BREAKING NEWS

Monday, July 9, 2018

Sejarah Islam di Balkan


BAB I
PENDAHULUAN

Sejak masa Rasulullah SAW, terdapat kebijakan bagi kaum non-Muslim yang tetap dapat tinggal dalam pemerintahan Muslim dengan membayar semacam pajak atau Jizya. Hak-hak mereka dijamin dan dilindungi serta kewajiban mereka dalam urusan kemasyarakatan juga sama. Mereka disebut sebagai Dhimmi.Awalnya, Dhimmi ini merupakan kaum musyrik yang semula memerangi kaum muslimin dan berhasil dikalahkan sehingga Rasulullah menetapkan kebijaksanaan yang demikian. Kebijksanaan itu tetap diikuti dan dipegang teguh oleh para khalifah Rasulullah yang berkuasa selanjutnya.Termasuk oleh kekhalifahan Turki Utsmani.Wilayah Balkan yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani pun mampu bertahan selama kurang lebih lima abad di bawah pemerintahan Turki Utsmani dengan kebijakan yang sama.
Semenanjung Balkan ini sebenarnya telah berhasil ditaklukkan oleh kaum muslim, tidak jauh selang waktunya dengan penaklukkan Konstantinopel. Serbia masuk dalam kekuasaan Turki Utsmani pada tahun 1459, Bosnia serta Herzegovina direbut pada tahun 1465 M, dan Yunani, termasuk Morea dan Euboea, jatuh ke tangan Utsmaniyah pada tahun 1468.[1] Namun, seiring dengan kejayaan yang dicapai oleh kaum muslimin lewat ekspansi ini, di sisi lain bangsa Eropa sedang mencoba untuk bangkit dari tidurnya. Abad kegelapan atau yang lebih sering mereka sebut sebagai The Dark Ages, perlahan sirna seiring dengan Revolusi Perancis yang berlangsung antara tahun 1789-1815[2] yang melahirkan gagasan tentang hak-hak rakyat dan nasionalisme. Gagasan tersebut turut mempengaruhi berbagai bangsa yang berada di bawah naungan kekuasaan Turki Utsmani serta menimbulkan kekacauan.
Pemberontakan-pemberontakan mulai digencarkan oleh para warga Kristen yang berada di bawah naungan kekuasaan Utsmani, khususnya di Balkan.Sejak perjuangan kemerdekaan Serbia pada tahun 1804-1813 M, satu per satu negara-negara Balkan melepaskan diri mulai dari Yunani (1832), Rumania (1856-1878), Montenegro (1878), dan Bulgaria (1878-1908), semuanya menyatakan diri sebagai negara-negara merdeka.[3] Dugaan mengenai sebab terjadinya pemberontakan untuk membebaskan diri ini ialah karena banyaknya gubernur atau pemimpin di wilayah-wilayah Kristen yang korup sehingga rakyat semakin tertekan. Tambahan pula, berbagai provokasi mengenai muslim dan fanatisme keagamaan turut menjadi sumber gejolak pemberontakan terhadap pemerintahan Turki Utsmani.
Pada akhir tahun 1876 terjadi pemberontakkan di Serbia dan Bulgaria, akan tetapi tentara Turki mengatasinya dengan penindakan keras yang disebut “horor di Bulgaria” oleh pers Barat. Hal inilah yang menambah kebencian publik Eropa terhadap pemerintahan Utsmani.Dibumbui oleh propaganda Rusia yang bertujuan untuk melumpuhkan Turki Utsmani di mana Rusia memberi harapan menyelamatkan gereja-gereja kepada Yunani, guna memetik keuntungan bagi Rusia sendiri yang ingin mempengaruhi rakyat non-muslim (Slav dan Yunani) untuk berontak terhadap Turki. Dapat dikatakan bahwa saat keadaan Kerajaan Usmani yang sudah kritis, Rusia membedah bagian-bagian tubuh sang sick man of Europe tersebut untuk dirinya dan bagi negara-negara di Eropa.[4]
Pemicu Perang Balkan itu sendiri ialah keinginan negeri-negeri Balkan seperti Bulgaria untuk membebaskan Macedonia yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan Utsmaniyah. Sebenarnya, ada maksud lain dari Perang Balkan ini sendiri, bahwa selain untuk merebut Macedonia dari tangan Turki, para aliansi negara-negara Balkan yang terdiri dari Bulgaria, Serbia, Yunani dan Montenegro ini memiliki kepentingan-kepentingan dan ambisi masing-masing. Meski tujuan mereka pada umumnya sama, yakni ingin mengambil alih wilayah Eropa, khususnya wilayah Balkan yang masih berada di tangan Turki Utsmani. Mereka juga ingin mengusir selamanya Turki Utsmani dari Balkan.
Hal ini tidak terlepas dari dukungan dan dorongan dari Rusia terhadap negeri-negeri Balkan tersebut, khususnya Serbia.Serbia kecewa karena Bosnia- Herzegovina diserahkan kepada Austria-Hungary pada tahun 1908 M tanpa persetujuan dari negeri-negeri di Semenanjung Balkan.[5] Rusia pun tidak puas dengan keputusan Austria-Hungary yang mencaplok Bosnia-Herzegovina sebagai wilayahnya, sebab Rusia khawatir kejayaan Austria-Hungary ini menjadi ancaman        terhadap          pengaruh Rusia           di Balkan. Oleh            karena  itu,       Rusia menganjurkan negeri-negeri Balkan untuk membentuk Liga Balkan.
Terbentuknya Liga Balkan yang terdiri atas Yunani, Serbia, Bulgaria, dan Montenegro inilah yang memantikkan api peperangan antara negeri-negeri di Semenanjung Balkan dengan Kesultanan Turki Utsmani. Perlu diketahui bahwa, meskipun perang Balkan ini hanya berlangsung selama kurang lebih satu tahun, tetapi perang ini terjadi sebanyak 2 kali.Perang Balkan pertama yakni perang antara negeri-negeri Balkan melawan Kesultanan Turki Utsmani dengan misi membebaskan Macedonia dan mengusir Turki Utsmani dari Balkan.
Adapun Perang Balkan kedua ialah perang antar sesama sekutu negara- negara Balkan itu sendiri dalam memperebutkan wilayah yang berhasil direbut dari tangan Turki Utsmani. Hal ini disebabkan tindakan Sir Edward Grey[6] yang mendesak negeri-negeri Balkan tersebut untuk menandatangani perjanjian damai dengan Kesultanan Utsmaniyah tanpa adanya kesepakatan sebelumnya antara mereka mengenai pembagian wilayah yang berhasil direbut dari Turki Utsmani. Inilah yang menyebabkan negara-negara Balkan ini tidak puas dan kecewa satu sama lain yang akhirnya memicu genderang perang Balkan II. Sekali lagi, peperangan terjadi di Semenanjung Balkan.
Secara umum, Perang Balkan ini menimbulkan implikasi yang cukup signifikan terhadap kehidupan muslim di Eropa Tenggara, baik itu dari segi politik Islam maupun sosialnya. Setelah Perang Balkan berakhir, umat Islam mengalami kekalahan geo-politik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekalahan geo-politik ini diiringi pula dengan kekalahan ekonomi yang berakhir dengan migrasi dan pembantaian populasi Muslim secara besar-besaran dari Balkan, menyisakan hanya sedikit populasi yang akan menjadi muslim minoritas dari negara nasional Balkan.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa kajian mengenai Perang Balkan ini sangat menarik untuk dibahas. Intrik politik, dendam, ambisi, bahkan kecurigaan mereka satu sama lain sangat menimbulkan rasa keingintahuan penulis mengenai apa sebenarnya yang melatarbelakangi terjadinya Perang Balkan ini hingga di anggap sebagai Prelude (Permulaan) dari Perang Dunia I. Penulis juga ingin mengetahui lebih jauh tentang bagaimana kronologi perang Balkan tersebut, baik itu perang Balkan I atau pun perang Balkan II, serta bagaimana implikasinya terhadap kehidupan umat Islam di Balkan atau yang kini lebih sering disebut Eropa Tenggara. Sebab, selama beberapa abad umat Islam pernah menguasai negeri-negeri di Semenanjung Balkan. Pastilah, sedikit banyak, ada komunitas atau masyarakat muslim yang hidup di Balkan baik itu para imigran maupun penduduk asli dari negeri Balkan yang telah memeluk Islam.

Berdasarkan dari latar belakang di atas, permasalahan-permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.           Apa sebab terjadinya Perang Balkan?
2.           Bagaimana kronologi Perang Balkan?
3.           Bagaimana implikasi Perang Balkan terhadap kehidupan sosial- politik Islam di Eropa Tenggara?
Agar tidak menimbulkan terlalu luasnya penafsiran mengenai permasalahan yang akan diteliti, maka perlu diberi batasan masalah agar penelitian ini terfokus dan terarah pada permasalahan yang akan diteliti. Sebagai batasan spasial, penelitian ini mengambil wilayah Balkan umumnya, khususnya negara-negara yang terlibat langsung dalam perang, seperti: Serbia, Bulgaria, Yunani dan Montenegro. Adapun batasan temporalnya, penelitian ini mengambil rentang waktu dari tahun 1876 M, karena sejak tahun tersebut berbagai propaganda untuk menjatuhkan atau merebut wilayah Turki Usmani dimulai. Usaha-usaha tersebut terus berlangsung sampai ke tahun-tahun berikutnya  hingga Perang Balkan pecah pada tahun 1912-1913 M.
Mengenai implikasinya, penulis hanya mengambil implikasi hingga  pasca perang Balkan II saja karena jika lebih jauh dari itu, maka dampak Perang Dunia I yang akan lebih dominan. Selain itu, penulis akan memaparkan situasi kondisi Balkan sebelum perang dan sesudahnya hingga meletusnya Perang Dunia 1 pada 28 Juli 1914 M, dimaksudkan agar penelitian ini tidak terlalu luas dan dapat menjawab semua permasalahan yang diangkat.
Sebagaimana dikutip dari Edit Bregu yang mendefinisikan Perang Balkan, bahwa: The Balkan Wars were a series of sharp and bloody conflicts  that fell over South-Eastern Europe during the fall of 1912 and winter, spring and summer of 1913[7](Perang Balkan adalah serangkaian konflik berdarah dan tajam yang meliputi Eropa Tenggara sepanjang akhir 1912 dan musim dingin, musim semi dan musim panas 1913). Istilah “Balkan” sendiri  berasal  dari bahasa Turki yang artinya pegunungan.[8]
Islam bukan hanya sekadar sebuah agama dalam pengertian yang biasa, tetapi juga sebuah kerangka sosial-politik, pandangan keduniaan dan pandangan hidup, yang mencakup semua aspek fisik, mental, dan spiritual manusia.[9] Kata implikasi sendiri menurut KBBI ialah keterlibatan atau keadaan terlibat, yang termasuk atau tersimpul, yang disugestikan, tetapi tidak dinyatakan.[10] Kata implikasi dalam penelitian ini penulis maksudkan sebagai dampak yang ditimbulkan dari Perang Balkan itu sendiri terhadap kehidupan sosial-politik Islam di Eropa Tenggara.

Berdasarkan dari beberapa rumusan masalah dan batasan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
1.   Untuk mengetahui sebab terjadinya Perang Balkan.
2.   Untuk mengetahui kronologi Perang Balkan.
3.   Untuk mengetahui implikasi Perang Balkan terhadap kehidupan sosial-politik Islam di Eropa Tenggara.
Ada dua manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yakni sebagai berikut.
1. Manfaat teoritis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu sejarah dan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi sejarawan selanjutnya dalam mengembangkan khazanah literatur ilmiah keislaman, khususnya dalam bidang sejarah.
2. Manfaat praktis. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru kepada kalangan akademisi maupun maupun masyarakat umum, terutama bagi umat muslim ataupun tokoh muslim itu sendiri. Karena, perang Balkan ini melibatkan salah satu kerajaan muslim terbesar selama abad pertengahan, yang pernah menguasai Eropa, Asia, dan Afrika. Kerajaan yang dulunya amat disegani oleh bangsa Eropa, kerajaan yang berhasil menorehkan sejarah bahwa dunia Islam pernah berjaya dan sebenarnya memiliki kemampuan yang mumpuni untuk maju.

                                                                       
                                                                           BAB II
PEMBAHASAN


“One can’t understand the Balkans without understanding it’s ethnic groups, and one can’t understand the ethnic groups and their history without knowing the influence of the region’s geography”[11]

“Seseorang tidak dapat mengetahui tentang Balkan tanpa memahami kelompok etnisnya, dan seseorang tidak dapat memahami kelompok etnis dan sejarah Balkan tanpa mengetahui pengaruh letak geografis wilayahnya”

