi, melainkan mentalitas. Ciri mental itu antara lain gemar membuat batas kelompok yang sempit dari kaum muslimin, sehingga dengan  mudah mereka mengatakan di luar kelompok mereka adalah kaftr, musuh, dan wajib diperangi. Sementara itu faktor ketiga adalah karena kemiskinan, walaupun hal ini tidak berpengaruh langsung terhadap merebaknya aksi radikalisme. Hal utamayang kemungkinanmembuatketerkaitanantara kemiskinan danradikalisme adalah perasaan termarjinalkan. Situasi seperti itu menjadi persemaian subur bagi radikalisme dan terorisme. Bukan rahasia lagi, kelompok radikal menawarkan bayaran materi lumayan untuk merekrut anggota. Itu jadi daya tarik. Aksi teror mereka maknai sebagai jihad; jika mati, mereka mati sahid. Tak ada balasan bagi kematian sahid selain surga. Dalam Menelisik Akar-Akar Radikalisme di Indonesia, Compasiana, 22 Juli 2015.
[127] Ibid., h. 97
[128] ri Lestari, Anak-Anak Muda Indonesia Makin Radikal, BBC Indonesia, 18 Februari 2016, h. 1. Lebih jauh Anas mengungkapkan dalam penelitian yang dilakukan pada 2011 di lima universitas di Indonesia UGM, UI, IPB, Unair, Undip menunjukkan peningkatan pemahaman konservatif atau fundamentalisme keagamaan khususnya di kalangan mahasiswa di kampus-kampus umum. Dan Radikalisme di kalangan pelajar dan mahasiswa itu terjadi pasca reformasi, dengan menyebar melalui Jamaah Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), termasuk HTI dan salaft yang merupakan bagian dari gerakan Islam transnasional.

Post a Comment

silahkan berkomentar bijak dan sesuai dengan topik pembahasan