BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejak masa Rasulullah SAW, terdapat
kebijakan bagi kaum non-Muslim yang tetap dapat tinggal dalam pemerintahan
Muslim dengan membayar semacam pajak atau Jizya.
Hak-hak mereka dijamin dan dilindungi serta kewajiban mereka dalam urusan
kemasyarakatan juga sama. Mereka disebut sebagai Dhimmi.Awalnya, Dhimmi ini
merupakan kaum musyrik yang semula memerangi kaum muslimin dan berhasil
dikalahkan sehingga Rasulullah menetapkan kebijaksanaan yang demikian.
Kebijksanaan itu tetap diikuti dan dipegang teguh oleh para khalifah Rasulullah
yang berkuasa selanjutnya.Termasuk oleh kekhalifahan Turki Utsmani.Wilayah
Balkan yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani pun mampu bertahan selama
kurang lebih lima abad di bawah pemerintahan Turki Utsmani dengan kebijakan
yang sama.
Semenanjung Balkan ini sebenarnya
telah berhasil ditaklukkan oleh kaum muslim, tidak jauh selang waktunya dengan
penaklukkan Konstantinopel. Serbia masuk dalam kekuasaan Turki Utsmani pada
tahun 1459, Bosnia serta Herzegovina direbut pada tahun 1465 M, dan Yunani,
termasuk Morea dan Euboea, jatuh ke tangan Utsmaniyah pada tahun 1468.[1] Namun,
seiring dengan kejayaan yang dicapai oleh kaum muslimin lewat ekspansi ini, di
sisi lain bangsa Eropa sedang mencoba untuk bangkit dari tidurnya. Abad
kegelapan atau yang lebih sering
mereka sebut sebagai
The Dark Ages, perlahan
sirna seiring dengan Revolusi
Perancis yang berlangsung antara tahun 1789-1815[2] yang
melahirkan gagasan tentang hak-hak rakyat dan nasionalisme. Gagasan tersebut
turut mempengaruhi berbagai bangsa yang berada di bawah naungan kekuasaan Turki
Utsmani serta menimbulkan kekacauan.
Pemberontakan-pemberontakan mulai
digencarkan oleh para warga Kristen yang berada di bawah naungan kekuasaan
Utsmani, khususnya di Balkan.Sejak perjuangan kemerdekaan Serbia pada tahun
1804-1813 M, satu per satu negara-negara Balkan melepaskan diri mulai dari
Yunani (1832), Rumania (1856-1878), Montenegro (1878), dan Bulgaria
(1878-1908), semuanya menyatakan diri sebagai negara-negara merdeka.[3] Dugaan
mengenai sebab terjadinya pemberontakan untuk membebaskan diri ini ialah karena
banyaknya gubernur atau pemimpin di wilayah-wilayah Kristen yang korup sehingga
rakyat semakin tertekan. Tambahan pula, berbagai provokasi mengenai muslim dan fanatisme keagamaan turut menjadi sumber
gejolak pemberontakan terhadap pemerintahan Turki Utsmani.
Pada akhir tahun 1876 terjadi pemberontakkan
di Serbia dan Bulgaria, akan tetapi tentara Turki mengatasinya dengan
penindakan keras yang disebut “horor di Bulgaria” oleh pers Barat. Hal inilah
yang menambah kebencian publik Eropa terhadap pemerintahan Utsmani.Dibumbui
oleh propaganda Rusia yang bertujuan untuk melumpuhkan Turki Utsmani di mana
Rusia memberi harapan menyelamatkan gereja-gereja kepada Yunani, guna memetik
keuntungan bagi Rusia sendiri yang ingin mempengaruhi rakyat non-muslim (Slav
dan Yunani) untuk berontak terhadap Turki. Dapat dikatakan bahwa saat keadaan
Kerajaan Usmani yang sudah kritis, Rusia membedah bagian-bagian tubuh sang sick man of Europe tersebut untuk
dirinya dan bagi negara-negara di Eropa.[4]
Pemicu Perang Balkan itu sendiri ialah
keinginan negeri-negeri Balkan seperti Bulgaria untuk membebaskan Macedonia
yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan Utsmaniyah.
Sebenarnya, ada maksud lain dari Perang Balkan ini sendiri, bahwa selain untuk
merebut Macedonia dari tangan Turki, para aliansi negara-negara Balkan yang
terdiri dari Bulgaria, Serbia, Yunani dan Montenegro ini memiliki
kepentingan-kepentingan dan ambisi masing-masing. Meski tujuan mereka pada
umumnya sama, yakni ingin mengambil alih wilayah Eropa, khususnya wilayah
Balkan yang masih berada di tangan Turki Utsmani. Mereka juga ingin mengusir
selamanya Turki Utsmani dari Balkan.
Hal ini tidak terlepas dari dukungan dan
dorongan dari Rusia terhadap negeri-negeri Balkan tersebut, khususnya
Serbia.Serbia kecewa karena Bosnia- Herzegovina diserahkan kepada
Austria-Hungary pada tahun 1908 M tanpa persetujuan dari negeri-negeri di
Semenanjung Balkan.[5] Rusia
pun tidak puas dengan keputusan
Austria-Hungary yang mencaplok Bosnia-Herzegovina sebagai wilayahnya, sebab
Rusia khawatir kejayaan Austria-Hungary ini menjadi
ancaman terhadap pengaruh Rusia di Balkan. Oleh karena itu, Rusia
menganjurkan negeri-negeri Balkan untuk membentuk Liga Balkan.
Terbentuknya Liga Balkan yang terdiri
atas Yunani, Serbia, Bulgaria, dan Montenegro inilah yang memantikkan api
peperangan antara negeri-negeri di Semenanjung Balkan dengan Kesultanan Turki
Utsmani. Perlu diketahui bahwa, meskipun perang Balkan ini hanya berlangsung
selama kurang lebih satu tahun, tetapi perang ini terjadi sebanyak 2
kali.Perang Balkan pertama yakni perang antara negeri-negeri Balkan melawan
Kesultanan Turki Utsmani dengan misi membebaskan Macedonia dan mengusir Turki
Utsmani dari Balkan.
Adapun Perang Balkan kedua ialah perang
antar sesama sekutu negara- negara Balkan itu sendiri dalam memperebutkan
wilayah yang berhasil direbut dari tangan Turki Utsmani. Hal ini disebabkan
tindakan Sir Edward Grey[6] yang mendesak
negeri-negeri Balkan tersebut untuk menandatangani perjanjian damai dengan
Kesultanan Utsmaniyah tanpa adanya kesepakatan sebelumnya antara mereka
mengenai pembagian wilayah yang berhasil direbut dari Turki Utsmani. Inilah
yang menyebabkan negara-negara Balkan ini tidak puas dan kecewa satu sama lain
yang akhirnya memicu genderang perang Balkan II. Sekali lagi, peperangan
terjadi di Semenanjung Balkan.
Secara umum, Perang Balkan ini menimbulkan
implikasi yang cukup signifikan terhadap kehidupan muslim di Eropa Tenggara,
baik itu dari segi politik Islam maupun sosialnya. Setelah Perang Balkan
berakhir, umat Islam mengalami kekalahan geo-politik yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Kekalahan geo-politik ini diiringi pula dengan kekalahan ekonomi
yang berakhir dengan migrasi dan pembantaian populasi Muslim secara
besar-besaran dari Balkan, menyisakan hanya sedikit populasi yang akan menjadi
muslim minoritas dari negara nasional Balkan.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat
dikatakan bahwa kajian mengenai Perang Balkan ini sangat menarik untuk dibahas.
Intrik politik, dendam, ambisi, bahkan kecurigaan mereka satu sama lain sangat
menimbulkan rasa keingintahuan penulis mengenai apa sebenarnya yang
melatarbelakangi terjadinya Perang Balkan ini hingga di anggap sebagai Prelude (Permulaan) dari Perang Dunia I.
Penulis juga ingin mengetahui lebih jauh tentang bagaimana kronologi perang
Balkan tersebut, baik itu perang Balkan I atau pun perang Balkan II, serta
bagaimana implikasinya terhadap kehidupan umat Islam di Balkan atau yang kini
lebih sering disebut Eropa Tenggara. Sebab, selama beberapa abad umat Islam
pernah menguasai negeri-negeri di Semenanjung Balkan. Pastilah, sedikit banyak,
ada komunitas atau masyarakat muslim yang hidup di Balkan baik itu para imigran
maupun penduduk asli dari negeri Balkan yang telah memeluk Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas,
permasalahan-permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.
Apa sebab terjadinya Perang Balkan?
2.
Bagaimana kronologi Perang Balkan?
3.
Bagaimana implikasi Perang Balkan
terhadap kehidupan sosial- politik Islam di Eropa Tenggara?
Agar tidak menimbulkan terlalu
luasnya penafsiran mengenai permasalahan yang akan diteliti, maka perlu diberi
batasan masalah agar penelitian ini terfokus dan terarah pada permasalahan yang
akan diteliti. Sebagai batasan spasial, penelitian ini mengambil wilayah Balkan
umumnya, khususnya negara-negara yang terlibat langsung dalam perang, seperti:
Serbia, Bulgaria, Yunani dan Montenegro. Adapun batasan temporalnya, penelitian
ini mengambil rentang waktu dari tahun 1876 M, karena sejak tahun tersebut
berbagai propaganda untuk menjatuhkan atau merebut wilayah Turki Usmani
dimulai. Usaha-usaha tersebut terus berlangsung sampai ke tahun-tahun
berikutnya hingga Perang Balkan pecah
pada tahun 1912-1913 M.
Mengenai implikasinya, penulis hanya
mengambil implikasi hingga pasca perang
Balkan II saja karena jika lebih jauh dari itu, maka dampak Perang Dunia I yang
akan lebih dominan. Selain itu, penulis akan memaparkan situasi kondisi Balkan
sebelum perang dan sesudahnya hingga meletusnya Perang Dunia 1 pada 28 Juli 1914 M, dimaksudkan agar penelitian ini
tidak terlalu luas dan dapat menjawab semua permasalahan yang diangkat.
Sebagaimana dikutip dari Edit Bregu yang mendefinisikan Perang Balkan,
bahwa: The Balkan Wars were a series of
sharp and bloody conflicts that fell
over South-Eastern Europe during the fall of 1912 and winter, spring and summer
of 1913[7](Perang
Balkan adalah serangkaian konflik berdarah dan tajam yang meliputi Eropa
Tenggara sepanjang akhir 1912 dan musim dingin, musim semi dan musim panas
1913). Istilah “Balkan” sendiri
berasal dari bahasa Turki yang
artinya pegunungan.[8]
Islam bukan hanya sekadar sebuah agama dalam
pengertian yang biasa, tetapi juga sebuah kerangka sosial-politik, pandangan
keduniaan dan pandangan hidup, yang mencakup semua aspek fisik, mental, dan
spiritual manusia.[9] Kata
implikasi sendiri menurut KBBI ialah keterlibatan atau keadaan terlibat, yang
termasuk atau tersimpul, yang disugestikan, tetapi tidak dinyatakan.[10] Kata
implikasi dalam penelitian ini penulis maksudkan sebagai dampak yang ditimbulkan
dari Perang Balkan itu sendiri terhadap kehidupan sosial-politik Islam di Eropa
Tenggara.
C. Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan dari beberapa rumusan masalah dan batasan
masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan
sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui sebab terjadinya
Perang Balkan.
2. Untuk mengetahui kronologi Perang Balkan.
3. Untuk mengetahui implikasi Perang
Balkan terhadap kehidupan sosial-politik Islam di Eropa Tenggara.
Ada dua manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian
ini, yakni sebagai berikut.
1. Manfaat teoritis. Secara teoritis,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu
sejarah dan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi sejarawan
selanjutnya dalam mengembangkan khazanah literatur ilmiah keislaman, khususnya
dalam bidang sejarah.
2. Manfaat praktis. Secara praktis,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru kepada kalangan
akademisi maupun maupun masyarakat umum, terutama bagi umat muslim ataupun
tokoh muslim itu sendiri. Karena, perang Balkan ini melibatkan salah satu
kerajaan muslim terbesar selama abad pertengahan, yang pernah menguasai Eropa,
Asia, dan Afrika. Kerajaan yang dulunya amat disegani oleh bangsa Eropa,
kerajaan yang berhasil menorehkan sejarah bahwa dunia Islam pernah berjaya dan
sebenarnya memiliki kemampuan yang mumpuni untuk maju.
PEMBAHASAN
A. Gambaran
Umum Wilayah Balkan
“One can’t understand the Balkans without understanding
it’s ethnic groups, and one can’t understand the ethnic groups and their
history without knowing the influence of the region’s geography”[11]
“Seseorang tidak dapat mengetahui tentang Balkan tanpa
memahami kelompok etnisnya, dan seseorang tidak dapat memahami kelompok etnis
dan sejarah Balkan tanpa mengetahui pengaruh letak geografis wilayahnya”
Semenanjung Balkan dapat didefinisikan sebagai sebuah
wilayah dari Eropa[12] Tenggara
yang dikelilingi oleh air dari tiga sisi; Laut Adriatik di bagian Barat, Laut Mediterania
(termasuk Laut Ionian dan Aegean) di bagian Selatan dan Laut Hitam di bagian
Timur. Sementara bagian Utara dibatasi oleh sungai Danube, Sava dan Kupa/Kolpa.
Istilah “Balkan” sendiri berasal dari bahasa Turki yang artinya pegunungan.
Bapak dari istilah “Balkan” ialah August Zeune,[13]
ia yang menamai wilayah ini pada tahun 1808 untuk menggambarkan daerah yang
berada dalam kekuasaan Turki setelah tahun 1699.[14] Semenanjung
Balkan juga memiliki nama lain dari Turki Utsmani, yakni “Rumeli” yang artinya
“tanah orang-orang Roma”.[15]
Adapun istilah “Balkan” pada masa modern sering dikonotasikan negatif, sehingga
sejak awal abad ke-21 istilah Balkan ini mulai diganti dengan Eropa Tenggara.