           Semenanjung Balkan dapat didefinisikan sebagai sebuah wilayah dari Eropa[12] Tenggara yang dikelilingi oleh air dari tiga sisi; Laut Adriatik di bagian Barat, Laut Mediterania (termasuk Laut Ionian dan Aegean) di bagian Selatan dan Laut Hitam di bagian Timur. Sementara bagian Utara dibatasi oleh sungai Danube, Sava dan Kupa/Kolpa. Istilah “Balkan” sendiri berasal dari bahasa Turki yang artinya pegunungan. Bapak dari istilah “Balkan” ialah August Zeune,[13] ia yang menamai wilayah ini pada tahun 1808 untuk menggambarkan daerah yang berada dalam kekuasaan Turki setelah tahun 1699.[14] Semenanjung Balkan juga memiliki nama lain dari Turki Utsmani, yakni “Rumeli” yang artinya “tanah orang-orang Roma”.[15] Adapun istilah “Balkan” pada masa modern sering dikonotasikan negatif, sehingga sejak awal abad ke-21 istilah Balkan ini mulai diganti dengan Eropa Tenggara.
Bentang alam utama kawasan Balkan adalah pegunungan dan perbukitan kasar. Hampir seluruh kawasan ini pernah menjadi bagian dari Imperium Turki selama berabad-abad.[16] Adapun untuk pengelompokan wilayah Balkan yang akan dipaparkan penulis di sini ialah wilayah Balkan hingga rentang waktu 1914. Sebab, sejak perang dunia meletus pada Juli 1914 hingga tahun-tahun berikutnya, terjadi banyak peristiwa yang akhirnya mengubah komposisi wilayah Eropa termasuk wilayah Balkan. Untuk menghindari kesalahpahaman, maka penulis tegaskan bahwa yang akan dipaparkan di bagian ini ialah wilayah-wilayah yang masih termasuk wilayah Balkan hingga tahun 1914. Wilayah-wilayah tersebut terdiri dari Yunani, Albania, Macedonia, Montenegro, Kroasia, Bosnia Herzegovina, Serbia, Bulgaria dan Rumania.
Adapun pada masa modern ini, berdasarkan buku Ensiklopedia Geografi karya Tim Kingfisher terbitan Lentera Abadi tahun 2007, menyatakan bahwa negara-negara Balkan yakni Kroasia, Bosnia Herzegovina, Serbia, Montenegro, Makedonia, Albania dan Yunani. Sedangkan untuk negara Bulgaria dan Rumania masuk ke dalam kawasan Eropa Timur.[17] Perubahan komposisi wilayah ini disebabkan berbagai hal, salah satunya karena pemekaran wilayah.
Wilayah Balkan yang didominasi oleh pegunungan merupakan wilayah yang subur dan banyak terdapat sumber daya Alam. Bosnia misalnya, kaya akan sumber daya alam seperti emas, perak, dan tembaga. Kawasan Balkan juga merupakan akses perdagangan yang mumpuni karena berada di antara Eropa dan Asia. Namun, karena letaknya berada di wilayah yang bergunung-gunung, maka sulit dan berbahaya untuk mencapai wilayah Balkan melalui jalur darat, sehingga jalur laut memainkan peran yang amat penting saat itu.
Semenanjung Balkan juga merupakan kawasan yang isolatif karena orang- orang di kawasan Balkan cenderung terisolasi di desa mereka, sehingga pertukaran budaya tidak berlangsung dan terdapat banyak etnik yang berbeda hidup bersama dalam wilayah yang kecil. Masyarakat Balkan memiliki budaya yang berbeda-beda antara desa satu dengan desa yang lainnya meskipun mereka hanya terpisah sejauh 20 mil. Hal ini dikarenakan mereka bukanlah kelompok yang suka berbaur, inilah mengapa membuat divisi dan perbedaan lebih memungkinkan dibanding kesatuan.[18]
Sejarah dan masyarakat Balkan sangat dipengaruhi oleh lingkungan mereka karena status Balkan yang berada “di antara”, masyarakat dan wilayah mereka akan terus mengalami perubahan kekuasaan. Balkan seringkali menjadi zona penengah di antara berbagai macam kerajaan, dimulai dari Roma-Yunani, Kerajaan Bizantium- Kerajaan Turki Utsmani, dan Kerajaan Hapsburg (Austro-Hungaria) - Kerajaan Turki Utsmani. Bahkan, kebanyakan pertempuran terjadi di Balkan dan sering terjadinya pertukaran kekuasaan di Balkan ini dikarenakan letaknya yang berada di perbatasan berbagai kerajaan.
Balkan seringkali menjadi jalur lintas antara budaya Barat dan Timur, Gereja Byzantium dan Roman Katholik, serta agama Kristen dan Islam. Bahkan, di wilayah Balkan ini seringkali terjadi banyak asimilasi serta bentrokan karena letaknya yang berada di tengah-tengah budaya Barat dan Timur. Sylvie Gangloff menyatakan bahwa “The Balkans are perceived, by the Balkan people themselves, as an area of confrontation between Islam and Christianity[19] Balkan dianggap oleh orang-orang Balkan itu sendiri sebagai area konfrontasi antara Islam dan Kristen). Balkan dulunya juga merupakan tanah pertentangan antara Katolik Roma (berbahasa latin dari Kerajaan Roma) dan kaum Kristen Ortodoks. Untuk lebih jelasnya, maka akan dipaparkan lebih lanjut mengenai keadaan geografis wilayah-wilayah Balkan serta kelompok etniknya sebagai berikut:
1)      Yunani
 Yunani menempati bagian paling selatan dari Semenanjung Balkan. Bentang alam wilayah ini didominasi oleh dataran tinggi. Pegunungan Pindus adalah barisan pegunungan terbesar di Yunani. Yunani merupakan salah satu peradaban tertua di Eropa.
Istilah untuk Yunani dalam bahasa kalangan Islam adalah Rum, yakni suatu wilayah yang meliputi bekas Kekaisaran Bizantium dan bahasa Yunani disebut pula bahasa Rumi. Kadang kala, di kalangan orang Yunani sendiri, bahasa Kristen mereka disebut bahasa Romaike.[20] Etnik Yunani (Hellenes) secara historis telah menghuni Yunani sejak abad ke-17 SM. Bangsa Yunani ini berpusat di sekitar pesisir Aegea di mana bahasa Yunani telah dipertuturkan sejak jaman kuno.
2)      Albania
Albania berada di bagian barat Semenanjung Balkan dan menghadap ke Laut Adriatik. Hampir tiga perempat permukaan wilayah Albania bergunung-gunung dan seringkali sulit untuk dimasuki. Gunung-gunung itu menjulang sampai ke puncak tertingginya yakni di gunung Korab, yang setinggi 2.763 m di Albania Timur laut.[21] Selama berabad-abad, gunung-gunung itu telah menjadi benteng alamiah dan tempat berlindung bagi rakyat Albania. Meski beberapa bagian wilayah ini adalah rawa paya, sebagian besar daerah ini subur sehingga dimanfaatkan sebagai lahan pertanian utama. Negara ini juga memiliki cadangan mineral seperti logam, gas alam, dan minyak bumi.[22] Dengan kekayaan alam yang mumpuni, Albania sebenarnya memiliki peluang untuk berkembang, akan tetapi dengan kisruh yang terjadi dalam negaranya pasca kemerdekaan tahun 1912 membuat negara ini menjadi negara yang termiskin di Eropa serta terisolasi dari dunia luar hingga tahun berikutnya.
Etnis Albania atau yang lebih tepat suku Illyrians muncul di Balkan bagian Barat sekitar tahun 1200 SM. Suku Illyrians ini mendiami daerah pegunungan Albania. Bukti arkeologi menunjukkan jejak evolusi suku Illyrians ini dimulai dari tempat pemakaman, ornamen pada pakaian, dan praktik budaya (disimpulkan dari peninggalan material) dari tahun 1200 SM hingga abad pertengahan.[23] Sebenarnya sulit memang untuk mengetahui cerita mengenai suku Illyrians ini karena mereka tidak meninggalkan jejak-jejak tertulis maupun tidak tertulis sehingga para sarjana Barat hanya mengidentifikasi melalui segi linguistik dan arkeologi.
3)      Macedonia
Negara Macedonia yang terkurung oleh daratan ini adalah negara yang memiliki pemandangan alam yang indah. Macedonia dulunya pernah menjadi jantung Imperium Yunani Kuno.[24] Wilayah Macedonia dikelilingi oleh Bulgaria, Albania, Serbia, Montenegro, dan Yunani. Bentang alam utama negeri ini adalah perbukitan dengan lereng-lereng yang curam, pegunungan dengan lembah- lembah yang dalam, serta hutan yang luas.Etnik Macedonia berasal dari Suku Slav Selatan yang tiba di Macedonia pada tahun 600 M.
4)      Montenegro
Meski wilayahnya kecil, Montenegro memiliki kekayaan alam yang cukup mumpuni dengan garis pantai pada Laut Adriatik. Di bagian utara Montenegro memiliki dataran luas dan beberapa perbukitan rendah. Bagian timur merupakan wilayah perbukitan batu kapur dan juga terdapat beberapa lembah. Bagian barat daya berupa pegunungan yang sekaligus menjadi pembatas antara pedalaman dan daerah pantai yang beriklim mediterania yang hangat.[25] Sama halnya dengan Macedonia, etnik Montenegro berasal dari suku Slav selatan.
5)      Kroasia
Wilayah ini berada pada jalur perlintasan antara Eropa Tengah dan kawasan Laut Tengah. Di wilayah ini, perubahan tingkat permukaan air laut dapat menyebabkan tenggelamnya lembah-lembah pegunungan dan menciptakan banyak pulau bertebing curam dan tanjung berbatu. Etnik Kroasia atau yang sering disebut bangsa Slav Selatan tiba di Balkan di akhir tahun 500 M dan awal tahun 600 M. Bahasa Kroasia membuat beberapa perbedaan dialek, terutama dengan Serbia. Perbedaan yang paling jelas ialah digunakannya alfabet Roma oleh bangsa Kroasia dan penggunaan Cyrillic[26]  bagi bangsa Serbia.
6)      Bosnia Herzegovina
Bentang alamnya sangat kasar dengan wilayah utara sangat bergunung-gunung, sementara bagian selatan berupa daerah yang lebih rata dan subur. Sejumlah besar wilayah ini berupa plato batu kapur yang tandus. Wilayah ini banyak terdapat mata air mineral dan hampir setengah dari wilayah negara ditutupi oleh hutan ek, beech, dan pinus. Gereja Bosnia, selanjutnya Katolik dan Ortodoks, menjadi agama yang paling dominan di Kerajaan Bosnia sampai kerajaan ini runtuh, bahkan sebelum invasi Ottoman di tahun 1463.[27] Bosnia merupakan nama geografis, bukan sebuah etnik ataupun linguistik. Abad pertengahan, Bosnia merupakan zona pembatas antara Kroasia dan Serbia. Dalam istilah bahasa dan keturunan, asal-usul Bosnia sama dengan Kroasia dan Serbia yakni masih merupakan keturunan suku Slav selatan.
7)      Bulgaria
Bulgaria memiliki bentang alam yang beragam, misalnya Plato, dataran luas, perbukitan dan pegunungan. Wilayah ini memiliki dua pegunungan besar yakni pegunungan Balkan yang membentang dari barat ke timur melintasi bagian tengah Bulgaria, dan pegunungan Rhodope yang membentang di barat daya.
Pada abad ke-7 ketika kaum Bulgar, kelompok perang berkuda yang buas, bergerak keluar dari Asia Tengah. Mereka merebut lahan dekat sungai donou dan beberapa menyebar ke selatan menaklukkan bangsa Slavia. Mereka mengambil adat istiadat dan bahasa Slavia dan lambat laun berbaur.[28] Selain suku Slavia ada juga suku Pomaks yang berbahasa Bulgaria dan tinggal di pegunungan Rhodopes dan di Translox, sebagian besar buta huruf dan kebanyakan orang-orang suku Pomaks ini beragama Islam.
8)      Serbia
Serbia menduduki posisi yang strategis di kawasan semenanjung Balkan. Sebagian besar Serbia terdiri dari dataran rendah dan bukit-bukit yang rendah (kecuali wilayah Kosovo yang lebih bergunung-gunung). Serbia sama sekali tidak memiliki laut dan kota terbesarnya ialah Beograd. SukuSlav Selatan  tiba di Serbia pada waktu yang sama seperti Kroasia, dengan bahasa dan budaya yang serupa dan akhirnya menjadi penghuni tetap di Serbia. Etnik Serbia lebih cenderung dekat dengan Byzantium sehingga budaya Serbia kebanyakan mengambil corak Byzantium (sama halnya dengan budaya Kroasia yang menyerupainya).
9)      Rumania
Bentang alam wilayah ini didominasi oleh pegunungan dan dataran rendah. Tanah yang subur merupakan sumber daya alam utama wilayah ini. Rumania juga memiliki cadangan timah, seng, dan belerang.[29] Lebih dari seperempat lahan wilayah ini ditutupi oleh hutan yang menjadi habitat bagi berbagai satwa liar, seperti rubah, rusa, beruang, babi hutan, dan serigala dengan 45% daratan yang cocok untuk dijadikan lahan pertanian.[30]
Etnik Rumania didominasi oleh orang-orang Gypsi atau Roma, yang dulunya merupakan suku nomaden atau tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Suku Gypsi ini memasuki wilayah Balkan pada tahun 1300 SM, dan mereka berasal dari Asia kecil bagian Barat. Bahasa mereka setelah diidentifikasi oleh para sarjana Barat masih berhubungan dengan bahasa India yakni mirip seperti bahas a Sanskrit.[31] Selain Suku Gypsi, ada juga Suku Vlach yang berbahasa Roma. Adapun etnik tertua dari Rumania ini ialah orang-orang Dacian yang dipengaruhi koloni-koloni Yunani, dan ditemukan di pesisir Laut Hitam pada abad ke-6 dan ke-7 SM.[32] Untuk pemahaman lebih jelas mengenai etnik di Balkan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

No
Negara
Illyrian
Slav
Selatan
Gypsi
Dacian
Vlach
Pomak
Hellenes
1
Yunani






ü
2
Albania
ü






3
Macedonia

ü





4
Montenegro

ü





5
Kroasia

ü





6
Bosnia
Herzegovina

ü





7
Bulgaria

ü



ü

8
Serbia

ü





9
Rumania


ü
ü
ü



Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa Etnik-etnik yang terdapat di Balkan sangatlah heterogen dimulai dari suku Illyrians, suku Slav Selatan,[33] suku Gypsi, suku Dacian, Suku Vlach, Pomak dan Hellenes. Etnik yang paling mendominasi di Balkan ialah suku Slav Selatan atau dalam bahasa Slavia disebut Yugo-Slav. Adanya banyak kesamaan etnik di Balkan ini menunjukkan hubungan yang jelas dan erat antar sesama negara Balkan itu sendiri.
Ajaran Islam di Eropa telah masuk dan berkembang sejak berabad-abad yang lalu. Diawali oleh penaklukan negara Andalusia pada tahun 756-1492 di Semenanjung Iberia, dan kemudian melalui Sisilia, serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah pada tahun 1389. Kehadiran Islam di Eropa kemudian berlanjut melalui imigrasi umat Islam dari negara-negara Islam ke Eropa pasca Perang Dunia Kedua. Walaupun masyarakat Eropa mayoritas memeluk ajaran agama non Islam, namun perkembangan Islam di Eropa sendiri terbilang cukup pesat. Namun demikian, hingga saat ini penduduk yang beragama Islam masih menjadi minoritas di tanah Eropa.
Pasca Perang Dunia Kedua yang telah meluluh lantahkan sebagian besar negara- negara di Eropa, pembangunan di Eropa membutuhkan tenaga pekerja dari luar Eropa untuk membangun kembali infrastruktur negara mereka yang telah hancur. Negara-negara di wilayah Eropa Barat mempekerjakan para pekerja dari negara-negara yang mayoritas berpenduduk dan berbudaya Islam, seperti Aljazair, Maroko, India, dan juga Turki.[34] Para pekerja asing ini semakin hari semakin besar jumlahnya, bahkan tidak jarang diantara mereka yang hidup hingga berkeluarga di tempat mereka bekerja. Sebagian besar pekerja asing beserta keluarga kurang bisa membaur dengan kebiasaan dan kebudayaan asli negara tempat mereka bekerja. Hal ini tidak jarang menyebabkan konflik di masyarakat yang berujung pada kerusuhan dan kekerasan. Kejadian-kejadian seperti ini yang semakin memupuk stigma negatif terhadap Islam. Sentimen terhadap Islam inilah yang sering disebut dengan Islamophobia.
Istilah Islamophobia sendiri adalah perasaan ketakutan atau kebencian terhadap Islam, orang-orang yang memeluk ajaran Islam, maupun budaya Islam.[35] Istilah Islamophobia muncul pertama kali pada tahun 1922 dalam sebuah essai yang berjudul L’Orient vu del’Occident karya Etienne Dinet, seorang tokoh orientalis asal Perancis. Seiring berkembangnya waktu, pada sekitar tahun 1990-an Islamophobia dijadikan sebuah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan perlakuan diskriminatif yang diterima oleh umat Islam di wilayah Eropa Barat. Walaupun definisi dari istilah Islamophobia masih menjadi perdebatan, namun secara garis besar memiliki maksud dan makna yang mengarah pada  suatu keseragaman mengenai terbentuknya ideologi atau sebuah pemikiran ketakutan yang dianggap tidak wajar terhadap Islam. Perasaan ketakutan inilah yang menjadi akar dari pemikiran yang menganggap bahwa seluruh kaum muslim atau pemeluk agama Islam merupakan pengikut fanatik ajarannya, yang mempunyai potensi untuk melakukan kekerasan terhadap orang yang tidak menganut ajaran Islam dan juga meyakini bahwa ajaran Islam menolak nilai-nilai seperti toleransi antarumat, belas kasihan, bahkan demokrasi.[36]
Pada tahun 2001 di Amerika Serikat terjadi peristiwa 9/11 yang telah memberikan dampak buruk terhadap citra Islam di dunia Barat. Tindakan radikal ini tidak hanya membuat kerugian kepada kelompok garis keras. Lebih lanjut, terorisme dan radikalisme menyebabkan meningkatnya Xenophobia di Eropa terhadap Islam. Hingga saat ini, Islamophobia masih terus berkembang di Eropa. Pelarangan pembangunan menara Masjid di Swiss menjadi pemicu berkembangnya hal serupa. Hal ini tentu memberikan dampak yang negatif terhadap kebebasan beragama bagi umat muslim di benua tersebut.
Di kawasan Eropa, Islamophobia bukanlah sebuah fenomena baru. Sekitar semenjak abad delapan masehi gejala kebencian terhadap Islam telah muncul di Eropa, dan hingga saat ini telah berkembang dalam berbagai bentuk. Namun fenomena Islamophobia di Eropa kian hari kian menjadi lebih kompleks semenjak tragedi 9/11 yang terjadi di Amerika Serikat, Bom Bunuh Diri di London, Inggris pada 7 Juli 2005, Bom Bunuh Diri di Spanyol, serta pembunuhan politikus Belanda, Pim Fortuyn oleh seorang warga Belanda keturunan Maroko. Ketika beberapa tragedi teror mulai menyebar di Eropa, masyarakat Eropa mulai kembali terprovokasi untuk memandang Islam dengan penuh ketakutan dan kecurigaan. Beberapa kalangan yang tidak bertanggung jawab yang mayoritas berasal dari kelompok- kelompok kanan konservatif seperti beberapa partai politik semisal Barisan Nasional Perancis (French National Front), Partai Nasional Inggris (British National Party) dan Partai Pim Fortuyn List Belanda menjadikan isu-isu teror tersebut sebagai isu politik mereka sehingga semakin menciptakan prasangka buruk serta ketakutan terhadap orang-orang Islam.[37] Sentimen terhadap Islam kerap dijadikan sebagai alat untuk memperoleh simpati dan dukungan dari para simpatisan partai-partai tersebut.
Indikasi mengenai penyebaran Islamophobia di Eropa, terutama di Eropa Barat, telah diperkuat oleh adanya laporan dari The European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia (EUMC), sebuah LSM pemantau Uni Eropa, mengenai “Laporan Islamophobia di UE pascatragedi 9/11.”[38] Dalam laporan tersebut disampaikan bahwa kondisi yang kurang menguntungkan sedang dialami oleh kaum muslim minoritas di Eropa. Bukti-bukti mengenai merebaknya Islamophobia di Eropa serta pengucilan terhadap komunitas muslim di Eropa yang mengarah terhadap radikalisasi semakin meningkatkan perdebatan di Uni Eropa.[39]
Salah satu negara Eropa Barat yang memiliki sentimen negatif terhadap Islam ini adalah Perancis. Meskipun Islamophobia di Perancis ini sudah tumbuh sepanjang sejarah, namun peristiwa pengeboman World Trade Center pada 11 September 2001 menjadi salah satu isu yang memicu munculnya Islamophobia dalam bentuk aksi. Pasca peristiwa 9/11 tersebut Islam di Perancis mengalami perlakuan rasisme hampir di semua sektor sosial.[40] Hal ini dapat dilihat dari data, bahwa dari tahun 2001 hingga 2004, terdapat banyak sekali penyerangan yang dilakukan terhadap tempat ibadah Islam. Lebih jauh lagi, berbagai website yang mengumandangkan anti-Islam pun mulai bermunculan di lingkungan masyarakat Perancis. Sejalan dengan berbagai aksi pengrusakan Masjid, jumlah penyerangan terhadap individu pun juga semakin meningkat, terutama terhadap para perempuan yang menggunakan hijab. Fenomena ini kemudian disebut sebagai hijabophobia.[41] Bahkan bagi masyarakat Perancis sendiri, hijab merupakan salah satu simbol fundamentalis Islam yang terkesan mengancam dan membahayakan nilai-nilai dasar republik dan secular.[42]
Jika melihat sejarah kebelakang, Uni Eropa tentunya sudah cukup akrab dengan kebudayaan Islam. Walaupun pada awal pembentukan Uni Eropa memang hanya berdasar pada pertimbangan ekonomi semata. Dimulai sejak tahun 1951 dengan berdirinya European Coal and Steel Community yang kemudian berkembang menjadi European Economic Community pada tahun 1957, setiap aktivitas institusi maupun permasalahan perluasan keanggotaan pada saat itu semuanya berdasarkan pada pertimbangan ekonomi semata.[43]  Namun, seiring dengan perubahan dunia yang terjadi serta globalisasi yang juga mulai meluas, isu-isu kontemporer mengenai identitas juga semakin berkembang di dalam tubuh Uni Eropa sendiri.
Merujuk pada berbagai peristiwa sentimen terhadap agama Islam di Perancis yang memang lebih terlihat memburuk dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat lainnya, Uni Eropa sebagai organisasi kawasan induk di Eropa sudah seharusnya memiliki porsi dan peranannya dalam merespon munculnya fenomena anti-Islam tersebut. Sebagai sebuah organisasi kawasan yang telah berhasil mengintegrasikan banyak negara dengan latar belakang sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang berbeda-beda, Uni Eropa harus mampu membuat formulasi kebijkan yang dapat diterima oleh seluruh negara anggotanya. Proses pembuatan kebijakan tersebut tentunya sangat penting karena mengingat Uni Eropa menganut asas common security and foreign policy, sehingga akan mengikat seluruh negara anggota untuk menerapkannya. Selain itu, munculnya Islamophobia di Perancis, juga dianggap penting oleh Uni Eropa karena isu tersebut dianggap sangat sensitif dan mudah menyebar, sehingga dikhawatirkan akan menyebar dan mengganggu stabilitas di negara- negara lainnya. Hal ini apabila sampai terjadi tentunya akan menjadi ancaman serius bagi Uni Eropa itu sendiri.