Bentang alam utama kawasan Balkan
adalah pegunungan dan perbukitan kasar. Hampir seluruh kawasan ini pernah
menjadi bagian dari Imperium Turki
selama berabad-abad.[16] Adapun
untuk pengelompokan wilayah Balkan yang akan dipaparkan penulis di sini ialah
wilayah Balkan hingga rentang waktu 1914. Sebab, sejak perang dunia meletus pada
Juli 1914 hingga tahun-tahun berikutnya, terjadi banyak peristiwa yang akhirnya
mengubah komposisi wilayah Eropa termasuk wilayah Balkan. Untuk menghindari
kesalahpahaman, maka penulis tegaskan bahwa yang akan dipaparkan di bagian ini
ialah wilayah-wilayah yang masih termasuk wilayah Balkan hingga tahun 1914.
Wilayah-wilayah tersebut terdiri dari Yunani, Albania, Macedonia, Montenegro,
Kroasia, Bosnia Herzegovina, Serbia, Bulgaria dan Rumania.
Adapun pada masa modern ini,
berdasarkan buku Ensiklopedia Geografi karya
Tim Kingfisher terbitan Lentera Abadi tahun 2007, menyatakan bahwa
negara-negara Balkan yakni Kroasia, Bosnia Herzegovina, Serbia, Montenegro,
Makedonia, Albania dan Yunani. Sedangkan untuk negara Bulgaria dan Rumania
masuk ke dalam kawasan Eropa Timur.[17]
Perubahan komposisi wilayah ini disebabkan berbagai hal, salah satunya karena
pemekaran wilayah.
Wilayah Balkan yang didominasi oleh
pegunungan merupakan wilayah yang subur dan banyak terdapat sumber daya Alam.
Bosnia misalnya, kaya akan sumber daya alam seperti emas, perak, dan tembaga.
Kawasan Balkan juga merupakan akses perdagangan yang mumpuni karena berada di
antara Eropa dan Asia. Namun, karena letaknya berada di wilayah yang
bergunung-gunung, maka sulit dan berbahaya untuk mencapai wilayah Balkan
melalui jalur darat, sehingga jalur laut memainkan peran yang amat penting saat
itu.
Semenanjung Balkan juga merupakan
kawasan yang isolatif karena orang- orang di kawasan Balkan cenderung
terisolasi di desa mereka, sehingga pertukaran budaya tidak berlangsung dan
terdapat banyak etnik yang berbeda hidup bersama dalam wilayah yang kecil.
Masyarakat Balkan memiliki budaya yang berbeda-beda antara desa satu dengan
desa yang lainnya meskipun mereka hanya terpisah sejauh 20 mil. Hal ini
dikarenakan mereka bukanlah kelompok yang suka berbaur, inilah mengapa membuat
divisi dan perbedaan lebih memungkinkan dibanding kesatuan.[18]
Sejarah dan masyarakat Balkan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan mereka karena status Balkan yang berada “di
antara”, masyarakat dan wilayah mereka akan terus mengalami perubahan
kekuasaan. Balkan seringkali menjadi zona penengah di antara berbagai macam
kerajaan, dimulai dari Roma-Yunani, Kerajaan Bizantium- Kerajaan Turki Utsmani,
dan Kerajaan Hapsburg (Austro-Hungaria) - Kerajaan Turki Utsmani. Bahkan,
kebanyakan pertempuran terjadi di Balkan dan sering terjadinya pertukaran
kekuasaan di Balkan ini dikarenakan letaknya yang berada di perbatasan berbagai kerajaan.
Balkan seringkali menjadi jalur
lintas antara budaya Barat dan Timur, Gereja Byzantium dan Roman Katholik,
serta agama Kristen dan Islam. Bahkan, di wilayah Balkan ini seringkali terjadi
banyak asimilasi serta bentrokan karena letaknya yang berada di tengah-tengah
budaya Barat dan Timur. Sylvie Gangloff menyatakan bahwa “The Balkans are perceived, by the Balkan people themselves, as an area
of confrontation between Islam and Christianity”[19] Balkan
dianggap oleh orang-orang Balkan itu sendiri sebagai area konfrontasi antara
Islam dan Kristen). Balkan dulunya juga merupakan tanah pertentangan antara
Katolik Roma (berbahasa latin dari Kerajaan Roma) dan kaum Kristen Ortodoks.
Untuk lebih jelasnya, maka akan dipaparkan lebih lanjut mengenai keadaan
geografis wilayah-wilayah Balkan serta kelompok etniknya sebagai berikut:
1)
Yunani
Yunani menempati bagian paling
selatan dari Semenanjung Balkan. Bentang alam wilayah ini didominasi oleh
dataran tinggi. Pegunungan Pindus adalah barisan pegunungan terbesar di Yunani.
Yunani merupakan salah satu peradaban tertua di Eropa.
Istilah untuk Yunani dalam bahasa
kalangan Islam adalah Rum, yakni suatu wilayah yang meliputi bekas Kekaisaran
Bizantium dan bahasa Yunani disebut pula bahasa Rumi. Kadang kala, di kalangan
orang Yunani sendiri, bahasa Kristen mereka disebut bahasa Romaike.[20]
Etnik Yunani (Hellenes) secara historis telah menghuni Yunani sejak abad ke-17
SM. Bangsa Yunani ini berpusat di sekitar pesisir Aegea di mana bahasa Yunani
telah dipertuturkan sejak jaman kuno.
2)
Albania
Albania berada di bagian barat
Semenanjung Balkan dan menghadap ke Laut Adriatik. Hampir tiga perempat
permukaan wilayah Albania bergunung-gunung dan seringkali sulit untuk dimasuki.
Gunung-gunung itu menjulang sampai ke puncak tertingginya yakni di gunung
Korab, yang setinggi 2.763 m di Albania Timur laut.[21] Selama
berabad-abad, gunung-gunung itu telah menjadi benteng alamiah dan tempat
berlindung bagi rakyat Albania. Meski beberapa bagian wilayah ini adalah rawa
paya, sebagian besar daerah ini subur sehingga dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian utama. Negara ini juga memiliki cadangan mineral seperti logam, gas
alam, dan minyak bumi.[22]
Dengan kekayaan alam yang mumpuni, Albania sebenarnya memiliki peluang untuk
berkembang, akan tetapi dengan kisruh yang terjadi dalam negaranya pasca
kemerdekaan tahun 1912 membuat negara ini menjadi negara yang termiskin di
Eropa serta terisolasi dari dunia luar hingga tahun berikutnya.
Etnis Albania atau yang lebih tepat
suku Illyrians muncul di Balkan bagian Barat sekitar tahun 1200 SM. Suku
Illyrians ini mendiami daerah pegunungan Albania. Bukti arkeologi menunjukkan
jejak evolusi suku Illyrians ini dimulai dari tempat pemakaman, ornamen pada
pakaian, dan praktik budaya (disimpulkan dari peninggalan material) dari tahun 1200
SM hingga abad pertengahan.[23]
Sebenarnya sulit memang untuk mengetahui cerita mengenai suku Illyrians ini
karena mereka tidak meninggalkan jejak-jejak
tertulis maupun tidak tertulis sehingga para sarjana Barat hanya
mengidentifikasi melalui segi linguistik dan arkeologi.
3)
Macedonia
Negara Macedonia yang terkurung oleh
daratan ini adalah negara yang memiliki pemandangan alam yang indah. Macedonia
dulunya pernah menjadi jantung Imperium Yunani Kuno.[24]
Wilayah Macedonia dikelilingi oleh Bulgaria, Albania, Serbia, Montenegro, dan
Yunani. Bentang alam utama negeri ini adalah perbukitan dengan lereng-lereng
yang curam, pegunungan dengan lembah- lembah yang dalam, serta hutan yang
luas.Etnik Macedonia berasal dari Suku Slav Selatan yang tiba di Macedonia pada
tahun 600 M.
4)
Montenegro
Meski wilayahnya kecil, Montenegro
memiliki kekayaan alam yang cukup mumpuni dengan garis pantai pada Laut
Adriatik. Di bagian utara Montenegro memiliki dataran luas dan beberapa
perbukitan rendah. Bagian timur merupakan wilayah perbukitan batu kapur dan
juga terdapat beberapa lembah. Bagian barat daya berupa pegunungan yang
sekaligus menjadi pembatas antara pedalaman dan daerah pantai yang beriklim mediterania
yang hangat.[25] Sama
halnya dengan Macedonia, etnik Montenegro berasal dari suku Slav selatan.
5)
Kroasia
Wilayah ini berada
pada jalur perlintasan antara Eropa Tengah dan kawasan Laut Tengah. Di wilayah
ini, perubahan tingkat permukaan air laut dapat menyebabkan tenggelamnya
lembah-lembah pegunungan dan menciptakan
banyak pulau bertebing curam dan tanjung berbatu. Etnik Kroasia atau yang
sering disebut bangsa Slav Selatan tiba di Balkan di akhir tahun 500 M dan awal
tahun 600 M. Bahasa Kroasia membuat beberapa perbedaan dialek, terutama dengan
Serbia. Perbedaan yang paling jelas ialah digunakannya alfabet Roma oleh bangsa
Kroasia dan penggunaan Cyrillic[26] bagi bangsa Serbia.
6)
Bosnia Herzegovina
Bentang alamnya sangat kasar dengan
wilayah utara sangat bergunung-gunung, sementara bagian selatan berupa daerah
yang lebih rata dan subur. Sejumlah besar wilayah ini berupa plato batu kapur
yang tandus. Wilayah ini banyak terdapat mata air mineral dan hampir setengah
dari wilayah negara ditutupi oleh hutan ek, beech, dan pinus. Gereja Bosnia,
selanjutnya Katolik dan Ortodoks, menjadi agama yang paling dominan di Kerajaan
Bosnia sampai kerajaan ini runtuh, bahkan sebelum invasi Ottoman di tahun 1463.[27]
Bosnia merupakan nama geografis, bukan sebuah etnik ataupun linguistik. Abad
pertengahan, Bosnia merupakan zona pembatas antara Kroasia dan Serbia. Dalam
istilah bahasa dan keturunan, asal-usul Bosnia sama dengan Kroasia dan Serbia
yakni masih merupakan keturunan suku Slav selatan.
7)
Bulgaria
Bulgaria memiliki bentang alam yang
beragam, misalnya Plato, dataran luas, perbukitan dan pegunungan. Wilayah ini
memiliki dua pegunungan besar yakni pegunungan Balkan yang membentang dari
barat ke timur melintasi bagian tengah Bulgaria, dan pegunungan Rhodope yang
membentang di barat daya.
Pada abad ke-7 ketika kaum Bulgar,
kelompok perang berkuda yang buas, bergerak keluar dari Asia Tengah. Mereka
merebut lahan dekat sungai donou dan beberapa menyebar ke selatan menaklukkan
bangsa Slavia. Mereka mengambil adat istiadat dan bahasa Slavia dan lambat laun
berbaur.[28] Selain
suku Slavia ada juga suku Pomaks yang berbahasa Bulgaria dan tinggal di
pegunungan Rhodopes dan di Translox, sebagian besar buta huruf dan kebanyakan
orang-orang suku Pomaks ini beragama Islam.
8)
Serbia
Serbia menduduki posisi yang
strategis di kawasan semenanjung Balkan. Sebagian besar Serbia terdiri dari
dataran rendah dan bukit-bukit yang rendah (kecuali wilayah Kosovo yang lebih
bergunung-gunung). Serbia sama sekali tidak memiliki laut dan kota terbesarnya
ialah Beograd. SukuSlav Selatan tiba di
Serbia pada waktu yang sama seperti Kroasia, dengan bahasa dan budaya yang
serupa dan akhirnya menjadi penghuni tetap di Serbia. Etnik Serbia lebih
cenderung dekat dengan Byzantium sehingga budaya Serbia kebanyakan mengambil
corak Byzantium (sama halnya dengan budaya Kroasia yang menyerupainya).
9)
Rumania
Bentang alam wilayah ini didominasi oleh pegunungan dan
dataran rendah. Tanah yang subur merupakan sumber daya alam utama wilayah ini.
Rumania juga memiliki cadangan timah, seng, dan belerang.[29]
Lebih dari seperempat lahan wilayah ini ditutupi oleh hutan yang menjadi
habitat bagi berbagai satwa liar, seperti rubah, rusa, beruang, babi hutan, dan
serigala dengan 45% daratan yang cocok untuk dijadikan lahan pertanian.[30]
Etnik Rumania didominasi oleh
orang-orang Gypsi atau Roma, yang dulunya merupakan suku nomaden atau tidak
mempunyai tempat tinggal tetap. Suku Gypsi ini memasuki wilayah Balkan pada
tahun 1300 SM, dan mereka berasal dari Asia kecil bagian Barat. Bahasa mereka
setelah diidentifikasi oleh para sarjana Barat masih berhubungan dengan bahasa
India yakni mirip seperti bahas a Sanskrit.[31]
Selain Suku Gypsi, ada juga Suku Vlach yang berbahasa Roma. Adapun etnik tertua
dari Rumania ini ialah orang-orang Dacian yang dipengaruhi koloni-koloni
Yunani, dan ditemukan di pesisir Laut Hitam pada abad ke-6 dan ke-7 SM.[32]
Untuk pemahaman lebih jelas mengenai etnik di Balkan dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
No
|
Negara
|
Illyrian
|
Slav
Selatan
|
Gypsi
|
Dacian
|
Vlach
|
Pomak
|
Hellenes
|
1
|
Yunani
|
ü
|
||||||
2
|
Albania
|
ü
|
||||||
3
|
Macedonia
|
ü
|
||||||
4
|
Montenegro
|
ü
|
||||||
5
|
Kroasia
|
ü
|
||||||
6
|
Bosnia
Herzegovina
|
ü
|
||||||
7
|
Bulgaria
|
ü
|
ü
|
|||||
8
|
Serbia
|
ü
|
||||||
9
|
Rumania
|
ü
|
ü
|
ü
|
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui
bahwa Etnik-etnik yang terdapat di Balkan sangatlah heterogen dimulai dari suku
Illyrians, suku Slav Selatan,[33]
suku Gypsi, suku Dacian, Suku Vlach, Pomak dan Hellenes. Etnik yang paling
mendominasi di Balkan ialah suku Slav Selatan atau dalam bahasa Slavia disebut
Yugo-Slav. Adanya banyak kesamaan etnik di Balkan ini menunjukkan hubungan yang
jelas dan erat antar sesama negara Balkan itu
sendiri.