B.     Politik Luar Negeri Uni Eropa Terhadap Negara-negara Islam
Kontak pertama Eropa dengan masyarakat Muslim pada dasarnya sudah dimulai bahkan sebelum munculnya negara-negara berdaulat. Komunitas Islam telah lama tinggal di wilayah Balkan dan Baltik selama berabad-abad, sehingga interaksi dalam bentuk perdagangan ataupun pendidikan menjadi hubungan yang lazim ditemukan pada masa itu. Menilik pada sejarah, peradaban Islam merupakan salah satu peradaban yang memberikan pengaruh besar bagi kemajuan di Eropa. Wilayah Mediterania dan Timur Tengah bahkan telah tumbuh menjadi kota perdagangan yang lebih tua dibandingkan dengan Italia.[44] Pemikir-pemikir modern Eropa pun sedikit banyak dipengaruhi pula oleh pemikir-pemikir Arab. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya berbagai karya dan buku yang merupakan terjemahan dari Bahasa Arab.13 Selain itu, negara-negara di Eropa juga sudah menjalin kontak dengan lingkungan Muslim dalam bentuk negara kolonial. Hal ini didasarkan oleh adanya fakta bahwa sebagian tanah jajahan Inggris, Perancis, dan Belanda merupakan wilayah-wilayah dengan populasi Muslim yang memiliki jumlah cukup signifikan.[45]
Keruntuhan peradaban Islam Agung yang berpusat di Turki yang diikuti dengan kebangkitan masyarakat Eropa pasca Perjanjian Westphalia yang mengawali munculnya konsep akan negara berdaulat menjadi titik balik bagi komunitas Islam. Interaksi yang dulunya bersifat satu arah[46] berubah menjadi komunikasi dua arah yang didominasi oleh Eropa. Pada pertengahan abad 20, masyarakat Muslim mulai berdatangan ke Eropa yang dipicu oleh motif ekonomi untuk mencari pekerjaan dan kesejahteraan. Kebanyakan dari mereka merupakan pekerja yang berasal dari daerah-daerah urban, guna  memenuhi kebutuhan Eropa akan pekerja murah.16
Wilayah-wilayah yang dulunya dikolonisasi oleh negara-negara Eropa juga memainkan peranan signifikan dalam fenomena migrasi dan persebaran demografi Muslim di Eropa. Di Perancis misalnya, masyarakat Muslim migran didominasi oleh orang-orang yang berasal dari daerah protektorat Perancis, seperti Aljazair, Maroko, dan Tunisia.[47] Sedangkan di Inggris migran Muslim kebanyakan berasal dari Bangladesh dan Pakistan. Pada tahun 1980-an, gelombang migrasi kedua pun muncul yang didominasi oleh para pencari suaka. Kemudian memasuki tahun 1990-an, migrasi dari negara-negara Muslim yang memasuki kawasan Eropa dapat dikategorikan secara umum sebagai berikut:[48
1. Di wilayah Eropa Utara, migrasi komunitas Muslim didominasi oleh para imigran yang secara resmi melalui pengajuan aplikasi pencarian suaka dan didorong oleh perang sipil yang berkepanjangan di daerah perbatasan Eropa.
2. Sedangkan di Eropa bagian selatan, migrasi kebanyakan terjadi secara ilegal seperti praktek-praktek perdagangan manusia dan umumnya juga didorong oleh motif ekonomi.
Berdasarkan pada paparan tersebut dapat dilihat bagaimana, pada dasarnya Eropa sudah terhubung cukup kuat dengan budaya-budaya Islam. Meskipun demikian, hal ini ternyata tidak mampu menghindarkan berbagai tindak diskriminasi oleh warga kulit putih terhadap minoritas Muslim yang tinggal di Eropa. Diskriminasi ini mencakup berbagai sektor mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga dalam sektor perumahan. Data resmi menunjukkan bagaimana indikator pekerjaan di berbagai negara Eropa dalam situasi normal tidak ditargetkan untuk masyarakat Muslim. Beberapa penelitian yang dilakukan di Inggris, Perancis, dan Belanda berhasil memberikan informasi yang cukup akurat bahwa warga yang beragama Islam dan berlatarbelakang dari negara-negara Magribi memiliki kesempatan lebih kecil untuk diterima dalam sebuah perusahaan.[49]
Negara-negara anggota Uni Eropa yang memiliki komunitas Muslim cukup banyak, seperti komunitas Turki di Jerman dan komunitas Afrika Utara di Perancis; masyarakat Muslim ini memiliki aktivitas dalam sektor pekerjaan yang hanya mencapai 15 hingga 40 persen dibandingkan dengan warga asli berkulit putih.[50] Selain kesempatan kerja yang sangat minim, diskriminasi terhadap kaum Muslim yang tinggal di Eropa juga terjadi dalam hal aktivitas keagamaan di lingkungan kerja. Kebanyakan negara anggota Uni Eropa memang sudah cukup toleran terhadap aktivitas keagamaan di lingkungan kerja, namun hal ini juga tidak menutup kemungkinan adanya keterbatasan bagi kaum Muslim untuk memproleh hak beribadah mereka. Belgia, Denmark, dan Jerman tidak memiliki kesulitan yang cukup signifikan dalam hal pengaturan pekerja yang beragama Islam. Akan tetapi, kondisi yang sama agaknya tidak dapat ditemukan di Perancis yang menganut tradisi sekuler republik. Pada tahun 2005, Perancis bahkan mengeluarkan aturan yang membatasi ekspresi simbol- simbol keagamaan di tempat kerja, yang mencakup juga pemakaian hijab.[51]
Masyarakat migran di Eropa yang mana kebanyakan dari mereka juga merupakan komunitas Muslim, pada umumnya tidak mendapatkan akses memadai terhadap fasilitas perumahan. Hal ini didorong oleh keadaan ekonomi yang tidak baik serta adanya berbagai aturan yang menghambat komunitas Muslim memperoleh rumah secara layak. Meskipun terdapat banyak diskriminasi terhadap kaum minoritas Muslim di Eropa, akan tetapi pada dasarnya marjinalisasi terhadap mereka tidak terjadi karena agama, melainkan karena situasi mereka sebagai migran yang berstatus sosial rendah.[52] Sentimen negatif terhadap minoritas Islam di Eropa ini kemudian dikenal sebagai Islamophobia.
Muncul pertama kali dalam sebuah esai di tahun 1992, Islamophobia kemudian berkembang sangat cepat pasca peristiwa pengeboman gedung WTC di Washington D.C. pada tahun 2001. Kejadian yang dikenal pula sebagai 9/11 tersebut meningkatkan aktivitas negatif terhadap kaum Islam di Eropa, utamanya di Perancis yang memiliki populasi Islam terbesar di Eropa. Hal ini kemudian diperparah pula oleh adanya peristiwa pengeboman di Inggris pada 7 Juli 2005. Terorisme yang membawa nama Islam tersebut telah menciptakan sentimen berlebihan terhadap minoritas Muslim di Eropa. Apabila sebelumnya diskriminasi hanya terjadi di sektor layanan publik, pasca kedua peristiwa tersebut diskriminasi yang dilakukan di beberapa negara-negara Eropa mengarah pada kekerasan secara fisik.
Segera setelah peristiwa 9/11, 80 insiden penyerangan dengan target Islam terjadi di Belanda. Pembunuhan Theo Van Gogh pada tahun 2004, bahkan memicu dampak yang lebih masif seperti pembakaran sekolah Islam dan penghancuran tempat peribadatan.[53] Kemudian di Inggris, Skotlandia, dan Irlandia Utara, beberapa masjid ditutup dan berbagai bentuk vandalisme yang merendahkan Islam pun bermunculan. Bahkan di Perancis dari tahun 2003 hingga 2004 terdapat insiden terkait dengan tindakan anti-Muslim sebanyak 182 kasus.[54] Munculnya sentimen yang berlebihan terhadap kaum minoritas Muslim di Eropa utamanya di Perancis, tentu saja memberikan dampak bagi pembentukan kebijakan luar negeri di tingkat Uni Eropa itu sendiri. Walaupun pada dasarnya Uni Eropa pada tahun 1995-2004 memandang bahwa negara-negara Islam yang membentang dari Maroko, Tunisia, samapi Turki di Sebelah tenggara merupakan tetangga dekat yang harus selalu diajak bekerja sama.[55] Kebijakan   Uni   Eropa   sebagai   sebuah   organisasi   suprapolitik     sedikit banyak dipengaruhi oleh situasi domestik negara-negara anggotanya. Dengan kemunculan sentimen negatif terhadap minoritas Islam, kebijakan luar negeri terhadap negara-negara Islam itu sendiri mengalami pergeseran. Meskipun demikian, pergesaran politik luar negeri Uni Eropa terhadap negara-negara Islam tersebut tidak hanya diakibatkan oleh keberadaan sentimen negatif kebanyakan negara anggota terhadap Islam, melainkan juga karena kemunculan
politik Islam di kawasan Mediterania dan Arab yang mayoritas berbasis Islam.[56]
Uni Eropa dan negara-negara Arab Mediterania telah menjalin relasi dalam jangka waktu yang cukup lama, yang telah dimulai sejak pembentukan European Economic Community pada tahun 1995, dan mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2000 melalui European Neighboorhood Policy dan Union for Mediterranean.27[57] Efek krisis pada tahun 1980-an yang menimpa negara-negara di kawasan Arab dan Mediterania serta distribusi bantuan global yang tidak merata sebagai akibat dari berakhirnya Perang Dingin telah menyebabkan banyak negara di wilayah tersebut mengalami degradasi ekonomi politik yang memicu melemahnya pemerintahan otoriter.[58] Adanya prospek bantuan dari Uni Eropa serta munculnya kemungkinan akan peningkatan stabilitas politik, membuat kerjasama dengan Eropa menjadi sebuah konteks yang diterima secara meluas oleh pemerintahan Arab Mediterania pada masa itu.[59]
Madrid Peace Conference di tahun 1992 menjadi salah satu instrumen yang mampu menghangatkan kembali hubungan antara Uni Eropa dan negara-negara Arab. Kemunculan Uni Eropa yang secara signifikan memberikan pengaruh terhadap menyebarnya paham demokrasi dan liberal di daratan Mediterania berjalan lebih lancar daripada yang diharapkan dengan adanya adopsi negara-negara Arab terhadap poin-poin yang terdapat dalam Barcelona Declaration.[60] Secara umum, Uni Eropa memiliki dominasi yang kuat di kawasan Timur Tengah dan Mediterania pada masa itu.
Awal tahun 1990-an harus dipahami pula sebagai era kemunculan politik Islam. Pada mulanya gerakan-gerakan yang berbasis Islam ini hanya menjadi gerakan sosial tanpa adanya agenda politik yang jelas. Namun seiring dengan berjalannya waktu, berbagai agenda politik dan penyebaran Islamisasi mulai terlihat lebih nyata. Hal ini sedikit banyak memberi pengaruh bagi hubungan antara Uni Eropa dan negara-negara di kawasan Arab dan Mediterania. Kemunculan politik Islam pada akhirnya juga memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat di kawasan tersebut, yang akhirnya membuat persepsi negara- negara Arab Mediterania terhadap Uni Eropa sendiri mengalami perubahan. Di satu sisi, politik Islam telah membuat interaksi dengan Uni Eropa melibatkan tingkat nasionalistik yang kuat dan cenderung anti-kolonial. Namun disisi lain, banyak kelompok-kelompok politik Islam yang telah menerima secara pragmatis nilai-nilai barat seperti Hak Asasi Manusia dan demokrasi.[61]
Perubahan pola politik di Arab Mediterania ini telah membuat politik luar negeri Uni Eropa terhadap negara-negara di kawasan tersebut cenderung mengalami stagnansi. Kemunculan politik Islam membuat nilai-nilai Uni Eropa yang sempat tumbuh subur di dekade 1980-an mulai memudar dan tidak lagi mengalami pengembangan yang signifikan di daratan Mediterania.[62] Ketakutan negara-negara ini akan nilai-nilai Islam yang terpolarisasi menjadi Barat, membuat kebanyakan negara menutup diri terhadap Barat pada umumnya dan Uni Eropa pada khususnya. Pada akhirnya Uni Eropa sendiri pun tidak menjalin interaksi yang signifikan dengan kawasan Arab Mediterania. Bahkan dengan kemunculan berbagai aktivitas radikalisme seperti Taliban dan ISIS membuat Uni Eropa cenderung menempatkan kawasan Timur Tengah dan Mediterania sebagai bagian dari kontra politik.
Munculnya Islamophobia di Perancis akibat adanya berbagai tindak terorisme yang mengatasnamakan Islam telah berhasil menciptakan kekacauan dan sentimen negatif terhadap masyarakat Muslim itu sendiri. Keberadaan politik domestik yang kemudian mengedepankan prasangka buruk ketika berinteraksi dengan Muslim berdampak pula pada kebijakan di tingkat regional. Politik luar negeri Uni Eropa yang cenderung stagnan dengan adanya keberadaan politik Islam, dalam titik tertentu bergeser ke sifat yang lebih tegas.  Secara umum, Uni Eropa melihat kawasan Timur Tengah dan Mediterania sebagai kawasan yang tidak stabil, sehingga tujuan interaksi dalam wilayah tersebut adalah peace building dan stabilitas. Hal ini tentu saja sejalan dengan upaya kontra terorisme sebagai reaksi terhadap munculnya Islamophobia.
Beberapa pendekatan yang dijalankan di kawasan negara Islam ini antara lain dilakukan terhadap Iran dan konflik Israel-Palestina. Uni Eropa memberikan sanksi embargo pada Iran pada pertengahan tahun 2012 sebagai respon atas pengembangan nuklir sebagai senjata di negara tersebut.[63] Uni Eropa merupakan salah satu konsumen minyak terbesar bagi Iran dengan jumlah permintaan yang mampu mencapai 600.000 barel setiap harinya.[64] Sanksi embargo yang dikenakan terhadap Iran ini juga meliputi larangan penggunaan teknologi nuklir; embargo gas alam dan larangan aktivitas bisnis yang berhubungan dengan sektor energi; embargo senjata; larangan transaksi finansial dengan pemerintah Iran, Bank  Iran, serta lembaga finansial lainnya.[65] Sanksi yang tidak hanya diberikan oleh Uni Eropa akan tetapi juga Amerika Serikat ini telah berhasil membuat Iran terisolasi dan akhirnya bersedia untuk melakukan perundingan. Ketika Iran mengalami pergantian kursi jabatan, pemilihan umum yang menempatkan Hassan Rouhani sebagai Presiden Iran sejak tahun 2013, agaknya tensi hubungan antara Iran dengan Uni Eropa maupun Amerika Serikat sedikit mereda dan kedua pihak bersedia melaksanakan Joint Plan of Action (JPA).[66]
JPA merupakan sebuah pendekatan untuk menciptakan kerjasama komprehensif yang bersifat jangka panjang terkait dengan program nuklir yang tengah dikembangkan oleh Iran. JPA juga memaksa Iran untuk menghentikan sementara program nuklirnya dan meminta Iran untuk bersifat lebih kooperatif terhadap program monitoring yang dilakukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Pada pertengahan tahun 2015, JPA berhasil mencapai kesepakatan akhir. Meskipun dinilai tidak efektif untuk mengurangi potensi Iran dalam mengembangkan nuklir sebagai senjata, akan tetapi dalam hal ini, situasi yang demikian tersebut menunjukkan bagaimana Uni Eropa memiliki komitmen yang tinggi untuk menciptakan stabilitas di kawasan Arab dan Mediterania. Upaya peace building ini dapat dilihat pula sebagai upaya untuk mencegah penyebaran radikalisme sehingga terorisme dalam kadar tertentu dapat dicegah.
Kerjasama yang terjalin antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat yang terjalin dalam bentuk JPA tersebut tentunya dapat terwujud karena kedua negara menghadapi dilema dan permasalahan yang sama. Di satu sisi ke dua aktor tersebt membutuhkan negara-negara Islam baik dalam bidang ekonomi maupun dukungan politisnya. Namun, di sisi lain mereka juga menghadapi tekanan berupa aksi-aksi terorisme yang mengatas namakan Islam, yang hal ini tentunya secara langsung maupun tidak langsung akan semakin meningkatkan tensi Islamophobia di kedua kawasan tersebut.[67]
Selain terhadap Iran, politik luar negeri Uni Eropa di kawasan Arab yang berfungsi untuk meningkatkan stabilitas di regional tersebut juga ditujukan kepada Israel utamanya dalam konflik Israel-Palestina. Uni Eropa bersama dengan Amerika Serikat, Rusia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa aktif melakukan dialog yang diharapkan dapat menciptakan Palestina yang berkelanjutan dan Irak yang lebih aman.[68] Beberapa negosiasi yang dilakukan pada tahun 2014 tidak menemui hasil yang baik, dan diperparah oleh adanya konflik antara Israel dan Hamas yang semakin memanas. Upaya mendamaikan kedua belah pihak ini juga disertai pula oleh adanya ancaman ekonomi terhadap Israel.
Terlepas dari kurang efektifnya platform kerjasama yang dicanangkan oleh  Uni Eropa, akan tetapi pendekatan yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap negara-negara Islam tersebut diatas, menunjukkan bagaimana fokus politik luar negeri Uni Eropa memang ditujukan untuk menciptakan stabilitas politik kawasan. Uni Eropa menyadari bahwa keamanan di tingkat regionalisme Eropa memiliki keterkaitan dengan regionalisme tetangganya. Apalagi dengan munculnya sentimen negatif terhadap kaum Muslim, persepsi dan tujuan Uni Eropa terhadap negara Islam pun mengalami pergeseran. Peace building dan penciptaan stabilitas kemudian dirasa perlu untuk mencegah meluasnya radikalisme yang merupakan akar dari terorisme.

C.    Kebijakan Pengetatan Imigrasi Uni Eropa Terhadap Imigran Muslim
Fenomena migrasi menjadi salah satu fokus problematika yang harus dihadapi oleh Eropa hingga saat ini. Perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lainnya memang telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu. Meskipun demikian perubahan dalam perihal rute, kuantitas, dan aturan mewarnai gelombang migrasi yang terjadi pada era modern saat ini, sehingga dirasa sangat perlu untuk diterapkannya kebijakan pengetatan kedatangan daripada para imigran itu sendiri.[69] Dengan kemunculan konsep negara bangsa serta sekularisasi antara agama dengan pemerintahan pada abad ke-19 migrasi ke kawasan Eropa menjadi lebih “bureaucratised, directed, limited, and defined – through passports, visas, border control, institution, and sharp distinction between the rights of the citizen and those of non-member.”[70]
Pernyataan tersebut memberikan penekanan bagaimana di era modern saat  ini, migrasi ke wilayah Eropa menjadi isu yang lebih diperhatikan dengan adanya upaya pembuatan aturan terkait dengan migrasi itu sendiri.
Gelombang migrasi ke Eropa yang didominasi oleh komunitas Muslim telah dimulai sejak pertengahan abad ke-20. Meskipun pada akhir dekade tersebut, laju migrasi mulai mengalami penurunan, akan tetapi perpindahan penduduk utamanya dari wilayah Mediterania ke kawasan Eropa tidak menemui titik henti hingga di era modern saat ini. Bahkan memasuki tahun 2010-an gelombang migrasi dari regional Arab ke Eropa mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Situasi ini didorong oleh adanya ketidakstabilan politik di negara asal karena konflik internal yang sering terjadi.
Mengatasi gejolak perpindahan penduduk dalam jumlah masif, Uni Eropa pun mulai mengeluarkan berbagai kebijakan dan berupaya untuk menyeragamkan kebijakan terkait migrasi di semua negara anggota. Terdapat setidaknya tiga negara yang memiliki peranan besar dalam proses pembentukan kebijakan migrasi di Uni Eropa, salah satunya adalah Perancis. Sebagai negara penerima migrasi terbesar di Eropa, Perancis berhasil menempatkan fokus kebijakan nasionalnya dalam tingkatan Uni Eropa, terutama ketika Nicholas Sarkozy menjabat sebagai Presiden.
Mayoritas masyarakat migran yang berada di Perancis berasal dari negara-negara Islam, utamanya bekas negara protektorat Perancis, seperti Maroko dan Tunisia. Sebagai negara yang menganut paham sekuler republik, Perancis merupakan salah satu negara yang cenderung terbuka terhadap keberadaan imigran. Melalui para pendatang yang banyak  berasal dari Afrika Utara, Islam pun mengalami perkembangan cukup signifikan di negara tersebut, terbukti dengan tumbuhnya Perancis sebagai negara Eropa dengan populasi Muslim terbanyak. Walaupun cenderung terbuka, bukan berarti stereotype tidak muncul diantara negara Perancis. Imigran Muslim yang seringkali berstatus sosial rendah, membuat mereka pun akhirnya termarjinalkan secara sosial dan politik.
Peristiwa 9/11 yang terjadi di Amerika Serikat telah memicu tumbuhnya prasangka yang kian memburuk dari masyarakat asli terhadap kaum minoritas Muslim di Perancis. Diskriminasi pun berubah menjadi Islamophobia – sebuah ketakutan berlebihan terhadap kaum Muslim yang kemudian mendorong berbagai tindak kekerasan terhadap penganut Islam. Selain itu, Islamophobia yang terjadi di Perancis telah mendorong negara ini membuat berbagai legislasi yang cenderung kontroversial. Pada tahun 2003, Presiden Perancis pada saat itu, Jaques Chiraq, membuat sebuah rancangan Undang-Undang yang melarang penggunaan simbol-simbol agama seperti hijab untuk kaum Muslim dan kippa untuk kaum Yahudi. Kemunculan aturan ini sekaligus memberikan secara tegas bahwa Perancis adalah negara tempat lahirnya ide-ide besar dan negara yang memiliki sejarah dan warisan budaya dengan pluralitas budaya, suku serta agama tidak boleh mengkotak-kotakan masyarakatnya dalam berbagai komunitas.[71] Rancangan Undang-Undang yang kemudian disahkan pada tahun 2004 tersebut, diharapkan mampu mengembalikan dan menegakkan kembali tradisi Perancis yang sekuler dengan memberikan garis pemisahan secara tegas antara agama dengan pemerintahan negara.
Pengesahan rancangan Undang-Undang tersebut kemudian diikuti berbagai aktivitas yang cenderung merugikan komunitas Muslim, seperti penutupan sekolah Islam dan keharusan penggunaan bahasa Perancis ketika melakukan khotbah. Lebih jauh lagi, tindak kekerasan baik dalam bentuk fisik maupun verbal terhadap kaum minoritas Muslim pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Puncaknya di tahun 2012, ketika Nicholas Sarkozy menjabat, Perancis akan memberlakukan kebijakan pengurangan setengah dari jumlah penduduk imigran Muslim.43 Berbagai kebijakan Nicholas Sarkozy terkait dengan pengetatan imigran Muslim di tataran nasional ini mampu dibawa ke lingkungan regional ketika Sarkozy menjabat sebagai Pemimpin Dewan Uni Eropa periode Juli-Desember tahun 2008.
Sejak saat itu, Perancis memainkan peranan yang lebih signifikan untuk membentuk kebijakan imigrasi di Uni Eropa. Diawali pada tahun 2008 dengan dimunculkannya The European Act on Immigration and Asylum yang berisikan seperangkat aturan dan pedoman terkait dengan pengembangan kebijakan imigrasi suaka di Eropa. Pembentukan dokumen ini didasari oleh adanya tekanan migrasi dan kesenjangan pembangunan di berbagai wilayah di Eropa, yang akhirnya membuat keberadaan migrasi berdampak buruk bagi negara penerima. Dalam The European Act on Immigration and Asylum, negara-negara anggota Uni Eropa berkomitmen penuh pada lima hal, yaitu sebagai berikut: [72]
a.   Mengatur hukum imigrasi dengan mempertimbangkan prioritas kebutuhan dan kemampuan penerimaan yang ditentukan oleh masing-masing negara anggota dan mendorong adanya integrasi;
b.                 Mengontrol imigrasi ilegal dengan memastikan kembalinya imigran ilegal ke negara asal mereka atau negara transit;
c.                  Mengefektifkan kontrol terhadap perbatasan;
d.                 Membangun sebuah suaka Eropa;
e.                  Menciptakan kemitraan yang komprehensif dengan negara asal dan transit agar mendorong sinergi antara migrasi dan pembangunan.
Pakta Imigrasi yang dicanangkan oleh Nicholas Sarkozy dan diimplementasikan oleh seluruh negara-negara anggota Uni Eropa merupakan salah satu kebijakan pengetatan yang secara tidak langsung bertujuan pula untuk mengurangi jumlah imigran Muslim di wilayah Eropa. Hal ini tentu saja berkaitan dengan munculnya Islamophobia pasca insiden pengeboman yang terjadi di tahun 2001, terulang kembali pada tahun 2005, dan kemudian mulai muncul secara tidak teratur dan terus menerus di beberapa negara Eropa. Intisari dari The European Act on Immigration and Asylum tersebut adalah untuk mengatur lima prioritas yaitu; imigrasi legal dan integrasi; pengaturan imigrasi ilegal; pengaturan batas wilayah yang lebih efektif; sistem pemberian suaka Eropa; serta migrasi dan pembangunan.[73]Dalam kesepakatan bersama terkait dengan imigrasi ini terdapat dua poin pokok kebijakan yang gencar dipromosikan oleh Uni Eropa yaitu:[74]
Return Directive Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan Uni Eropa yang dinilai sangat kontroversial dan mendapatkan banyak kritik dari berbagai Non- Governmental Organization (NGO) karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kebijakan Return Directive ini merupakan bentuk kebijakan pengembalian langsung imigran ilegal ke negara asalnya seperti yang tercantum dalam Immigration Pact sebagai berikut; “irregular aliens on member states’ territory must leave that territory.” Kebijakan ini sudah ditandatangani sejak tahun 2008, namun baru mulai berlaku pada tahun 2010 dan telah diterapkan di beberapa negara anggota, salah satunya adalah Perancis. Adapun pelaksanaan kebijakan Return Directive yang berlaku di Uni Eropa sendiri memiliki teknis pelaksanaan yang mirip dengan kebijakan Return Directive di Perancis, yang mana dilakukan dengan dua cara yaitu secara sukarela dari imigran itu sendiri atau dengan menggunakan campur tangan pemerintah negara masing-masing.
Blue Card Scheme Skema Kartu Biru merupakan kebijakan yang dimaksudkan untuk mengatur masuknya tenaga kerja di Eropa. Kebijakan ini pada dasarnya mengadopsi kebijakan greencard di Amerika Serikat yang difungsikan untuk menarik masuknya tenaga kerja ahli ke Uni Eropa. Skema Kartu Biru ini kemudian akan memberikan kemudahan bagi pemegangnya untuk memperoleh tempat tinggal serta untuk membawa anggota keluarganya berpindah ke wilayah Eropa. Blue Card Scheme merupakan salah satu cara Uni Eropa untuk memperoleh imigran yang berkompeten sehingga tidak menjadi tanggungan bagi negara penerima. Dengan adanya kebijakan ini, maka komitmen utama dalam The European Pact yaitu menyelaraskan migrasi dan pembangunan dapat dilaksanakan. Blue Card Scheme juga merupakan bukti keberhasilan Perancis untuk membawa kebijakan domestik ke tingkat internasional. Dalam tingkatan kebijakan nasional, Perancis telah menerapkan undang-undang yang membatasi pekerja imigran yang tidak terlatih ataupun terdidik untuk memasuki Eropa dengan adanya pembedaan antara visa dan stay document. Kebijakan ini mengindikasikan bahwa pemerintah Perancis hanya akan memberikan hak tinggal kepada migran yang tidak mengurangi produktivitas rata-rata di Perancis.[75] Blue Card Scheme memungkinkan kebijakan ini diterapkan secara menyeluruh di antara negara- negara anggota Uni Eropa.
Kebijakan Uni Eropa yang demikian tersebut, menunjukkan bagaimana situasi politik dalam negeri di negara anggota dapat mempengaruhi kebijakan terhadap Uni Eropa secara keseluruhan. Didasarkan pada Decision Making Process oleh David Easton, maka sentimen negatif terhadap kaum minoritas muslim yang sudah terdapat di Perancis menjadi salah satu input bagi pembentukan kebijakan pengetatan imigrasi. Pemerintahan Nicholas Sarkozy yang secara intensif mengembangkan kebijakan yang kontra terhadap imigran terutama imigran muslim seperti dengan pembatasan jumlah imigran, serta munculnya tuntutan masyarakat akan situasi yang aman dari gangguan terorisme akhirnya berhasil dibawa ke lingkup kawasan ketika Sarkozy menduduki jabatan tertinggi dalam Uni Eropa. Munculnya kebijakan The European Act on Immigration and Asylum menjadi reaksi terhadap input dari Perancis yang didorong oleh keinginan akan peningkatan human security. Akhirnya, pengetatan kebijakan di tingkat Uni Eropa pun secara tidak langsung berhasil memenuhi tujuan yang ingin dicapai Perancis. Dengan demikian adanya pelanggaran terhadap aturan tersebut tentunya akan dipandang sebagai sebuah aksi kejahatan kriminal transnasional.[76]