Ajaran Islam di Eropa telah masuk dan
berkembang sejak berabad-abad yang lalu. Diawali oleh penaklukan negara
Andalusia pada tahun 756-1492 di Semenanjung Iberia, dan kemudian melalui
Sisilia, serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah pada
tahun 1389. Kehadiran Islam di Eropa kemudian berlanjut melalui imigrasi umat
Islam dari negara-negara Islam ke Eropa pasca Perang Dunia Kedua. Walaupun
masyarakat Eropa mayoritas memeluk ajaran agama non Islam, namun perkembangan
Islam di Eropa sendiri terbilang cukup pesat. Namun demikian, hingga saat ini
penduduk yang beragama Islam masih menjadi minoritas di tanah Eropa.
Pasca Perang Dunia Kedua yang telah meluluh
lantahkan sebagian besar negara- negara di Eropa, pembangunan di Eropa
membutuhkan tenaga pekerja dari luar Eropa untuk membangun kembali
infrastruktur negara mereka yang telah
hancur. Negara-negara di wilayah Eropa Barat mempekerjakan para pekerja dari
negara-negara yang mayoritas
berpenduduk dan berbudaya Islam,
seperti Aljazair, Maroko, India, dan juga
Turki.[34]
Para pekerja asing ini semakin hari semakin besar jumlahnya, bahkan
tidak jarang diantara mereka yang hidup hingga berkeluarga di tempat mereka
bekerja. Sebagian besar pekerja asing beserta
keluarga kurang bisa membaur dengan kebiasaan dan kebudayaan asli negara tempat mereka bekerja. Hal ini tidak jarang
menyebabkan konflik di masyarakat yang berujung pada kerusuhan dan kekerasan.
Kejadian-kejadian seperti ini yang semakin memupuk stigma negatif terhadap
Islam. Sentimen terhadap Islam inilah yang sering disebut dengan Islamophobia.
Istilah Islamophobia sendiri adalah perasaan
ketakutan atau kebencian terhadap Islam, orang-orang yang memeluk ajaran Islam,
maupun budaya Islam.[35]
Istilah Islamophobia muncul pertama kali pada tahun 1922 dalam sebuah essai
yang berjudul L’Orient vu del’Occident karya
Etienne Dinet, seorang tokoh orientalis asal Perancis. Seiring berkembangnya
waktu, pada sekitar tahun 1990-an Islamophobia dijadikan sebuah istilah yang
digunakan untuk mendefinisikan perlakuan diskriminatif yang diterima oleh umat
Islam di wilayah Eropa Barat. Walaupun definisi dari istilah Islamophobia masih menjadi perdebatan, namun secara
garis besar memiliki maksud dan makna yang mengarah pada suatu keseragaman mengenai terbentuknya
ideologi atau sebuah pemikiran ketakutan yang
dianggap tidak wajar terhadap Islam. Perasaan ketakutan inilah yang
menjadi akar dari pemikiran yang menganggap bahwa seluruh kaum muslim atau
pemeluk agama Islam merupakan pengikut
fanatik ajarannya, yang mempunyai potensi untuk melakukan kekerasan terhadap orang
yang tidak menganut ajaran Islam dan juga
meyakini bahwa ajaran Islam menolak nilai-nilai seperti toleransi
antarumat, belas kasihan, bahkan demokrasi.[36]
Pada tahun 2001 di Amerika Serikat terjadi
peristiwa 9/11 yang telah memberikan dampak buruk terhadap citra Islam di dunia
Barat. Tindakan radikal ini tidak hanya membuat kerugian kepada kelompok garis
keras. Lebih lanjut, terorisme dan radikalisme menyebabkan meningkatnya
Xenophobia di Eropa terhadap Islam. Hingga saat ini, Islamophobia masih terus
berkembang di Eropa. Pelarangan pembangunan menara Masjid di Swiss menjadi
pemicu berkembangnya hal serupa. Hal ini tentu memberikan dampak
yang negatif terhadap kebebasan beragama bagi umat muslim di benua tersebut.
Di kawasan Eropa, Islamophobia bukanlah
sebuah fenomena baru. Sekitar semenjak abad delapan masehi gejala
kebencian terhadap Islam telah muncul di Eropa, dan hingga saat ini telah
berkembang dalam berbagai bentuk. Namun fenomena Islamophobia di Eropa kian
hari kian menjadi lebih kompleks semenjak tragedi 9/11 yang terjadi di Amerika
Serikat, Bom Bunuh Diri di London, Inggris pada 7 Juli 2005, Bom Bunuh
Diri di Spanyol, serta pembunuhan politikus Belanda, Pim
Fortuyn oleh seorang warga Belanda keturunan Maroko. Ketika beberapa tragedi teror
mulai menyebar di Eropa, masyarakat Eropa mulai kembali terprovokasi untuk memandang
Islam dengan penuh ketakutan dan kecurigaan. Beberapa kalangan yang tidak bertanggung
jawab yang mayoritas berasal dari kelompok- kelompok kanan konservatif
seperti beberapa partai politik semisal Barisan Nasional Perancis (French
National Front), Partai Nasional Inggris (British National Party) dan Partai Pim Fortuyn List Belanda menjadikan isu-isu
teror tersebut sebagai isu politik mereka sehingga semakin menciptakan prasangka
buruk serta ketakutan terhadap orang-orang Islam.[37] Sentimen terhadap Islam kerap dijadikan
sebagai alat untuk memperoleh simpati dan dukungan dari para simpatisan partai-partai tersebut.
Indikasi mengenai penyebaran Islamophobia di Eropa, terutama di Eropa
Barat, telah diperkuat oleh adanya laporan dari The European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia (EUMC),
sebuah LSM pemantau Uni Eropa, mengenai “Laporan Islamophobia di UE
pascatragedi 9/11.”[38]
Dalam laporan tersebut disampaikan bahwa kondisi yang kurang
menguntungkan sedang dialami oleh kaum muslim minoritas di Eropa. Bukti-bukti
mengenai merebaknya Islamophobia di Eropa serta pengucilan terhadap komunitas
muslim di Eropa yang mengarah terhadap radikalisasi semakin meningkatkan
perdebatan di Uni Eropa.[39]
Salah satu negara Eropa Barat yang memiliki
sentimen negatif terhadap Islam ini adalah Perancis. Meskipun Islamophobia di
Perancis ini sudah tumbuh sepanjang sejarah, namun peristiwa pengeboman World Trade Center pada 11 September
2001 menjadi salah satu isu yang memicu munculnya Islamophobia dalam bentuk
aksi. Pasca peristiwa 9/11 tersebut Islam di Perancis mengalami perlakuan
rasisme hampir di semua sektor sosial.[40]
Hal ini dapat dilihat dari data, bahwa dari tahun 2001 hingga 2004, terdapat
banyak sekali penyerangan yang dilakukan terhadap tempat ibadah Islam. Lebih
jauh lagi, berbagai website yang
mengumandangkan anti-Islam pun mulai bermunculan di lingkungan masyarakat
Perancis. Sejalan dengan berbagai aksi pengrusakan Masjid, jumlah penyerangan
terhadap individu pun juga semakin meningkat, terutama terhadap para perempuan
yang menggunakan hijab. Fenomena ini kemudian disebut sebagai hijabophobia.[41]
Bahkan bagi masyarakat Perancis sendiri, hijab merupakan salah satu simbol
fundamentalis Islam yang terkesan mengancam dan membahayakan nilai-nilai dasar
republik dan secular.[42]
Jika melihat sejarah kebelakang, Uni
Eropa tentunya sudah cukup akrab dengan kebudayaan Islam. Walaupun pada awal
pembentukan Uni Eropa memang hanya
berdasar pada pertimbangan ekonomi semata. Dimulai sejak tahun 1951 dengan
berdirinya European Coal and Steel
Community yang kemudian berkembang menjadi European Economic Community pada tahun 1957, setiap aktivitas
institusi maupun permasalahan perluasan keanggotaan pada saat itu semuanya
berdasarkan pada pertimbangan ekonomi semata.[43]
Namun, seiring dengan perubahan dunia
yang terjadi serta globalisasi yang juga mulai meluas, isu-isu kontemporer
mengenai identitas juga semakin berkembang di dalam tubuh Uni Eropa sendiri.
Merujuk pada berbagai peristiwa sentimen
terhadap agama Islam di Perancis yang memang lebih terlihat memburuk
dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat lainnya, Uni Eropa sebagai
organisasi kawasan induk di Eropa sudah seharusnya memiliki porsi dan peranannya
dalam merespon munculnya fenomena anti-Islam tersebut. Sebagai sebuah
organisasi kawasan yang telah berhasil mengintegrasikan banyak negara dengan
latar belakang sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang berbeda-beda, Uni
Eropa harus mampu membuat formulasi kebijkan yang dapat diterima oleh seluruh
negara anggotanya. Proses pembuatan kebijakan tersebut tentunya sangat penting
karena mengingat Uni Eropa menganut asas common
security and foreign policy, sehingga akan mengikat seluruh negara anggota
untuk menerapkannya. Selain itu, munculnya Islamophobia di Perancis, juga
dianggap penting oleh Uni Eropa karena isu tersebut dianggap sangat sensitif
dan mudah menyebar, sehingga dikhawatirkan akan menyebar dan mengganggu
stabilitas di negara- negara lainnya. Hal ini apabila sampai terjadi tentunya
akan menjadi ancaman serius bagi Uni Eropa itu sendiri.
B. Politik
Luar Negeri Uni Eropa Terhadap Negara-negara Islam
Kontak pertama Eropa dengan
masyarakat Muslim pada dasarnya sudah dimulai bahkan sebelum munculnya
negara-negara berdaulat. Komunitas Islam telah lama tinggal di wilayah Balkan dan Baltik selama
berabad-abad, sehingga interaksi dalam bentuk perdagangan ataupun pendidikan
menjadi hubungan yang lazim ditemukan pada masa itu. Menilik pada sejarah, peradaban
Islam merupakan salah satu peradaban yang memberikan pengaruh besar bagi
kemajuan di Eropa. Wilayah Mediterania dan Timur Tengah bahkan telah tumbuh
menjadi kota perdagangan yang lebih
tua dibandingkan dengan Italia.[44]
Pemikir-pemikir modern Eropa pun sedikit
banyak dipengaruhi pula oleh pemikir-pemikir Arab. Hal ini dapat
dibuktikan dengan ditemukannya berbagai karya dan
buku yang merupakan terjemahan dari Bahasa Arab.13 Selain
itu, negara-negara di Eropa juga sudah
menjalin kontak dengan lingkungan Muslim dalam bentuk negara kolonial. Hal ini didasarkan oleh adanya fakta bahwa
sebagian tanah jajahan Inggris, Perancis, dan Belanda merupakan wilayah-wilayah
dengan populasi Muslim yang memiliki jumlah cukup signifikan.[45]
Keruntuhan peradaban Islam Agung yang
berpusat di Turki yang diikuti dengan kebangkitan masyarakat Eropa pasca
Perjanjian Westphalia yang mengawali munculnya konsep akan negara berdaulat
menjadi titik balik bagi komunitas Islam. Interaksi yang dulunya bersifat satu
arah[46]
berubah menjadi komunikasi dua arah yang didominasi oleh Eropa. Pada
pertengahan abad 20, masyarakat Muslim mulai berdatangan ke Eropa yang dipicu oleh motif ekonomi untuk
mencari pekerjaan dan kesejahteraan. Kebanyakan
dari mereka merupakan pekerja yang berasal
dari daerah-daerah urban, guna memenuhi
kebutuhan Eropa akan pekerja murah.16
Wilayah-wilayah yang dulunya
dikolonisasi oleh negara-negara Eropa juga memainkan
peranan signifikan dalam fenomena migrasi dan persebaran demografi Muslim di
Eropa. Di Perancis misalnya, masyarakat Muslim migran didominasi oleh
orang-orang yang berasal dari daerah protektorat Perancis, seperti Aljazair,
Maroko, dan Tunisia.[47]
Sedangkan di Inggris migran Muslim kebanyakan berasal dari Bangladesh dan Pakistan. Pada tahun 1980-an, gelombang migrasi
kedua pun muncul yang didominasi oleh para pencari suaka. Kemudian memasuki
tahun 1990-an, migrasi dari negara-negara
Muslim yang memasuki kawasan Eropa dapat dikategorikan secara umum sebagai berikut:[48
1. Di wilayah Eropa Utara, migrasi
komunitas Muslim didominasi oleh para imigran yang secara resmi melalui
pengajuan aplikasi pencarian suaka dan didorong
oleh perang sipil yang berkepanjangan di daerah perbatasan Eropa.
2. Sedangkan di Eropa bagian selatan,
migrasi kebanyakan terjadi secara ilegal seperti praktek-praktek perdagangan
manusia dan umumnya juga didorong oleh motif ekonomi.