D.    Upaya Peningkatan Kontra Terorisme
Sama halnya dengan kemunculan Islamophobia yang meningkat secara signifikan pasca pengeboman gedung World Trade Center pada tahun 2001, kebijakan kontra terorisme pun muncul sejalan dengan adanya propaganda besar-besaran Amerika Serikat akan Global War on Terrorism. Selain menyampaikan kabar duka yang diwakili oleh Javier Solana, Uni Eropa menanggapi insiden berdarah tersebut dengan memberikan reaksi terhadap terorisme sebagai sebuah kejahatan luar biasa sehingga perlu adanya penguatan badan-badan hukum, penegakan hukum dan perundangan, serta penghormatan terhadap HAM sesuai Resolusi PBB 1373. Reaksi tersebut kemudian mendasari organisasi ini untuk mengembangkan platform kerjasama terkait dengan penumpasan terorisme dengan berbagai negara, utamanya dengan Amerika Serikat. Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa Uni Eropa memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi salah satu aktor dalam hal usaha melawan terorisme.[77] Hal ini diimplementasikan pada berbagai kebijakan luar negerinya yang telah terlebih dahulu dikoordinasinakan negara-negara anggotanya.[78]
Peranan utama Uni Eropa dalam agenda kontra terorisme di atas terkait dengan segala bentuk kebijakan melawan terorisme yang dapat berupa tiga cara yakni pencegahan penyebaran teorisme, perlawanan terhadap aksi terorisme, dan penggagalan aksi teorisme yang telah direncanakan. Ketiga cara tersebut ditujukan untuk menjaga ketertiban umum, melindungi masyarakat dari rasa takut, dan mencegah digunakannya senjata kimia dan biologis oleh kelompok teroris. Selain itu, tujuan lain dari diterapkannya ketiga cara tersebut ialah untuk meyakinkan bahwa batas-batas negara Uni Eropa aman dan tidak disusupi oleh kelompok-kelompok terorisme.[79]
Menghadapi penyebaran terorisme, Uni Eropa membangun kerjasama dengan regional ASEAN yang mana kerjasama tersebut mencerminkan makna strategis dan keseimbangan antara kepentingan ekonomi serta keamanan. Dalam kerjasama antarregional ini pula terlihat preferensi Uni Eropa yang lebih memfokuskan kerjasama kontra teror dengan menghormati HAM, good governance, memperkuat badan penegak hukum, dan memandang upaya kontra teror sebagai bagian dari konsep keamanan komprehensif atau comprehensive security.[80] Dengan demikian Uni Eropa berusaha mengkonstruksikan atau menjaga citra dirinya sebagai sebuah entitas yang tetap berlandaskan pada demokrasi dalam setiap pembuatan kebijakannya.[81]
Pendekatan yang dilakukan terhadap kawasan ASEAN ini pada kenyataannya juga dilakukan terhadap kawasan negara Arab Mediterania. Melalui kerjasama di bidang reformasi peradilan, kepolisian, sistem penjara, dan keamanan perbatasan, Uni Eropa berinisiatif untuk melakukan pencegahan terhadap penyebaran paham radikalisme di negara-negara Magribi, yang meliputi Aljazair, Tunisia, dan Maroko.[82]
Kerjasama kontra teror yang dijalankan oleh Uni Eropa dengan kawasan negara Arab merupakan bagian dari European Neighborhood Policy, yang mana lebih bersifat legal konstitusional. Dalam wadah kerjasama ini pula, Uni Eropa memiliki peranan yang besar untuk membantu negara-negara Afrika Utara agar menerapkan Resolusi PBB 1267 (1999) dan 1373 (2001). Secara umum, kedua Resolusi tersebut meminta negara-negara anggota PBB untuk melakukan langkah-langkah demi meningkatkan kemampuan di bidang penegakan hukum dalam melawan terorisme di tingkat nasional, regional, maupun global.[83]
Kontra terorisme di daratan Eropa pada dasarnya merupakan salah satu kebijakan yang sudah cukup lama. Kebijakan pertahanan untuk melawan berbagai aksi teror sudah tumbuh di lingkungan Uni Eropa bahkan jauh sebelum munculnya War on Terrorism pada pemerintahan Geroge W. Bush, Jr. di Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bagaimana Uni Eropa telah lama menyadari dirinya sebagai sebuah target yang potensial bagi berabagai aksi terror.[84] Beberapa negara seperti Jerman, Italia, Spanyol, dan Perancis merupakan beberapa contoh negara anggota Uni Eropa yang telah mengalami berbagai aksi terorisme domestic.[85] Tentunya segala macam pendekatan terhadap usaha kontra terorisme tersebut dirancang dengan mempertimbangkan aspek komunikasi strategis yang ditujukan baik untuk target eksternal maupun domestik.[86]
Spanyol mengalami serangan dari kelompok teror Euskadi Ta Askatasuna (ETA) yang berasal dari Bosque sampai kelompok tersebut akhirnya mengalami kemunduran dan berubah menjadi aksi kekerasan secara sporadis pada tahun 1990-an.[87] Perancis yang memberikan dukungan terhadap pemerintahan Aljazair mendapatkan banyak serangan terorisme domestik utamanya pada tahun 1995 hingga 1996, sementara itu Jerman memperoleh ancaman terorisme akibat dari besarnya komunitas Kurdi dan Turki di negara tersebut.[88] Meskipun negara-negara anggota Uni Eropa mengalami ancaman terorisme yang berbeda-beda akan tetapi kebijakan kontra teror yang dikeluarkan oleh Uni Eropa sudah dibentuk pada tahun 1970-an. Kemudian pada tahun 1980-an, seiring dengan munculnya European Common Market, organisasi regional ini memiliki sebuah wadah yang bernama kelompok Terrorism, Radicalism, Extremisme et Violence Internationale (TREVI) yang dibentuk pada tahun 1976 sebagai forum diskusi dan kerjasama antarkepolisian serta intelijen.[89] Kerangka TREVI ini kemudian dijadikan dasar pembentukan Justice and Home Affairs pada tahun 1993.
Sebelum adanya peristiwa 9/11, Uni Eropa pada dasarnya memiliki keengganan untuk bekerjasama dengan Amerika Serikat terkait dengan upaya kontra terorisme. Hal ini didasarkan pada pandangan Uni Eropa bahwa, ancaman terorisme yang dialami oleh Amerika Serikat merupakan harga yang harus dibayar oleh negara tersebut karena aktivitasnya yang begitu ekstrem di Timur Tengah serta pemberian dukungan secara terbuka kepada Israel.[90] Namun, serangan terorisme yang mampu menghancurkan Gedung World Trade Center di tahun 2001, akhirnya berhasil merubah persepsi Uni Eropa bahwasanya mereka pun rapuh terhadap terorisme dengan modus operandi yang radikal oleh kelompok Islam semacam itu.[91] Persepsi ini kemudian diperkuat dengan serangan terorisme di Madrid pada tahun 2004 yang menewaskan 200 jiwa.[92]
Munculnya aktivitas terorisme yang merupakan bagian dari gerakan Islam radikal, memunculkan sentimen negatif terhadap imigran Muslim yang tinggal di Eropa. Berbagai peristiwa pengeboman yang mengatasnamakan Islam, membuat banyak warga Muslim Eropa memperoleh diskriminasi dan kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Ketakutan warga Eropa memunculkan tuntutan akan peningkatan keamanan, yang kemudian direspon oleh Uni Eropa dengan melakukan pengetatan terhadap kebijakan kontra terorisme.[93]
Perlawanan terhadap terorisme itu sendiri oleh Uni Eropa tidak dilihat sebagai perang, melainkan sebagai tantangan jangka panjang yang membutuhkan penanganan secara komprehensif.[94] Dengan pandangan yang demikian, maka dalam penumpasan terorisme, Uni Eropa cenderung menggunakan berbagai instrumen soft politic dengan menempatkan terorisme sebagai sebuah kejahatan. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai dokumen legislasi Uni Eropa, yaitu European Union Action Plan on Combating Terrorism dan European Union Counterterrorism Strategy yangmana lebih menekankan upaya untuk mengkriminalkan terorisme.[95] Kemajuan dalam bidang kontra terorisme di Uni Eropa ini baru terlihat lebih nyata setelah adanya serangan 9/11 di Washington D.C. pada tahun 2001, yang disusul dengan insiden Madrid tahun 2004. Keengganan untuk bekerjasama dengan Amerika Serikat mengalami perubahan dengan mulai mengikutsertakan pemerintahan George W. Bush, Jr. pada masa, itu ke dalam berbagai pembahasan European Security Strategy (ESS).[96] Meskipun upaya kontra terorisme mulai terlihat lebih nyata, akan tetapi upaya Uni Eropa tersebut masihlah bersifat defensif.
Situasi yang demikian ini dipengaruhi oleh pandangan Uni Eropa, yang memiliki persepsi bahwa terorisme merupakan sebuah problematika internal, sehingga dalam berbagai kebijakan kontra terorisme-nya, organisasi ini lebih menekankan pilar pencegahan.[97] Aktivitas defensif ditujukan untuk mencegah serangan teroris dengan cara mengidentifikasi dan menangkap teroris saat menuju sasaran, mencegah akses untuk menyerang target, dan meminimalkan kerusakan dari serangan, serta berupaya untuk menangkap pelaku tindak terorisme tersebut untuk kemudian dihadirkan ke hadapan pengadilan. Uni Eropa juga lebih menekankan aktivitas defensif yang berpusat pada sipil serta melibatkan kepolisian dan departemen terkait. Council of European Union menetapkan empat pilar dalam aktivitas counter-terrorism, yaitu:
1.        Pencegahan (Prevention) Berdasarkan dokumen formal EU Counter-Terrorism Strategy, prevention merupakan tindak pencegahan agar orang tidak mengambil jalan terorisme dengan menangani berbagai faktor atau akar penyebab yang memicu munculnya radikalisme. Dengan demikian, pilar prevent ini ditujukan untuk melawan radikalisasi dan perekrutan kelompok teror seperti Al-Qaeda ataupun Taliban. Selanjutnya prioritas utama dalam pilar ini dijabarkan antara lain sebagai berikut:74 
1)     Mengembangkan pendekatan bersama untuk mengetahui dan menangani masalah perilaku, terutama penyalahgunaan internet;
2)     Menangani masalah penyebaran kebencian dan perekrutan, terutama di tempat-tempat penting, misalnya penjara, tempat pelatihan keagamaan, atau tempat ibadah dengan menerapkan UU yang membuat perilaku ini sebagai pelanggaran;
3)     Mengembangkan strategi media dan komunikasi untuk menjelaskan kebijakan Uni Eropa dengan lebih baik;
4)     Memajukan pemerintahan yang baik, demokrasi, pendidikan, dan kemakmuran ekonomi melalui program bantuan Komunitas dan Negara nggota;
5)     Mengembangkan dialog antarbudaya di dalam dan di luar Uni Eropa;
6)     Mengembangkan kosak kata yang non-emosional untuk membahas masalah tersebut;
7)  Terus melakukan riset, berbagi analisis dan pengalaman dalam upaya untuk memajukan pemahaman mengenai masalah terorisme dan kemudian mengembangkan respon kebijakan.
Prevention atau pencegahan merupakan salah satu strategi utama Uni Eropa dalam usahanya untuk meningkatkan upaya kontraterorisme. Berbagai macam bentuk pencegahan berkembangnya bibit-bibit terorisme dan usaha untuk terus mencari solusi terbaik dalam memerangi terorisme juga dilakukan melalui pendekatan ilmiah dan akademis. Bentuk nyata dari usaha kontraterorisme yang dilakukan oleh Uni Eropa melalui pendekatan ilmiah dan akademik tersebut ialah sering diselenggarakannya konferensi atau pertemuan yang membahas mengenai pencegahan terorisme maupun mencari solusi terbaik dalam melawan terorisme global. Berbagai macam konferensi dan pertemuan tersebut dapat berupa acara internal Uni Eropa maupun acara bersama antara Uni Eropa dengan pihak eksternal lainnya. Adapun contoh dari konferensi dan pertemuan tersebut antara lain: The Hague Conference Center for International Counter Terrorism yang diselenggarakan di Den Hag, Belanda,[98] International Conference on Engaging Partners  for  Capacity-Building:  United  Nations‟  Collaboration  with  Counter- Terrorism Centres yang merupakan kolaborasi antara Uni Eropa dan PBB diselenggarakan di Brussel, Belgia,[99] ASEM Counter-Terrorism yang merupakan pertemuan besar antara Uni Eropa dan negara-negara Asia diselenggarakan di Brussel,[100] The EU Security, Migration and Borders Conference yang diselenggarakan di Cardiff, Inggris,[101] The Global Counterterrorism Forum merupakan forum kajian bersama Uni Eropa dan 29 negara lainnya diselenggarakan secara bergantian oleh Belanda dan Maroko, serta masih banyak lagi. Berbagai macam konferensi dan pertemuan tadi diselenggarakan setiap tahunnya bahkan dapat diselenggarakan secara mendadak apabila ada sesuatu yang mendesak.
2.        Perlindungan (Protection)
Sementara pilar kedua yaitu protection dimaksudkan sebagai upaya untuk melindungi warga negara dan infrastruktur, serta mengurangi kerapuhan Uni Eropa terhadap serangan dengan memperbaiki keamanan di perbatasan, transportasi, dan infrastruktur vital. Salah satu bentuk realisasi dari pilar ini adalah keberadaan European Borders Agency atau Frontex yang berperan dalam menyediakan penilaian resiko sebagai upaya untuk memperketat pengendalian dan pengawasan perbatasan eksternal Uni Eropa. Uni Eropa juga memiliki Visa Information System dan Schengen Information System yang akan memastikan pejabat berwenang dapat berbagi dan mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan serta menghentikan individu yang ingin masuk ke wilayah Schengen. Beberapa prioritas utama dalam pilar protect ini adalah sebagai berikut:[102]
1) Melakukan perbaikan keamanan dalam pembuatan paspor Uni Eropa dengan memperkenalkan biometrik;
2)    Mengembangkan   analisis   resiko     melalui Frontex terhadap perbatasan eksternal Uni Eropa;
3)      Menerapkan standar bersama yang disepakati di bidang penerbangan, sipil, pelabuhan, dan keamanan maritim
4)        Menyepakati program Uni Eropa di bidang perlindungan infrastruktur;
5)         Memanfaatkan aktivitas riset di Uni Eropa.
 3.        Pengejaran (Pursuit)
                Pilar ketiga dalam kebijakan kontra terorisme yang digalakkan oleh Uni Eropa yaitu pursuit merupakan upaya untuk mengejar dan menyelidiki teroris di wilayah Uni Eropa dan secara global; menghambat perencanaan, perjalanan, dan komunikasi; mengganggu jaringan pendukung mereka; menghentikan pendanaan dan akses ke bahan peledak, serta membawa pelaku tindak terorisme ke muka hukum. Salah satu langkah penting dalam realisasi pilar ini adalah  pemberlakukan European Arrest Warrant yang menjadi instrumen penting dalam mengejar dan menyelidiki teroris. Beberapa prioritas utama dalam pilar ini dijabarkan antara lain sebagai berikut:[103] Memperkuat kapabilitas nasional untuk melawan terorisme;
1) Memanfaatkan sepenuhnya Europol dan Eurojust untuk memudahkan kerjasama antarbadan kepolisian dan yudisial serta terus mengintegrasikan ancaman dari Joint Situation Center ke dalam pembuatan kebijakan kontrateror di tingkat nasional;
2)  Mengembangkan pengakuan putusan yudisal lebih jauh, termasuk mengadopsi European Evidence Warrant;
3)    Memastikan penerapan dan evaluasi sepenuhnya perundangan yang ada serta melakukan ratifikasi berbagai perjanjian dan konvensi internasional yang berhubungan dengan kontraterorisme;
4)     Mengembangkan ketersediaan informasi penegakan hukum;
5)     Mencegah akses teroris terhadap senjata dan bahan peledak, dari komponen bahan peledak rakitan hingga peledak dari kimia, biologi, radiologi, dan nuklir.
6)     Mencegah pendanaan teror, termasuk menerapkan perundang-undangan yang disepakati untuk mencegah penyelewengan dana di sektor nirlaba dan mengkaji kinerja Uni Eropa secara keseluruhan di bidang ini;
7)    Memberikan bantuan teknis untuk memperkuat kapabilitas negara-negara di luar Uni Eropa.
4.         Respon (Response)
                    Sementara itu, yang dimaksud dengan respon dalam hal ini adalah mempersiapkan Uni Eropa dalam semangat solidaritas untuk mengelola dan memimalisir konsekuensi serangan teroris dengan meningkatkan kapabilitas untuk menghadapi kondisi pascaserangan, koordinasi respon, dan kebutuhan korban. Untuk merespon keadaan darurat yang disebabkan oleh serangan terorisme, Uni Eropa lebih mengandalkan peranan negara-negara anggota di wilayah bersangkutan. Prioritas utama dalam pilar respon ini antara lain sebagai berikut:
1)           Menyepakati European Union Crisis Coordination Agreements dan mendukung prosedur operasionalnya;
2)           Merevisi peraturan perundangan tentang Community Mechanism untuk perlindungan warga sipil;
3)           Mengembangkan penilaian resiko sebagai instrumen untuk meningkatkan kapabilitas dalam merespon serangan;
4)           Meningkatkan koordinasi dengan organisasi internasional dalam mengelola respon serangan teroris dan bencana lainnya;
5)           Berbagi latihan terbaik dan mengembangkan pendekatan untuk memberikan bantuan kepada korban terorisme beserta keluarga mereka.

Komitmen Uni Eropa untuk memerangi terorisme dapat dilihat sebagai akibat munculnya Islamophobia yang meningkat secara signifikan pascatragedi pengeboman World Trade Center. Tindakan terorisme yang mengatasnamakan Islam membuat masyarakat Muslim menjadi target stereotype negatif. Masyarakat Eropa mengalami penurunan tingkat human security serta adanya degradasi terhadap perdamaian sebagai akibat munculnya pandangan buruk yang memicu tindak kekerasan terhadap Muslim, terutama di Perancis dengan tingkat populasi Muslim terbesar di Eropa. Kebijakan kontraterorisme yang dijalankan oleh Uni Eropa merupakan salah satu respon terhadap Islamophobia yang sekaligus ditujukan untuk mengembalikan situasi damai di kawasan tersebut. Hingga saat ini, kontraterorisme masih menjadi agenda politik dan isu yang penting di Eropa. Terlebih lagi setelah kemunculan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Tumbuhnya ISIS sebagai organisasi teroris radikal yang menguasai sebagaian wilayah Irak dan Suriah, bahkan telah membuat kebijakan defensif Uni Eropa berubah menjadi ofensif. Hal ini dapat dilihat dengan keikutsertaan sebagian anggota Uni Eropa, yang antara lain adalah; Belgia, Denmark, Perancis, dan Belanda, dalam sebuah serangan udara gabungan bersama dengan NATO di Irak.[104] Meskipun demikian Uni Eropa pun juga tidak meninggalkan pendekatan secara defensif dalam isu yang terjadi di Timur Tengah ini. Uni Eropa meningkatkan kerjasama dengan Amerika Serikat untuk aktif melakukan dialog dalam level internasional yang bertujuan untuk mendorong pemerintahan Assad di Suriah agar bersedia ke meja perundingan.[105] Dalam hal ini, Uni Eropa pun ikut memberikan sanksi embargo kepada pemerintahan Bashar al-Assad pada tahun 2012.
Insiden terakhir di tahun 2015, yaitu serangan secara sporadis di Paris telah meningkatkan kekhawatiran Uni Eropa terkait dengan serangan terorisme. Sebagai akibat  dari serangan yang diyakini berasal dari kelompok ISIS, Islamophobia di Perancis mengalami peningkatan yang sangat signifikan sehingga mendorong adanya kebijakan pengetatan imigrasi terutama bagi imigran yang berasal dari Suriah serta penguatan kebijakan kontra terorisme. Secara umum, berbagai respon yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap munculnya Islamophobia yang mulai berkembang secara signifikan merupakan seperangkat kebijakan yang saling berhubungan.
Islamophobia telah membuat tingkat human security dan perdamaian di Eropa terutama di wilayah Perancis mengalami penurunan. Sebagai komitmen Uni Eropa untuk melindungi warga negaranya, dengan menciptakan keamanan, organisasi ini mengeluarkan seperangkat kebijakan untuk mengurangi tingkat stereotype terhadap Muslim dengan pengetatan kebijakan imigran terutama yang berasal dari negara-negara Islam. Secara tidak langsung pengetatan kebijakan imigrasi tersebut juga bagian dari upaya kontra terorisme, yaitu pada pilar prevent. Mengingat bagaimana sumber-sumber terorisme utamanya berasal dari negara Islam, pergerakan imigran Islam yang dipersempit melalui kebijakan imigrasi yang lebih ketat difungsikan untuk mengurangi potensi sumber-sumber terorisme itu sendiri. Sehingga kemungkinan akan terjadi serangan terorisme di lingkup domestik dapat dikurangi.
Memasuki tahun 2012, kebijakan kontra terorisme yang digalakkan oleh Uni Eropa ini pun juga mulai mengalami pergeseran. Kebijakan awal yang bertumpu pada pilar defensif telah meningkat menjadi ofensif dengan keterlibatan Uni Eropa dalam serangan udara untuk memberantas terorisme dari sumbernya. Kebijakan ini sejalan dengan politik luar negeri yang diusung oleh Uni Eropa terhadap negara-negara Arab Mediterania. Uni Eropa memandang kawasan Timur Tengah sebagai wilayah yang tidak stabil, sehingga politik luar negeri terhadap kawasan ini seringkali ditujukan untuk menciptakan stabilitas dan peace building. Melalui tujuan yang demikian ini diharapkan radikalisme dapat dikurangi sehingga, akar terorisme itu sendiri sedikit demi sedikit dapat diberantas.
Pada akhirnya berbagai kebijakan yang digalakkan oleh Uni Eropa ini sendiri membawa dampak bagi komunitas Muslim yang tinggal di Eropa, utamanya Muslim di Perancis yang memegang proporsi terbesar komunitas Muslim di Eropa. Kebijakan yang sifatnya internasional dan meluas seperti kontra terorisme dan politik luar negeri Uni Eropa memang tidak begitu memberikan dampak secara langsung, akan tetapi kebijakan pengetatan imigrasi dengan mengeluarkan Skema Kartu Biru dan pengembalian secara langsung imigran yang tidak memiliki dokumen lengkap memberikan dampak cukup signifikan bagi komunitas Muslim. Pengaruh ini dapat dilihat dari berbagai segi, seperti sosial, politik, dan bahkan hukum.












BAB III
PENUTUP

A.       KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab yang terdahulu, dapat disimpulkan bahwa, Perang Balkan merupakan perang antara negara-negara Balkan dengan Kesultanan Turki Utsmani di wilayah Balkan yang berlangsung dari tahun 1912 hingga tahun 1913. Pada dasarnya, penyebab utama terjadinya Perang Balkan ini ialah karena ambisi dan dendam pribadi antara masing-masing penguasa negeri Balkan dengan Kesultanan Turki Utsmani. Didorong pula oleh kemunduran Kesultanan Utsmani, dominasi Rusia, perang Turki-Itali (1911-1912), ide nasionalisme, propaganda, terbentuknya aliansi Balkan serta gagalnya diplomasi. Secara  kronologis,                     Perang Balkan pertama dimulai pada tanggal 8 oktober 1912 M, terhitung dua lawan satu, Turki Utsmani dengan cepat dikalahkan oleh keempat anggota Liga Balkan. Hanya tiga benteng pertahanan kota yang mampu dipertahankan cukup lama yakni Yanya (Ioannina), Uskudar (Shkoder), dan Edirne. Namun, kesemuanya ini jatuh pada April 1913 M. Selain Istanbul, pada akhir Perang Balkan I seluruh wilayah Turki Utsmani di Eropa hilang yang ditandai dengan perjanjian London pada 30 Mei 1913. Selanjutnya, pada 1 Juni 1913 para negara anggota Liga Balkan bersiteru antara mereka sendiri untuk memperebutkan wilayah taklukkan yang berhasil direbut dari Kesultanan Turki Utsmani sehingga meletuslah Perang Balkan II. Turki Utsmani mengambil keuntungan dari konflik para bangsa Balkan untuk mengambil kembali Edirne dan Thrace timur (saat ini Turki Eropa).

Implikasi yang ditimbulkan dari Perang Balkan terhadap kehidupan Muslim di Balkan atau kini lebih sering disebut Eropa Tenggara bukan hanya menimbulkan implikasi negatif, akan tetapi juga positif. Secara politis, terdapat tiga dampak yang timbul yakni: a. Perselisihan batas wilayah, b. Perebutan kekuasaan antar anggota Liga Balkan, c. Hancurnya kesatuan wilayah. Selain itu, dari segi sosial masyarakat Muslim Balkan terdapat tiga implikasi yang muncul yakni: a. Hancurnya nilai-nilai dan norma, b. Diskriminasi kelompok, dan c. Bertambahnya solidaritas internal, yang merupakan salah satu implikasi positif yang timbul akibat Perang Balkan. Secara umum, muslim Balkan menjadi minoritas di kalangan mayoritas Kristen Balkan.
Akibat dari kekejaman perang, banyak populasi muslim yang melarikan diri ke Anatolia sehingga populasi Muslim di Balkan pada waktu itu berkurang secara signifikan. Pembantaian muslim, perusakan kampung muslim, dan kekejaman lainnya telah berlangsung selama dan setelah Perang Balkan. Populasi muslim yang mampu bertahan hidup di Balkan harus menyesuaikan diri dengan pemerintahan baru yang telah dipegang oleh kaum Kristen.

B.     SARAN

Makalah ini dibuat dalam ruang lingkup Islam Modern di daerah Balkan, dengan maksud mengungkap aspek yang luput dari perhatian para penulis sejarah, baik dari kalangan Islam maupun yang lainnya. Di antaranya ialah implikasi yang ditimbulkan dari Perang Balkan terhadap kehidupan sosial-politik Islam di Balkan atau yang kini lebih sering disebut Eropa Tenggara. Meskipun begitu, aspek-aspek tertentu dari Perang Balkan masih belum tersentuh. Misalnya, dampak perekonomian yang ditimbulkan dari Perang Balkan terhadap negara-negara yang terlibat seperti Bulgaria, Serbia, Montenegro, Yunani, Albania, Rumania, bahkan bisa lebih luas lagi ke wilayah Turki.




Selain itu dapat pula dideskripsikan bagaimana pandangan umat  Islam tentang tragedi pembantaian Muslim pasca Perang Balkan. Begitulah aspek-aspek yang menurut penulis dapat dikembangkan dari penelitian ini. Terlepas dari kekurangannya, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Ali,A. Mukti. Islam dan Sekularisme di Turki Modern. Jakarta: Djambatan, 1994.

Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010.

A.                 Hall, Richard. The Balkan Wars 1912-1913: Prelude to the First World War. London: Routledge, 2000.

Djaja,Wahjudi. Sejarah Eropa: Dari Eropa Kuno Hingga Eropa Modern.
Yogyakarta: Ombak, 2015.

Furat, Ayse Zisan dan Hamit Er. Balkans and Islam: Encounter, Transformation, Discontinuity, Continuity. t.tp: Cambridge Scholar Publishing, 2012.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press, 1985.

Grolier Internasional. Negara dan Bangsa: Jilid 7. Jakarta: PT. Widyadara, 2003.

H.                  Lauer, Robert.Perspektif Tentang Perubahan Sosial, terj. Alimandan. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Hamid, Abd Rahman dan Muhammad Saleh Madjid.Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogyakarta: Ombak, 2011.

Husaini, Adian.Konflik Yahudi-Kristen-Islam: Tinjauan Historis. Jakarta: Gema Insani, 2004.

I.                     Cleveland, William. Islam Menghadapi Barat. terj. Ahmad Niamullah Muiz. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.

Iqbal, Akhmad. Perang-Perang Paling Berpengaruh di Dunia. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2010.

J.                    Zurcher, Erick. Sejarah Modern Turki. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Bagaskara, 2011.

Kartodirdjo,Sartono.Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia, 1993.

Kettani, M. Ali. Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2005.

Kohn, Hans. Dasar Sedjarah Rusia, Terj. Hasjim Djalal. Jakarta: Hratara, 1966.

Kolev, Valery dan Christina Koulori. The Balkan Wars. Thessaloniki: CDRSEE, 2009.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013.

Lenczowski, George.Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj. Asgar Bixby. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1993.

Lewis, Bernard. Muslim Menemukan Eropa. terj. Ahmad Niamullah Muiz.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1988.

M. Lapidus,Ira. Sejarah Sosial Umat Islam. terj. Ghufron A. Mas’ad. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana, 2011.

P. Parker, Sybil. World Geographical Encyclopedia. New York: McGraw- Hill, Inc., 1995.

Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007. Rogan, Eugene. The Fall of The Khilafah, terj. Fahmi Yamami. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2016.

Sahrodi, Jamali. Metodologi Studi Islam: Menelusuri Jejak Historis Kajian Islam ala Sarjana Orientalis. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana, 2013.

Sjamsuddin, Helius. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2012.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam. Jakarta: T.pn., 1999.

------------------------. Pasang Naik Kulit Berwarna (The Rising Tide of Color). Jakarta: T.pn., 1966.

Sugiyono.Metode                            Penelitian       Kuantitatif       Kualitatif       dan       R&D. Bandung:Alfabeta, 2009.

Suharso dan Ana Retnoningsih. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Lux.
Semarang: Widya Karya, 2005.

Thohir, Ajid. Studi Kawasan Dunia Islam (Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik). Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Tim Kingfisher. Ensiklopedia Geografi Jilid 1. terj. Dewi Susiloningtyas dkk.
Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2007.
--------------------. Ensiklopedia Geografi Jilid 3, terj. Dewi Susiloningtyas dkk. Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2007.
Tim Kingfisher. Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Jilid 2. Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2009.

Werf, J. Van Der dan M. Soendoro. Sedjarah Umum. Jakarta: Noordhoff- Kolff N. V., 1953.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Arif, Muhammad Qobidl „Ainul. Politik Islamophobia Eropa: Menguak Eksistensi Sentimen Anti-Islam Dalam Isu Keanggotaan Turki. Yogyakarta: Deepublish. 2014.
Chalk, Peter. West European and Counter-terrorism: The Evolving Dynamic. Basingstoke: Macmillan. 1996.
Council of European Union. The European Union Counter Terrorisme Strategy. Brussel.
2005.
Fenwick, H. Civil Liberties & Human Rights. Oxon: Cavendlish Publishing. 2013.
Ishay, Michelin R. The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization Era. Barkeley and Los Ageles: University of California Press. 2004.
Kaizer, N & Van Sliedregt. The European Arrest Warrant in practice. The Hague: TMC Asser Press. 2014.
Norman, Daniel. Islam and West, the Making of an Image. Scotland: Edinburgh University Press. Vide. 1980.
O‟Neil, M. The Evolving EU Counter-terrorism Legal Framework. Oxon: Routledge. 2011. Peers, S. EU Justice and Home Affairs Law. Oxford: Oxord University Publishing. 2011.
Rees, Wyn. Transatlantic Counter-terrorism Cooperation:The New Imperative. Oxon: Routledge. 2006.
Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2008.
Vries, C. de. EU Counter-Terrorism Coordinator, Terrorism, Islam and Democracy.
Basingstoke: Macmillan. 2011.
Watanabe, Lisa. EU-Maghreb Counter-terrorism Cooperation: The Need for More Comprehensive Approach. Jenewa: GCSP. 2011.

Jurnal :
Bieber, Florian. “Muslim Identity in the Balkans Before the Establishment of Nation States”. Nationalities Papers, Vol. 28 No. 1, 2000. Diakses dari www.policy.hu pada 15 Februari 2017

Bougarel, Xavier. “The Role of Balkan Muslims in Building a Eropean Islam”. EPC Issue Paper No. 43, 23 November 2005. Diakses dari www.epc.eu pada 10 Januari 2017

Bregu, Edit. “The Causes of The Balkan Wars 1912-1913 and their Impact on the International Relations on the Eve of the First World War”, Mediterranean Journal of Social Sciences, MCSER Publishing Rome- Italy, Vol. 4 No. 9 (Oktober 2013), dari www.mcser.orgdiakses pada 20 Oktober 2016.

Celik, Nihat. “The Black Sea and The Balkans Under Ottoman Rule”. Turkey: Sakarya University, 2010. Diakses dari www.karam.org.tr pada 20 Oktober 2016.

Fehari Ramadani, dkk.“TheBalkan Wars and their Consequences on the Balkans”, Vol. 4. Macedonia: State University of Tetova, 2013.Paper Online diakses dari www.iiste.org pada 15 Januari 2017.

Gangloff, Sylvie. “The Weight of Islam in the Turkish Foreign Policy in the Balkans”, (Turkish Review of Balkan Studies, 2001) diakses dari https://hal.archives-ouvertes.fr/hal-00583339 pada 16 Februari 2017.

Iseni, Bashkim. “National Identity, Islam and Politics in the Balkan” (Universite            de            Lausanne,                                             2009),                      h.             4       diakses              dari http://downloads.akademie-rs.de/interneligioeser- dialog/091120_iseni_balkan.pdf pada 9 November 2016.


Mat Enh, Azlizan. “Perang Balkan I 1912-1913: Analisis dari Rekod-Rekod British”. Universiti Malaya. volume 21, no. 2 (Desember 2013) dari e- journal.um.edu.my/public/article-view.php?id=7398 diakses pada 15 Oktober 2016.

Venetis, Evangelos. “Islam Emerging in The Balkans”. Working Paper No. 68, Athens, Greece: ELIAMEP (Oktober 2015) diakses dari www.eliamep.gr pada 18 oktober 2016.

Boister, N. “Illegal Migration on Transnational Criminal Law”. European Journal of International Law, Volume 14. 2011.

Brown, L. Carl. Middle East; Crescent of Crisis: U.S.-European Strategy for the Greater Middle East. Council on Foreign Relations Journal, Volume 85. 2012.

Favell, Adrian dan Randal Hansen. “Markets Againts Politics: Migration, EU Enlargement and the Idea of Europe.” Journal of Ethnic and Migration Studies. Volume 28.
Nomor 4. 2002.

Geisser, Vincent. “Intellectual and Ideological Debates on Islamophobia: A French Specifity in Europe,” Institute of Researches and Studies on the Arabic and Muslim World.

                        . “Islamohobia: A French Specifity in Europe?” Human Architecture: Journal of the Sociology of Self Knowledge. Hlm. 39-46. 2010.
Janik, Wojciech J. “The threat of Islamic terrorism in Europe.” Elbalg World Scientific Journal, 2016.

Mark, Jon. “High Hopes and Low Motives: The New Euro-Mediterranean Partnership Initiative.” Mediterranean Politics . Hlm. 1-24. 1996.

Perlmutter, William Rogers. “EUROPEAN UNION FOREIGN POLICY: QUIETLY COLLAPSING DEMOCRACY.” Chapel Hill Journal of Political Science, Volume III. 2014.

Rahmawati, Roosi. “Undang-Undang Laicite.” Jurnal Kajian Wilayah Eropa. Volume V. Nomor 1. 2009.

Umbach, Frank. “EU-ASEAN Political and Security Dialogue at the Begining of 21 Century: Prospect of Interregional Cooperation on International Terrorism.” Panorama: Insight into Southeast Asian and European Affairs. 2004.

Wade, Marianne L. “The European union as a counter–terrorism actor: right path, wrong direction?”. Springer Science and Business Media Journal. Volume X. 2013.

Yu. Darya. “Strategic Communication of the EU: The CounterTerrorist Aspect.” Sholokov Moscow Journal of Humanitarian Affairs. Volume VI. 2014.


Skripsi dan Disertasi:

Imam Muhtadi, Skripsi“Keterlibatan Turki Utsmani dalam Perang Dunia I (1914-1918), diakses dari eprints.uny.ac.id pada 20 Februari 2017

Taufiq, Donny. Skripsi “Kemerdekaan Negara Kosovo”. Jakarta: Universitas Indonesia, 2009. Diakses dari www.digilib.ui.ac.id pada 9 November 2016

Stefan Sotiris Papaioannou, Disertasi “Balkan Wars Between The Lines: Violence and Civilians in Macedonia, 1912-1918” , Dissertation submitted to the Faculty of the Graduate School of the University of Maryland, 2012.