Berdasarkan pada paparan tersebut dapat dilihat bagaimana, pada dasarnya Eropa
sudah terhubung cukup kuat dengan budaya-budaya Islam. Meskipun demikian, hal ini ternyata tidak mampu menghindarkan
berbagai tindak diskriminasi oleh warga kulit putih terhadap minoritas Muslim
yang tinggal di Eropa. Diskriminasi ini mencakup berbagai sektor mulai dari
pendidikan, pekerjaan, hingga dalam sektor perumahan. Data resmi menunjukkan bagaimana indikator pekerjaan di berbagai
negara Eropa dalam situasi normal tidak ditargetkan untuk masyarakat Muslim.
Beberapa penelitian yang dilakukan di Inggris, Perancis, dan Belanda berhasil
memberikan informasi yang cukup akurat bahwa warga yang beragama Islam dan
berlatarbelakang dari negara-negara Magribi
memiliki kesempatan lebih kecil untuk diterima dalam sebuah perusahaan.[49]
Negara-negara anggota Uni Eropa yang memiliki komunitas Muslim cukup
banyak, seperti komunitas Turki di Jerman dan komunitas Afrika Utara di
Perancis; masyarakat Muslim ini memiliki aktivitas dalam sektor pekerjaan yang
hanya mencapai 15 hingga 40 persen dibandingkan dengan warga asli berkulit
putih.[50]
Selain kesempatan kerja yang sangat
minim, diskriminasi terhadap kaum Muslim yang tinggal di Eropa juga terjadi dalam hal aktivitas keagamaan
di lingkungan kerja. Kebanyakan negara anggota Uni Eropa memang sudah cukup toleran terhadap
aktivitas keagamaan di lingkungan kerja, namun hal ini juga tidak menutup
kemungkinan adanya keterbatasan bagi kaum Muslim untuk memproleh hak beribadah
mereka. Belgia, Denmark, dan Jerman tidak memiliki kesulitan yang cukup signifikan dalam hal pengaturan
pekerja yang beragama Islam. Akan tetapi, kondisi yang sama agaknya tidak dapat
ditemukan di Perancis yang menganut tradisi sekuler republik. Pada tahun 2005,
Perancis bahkan mengeluarkan aturan yang membatasi ekspresi simbol- simbol
keagamaan di tempat kerja, yang mencakup
juga pemakaian hijab.[51]
Masyarakat migran di Eropa yang mana
kebanyakan dari mereka juga merupakan komunitas Muslim, pada umumnya tidak
mendapatkan akses memadai terhadap fasilitas perumahan. Hal ini didorong oleh
keadaan ekonomi yang tidak baik serta adanya berbagai aturan yang menghambat
komunitas Muslim memperoleh rumah secara layak. Meskipun terdapat banyak
diskriminasi terhadap kaum minoritas Muslim di Eropa, akan tetapi pada dasarnya
marjinalisasi terhadap mereka tidak terjadi karena agama, melainkan karena
situasi mereka sebagai migran yang berstatus sosial rendah.[52]
Sentimen negatif terhadap minoritas Islam di Eropa ini kemudian dikenal sebagai
Islamophobia.
Muncul pertama kali dalam sebuah esai
di tahun 1992, Islamophobia kemudian berkembang sangat cepat pasca peristiwa
pengeboman gedung WTC di Washington D.C. pada tahun 2001. Kejadian yang dikenal
pula sebagai 9/11 tersebut meningkatkan aktivitas negatif terhadap kaum Islam
di Eropa, utamanya di Perancis yang memiliki populasi Islam terbesar di Eropa.
Hal ini kemudian diperparah pula oleh adanya peristiwa pengeboman di Inggris pada 7 Juli 2005. Terorisme yang
membawa nama Islam tersebut telah menciptakan sentimen berlebihan terhadap
minoritas Muslim di Eropa. Apabila sebelumnya diskriminasi hanya terjadi di
sektor layanan publik, pasca kedua peristiwa tersebut diskriminasi yang dilakukan
di beberapa negara-negara Eropa mengarah pada kekerasan secara fisik.
Segera setelah peristiwa 9/11, 80 insiden
penyerangan dengan target Islam terjadi di Belanda.
Pembunuhan Theo Van Gogh pada tahun 2004, bahkan memicu dampak yang lebih masif
seperti pembakaran sekolah Islam dan penghancuran tempat peribadatan.[53]
Kemudian di Inggris, Skotlandia, dan Irlandia Utara, beberapa masjid ditutup dan berbagai bentuk vandalisme yang merendahkan Islam
pun bermunculan. Bahkan di Perancis
dari tahun 2003 hingga 2004 terdapat
insiden terkait dengan tindakan anti-Muslim sebanyak 182 kasus.[54]
Munculnya sentimen yang berlebihan terhadap kaum minoritas Muslim di
Eropa utamanya di
Perancis, tentu saja memberikan
dampak bagi pembentukan kebijakan luar negeri
di tingkat Uni Eropa itu
sendiri. Walaupun pada dasarnya Uni Eropa pada
tahun 1995-2004 memandang
bahwa negara-negara Islam yang membentang dari Maroko, Tunisia, samapi Turki
di Sebelah tenggara merupakan tetangga dekat yang
harus selalu diajak bekerja
sama.[55]
Kebijakan Uni Eropa
sebagai sebuah organisasi suprapolitik sedikit banyak dipengaruhi oleh situasi domestik
negara-negara anggotanya. Dengan kemunculan sentimen negatif terhadap minoritas Islam,
kebijakan luar negeri terhadap negara-negara
Islam itu sendiri mengalami
pergeseran. Meskipun demikian, pergesaran politik luar negeri Uni Eropa
terhadap negara-negara Islam tersebut tidak hanya diakibatkan oleh keberadaan sentimen negatif kebanyakan negara anggota terhadap Islam,
melainkan juga karena kemunculan
politik Islam di kawasan Mediterania dan Arab yang mayoritas
berbasis Islam.[56]
Uni Eropa dan negara-negara Arab Mediterania
telah menjalin relasi dalam jangka waktu yang cukup lama, yang telah dimulai
sejak pembentukan European Economic
Community pada tahun 1995, dan mengalami peningkatan yang cukup signifikan
pada tahun 2000 melalui European
Neighboorhood Policy dan Union for
Mediterranean.27[57]
Efek krisis pada tahun 1980-an yang menimpa negara-negara di kawasan Arab
dan Mediterania serta distribusi
bantuan global yang tidak merata sebagai akibat dari berakhirnya Perang Dingin
telah menyebabkan banyak negara di wilayah tersebut mengalami degradasi ekonomi
politik yang memicu melemahnya pemerintahan otoriter.[58]
Adanya prospek bantuan dari Uni Eropa
serta munculnya kemungkinan akan peningkatan stabilitas politik, membuat
kerjasama dengan Eropa menjadi sebuah konteks yang
diterima secara meluas oleh pemerintahan Arab Mediterania pada masa itu.[59]
Madrid Peace Conference di tahun 1992
menjadi salah satu instrumen yang mampu menghangatkan kembali hubungan antara
Uni Eropa dan negara-negara Arab. Kemunculan Uni Eropa yang secara signifikan
memberikan pengaruh terhadap menyebarnya paham demokrasi dan liberal di daratan
Mediterania berjalan lebih lancar daripada yang diharapkan dengan adanya adopsi
negara-negara Arab terhadap poin-poin yang terdapat dalam Barcelona Declaration.[60]
Secara umum, Uni Eropa memiliki dominasi yang kuat di kawasan Timur Tengah dan
Mediterania pada masa itu.
Awal tahun 1990-an harus dipahami pula
sebagai era kemunculan politik Islam. Pada mulanya gerakan-gerakan yang
berbasis Islam ini hanya menjadi gerakan sosial tanpa adanya agenda politik
yang jelas. Namun seiring dengan berjalannya waktu, berbagai agenda politik dan
penyebaran Islamisasi mulai terlihat lebih nyata.
Hal ini sedikit banyak memberi pengaruh bagi hubungan antara Uni Eropa dan
negara-negara di kawasan Arab dan Mediterania. Kemunculan politik Islam pada
akhirnya juga memberikan pengaruh terhadap
kehidupan sosial masyarakat di kawasan tersebut, yang akhirnya membuat persepsi negara- negara Arab Mediterania
terhadap Uni Eropa sendiri mengalami perubahan. Di satu sisi, politik Islam telah membuat interaksi dengan Uni Eropa
melibatkan tingkat nasionalistik yang kuat dan cenderung anti-kolonial. Namun
disisi lain, banyak kelompok-kelompok politik Islam yang telah menerima secara
pragmatis nilai-nilai barat seperti Hak Asasi Manusia dan demokrasi.[61]
Perubahan pola politik di Arab Mediterania
ini telah membuat politik luar negeri Uni Eropa terhadap negara-negara di
kawasan tersebut cenderung mengalami stagnansi. Kemunculan politik Islam
membuat nilai-nilai Uni Eropa yang sempat tumbuh subur di dekade 1980-an mulai
memudar dan tidak lagi mengalami pengembangan yang signifikan di daratan
Mediterania.[62]
Ketakutan negara-negara ini akan nilai-nilai Islam yang terpolarisasi menjadi
Barat, membuat kebanyakan negara menutup diri terhadap Barat pada umumnya dan
Uni Eropa pada khususnya. Pada akhirnya Uni Eropa sendiri pun tidak menjalin
interaksi yang signifikan dengan kawasan Arab Mediterania. Bahkan dengan
kemunculan berbagai aktivitas radikalisme seperti Taliban dan ISIS membuat Uni
Eropa cenderung menempatkan kawasan Timur Tengah dan Mediterania sebagai bagian
dari kontra politik.
Munculnya Islamophobia di Perancis akibat
adanya berbagai tindak terorisme yang mengatasnamakan Islam telah berhasil
menciptakan kekacauan dan sentimen negatif terhadap masyarakat Muslim itu
sendiri. Keberadaan politik domestik yang kemudian mengedepankan prasangka
buruk ketika berinteraksi dengan Muslim berdampak pula pada kebijakan di
tingkat regional. Politik luar negeri Uni Eropa yang cenderung stagnan dengan
adanya keberadaan politik Islam, dalam titik tertentu bergeser ke sifat yang lebih tegas. Secara umum,
Uni Eropa melihat kawasan Timur Tengah dan Mediterania sebagai kawasan
yang tidak stabil, sehingga tujuan interaksi dalam wilayah tersebut adalah peace building dan stabilitas. Hal ini
tentu saja sejalan dengan upaya
kontra terorisme sebagai reaksi terhadap munculnya Islamophobia.
Beberapa pendekatan yang dijalankan di
kawasan negara Islam ini antara lain dilakukan terhadap Iran dan konflik
Israel-Palestina. Uni Eropa memberikan sanksi embargo pada Iran pada
pertengahan tahun 2012 sebagai respon atas pengembangan nuklir sebagai senjata
di negara tersebut.[63]
Uni Eropa merupakan salah satu konsumen minyak terbesar bagi Iran dengan jumlah
permintaan yang mampu mencapai 600.000 barel setiap harinya.[64]
Sanksi embargo yang dikenakan
terhadap Iran ini juga meliputi larangan penggunaan teknologi nuklir; embargo
gas alam dan larangan aktivitas bisnis yang berhubungan dengan sektor energi;
embargo senjata; larangan transaksi finansial dengan pemerintah Iran, Bank Iran, serta lembaga finansial lainnya.[65]
Sanksi yang tidak hanya diberikan oleh Uni Eropa akan tetapi juga Amerika
Serikat ini telah berhasil membuat Iran terisolasi dan akhirnya bersedia untuk melakukan perundingan. Ketika Iran
mengalami pergantian kursi jabatan, pemilihan umum yang menempatkan Hassan Rouhani
sebagai Presiden Iran sejak tahun 2013, agaknya tensi hubungan antara Iran
dengan Uni Eropa maupun Amerika Serikat sedikit
mereda dan kedua pihak bersedia
melaksanakan Joint Plan of Action
(JPA).[66]
JPA merupakan sebuah pendekatan untuk
menciptakan kerjasama komprehensif yang bersifat jangka panjang terkait dengan
program nuklir yang tengah dikembangkan oleh Iran. JPA juga memaksa Iran untuk
menghentikan sementara program nuklirnya dan meminta Iran untuk bersifat lebih
kooperatif terhadap program monitoring yang dilakukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Pada pertengahan tahun
2015, JPA berhasil mencapai kesepakatan akhir. Meskipun dinilai tidak efektif
untuk mengurangi potensi Iran dalam mengembangkan nuklir sebagai senjata, akan
tetapi dalam hal ini, situasi yang demikian tersebut menunjukkan bagaimana Uni
Eropa memiliki komitmen yang tinggi untuk menciptakan stabilitas di kawasan
Arab dan Mediterania. Upaya peace
building ini dapat dilihat pula sebagai upaya untuk mencegah penyebaran
radikalisme sehingga terorisme dalam kadar tertentu dapat dicegah.
Kerjasama yang terjalin antara Uni Eropa
dengan Amerika Serikat yang terjalin dalam bentuk JPA tersebut tentunya dapat
terwujud karena kedua negara menghadapi dilema dan permasalahan yang sama. Di
satu sisi ke dua aktor tersebt membutuhkan negara-negara Islam baik dalam
bidang ekonomi maupun dukungan politisnya. Namun, di sisi lain mereka juga
menghadapi tekanan berupa aksi-aksi terorisme yang mengatas namakan Islam, yang
hal ini tentunya secara langsung maupun tidak langsung akan semakin
meningkatkan tensi Islamophobia di kedua kawasan tersebut.[67]
Selain terhadap Iran, politik luar
negeri Uni Eropa di kawasan Arab yang berfungsi untuk meningkatkan stabilitas
di regional tersebut juga ditujukan kepada Israel utamanya dalam konflik
Israel-Palestina. Uni Eropa bersama dengan Amerika Serikat, Rusia, dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa aktif melakukan dialog yang diharapkan dapat
menciptakan Palestina yang berkelanjutan dan Irak yang lebih aman.[68]
Beberapa negosiasi yang dilakukan pada tahun 2014 tidak menemui hasil yang
baik, dan diperparah oleh adanya konflik antara Israel dan Hamas yang semakin
memanas. Upaya mendamaikan kedua belah pihak ini juga disertai pula oleh adanya
ancaman ekonomi terhadap Israel.