Internet:
en.m.wikipedia.org

Justin McCarthy, “1912-1913 Balkan Wars Death and Forced Exile of Ottoman Muslims: An Annotated Map”, diakses dari www.tc- america.org pada 25 Maret 2017




Stacy  Hercules,  “The Balkans”, diakses                          dari    cmes.arizona.edu    pada 15 Januari 2017

Steven W. Sowards,“Twenty-Five Lectures on Modern Balkan History”, diakses dari http://staff.lib.msu.edu/sowards/balkan/lecture 1.html pada 17 Januari 2017

M. Tahir Kasnawi dan Sulaiman Asang. “Konsep dan Pendekatan Perubahan Sosial”.Diaksesdari http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wpcontent/uploads/pdfmk/IPEM4439- M1.pdfpada 3 November 2016













LAMPIRAN-LAMPIRAN



Lampiran 1. Peta Wilayah Turki Utsmani di Balkan


Sumber Gambar: Erick J. Zurcher, Sejarah Modern Turki, h. 436





Lampiran 2. Balkan pada tahun 1912

Sumber: Richard C. Hall, The Balkan Wars 1912-1913: Prelude to the First World War,London: Routledge, 2000.

Lampiran 3. Balkan pada masa Modern

Sumber: Atlas Indonesia dan Dunia,( Jakarta: Agung Media Mulia, 2010), h. 49


Lampiran 4. Poscard yang digunakan pada masa Perang Balkan (1912-1913)









Sumber : Aleksandar Borici, Serbia and Montenegro in Balkan Wars 1912-1913,
Belgrade, pdf.



[1] George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj. Asgar Bixby, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1993), h. 1
[2]  Wahjudi Djaja, Sejarah Eropa: Dari Eropa Kuno Hingga Eropa Modern, (Yogyakarta: Ombak, 2015), h. 110
[3]  George Lencwski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, h. 9
[4]  M. Abdul Karim,Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam(Yogyakarta: Bagaskara, 2011), 343

[5]  Azlizan  Mat  Enh,  “Perang  Balkan  I  1912-1913:  Analisis  dari  Rekod-Rekod  British”,  Univ. Malaya, bolume 21, no. 2 (Desember 2013), Hlm. 122 daer e-journal.um.edu.my/public/article-view.php?id=7389 diakses pada 15 Oktober 2016
[6]  Edward Grey dilahirkan pada 25 April 1826 di London, Beliau merupakan negarawan Inggris yang menjabat jabatan paling lama sebagai secretariat luar Inggris selama 11 tahun. Grey memulai karirnya sebagai secretariat luar negeri Inggris pada tahun 1905 di bawah perdana menteri Sir Henry Campbell Banneman. Lihat Azlizan Mat Enh, “Perang Balkan I 1912-1913: Analisis-Rekod British”, Hlm. 141.
[7]  Edit Bregu, “The Causes of The Balkan Wars 1912-1913 and their Impact on the International Relations on the Eve of the First World War”, Mediterranean Journal of Social Sciences, MCSER Publishing Rome-Italy, Vol. 4 No. 9 (Oktober 2013), hal. 115
[8] Grolier Internasional, Negara dan Bangsa: Jilid 7 (Jakarta: PT. Widyadara, 2003),h. 208
[9]  Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam: Menelusuri Jejak Historis Kajian Islam ala Sarjana Orientalis (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 40
[10]  Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Lux, (Semarang: Widya Karya, 2005), h. 178
[11] Steven W. Sowards,Twenty-Five Lectures on Modern Balkan History, diakses dari http://staff.lib.msu.edu/sowards/balkan/lecture 1.html pada 17 Januari 2017
[12] Eropa adalah benua yang membentang di Semenanjung Eurasia bagian barat.Luasnya
sekitar 10.000.000 kilometer persegi atau seperlima belas luas daratan bumi. Secara geografis, benua ini dibatasi lautan Artik di utara, Laut Tengah, Laut Hitam, dan Pegunungan Ural dan Laut Kaspia di timur dan lautan Atlantik di barat. Lihat Soraya Rasyid, Sejarah Islam Abad Modern, (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 219
[13] Johan August Zeune (1778-1853) merupakan seorang Professor geografi di Berlin. Salah satu karyanya ialah “Gea. Attempt at a scientific geography” di tahun 1808, lihat en.m.wikipedia.org/wiki/august_zeune.
[14] Nihat Celik, The Black Sea and The Balkans Under Ottoman Rule, (Turkey: Sakarya University, 2010), h. 3
[15] Stacy Hercules, The Balkans,h. 12diakses dari cmes.arizona.edupada 15 Januari 2017
[16] Tim Kingfisher, Ensiklopedia Geografi Jilid 3, terj. Dewi Susiloningtyas dkk. (Jakarta:  PT. Lentera Abadi, 2007), h. 208
[17] Ibid
[18] Stacy Hercules, The Balkans,h. 20
[19] Sylvie Gangloff, “The Weight of Islam in the Turkish Foreign Policy in the Balkans”, (Turkish Review of Balkan Studies, 2001), h. 1 diakses dari https://hal.archives-ouvertes.fr/hal- 00583339pada 16 Februari 2017.

[20] Bernard Lewis, Muslim Menemukan Eropa, terj. Ahmad Niamullah Muiz, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1988), h. 4
[21] Grolier Internasional, Negara dan Bangsa: Jilid 7(Jakarta: PT Widyadara, 2003), h. 41
[22] Tim Kingfisher, Ensiklopedia geografi jilid 3, h. 213
[23] Steven W. Sowards,Twenty-Five Lectures on Modern Balkan History, diakses dari http://staff.lib.msu.edu/sowards/balkan/lecture 1.html pada 17 Januari 2017

[24] Tim Kingfisher, Ensiklopedia Geografi Jilid 3,h. 212

[25] Ibid
[26] Pada abad ke-9 pengikut-pengikut dari dua penyebar agama Kristen, kakak beradik Cyril dan Methodius, yang dkenal sebagai Rasul orang Slavia, mereka datang ke Balkan membawa serta abjad, bahasa tulisan dan kesusastraan yang kemudian disebut abjad Cyrillic, abjad ini digunakan dalam bahasa Rusia, Serbia, Macedonia, dan Bulgaria. Lihat Grolier Internasional, Negara dan Bangsa: Jilid 7, h. 49
[27] Florian Bieber, Muslim Identity in the Balkans Before the Establishment of Nation States, (Nationalities Papers, Vol. 28 No. 1, 2000), h. 19
[28]  Grolier Internasional, Negara dan Bangsa: Jilid 7(Jakarta: PT Widyadara, 2003), h. 49

[29] Tim Kingfisher, Ensiklopedia Geografi Jilid 3,h. 255
[30] Ibid.,h. 216
[31] Steven W. Sowards,Twenty-Five Lectures on Modern Balkan History, diakses dari http://staff.lib.msu.edu/sowards/balkan/lecture 1.html pada 17 Januari 2017
[32] Sybil P. Parker, World Geographical Encyclopedia (New York: McGraw-Hill, Inc., 1995),
h. 252
[33] Suku Slav Selatan merupakan Bangsa Slavia yang pindah keluar dari tempat tinggal aslinya di pegunungan Karpatia (Rumania) dan memasuki wilayah yang pada masa modern disebut Yugoslavia. Lihat Negara Bangsa, h. 38

[34]  Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Hlm. 110. 2008.
[35]  Muhammad Qobidl „Ainul Arif. Politik Islamophobia Eropa: Menguak Eksistensi Sentimen Anti-Islam Dalam Isu Keanggotaan Turki. Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 1. 2014.

[36] Daniel Norman. Islam and West, the Making of an Image. Scotland: Edinburgh University Press. Vide. 1980. 4 Okezone. 20 April, 2010. “Belgia Larang Penggunaan Cadar.” http://international.okezone.com/read/2010/04/01/18/318365/belgia-larang-penggunaan-cadar, diakses 17 Juni
[37]  „Ainul Arif. Op. Cit. Hlm. 2.
[38]  Chris Allen dan Jorgen S. Nielsen. “Summary Report on Islamophobia in the EU after 11 September 2001.” http://fra.europe.eu/sites/default/files/fra_uploads/199-Synthesis-report_en.pdf, diakses 14 Juni 2015 pukul 8:21 WIB, Surakarta.

[39]  Stephen Castle. T.t. “Islamophobia Takes a Grip Across Europe”. http://www.islamophobia.org/readarticle.php?article_id=76, diakses 14 Juni 2015 pukul 13:11 WIB, Surakarta.
[40]  Vincent Geisser. Islamohobia: A French Specifity in Europe?. Human Architecture: Journal of the Sociology of Self Knowledge. Hlm. 39-46. 2010.
[41]  Geisser. Op. Cit.
[42] Ibid.
[43]  „Ainul Arif. Op. Cit. Hlm. 4.

[44] Michelin R. Ishay. The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization Era. Barkeley and Los Ageles: University of California Press. Hlm. 67. 2004.
[45] Ibid.
[46] Michelin R. Ishay, loc. cit.
[47] EUMC. “Muslim in the European Union: Discrimination and Islamophobia.” http://fra.europa.eu/sites/default/files/fra_uploads/156-Manifestations_EN.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul.  11:07 WIB, Surakarta.
[48] Ibid
[49] Ibid
[50] Ibid
[51] Ibid
[52]  Jocelyne Cesari. “Securitization and Religious Divides in Europe, Muslim in Western Europe After 9/11: Why the Term Islamophobia is more Predicament than an Explanation?. http://www.euro-islam.info/wp-
content/uploads/pdfs/securitization_and_religious_divides_in_europe.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul 11:09 WIB, Surakarta.
[53] Ibid.
[54] Ibid.
[55] William Rogers Perlmutter. EUROPEAN UNION FOREIGN POLICY: QUIETLY COLLAPSING DEMOCRACY. diterbitkan dalam Chapel Hill Journal of Political Science. Volume III. 2014. Hlm. 27.

[56] Elisabeth Johansson-Nogues. “The Decline of the EU’s Magnetic Attraction? The European Union in the Eyes of Neighboring Arab Countries and Russia, European Foreign Policy Unit Working Paper No 2011/1. http://www.lse.ac.uk/internationalRelations/centresandunits/EFPU/EFPUpdfs/EFPUworkinpaper2011-1.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul 11:13 WIB, Surakarta.
[57]  Ibid
[58] Ibid

[59] John  Mark. High Hopes and Low Motives: The New Euro-Mediterranean Partnership Initiative. New: York: Mediterranean Politics. Hlm. 1-24. 1996.
[60] Elisabeth Johansson-Nogues, loc. cit.
[61]  Ibid
[62] Ibid
[63] Derek A. Mix. “The United States and Europe: Current Issues, Congressional Research Service.” https://www.fas.org/sgp/crs/row/RS22163.pdf, dilihat 26 Juni 2016 pukul 11:19 WIB, Surakarta.
[64] Ibid
[65] Ibid
[66] Ibid
[67] L Carl Brown. Middle East; Crescent of Crisis: U.S.-European Strategy for the Greater Middle East, dipublikasikan dalam Council on Foreign Relations Journal. Volume 85. Hlm. 170. 2012.
[68] Ibid
[69] S. Peers. EU Justice and Home Affairs Law. Oxford: Oxord University Publishing. Hlm.24. 2011.
[70] Adrian Favell dan Randal Hansen. Markets Againts Politics: Migration, EU Enlargement and the Idea of Europe, Journal of Ethnic and Migration Studies. Volume 28. Nomor 4. Hlm. 584. 2002.
[71] BBC. Imigran di Perancis. http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/03/120307_prancis.shtml, diakses 27 Juni 2016 pukul 11:23 WIB, Surakarta.
[73]  Sabir E., loc. cit.
[74]  Elizabeth Collet. “The EU Immigration Pact From Hague to Stockholm.” http://www.epc.eu/TEWN/pdf/304970248_EU%20Immigration%20Pact.pdf, dilihat 27 Juni 2016 pukul 11:26
WIB, Surakarta.
[75] Ibid
[76]  N Boister. Illegal Migration on Transnational Criminal Law, dipublikasikan dalam European Journal of International Law. Volume 14. Hlm. 953. 2011.

[77] Vitri Mayastuti. Analisis Budaya Strategis dalam Kerjasam Kontra Teror AS-Uni Eropa. Jakarta: Universitas-Indonesia.
[78] Marianne L. Wade. The European Union As A Counter–Terrorism Actor: Right
Path, Wrong Direction?, diterbitkan dalam Springer Science and Business Media Journal. Volume X. Hlm.360. 2013.
[79] Vitri Mayastuti, loc. cit.
[80] Ibid
[81] H.Fenwick. Civil Liberties & Human Rights. Oxon: Cavendlish Publishing. Hlm. 52. 2013.
[82] Vitri Mayastuti, loc. cit.
[83] Lisa Watanabe. EU-Maghreb Counter-terrorism Cooperation: The Need for More Comprehensive Approach.
[84] Vitri Mayastuti, loc. cit.
[85] Ibid
[86] Darya Yu. Bazarkina, Strategic Communication of the EU: The Counter‐Terrorist Aspect, diterbitkan dalam Sholokov Moscow Journal of Humanitarian Affairs. Volume VI. Hlm. 31. 2014.
[87] Peter Chalk. West European and Counter-terrorism: The Evolving Dynamic. Basingstoke: Macmillan. Hlm.
[88] Vitri Mayastuti, loc. cit.
[89] Ibid
[90] Ibid.
[91] M.O’Neil. The Evolving EU Counter-terrorism Legal Framework. Oxon: Routledge. Hlm. 156. 2011.
[92] Wyn Rees. Transatlantic Counter-terrorism Cooperation: The New Imperative. Oxon: Routledge. Hlm. 60. 2006.
[93] N.Kaizer & Van Sliedregt. The European Arrest Warrant in Practice. The Hague: TMC Asser Press. Hlm. 88. 2014.
[94] Ibid.
[95] Ibid.
[96] Council of European Union. The European Union Counter Terrorisme Strategy. Brussel. 2005.
[97] ICCT. “The Hague Conference Center for International Counter Terrorism.” https://icct.nl/, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:31 WIB, Bekasi.
[98] ICCT. “The Hague Conference Center for International Counter Terrorism.” https://icct.nl/, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:31 WIB, Bekasi.
[99] UNCCT. “EU and UNCCT convene Global Network of Counter-Terrorism Centres in Brussels.”
https://www.un.org/counterterrorism/ctitf/en/uncct/eu-and-uncct-convene-global-network-counter- terrorism-centres-brussels, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:32 WIB, Bekasi
[100] ASEM8. “ASEM Conference on Counter-Terrorism.”
10:33 WIB, Bekasi.
[101] Vitri Mayastuti, loc. cit.
[102] Council of European Union, loc. cit.
[103] Ibid.
[104] Derek A. Mix, loc. cit.
[105] Ibid.

Post a Comment

silahkan berkomentar bijak dan sesuai dengan topik pembahasan