Terlepas dari kurang efektifnya platform kerjasama yang dicanangkan
oleh Uni
Eropa, akan tetapi pendekatan yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap
negara-negara Islam tersebut diatas, menunjukkan bagaimana fokus politik luar
negeri Uni Eropa memang ditujukan untuk menciptakan stabilitas politik kawasan.
Uni Eropa menyadari bahwa keamanan di tingkat regionalisme Eropa memiliki
keterkaitan dengan regionalisme tetangganya. Apalagi dengan munculnya sentimen
negatif terhadap kaum Muslim, persepsi dan tujuan Uni Eropa terhadap negara
Islam pun mengalami pergeseran. Peace
building dan penciptaan stabilitas kemudian dirasa perlu untuk mencegah
meluasnya radikalisme yang merupakan akar dari
terorisme.
C. Kebijakan
Pengetatan Imigrasi Uni Eropa Terhadap Imigran
Muslim
Fenomena migrasi menjadi salah satu
fokus problematika yang harus dihadapi oleh Eropa hingga saat ini. Perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lainnya memang
telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu. Meskipun demikian perubahan dalam
perihal rute, kuantitas, dan aturan mewarnai gelombang migrasi yang terjadi
pada era modern saat ini, sehingga
dirasa sangat perlu untuk diterapkannya kebijakan pengetatan kedatangan
daripada para imigran itu sendiri.[69]
Dengan kemunculan konsep negara bangsa serta sekularisasi antara agama dengan
pemerintahan pada abad ke-19 migrasi ke kawasan Eropa menjadi lebih “bureaucratised, directed, limited, and defined – through passports,
visas, border control, institution, and sharp distinction between the rights of
the citizen and those of non-member.”[70]
Pernyataan tersebut memberikan penekanan
bagaimana di era modern saat ini, migrasi ke wilayah Eropa menjadi isu
yang lebih diperhatikan dengan adanya upaya pembuatan aturan terkait dengan
migrasi itu sendiri.
Gelombang migrasi ke Eropa yang
didominasi oleh komunitas Muslim telah dimulai sejak pertengahan abad ke-20.
Meskipun pada akhir dekade tersebut, laju migrasi mulai mengalami penurunan,
akan tetapi perpindahan penduduk utamanya dari wilayah Mediterania ke kawasan
Eropa tidak menemui titik henti hingga di era modern saat ini. Bahkan memasuki
tahun 2010-an gelombang migrasi dari regional Arab ke Eropa mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Situasi ini didorong oleh adanya
ketidakstabilan politik di negara asal karena konflik internal yang sering
terjadi.
Mengatasi gejolak perpindahan penduduk dalam
jumlah masif, Uni Eropa pun mulai mengeluarkan berbagai kebijakan dan berupaya
untuk menyeragamkan kebijakan terkait migrasi di semua negara anggota. Terdapat
setidaknya tiga negara yang memiliki peranan besar dalam proses pembentukan
kebijakan migrasi di Uni Eropa, salah satunya adalah Perancis. Sebagai negara
penerima migrasi terbesar di Eropa, Perancis berhasil menempatkan fokus
kebijakan nasionalnya dalam tingkatan Uni Eropa, terutama ketika Nicholas
Sarkozy menjabat sebagai Presiden.
Mayoritas masyarakat migran yang
berada di Perancis berasal dari negara-negara
Islam, utamanya bekas negara protektorat Perancis, seperti Maroko dan Tunisia.
Sebagai negara yang menganut paham sekuler republik, Perancis merupakan salah
satu negara yang cenderung terbuka terhadap keberadaan imigran. Melalui para
pendatang yang banyak berasal dari
Afrika Utara, Islam pun mengalami perkembangan cukup signifikan di negara
tersebut, terbukti dengan tumbuhnya Perancis sebagai negara Eropa dengan
populasi Muslim terbanyak. Walaupun cenderung terbuka, bukan berarti stereotype tidak muncul diantara negara
Perancis. Imigran Muslim yang seringkali berstatus sosial rendah, membuat
mereka pun akhirnya termarjinalkan secara sosial dan politik.
Peristiwa 9/11 yang terjadi di
Amerika Serikat telah memicu tumbuhnya prasangka yang kian memburuk dari
masyarakat asli terhadap kaum minoritas Muslim di Perancis. Diskriminasi pun
berubah menjadi Islamophobia – sebuah
ketakutan berlebihan terhadap kaum Muslim yang kemudian mendorong berbagai
tindak kekerasan terhadap penganut Islam. Selain itu, Islamophobia yang terjadi di Perancis telah mendorong negara ini
membuat berbagai legislasi yang cenderung kontroversial. Pada tahun 2003,
Presiden Perancis pada saat itu, Jaques Chiraq, membuat sebuah rancangan
Undang-Undang yang melarang penggunaan simbol-simbol agama seperti hijab untuk
kaum Muslim dan kippa untuk kaum
Yahudi. Kemunculan aturan ini sekaligus memberikan secara tegas bahwa Perancis
adalah negara tempat lahirnya ide-ide besar dan negara yang memiliki sejarah
dan warisan budaya dengan pluralitas budaya, suku serta agama tidak boleh
mengkotak-kotakan masyarakatnya dalam berbagai komunitas.[71]
Rancangan Undang-Undang yang kemudian disahkan pada tahun 2004 tersebut,
diharapkan mampu mengembalikan dan menegakkan kembali tradisi Perancis yang
sekuler dengan memberikan garis pemisahan secara tegas antara agama dengan
pemerintahan negara.
Pengesahan rancangan Undang-Undang tersebut
kemudian diikuti berbagai aktivitas yang cenderung merugikan komunitas Muslim,
seperti penutupan sekolah Islam dan keharusan penggunaan bahasa Perancis ketika
melakukan khotbah. Lebih jauh lagi, tindak kekerasan baik dalam bentuk fisik
maupun verbal terhadap kaum minoritas Muslim pun mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Puncaknya di tahun 2012, ketika Nicholas Sarkozy menjabat,
Perancis akan memberlakukan kebijakan pengurangan setengah dari jumlah penduduk
imigran Muslim.43 Berbagai kebijakan Nicholas Sarkozy terkait dengan
pengetatan imigran Muslim di tataran nasional ini mampu dibawa ke lingkungan
regional ketika Sarkozy menjabat sebagai Pemimpin Dewan Uni Eropa periode
Juli-Desember tahun 2008.
Sejak saat itu, Perancis memainkan peranan
yang lebih signifikan untuk membentuk kebijakan imigrasi di Uni Eropa. Diawali
pada tahun 2008 dengan dimunculkannya The
European Act on Immigration and Asylum yang berisikan seperangkat aturan
dan pedoman terkait dengan pengembangan kebijakan imigrasi suaka di Eropa.
Pembentukan dokumen ini didasari oleh adanya tekanan migrasi dan kesenjangan
pembangunan di berbagai wilayah di Eropa, yang akhirnya membuat keberadaan
migrasi berdampak buruk bagi negara penerima. Dalam The European Act on Immigration and Asylum, negara-negara anggota
Uni Eropa berkomitmen penuh pada lima hal, yaitu sebagai berikut: [72]
a. Mengatur hukum imigrasi dengan
mempertimbangkan prioritas kebutuhan dan kemampuan penerimaan yang ditentukan
oleh masing-masing negara anggota dan mendorong adanya integrasi;
b.
Mengontrol imigrasi ilegal dengan
memastikan kembalinya imigran ilegal ke negara asal mereka atau negara transit;
c.
Mengefektifkan kontrol terhadap perbatasan;
d.
Membangun sebuah suaka Eropa;
e.
Menciptakan kemitraan yang komprehensif
dengan negara asal dan transit agar mendorong sinergi antara migrasi dan pembangunan.
Pakta Imigrasi yang dicanangkan oleh
Nicholas Sarkozy dan diimplementasikan oleh seluruh negara-negara anggota Uni
Eropa merupakan salah satu kebijakan pengetatan yang secara tidak langsung
bertujuan pula untuk mengurangi jumlah imigran Muslim di wilayah Eropa. Hal ini
tentu saja berkaitan dengan munculnya Islamophobia pasca insiden pengeboman
yang terjadi di tahun 2001, terulang kembali pada tahun 2005, dan kemudian
mulai muncul secara tidak teratur dan terus menerus di beberapa negara Eropa.
Intisari dari The European Act on
Immigration and Asylum tersebut adalah untuk mengatur lima prioritas yaitu;
imigrasi legal dan integrasi; pengaturan imigrasi ilegal; pengaturan batas
wilayah yang lebih efektif; sistem pemberian suaka Eropa; serta migrasi dan
pembangunan.[73]Dalam
kesepakatan bersama terkait dengan imigrasi ini terdapat dua poin pokok
kebijakan yang gencar dipromosikan oleh Uni Eropa yaitu:[74]
Return Directive Kebijakan ini merupakan salah satu
kebijakan Uni Eropa yang dinilai
sangat kontroversial dan mendapatkan banyak kritik dari berbagai Non- Governmental Organization (NGO)
karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kebijakan Return Directive ini merupakan bentuk
kebijakan pengembalian langsung imigran ilegal ke negara asalnya seperti yang
tercantum dalam Immigration Pact sebagai
berikut; “irregular aliens on member
states’ territory must leave that territory.” Kebijakan ini sudah
ditandatangani sejak tahun 2008, namun baru mulai berlaku pada tahun 2010 dan telah diterapkan di beberapa negara anggota, salah satunya adalah Perancis. Adapun
pelaksanaan kebijakan Return Directive yang
berlaku di Uni Eropa sendiri memiliki teknis pelaksanaan yang mirip dengan
kebijakan Return Directive di
Perancis, yang mana dilakukan dengan dua cara yaitu secara sukarela dari
imigran itu sendiri atau dengan menggunakan campur tangan pemerintah negara masing-masing.
Blue Card Scheme Skema Kartu Biru merupakan kebijakan
yang dimaksudkan untuk mengatur masuknya tenaga kerja di Eropa. Kebijakan ini
pada dasarnya mengadopsi kebijakan greencard
di Amerika Serikat yang difungsikan
untuk menarik masuknya tenaga kerja ahli ke Uni Eropa. Skema Kartu Biru ini kemudian akan memberikan kemudahan
bagi pemegangnya untuk memperoleh tempat tinggal serta untuk membawa anggota
keluarganya berpindah ke wilayah Eropa. Blue
Card Scheme merupakan salah satu cara Uni Eropa untuk memperoleh imigran
yang berkompeten sehingga tidak menjadi tanggungan bagi negara penerima. Dengan adanya kebijakan ini, maka
komitmen utama dalam The European Pact yaitu
menyelaraskan migrasi dan pembangunan
dapat dilaksanakan. Blue Card Scheme juga
merupakan bukti keberhasilan Perancis untuk membawa kebijakan domestik ke tingkat
internasional. Dalam tingkatan kebijakan nasional, Perancis telah menerapkan
undang-undang yang membatasi pekerja imigran yang tidak terlatih ataupun
terdidik untuk memasuki Eropa dengan adanya pembedaan antara visa dan stay document. Kebijakan ini mengindikasikan bahwa pemerintah
Perancis hanya akan memberikan hak tinggal kepada migran yang tidak mengurangi
produktivitas rata-rata di Perancis.[75]
Blue Card Scheme memungkinkan
kebijakan ini diterapkan secara menyeluruh di antara negara- negara anggota Uni Eropa.
Kebijakan Uni Eropa yang demikian tersebut, menunjukkan
bagaimana situasi politik dalam negeri di negara anggota dapat mempengaruhi
kebijakan terhadap Uni Eropa secara keseluruhan. Didasarkan pada Decision Making Process oleh David
Easton, maka sentimen negatif terhadap kaum minoritas muslim yang sudah
terdapat di Perancis menjadi salah satu input
bagi pembentukan kebijakan pengetatan imigrasi. Pemerintahan Nicholas
Sarkozy yang secara intensif mengembangkan kebijakan yang kontra terhadap
imigran terutama imigran muslim seperti dengan pembatasan jumlah imigran, serta
munculnya tuntutan masyarakat akan situasi yang aman dari gangguan terorisme
akhirnya berhasil dibawa ke lingkup kawasan ketika Sarkozy menduduki jabatan
tertinggi dalam Uni Eropa. Munculnya kebijakan The European Act on Immigration and Asylum menjadi reaksi terhadap input dari
Perancis yang didorong oleh keinginan akan peningkatan human security. Akhirnya, pengetatan
kebijakan di tingkat Uni Eropa pun secara tidak langsung berhasil memenuhi
tujuan yang ingin dicapai Perancis. Dengan demikian adanya pelanggaran terhadap
aturan tersebut tentunya akan dipandang sebagai sebuah aksi kejahatan kriminal
transnasional.[76]
D. Upaya
Peningkatan Kontra Terorisme
Sama halnya dengan kemunculan
Islamophobia yang meningkat secara
signifikan pasca pengeboman gedung World
Trade Center pada tahun 2001, kebijakan kontra terorisme pun muncul sejalan
dengan adanya propaganda besar-besaran Amerika Serikat akan Global War on Terrorism. Selain
menyampaikan kabar duka yang diwakili
oleh Javier Solana, Uni Eropa menanggapi insiden berdarah tersebut dengan
memberikan reaksi terhadap terorisme sebagai sebuah kejahatan luar biasa
sehingga perlu adanya penguatan badan-badan hukum, penegakan hukum dan
perundangan, serta penghormatan terhadap HAM sesuai Resolusi PBB 1373. Reaksi
tersebut kemudian mendasari organisasi ini untuk mengembangkan platform kerjasama terkait dengan
penumpasan terorisme dengan berbagai negara, utamanya dengan Amerika Serikat.
Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa Uni Eropa memiliki keinginan yang kuat
untuk menjadi salah satu aktor dalam hal usaha melawan terorisme.[77]
Hal ini diimplementasikan pada berbagai kebijakan luar negerinya yang telah
terlebih dahulu dikoordinasinakan negara-negara anggotanya.[78]
Peranan utama Uni Eropa dalam agenda
kontra terorisme di atas terkait dengan segala bentuk kebijakan melawan
terorisme yang dapat berupa tiga cara yakni pencegahan penyebaran teorisme,
perlawanan terhadap aksi terorisme, dan penggagalan aksi teorisme yang telah
direncanakan. Ketiga cara tersebut ditujukan untuk menjaga ketertiban umum,
melindungi masyarakat dari rasa takut, dan mencegah digunakannya senjata kimia
dan biologis oleh kelompok teroris. Selain itu, tujuan lain dari diterapkannya
ketiga cara tersebut ialah untuk meyakinkan bahwa batas-batas negara Uni Eropa
aman dan tidak disusupi oleh kelompok-kelompok terorisme.[79]
Menghadapi penyebaran terorisme, Uni
Eropa membangun kerjasama dengan regional ASEAN
yang mana kerjasama tersebut mencerminkan makna strategis dan
keseimbangan antara kepentingan ekonomi serta keamanan. Dalam
kerjasama antarregional ini pula terlihat preferensi Uni Eropa yang lebih memfokuskan kerjasama kontra
teror dengan menghormati HAM, good
governance, memperkuat badan penegak hukum, dan memandang upaya kontra teror sebagai bagian dari konsep
keamanan komprehensif atau comprehensive
security.[80]
Dengan demikian Uni Eropa berusaha mengkonstruksikan atau menjaga citra dirinya sebagai sebuah entitas yang
tetap berlandaskan pada demokrasi dalam setiap pembuatan kebijakannya.[81]
Pendekatan yang dilakukan terhadap kawasan
ASEAN ini pada kenyataannya juga dilakukan terhadap kawasan negara Arab
Mediterania. Melalui kerjasama di bidang reformasi peradilan, kepolisian,
sistem penjara, dan keamanan perbatasan, Uni Eropa berinisiatif untuk melakukan
pencegahan terhadap penyebaran paham radikalisme di negara-negara Magribi, yang meliputi Aljazair,
Tunisia, dan Maroko.[82]
Kerjasama kontra teror yang dijalankan oleh Uni Eropa dengan
kawasan negara Arab merupakan bagian dari European
Neighborhood Policy, yang mana
lebih bersifat legal konstitusional. Dalam wadah kerjasama ini pula, Uni Eropa
memiliki peranan yang besar untuk membantu negara-negara Afrika Utara agar
menerapkan Resolusi PBB 1267 (1999) dan 1373 (2001). Secara umum, kedua Resolusi tersebut meminta
negara-negara anggota PBB untuk melakukan langkah-langkah demi meningkatkan
kemampuan di bidang penegakan hukum dalam melawan terorisme di tingkat
nasional, regional, maupun global.[83]
Kontra terorisme di daratan Eropa pada
dasarnya merupakan salah satu kebijakan yang sudah cukup lama. Kebijakan
pertahanan untuk melawan berbagai aksi teror sudah tumbuh di lingkungan Uni
Eropa bahkan jauh sebelum munculnya War
on Terrorism pada pemerintahan Geroge W.
Bush, Jr. di Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bagaimana Uni Eropa
telah lama menyadari dirinya sebagai sebuah target yang potensial bagi berabagai aksi
terror.[84] Beberapa
negara seperti Jerman, Italia, Spanyol, dan Perancis merupakan beberapa contoh
negara anggota Uni Eropa yang telah
mengalami berbagai aksi terorisme domestic.[85]
Tentunya segala macam pendekatan terhadap usaha kontra terorisme tersebut
dirancang dengan mempertimbangkan aspek komunikasi strategis yang ditujukan
baik untuk target eksternal maupun domestik.[86]
Spanyol mengalami serangan dari kelompok
teror Euskadi Ta Askatasuna (ETA)
yang berasal dari Bosque sampai kelompok tersebut akhirnya mengalami kemunduran
dan berubah menjadi aksi kekerasan secara sporadis pada tahun 1990-an.[87]
Perancis yang memberikan dukungan terhadap pemerintahan Aljazair mendapatkan
banyak serangan terorisme domestik utamanya pada tahun 1995 hingga 1996,
sementara itu Jerman memperoleh ancaman terorisme akibat dari besarnya
komunitas Kurdi dan Turki di negara tersebut.[88]
Meskipun negara-negara anggota Uni Eropa mengalami ancaman terorisme yang
berbeda-beda akan tetapi kebijakan kontra teror yang dikeluarkan oleh Uni Eropa sudah dibentuk pada tahun
1970-an. Kemudian pada tahun 1980-an, seiring dengan munculnya European Common Market, organisasi
regional ini memiliki sebuah wadah yang bernama kelompok Terrorism, Radicalism, Extremisme et Violence Internationale (TREVI)
yang dibentuk pada tahun 1976
sebagai forum diskusi dan kerjasama antarkepolisian
serta intelijen.[89] Kerangka
TREVI ini kemudian dijadikan dasar pembentukan Justice and Home Affairs pada tahun 1993.
Sebelum adanya peristiwa 9/11, Uni Eropa
pada dasarnya memiliki keengganan untuk bekerjasama dengan Amerika Serikat
terkait dengan upaya kontra terorisme. Hal ini didasarkan pada pandangan Uni
Eropa bahwa, ancaman terorisme yang dialami oleh Amerika Serikat merupakan
harga yang harus dibayar oleh negara tersebut karena aktivitasnya yang begitu
ekstrem di Timur Tengah serta pemberian dukungan secara terbuka kepada Israel.[90]
Namun, serangan terorisme yang mampu menghancurkan Gedung World Trade Center di tahun 2001,
akhirnya berhasil merubah persepsi Uni Eropa bahwasanya mereka pun rapuh
terhadap terorisme dengan modus operandi yang radikal oleh kelompok Islam
semacam itu.[91] Persepsi
ini kemudian diperkuat dengan serangan terorisme di Madrid pada tahun 2004 yang
menewaskan 200 jiwa.[92]
Munculnya aktivitas terorisme yang merupakan
bagian dari gerakan Islam radikal, memunculkan sentimen negatif terhadap
imigran Muslim yang tinggal di Eropa. Berbagai peristiwa pengeboman yang
mengatasnamakan Islam, membuat banyak warga Muslim Eropa memperoleh
diskriminasi dan kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Ketakutan warga
Eropa memunculkan tuntutan akan peningkatan keamanan, yang kemudian direspon
oleh Uni Eropa dengan melakukan pengetatan terhadap kebijakan kontra terorisme.[93]
Perlawanan terhadap terorisme itu sendiri
oleh Uni Eropa tidak dilihat sebagai perang, melainkan sebagai tantangan jangka
panjang yang membutuhkan penanganan
secara komprehensif.[94]
Dengan pandangan yang demikian, maka dalam
penumpasan terorisme, Uni Eropa cenderung menggunakan berbagai instrumen soft politic dengan menempatkan
terorisme sebagai sebuah kejahatan. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai
dokumen legislasi Uni Eropa, yaitu European Union Action Plan on Combating
Terrorism dan European Union
Counterterrorism Strategy yangmana lebih menekankan upaya untuk
mengkriminalkan terorisme.[95]
Kemajuan dalam bidang kontra terorisme di Uni Eropa ini baru terlihat lebih nyata setelah adanya serangan 9/11
di Washington D.C. pada tahun 2001,
yang disusul dengan insiden Madrid tahun 2004. Keengganan untuk bekerjasama
dengan Amerika Serikat mengalami perubahan dengan mulai mengikutsertakan
pemerintahan George W. Bush, Jr.
pada masa, itu ke dalam berbagai
pembahasan European Security Strategy (ESS).[96]
Meskipun upaya kontra terorisme mulai terlihat lebih nyata, akan tetapi upaya
Uni Eropa tersebut masihlah bersifat defensif.
Situasi yang demikian ini dipengaruhi oleh
pandangan Uni Eropa, yang memiliki
persepsi bahwa terorisme merupakan sebuah problematika internal, sehingga dalam
berbagai kebijakan kontra terorisme-nya, organisasi ini lebih menekankan pilar pencegahan.[97]
Aktivitas defensif ditujukan untuk mencegah serangan teroris dengan cara
mengidentifikasi dan menangkap teroris saat menuju
sasaran, mencegah akses untuk menyerang target, dan meminimalkan
kerusakan dari serangan, serta berupaya untuk menangkap pelaku tindak terorisme
tersebut untuk kemudian dihadirkan ke hadapan pengadilan. Uni Eropa juga lebih menekankan aktivitas defensif
yang berpusat pada sipil serta melibatkan kepolisian dan departemen terkait. Council
of European Union menetapkan empat pilar dalam aktivitas counter-terrorism, yaitu:
1.
Pencegahan (Prevention) Berdasarkan dokumen formal EU Counter-Terrorism Strategy, prevention merupakan tindak pencegahan
agar orang tidak mengambil jalan terorisme dengan menangani berbagai faktor
atau akar penyebab yang memicu munculnya radikalisme. Dengan demikian, pilar prevent ini ditujukan untuk melawan
radikalisasi dan perekrutan kelompok teror seperti Al-Qaeda ataupun Taliban.
Selanjutnya prioritas utama dalam pilar ini dijabarkan antara lain sebagai
berikut:74
1) Mengembangkan
pendekatan bersama untuk mengetahui dan menangani
masalah perilaku, terutama penyalahgunaan internet;
2) Menangani
masalah penyebaran kebencian dan perekrutan, terutama di tempat-tempat penting, misalnya penjara, tempat pelatihan
keagamaan, atau tempat ibadah dengan menerapkan UU yang membuat perilaku ini
sebagai pelanggaran;
3) Mengembangkan
strategi media dan komunikasi untuk menjelaskan kebijakan Uni Eropa dengan lebih baik;
4) Memajukan
pemerintahan yang baik, demokrasi, pendidikan, dan kemakmuran ekonomi melalui
program bantuan Komunitas dan Negara nggota;
5) Mengembangkan
dialog antarbudaya di dalam dan di luar Uni Eropa;
6) Mengembangkan
kosak kata yang non-emosional untuk
membahas masalah tersebut;
7) Terus
melakukan riset, berbagi analisis dan pengalaman dalam upaya untuk memajukan
pemahaman mengenai masalah terorisme dan kemudian mengembangkan respon kebijakan.
Prevention atau pencegahan merupakan
salah satu strategi utama Uni Eropa dalam usahanya untuk meningkatkan upaya
kontraterorisme. Berbagai macam bentuk pencegahan berkembangnya bibit-bibit
terorisme dan usaha untuk terus mencari solusi terbaik dalam memerangi terorisme
juga dilakukan melalui pendekatan ilmiah dan akademis. Bentuk nyata dari usaha
kontraterorisme yang dilakukan oleh Uni Eropa melalui pendekatan ilmiah dan
akademik tersebut ialah sering diselenggarakannya konferensi atau pertemuan
yang membahas mengenai pencegahan terorisme maupun mencari solusi terbaik dalam
melawan terorisme global. Berbagai macam konferensi dan pertemuan tersebut
dapat berupa acara internal Uni Eropa maupun acara bersama antara Uni Eropa
dengan pihak eksternal lainnya. Adapun contoh dari konferensi dan pertemuan
tersebut antara lain: The Hague Conference Center for International Counter
Terrorism yang diselenggarakan di Den Hag, Belanda,[98]
International Conference on Engaging Partners
for Capacity-Building: United
Nations‟ Collaboration
with Counter- Terrorism Centres yang merupakan
kolaborasi antara Uni Eropa dan PBB diselenggarakan di Brussel, Belgia,[99]
ASEM Counter-Terrorism yang merupakan pertemuan besar antara Uni Eropa dan negara-negara Asia
diselenggarakan di Brussel,[100]
The EU Security, Migration and Borders Conference yang diselenggarakan di
Cardiff, Inggris,[101]
The Global Counterterrorism Forum merupakan forum kajian bersama Uni Eropa dan
29 negara lainnya diselenggarakan secara bergantian oleh Belanda dan Maroko, serta
masih banyak lagi. Berbagai macam konferensi dan pertemuan tadi diselenggarakan
setiap tahunnya bahkan dapat diselenggarakan secara mendadak apabila ada
sesuatu yang mendesak.
2.
Perlindungan (Protection)
Sementara pilar kedua yaitu protection dimaksudkan sebagai upaya
untuk melindungi warga negara dan infrastruktur, serta mengurangi kerapuhan Uni Eropa terhadap serangan dengan
memperbaiki keamanan di perbatasan, transportasi, dan infrastruktur vital.
Salah satu bentuk realisasi dari pilar ini adalah keberadaan European Borders Agency atau Frontex yang berperan dalam menyediakan
penilaian resiko sebagai upaya untuk memperketat pengendalian dan pengawasan
perbatasan eksternal Uni Eropa. Uni Eropa juga
memiliki Visa Information System dan
Schengen Information System yang akan
memastikan pejabat berwenang dapat berbagi dan mengakses berbagai informasi
yang dibutuhkan serta menghentikan individu yang ingin masuk ke wilayah Schengen. Beberapa prioritas utama dalam
pilar protect ini adalah sebagai berikut:[102]
1) Melakukan perbaikan keamanan dalam
pembuatan paspor Uni Eropa dengan memperkenalkan biometrik;
2) Mengembangkan analisis resiko melalui
Frontex terhadap perbatasan eksternal
Uni Eropa;
3) Menerapkan standar bersama yang
disepakati di bidang penerbangan, sipil, pelabuhan, dan keamanan maritim
4) Menyepakati program Uni Eropa di
bidang perlindungan infrastruktur;
5) Memanfaatkan aktivitas riset di Uni Eropa.
Pilar ketiga dalam kebijakan kontra
terorisme yang digalakkan oleh Uni Eropa yaitu pursuit merupakan upaya untuk mengejar dan menyelidiki teroris di
wilayah Uni Eropa dan secara global; menghambat perencanaan, perjalanan, dan
komunikasi; mengganggu jaringan pendukung mereka; menghentikan pendanaan dan
akses ke bahan peledak, serta membawa pelaku tindak terorisme ke muka hukum.
Salah satu langkah penting dalam realisasi pilar ini adalah pemberlakukan European Arrest Warrant yang menjadi instrumen penting dalam
mengejar dan menyelidiki teroris. Beberapa prioritas utama dalam pilar ini dijabarkan
antara lain sebagai berikut:[103]
Memperkuat kapabilitas nasional untuk melawan
terorisme;
1) Memanfaatkan sepenuhnya Europol dan
Eurojust untuk memudahkan kerjasama antarbadan kepolisian dan yudisial serta
terus mengintegrasikan ancaman dari Joint
Situation Center ke dalam pembuatan kebijakan kontrateror di tingkat nasional;
2) Mengembangkan pengakuan putusan
yudisal lebih jauh, termasuk
mengadopsi European Evidence Warrant;
3) Memastikan penerapan dan evaluasi sepenuhnya perundangan yang ada
serta melakukan ratifikasi berbagai perjanjian dan konvensi internasional yang
berhubungan dengan kontraterorisme;
4) Mengembangkan ketersediaan informasi
penegakan hukum;
5) Mencegah akses teroris terhadap
senjata dan bahan peledak, dari komponen bahan peledak rakitan hingga peledak
dari kimia, biologi, radiologi, dan nuklir.
6) Mencegah pendanaan teror, termasuk
menerapkan perundang-undangan yang disepakati untuk mencegah penyelewengan dana
di sektor nirlaba dan mengkaji kinerja
Uni Eropa secara keseluruhan di bidang ini;
7) Memberikan bantuan teknis untuk
memperkuat kapabilitas negara-negara di luar
Uni Eropa.
4.
Respon (Response)
Sementara itu, yang dimaksud dengan respon dalam hal ini
adalah mempersiapkan Uni Eropa dalam semangat solidaritas untuk mengelola dan
memimalisir konsekuensi serangan teroris dengan meningkatkan kapabilitas untuk
menghadapi kondisi pascaserangan, koordinasi respon, dan kebutuhan korban.
Untuk merespon keadaan darurat yang disebabkan
oleh serangan terorisme, Uni Eropa lebih mengandalkan peranan negara-negara
anggota di wilayah bersangkutan. Prioritas utama dalam pilar respon ini antara lain sebagai berikut:
1)
Menyepakati European Union Crisis Coordination Agreements dan mendukung
prosedur operasionalnya;
2)
Merevisi peraturan perundangan
tentang Community Mechanism untuk
perlindungan warga sipil;
3)
Mengembangkan penilaian resiko
sebagai instrumen untuk meningkatkan kapabilitas dalam merespon serangan;
4)
Meningkatkan koordinasi dengan
organisasi internasional dalam mengelola respon serangan teroris dan bencana
lainnya;
5)
Berbagi latihan terbaik dan
mengembangkan pendekatan untuk memberikan bantuan kepada korban terorisme
beserta keluarga mereka.
Komitmen Uni Eropa untuk memerangi
terorisme dapat dilihat sebagai akibat munculnya Islamophobia yang meningkat
secara signifikan pascatragedi pengeboman World
Trade Center. Tindakan terorisme yang mengatasnamakan Islam membuat
masyarakat Muslim menjadi target stereotype
negatif. Masyarakat Eropa mengalami penurunan tingkat human security serta adanya degradasi terhadap perdamaian sebagai
akibat munculnya pandangan buruk yang memicu
tindak kekerasan terhadap Muslim, terutama di Perancis dengan tingkat populasi
Muslim terbesar di Eropa. Kebijakan kontraterorisme yang dijalankan oleh Uni Eropa merupakan salah satu respon
terhadap Islamophobia yang sekaligus ditujukan untuk
mengembalikan situasi damai di kawasan tersebut. Hingga saat ini,
kontraterorisme masih menjadi agenda politik dan isu yang penting di Eropa.
Terlebih lagi setelah kemunculan kelompok Islamic
State of Iraq and Syria (ISIS).
Tumbuhnya ISIS sebagai organisasi
teroris radikal yang menguasai
sebagaian wilayah Irak dan Suriah, bahkan telah membuat kebijakan defensif Uni
Eropa berubah menjadi ofensif. Hal ini dapat dilihat dengan keikutsertaan
sebagian anggota Uni Eropa, yang antara lain adalah; Belgia, Denmark, Perancis,
dan Belanda, dalam sebuah serangan udara gabungan bersama dengan NATO di Irak.[104]
Meskipun demikian Uni Eropa pun juga tidak meninggalkan pendekatan secara
defensif dalam isu yang terjadi di
Timur Tengah ini. Uni Eropa meningkatkan kerjasama dengan
Amerika Serikat untuk aktif melakukan dialog dalam level internasional yang
bertujuan untuk mendorong pemerintahan Assad di Suriah agar bersedia ke meja
perundingan.[105]
Dalam hal ini, Uni Eropa pun ikut memberikan sanksi embargo kepada pemerintahan
Bashar al-Assad pada tahun 2012.
Insiden terakhir di tahun 2015, yaitu
serangan secara sporadis di Paris telah meningkatkan kekhawatiran Uni Eropa
terkait dengan serangan terorisme. Sebagai akibat dari serangan yang diyakini berasal dari
kelompok ISIS, Islamophobia di Perancis mengalami peningkatan yang sangat
signifikan sehingga mendorong adanya kebijakan pengetatan imigrasi terutama
bagi imigran yang berasal dari Suriah serta penguatan kebijakan kontra
terorisme. Secara umum, berbagai respon
yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap munculnya Islamophobia yang mulai
berkembang secara signifikan merupakan seperangkat kebijakan yang saling berhubungan.
Islamophobia telah membuat tingkat human security dan perdamaian di Eropa
terutama di wilayah Perancis mengalami penurunan. Sebagai komitmen Uni Eropa untuk melindungi warga negaranya,
dengan menciptakan keamanan, organisasi ini mengeluarkan seperangkat kebijakan
untuk mengurangi tingkat stereotype terhadap
Muslim dengan pengetatan kebijakan imigran terutama yang berasal dari
negara-negara Islam. Secara tidak langsung pengetatan kebijakan imigrasi
tersebut juga bagian dari upaya
kontra terorisme, yaitu pada pilar prevent.
Mengingat bagaimana sumber-sumber terorisme utamanya berasal dari negara Islam,
pergerakan imigran Islam yang dipersempit melalui kebijakan imigrasi yang lebih
ketat difungsikan untuk mengurangi potensi sumber-sumber terorisme itu sendiri.
Sehingga kemungkinan akan terjadi serangan terorisme di lingkup domestik dapat dikurangi.
Memasuki tahun 2012, kebijakan kontra
terorisme yang digalakkan oleh Uni Eropa ini pun juga mulai mengalami
pergeseran. Kebijakan awal yang bertumpu pada pilar defensif telah meningkat
menjadi ofensif dengan keterlibatan Uni Eropa dalam serangan udara untuk
memberantas terorisme dari sumbernya. Kebijakan ini sejalan dengan politik luar
negeri yang diusung oleh Uni Eropa terhadap negara-negara Arab Mediterania. Uni
Eropa memandang kawasan Timur Tengah sebagai wilayah yang tidak stabil,
sehingga politik luar negeri terhadap kawasan ini seringkali ditujukan untuk
menciptakan stabilitas dan peace building.
Melalui tujuan yang demikian ini diharapkan radikalisme dapat dikurangi
sehingga, akar terorisme itu sendiri sedikit demi sedikit dapat diberantas.
Pada akhirnya berbagai kebijakan yang
digalakkan oleh Uni Eropa ini sendiri membawa dampak bagi komunitas Muslim yang
tinggal di Eropa, utamanya Muslim di Perancis yang memegang proporsi terbesar
komunitas Muslim di Eropa. Kebijakan yang sifatnya internasional dan meluas
seperti kontra terorisme dan politik luar negeri Uni Eropa memang tidak begitu
memberikan dampak secara langsung, akan tetapi kebijakan pengetatan imigrasi
dengan mengeluarkan Skema Kartu Biru dan pengembalian secara langsung imigran
yang tidak memiliki dokumen lengkap memberikan dampak cukup signifikan bagi
komunitas Muslim. Pengaruh ini dapat dilihat dari berbagai segi, seperti
sosial, politik, dan bahkan hukum.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab yang terdahulu, dapat disimpulkan
bahwa, Perang Balkan merupakan perang
antara negara-negara Balkan dengan
Kesultanan Turki Utsmani
di wilayah Balkan yang berlangsung dari tahun 1912 hingga tahun 1913. Pada dasarnya,
penyebab utama terjadinya Perang Balkan ini ialah
karena ambisi dan dendam pribadi
antara masing-masing penguasa
negeri Balkan dengan Kesultanan Turki Utsmani. Didorong pula oleh kemunduran
Kesultanan Utsmani, dominasi Rusia, perang Turki-Itali (1911-1912), ide
nasionalisme, propaganda, terbentuknya aliansi Balkan serta gagalnya
diplomasi. Secara kronologis, Perang Balkan pertama
dimulai pada tanggal 8 oktober
1912 M, terhitung
dua lawan satu,
Turki Utsmani dengan
cepat dikalahkan oleh keempat anggota Liga Balkan. Hanya tiga benteng
pertahanan kota yang mampu dipertahankan cukup lama yakni Yanya (Ioannina), Uskudar (Shkoder), dan Edirne. Namun, kesemuanya ini jatuh pada
April 1913 M. Selain Istanbul, pada akhir
Perang Balkan I seluruh wilayah
Turki Utsmani di Eropa
hilang yang ditandai dengan perjanjian London pada 30 Mei 1913. Selanjutnya,
pada 1 Juni 1913 para negara anggota Liga Balkan bersiteru antara mereka
sendiri untuk memperebutkan wilayah taklukkan yang berhasil direbut
dari Kesultanan Turki Utsmani sehingga meletuslah Perang Balkan II. Turki Utsmani mengambil keuntungan dari konflik para bangsa Balkan untuk mengambil kembali Edirne dan Thrace timur
(saat ini Turki Eropa).
Implikasi yang ditimbulkan dari
Perang Balkan terhadap kehidupan Muslim di Balkan atau kini lebih sering
disebut Eropa Tenggara bukan hanya menimbulkan implikasi negatif, akan tetapi
juga positif. Secara politis, terdapat tiga dampak yang timbul yakni: a.
Perselisihan batas wilayah, b. Perebutan kekuasaan antar anggota Liga Balkan,
c. Hancurnya kesatuan wilayah. Selain itu, dari segi sosial masyarakat Muslim
Balkan terdapat tiga implikasi yang muncul yakni: a. Hancurnya nilai-nilai dan
norma, b. Diskriminasi kelompok, dan c. Bertambahnya solidaritas internal, yang
merupakan salah satu implikasi positif yang timbul akibat Perang Balkan. Secara
umum, muslim Balkan menjadi minoritas di kalangan mayoritas Kristen Balkan.
Akibat dari kekejaman perang, banyak
populasi muslim yang melarikan diri ke Anatolia sehingga populasi Muslim di
Balkan pada waktu itu berkurang secara signifikan. Pembantaian muslim,
perusakan kampung muslim, dan kekejaman lainnya telah berlangsung selama dan
setelah Perang Balkan. Populasi muslim yang mampu bertahan hidup di Balkan
harus menyesuaikan diri dengan pemerintahan baru yang telah dipegang oleh kaum Kristen.
B.
SARAN
Makalah ini dibuat dalam ruang
lingkup Islam Modern di daerah Balkan, dengan maksud mengungkap aspek yang
luput dari perhatian para penulis sejarah, baik dari kalangan Islam maupun yang
lainnya. Di antaranya ialah implikasi yang ditimbulkan dari Perang Balkan
terhadap kehidupan sosial-politik Islam di Balkan atau yang kini lebih sering
disebut Eropa Tenggara. Meskipun begitu, aspek-aspek tertentu dari Perang
Balkan masih belum tersentuh. Misalnya, dampak perekonomian yang ditimbulkan
dari Perang Balkan terhadap negara-negara yang terlibat seperti Bulgaria,
Serbia, Montenegro, Yunani, Albania, Rumania, bahkan bisa lebih luas lagi ke wilayah
Turki.
Selain itu dapat pula dideskripsikan
bagaimana pandangan umat Islam tentang
tragedi pembantaian Muslim pasca Perang Balkan. Begitulah aspek-aspek yang
menurut penulis dapat dikembangkan dari penelitian ini. Terlepas dari
kekurangannya, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali,A. Mukti. Islam dan Sekularisme di Turki Modern. Jakarta:
Djambatan, 1994.
Amin, Samsul
Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
Amzah, 2010.
A.
Hall, Richard. The Balkan Wars 1912-1913: Prelude to the
First World War. London: Routledge, 2000.
Djaja,Wahjudi. Sejarah Eropa: Dari Eropa Kuno Hingga Eropa
Modern.
Yogyakarta: Ombak, 2015.
Furat,
Ayse Zisan dan Hamit Er. Balkans and
Islam: Encounter, Transformation, Discontinuity, Continuity. t.tp:
Cambridge Scholar Publishing, 2012.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, terj. Nugroho
Notosusanto. Jakarta: UI Press, 1985.
Grolier
Internasional. Negara dan Bangsa: Jilid 7.
Jakarta: PT. Widyadara, 2003.
H.
Lauer, Robert.Perspektif Tentang Perubahan Sosial, terj.
Alimandan. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Hamid, Abd Rahman
dan Muhammad Saleh Madjid.Pengantar Ilmu
Sejarah.
Yogyakarta: Ombak, 2011.
Husaini, Adian.Konflik Yahudi-Kristen-Islam: Tinjauan
Historis. Jakarta: Gema Insani, 2004.
I.
Cleveland, William. Islam Menghadapi Barat. terj. Ahmad
Niamullah Muiz. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Iqbal, Akhmad. Perang-Perang Paling Berpengaruh di Dunia. Yogyakarta:
Jogja Bangkit Publisher, 2010.
J.
Zurcher, Erick. Sejarah Modern Turki. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:
Bagaskara, 2011.
Kartodirdjo,Sartono.Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah.
Jakarta: Gramedia, 1993.
Kettani, M. Ali. Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2005.
Kohn, Hans. Dasar Sedjarah Rusia, Terj. Hasjim
Djalal. Jakarta: Hratara, 1966.
Kolev, Valery dan
Christina Koulori. The Balkan Wars. Thessaloniki:
CDRSEE, 2009.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2013.
Lenczowski,
George.Timur Tengah di Tengah Kancah
Dunia, terj. Asgar Bixby. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1993.
Lewis, Bernard. Muslim Menemukan Eropa. terj. Ahmad
Niamullah Muiz.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1988.
M. Lapidus,Ira. Sejarah Sosial Umat Islam. terj. Ghufron
A. Mas’ad. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian. Jakarta:
Kencana, 2011.
P. Parker, Sybil.
World Geographical Encyclopedia. New
York: McGraw- Hill, Inc., 1995.
Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2007. Rogan, Eugene. The
Fall of The Khilafah, terj. Fahmi Yamami. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2016.
Sahrodi, Jamali. Metodologi Studi Islam: Menelusuri Jejak
Historis Kajian Islam ala Sarjana Orientalis. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Setiadi, Elly M.
dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi
Politik. Jakarta: Kencana, 2013.
Sjamsuddin,
Helius. Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Ombak, 2012.
Soekanto,
Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar.
Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Stoddard,
Lothrop. Dunia Baru Islam. Jakarta:
T.pn., 1999.
------------------------.
Pasang Naik Kulit Berwarna (The Rising
Tide of Color). Jakarta: T.pn., 1966.
Sugiyono.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:Alfabeta, 2009.
Suharso dan Ana
Retnoningsih. Kamus Besar Bahasa
Indonesia: Edisi Lux.
Semarang: Widya Karya, 2005.
Thohir, Ajid. Studi Kawasan Dunia Islam (Perspektif
Etno-Linguistik dan Geo-Politik). Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Tim Kingfisher. Ensiklopedia Geografi Jilid 1. terj.
Dewi Susiloningtyas dkk.
Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2007.
--------------------.
Ensiklopedia Geografi Jilid 3, terj.
Dewi Susiloningtyas dkk. Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2007.
Tim Kingfisher. Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Jilid 2.
Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2009.
Werf, J. Van Der dan M. Soendoro. Sedjarah Umum. Jakarta: Noordhoff- Kolff N. V., 1953.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
Rajawali Pers, 2011.
Arif, Muhammad
Qobidl „Ainul. Politik Islamophobia
Eropa: Menguak Eksistensi Sentimen Anti-Islam Dalam Isu Keanggotaan Turki. Yogyakarta:
Deepublish. 2014.
Chalk, Peter. West European and Counter-terrorism: The
Evolving Dynamic. Basingstoke: Macmillan. 1996.
Council of European Union. The European Union Counter Terrorisme
Strategy. Brussel.
2005.
Fenwick, H. Civil Liberties & Human Rights. Oxon: Cavendlish Publishing.
2013.
Ishay, Michelin
R. The History of Human Rights: From
Ancient Times to the Globalization Era. Barkeley and Los Ageles: University
of California Press. 2004.
Kaizer, N &
Van Sliedregt. The European Arrest
Warrant in practice. The Hague: TMC Asser Press. 2014.
Norman, Daniel. Islam and West, the Making of an Image. Scotland:
Edinburgh University Press. Vide. 1980.
O‟Neil, M. The Evolving EU Counter-terrorism Legal Framework. Oxon: Routledge.
2011. Peers, S. EU Justice and Home Affairs Law. Oxford: Oxord University
Publishing. 2011.
Rees, Wyn. Transatlantic Counter-terrorism
Cooperation:The New Imperative. Oxon: Routledge. 2006.
Suwito. Sejarah
Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2008.
Vries, C. de. EU Counter-Terrorism Coordinator, Terrorism, Islam and Democracy.
Basingstoke:
Macmillan. 2011.
Watanabe, Lisa. EU-Maghreb Counter-terrorism Cooperation:
The Need for More Comprehensive Approach. Jenewa: GCSP. 2011.
Jurnal :
Bieber, Florian.
“Muslim Identity in the Balkans Before the Establishment of Nation States”.
Nationalities Papers, Vol. 28 No. 1, 2000. Diakses dari www.policy.hu pada
15 Februari 2017
Bougarel, Xavier. “The Role of Balkan Muslims in
Building a Eropean Islam”. EPC Issue Paper No. 43, 23 November 2005. Diakses
dari www.epc.eu
pada 10 Januari 2017
Bregu, Edit. “The Causes of The Balkan Wars 1912-1913
and their Impact on the International Relations on the Eve of the First World War”,
Mediterranean Journal of Social Sciences, MCSER Publishing Rome- Italy, Vol. 4
No. 9 (Oktober 2013), dari www.mcser.orgdiakses pada 20 Oktober 2016.
Celik, Nihat. “The Black Sea and The Balkans Under
Ottoman Rule”. Turkey: Sakarya
University, 2010. Diakses dari www.karam.org.tr pada 20 Oktober 2016.
Fehari Ramadani, dkk.“TheBalkan Wars and their
Consequences on the Balkans”, Vol. 4. Macedonia:
State University of Tetova, 2013.Paper Online diakses dari www.iiste.org pada
15 Januari 2017.
Gangloff, Sylvie. “The Weight of Islam in the Turkish
Foreign Policy in the Balkans”, (Turkish Review of Balkan Studies, 2001)
diakses dari https://hal.archives-ouvertes.fr/hal-00583339 pada 16
Februari 2017.
Iseni,
Bashkim. “National Identity, Islam and Politics in the Balkan” (Universite de Lausanne, 2009), h. 4 diakses dari http://downloads.akademie-rs.de/interneligioeser-
dialog/091120_iseni_balkan.pdf pada 9 November 2016.
Mat Enh, Azlizan. “Perang Balkan I 1912-1913:
Analisis dari Rekod-Rekod British”. Universiti Malaya. volume 21, no. 2
(Desember 2013) dari e- journal.um.edu.my/public/article-view.php?id=7398
diakses pada 15 Oktober 2016.
Venetis, Evangelos. “Islam Emerging in The Balkans”.
Working Paper No. 68, Athens, Greece: ELIAMEP (Oktober 2015) diakses dari www.eliamep.gr pada
18 oktober 2016.
Boister, N.
“Illegal Migration on Transnational Criminal Law”. European Journal of International Law, Volume 14. 2011.
Brown, L. Carl.
Middle East; Crescent of Crisis: U.S.-European Strategy for the Greater Middle
East. Council on Foreign Relations
Journal, Volume 85. 2012.
Favell, Adrian
dan Randal Hansen. “Markets Againts Politics: Migration, EU Enlargement and the
Idea of Europe.” Journal of Ethnic and
Migration Studies. Volume 28.
Nomor 4. 2002.
Geisser, Vincent.
“Intellectual and Ideological Debates on Islamophobia: A French Specifity in
Europe,” Institute of Researches and
Studies on the Arabic and Muslim World.
. “Islamohobia: A French
Specifity in Europe?” Human Architecture: Journal of the Sociology
of Self Knowledge. Hlm. 39-46. 2010.
Janik, Wojciech
J. “The threat of Islamic terrorism in Europe.” Elbalg World Scientific Journal, 2016.
Mark, Jon. “High Hopes and Low Motives: The New Euro-Mediterranean
Partnership Initiative.” Mediterranean
Politics . Hlm. 1-24. 1996.
Perlmutter,
William Rogers. “EUROPEAN UNION FOREIGN POLICY: QUIETLY COLLAPSING DEMOCRACY.” Chapel Hill Journal of Political Science,
Volume III. 2014.
Rahmawati, Roosi.
“Undang-Undang Laicite.” Jurnal Kajian
Wilayah Eropa. Volume V. Nomor 1. 2009.
Umbach, Frank.
“EU-ASEAN Political and Security Dialogue at the Begining of 21 Century:
Prospect of Interregional Cooperation on International Terrorism.” Panorama: Insight into Southeast Asian and
European Affairs. 2004.
Wade, Marianne L.
“The European union as a counter–terrorism actor: right path, wrong direction?”. Springer Science and Business Media
Journal. Volume X. 2013.
Yu. Darya.
“Strategic Communication of the EU: The Counter‐Terrorist
Aspect.” Sholokov Moscow Journal of
Humanitarian Affairs. Volume VI. 2014.
Skripsi dan Disertasi:
Imam Muhtadi, Skripsi“Keterlibatan Turki Utsmani
dalam Perang Dunia I (1914-1918)”,
diakses dari eprints.uny.ac.id pada 20 Februari 2017
Taufiq, Donny. Skripsi “Kemerdekaan Negara Kosovo”.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2009. Diakses dari www.digilib.ui.ac.id pada
9 November 2016
Stefan Sotiris Papaioannou, Disertasi “Balkan Wars
Between The Lines: Violence and Civilians in Macedonia, 1912-1918” ,
Dissertation submitted to the Faculty of the Graduate School of the University
of Maryland, 2012.
Internet:
en.m.wikipedia.org
Justin McCarthy, “1912-1913 Balkan Wars Death and
Forced Exile of Ottoman Muslims: An Annotated Map”, diakses dari www.tc-
america.org pada
25 Maret 2017
Stacy Hercules,
“The Balkans”, diakses dari cmes.arizona.edu pada 15 Januari 2017
Steven W. Sowards,“Twenty-Five Lectures on Modern
Balkan History”, diakses dari http://staff.lib.msu.edu/sowards/balkan/lecture 1.html
pada 17 Januari 2017
M. Tahir Kasnawi dan Sulaiman Asang. “Konsep dan Pendekatan
Perubahan Sosial”.Diaksesdari http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wpcontent/uploads/pdfmk/IPEM4439- M1.pdfpada 3 November 2016
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Wilayah Turki Utsmani di Balkan
Sumber
Gambar: Erick J. Zurcher, Sejarah
Modern Turki, h. 436
Lampiran 2. Balkan pada tahun 1912
Sumber:
Richard C. Hall, The Balkan Wars
1912-1913: Prelude to the First World War,London: Routledge, 2000.
Lampiran 3. Balkan pada masa Modern
Sumber:
Atlas Indonesia dan Dunia,( Jakarta:
Agung Media Mulia, 2010), h. 49
Lampiran 4. Poscard yang digunakan pada masa Perang Balkan (1912-1913)
Sumber :
Aleksandar Borici, Serbia and Montenegro
in Balkan Wars 1912-1913,
Belgrade, pdf.
[1] George Lenczowski, Timur
Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj. Asgar Bixby, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1993), h. 1
[2] Wahjudi Djaja, Sejarah Eropa: Dari Eropa Kuno Hingga Eropa Modern, (Yogyakarta:
Ombak, 2015), h. 110
[3] George Lencwski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, h.
9
[4] M. Abdul Karim,Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam(Yogyakarta: Bagaskara, 2011), 343
[5]
Azlizan Mat Enh, “Perang Balkan I 1912-1913:
Analisis
dari
Rekod-Rekod
British”, Univ. Malaya, bolume 21, no. 2 (Desember
2013), Hlm. 122 daer e-journal.um.edu.my/public/article-view.php?id=7389
diakses pada 15 Oktober 2016
[6] Edward Grey dilahirkan pada
25 April 1826 di London, Beliau merupakan negarawan Inggris yang menjabat
jabatan paling lama sebagai secretariat luar Inggris selama 11 tahun. Grey
memulai karirnya sebagai secretariat luar negeri Inggris pada tahun 1905 di
bawah perdana menteri Sir Henry Campbell Banneman. Lihat Azlizan Mat Enh,
“Perang Balkan I 1912-1913: Analisis-Rekod British”, Hlm. 141.
[7] Edit Bregu, “The Causes of The Balkan Wars
1912-1913 and their Impact on the International Relations on the Eve of the
First World War”, Mediterranean Journal of Social Sciences, MCSER Publishing
Rome-Italy, Vol. 4 No. 9 (Oktober 2013), hal. 115
[8] Grolier Internasional, Negara dan Bangsa: Jilid 7 (Jakarta: PT.
Widyadara, 2003),h. 208
[9] Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam: Menelusuri Jejak Historis Kajian Islam ala
Sarjana Orientalis (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 40
[10] Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Lux,
(Semarang: Widya Karya, 2005), h. 178
[11] Steven W. Sowards,Twenty-Five
Lectures on Modern Balkan History, diakses dari http://staff.lib.msu.edu/sowards/balkan/lecture
1.html pada 17 Januari 2017
sekitar 10.000.000 kilometer persegi atau seperlima
belas luas daratan bumi. Secara geografis, benua ini dibatasi lautan Artik di
utara, Laut Tengah, Laut Hitam, dan Pegunungan Ural dan Laut Kaspia di timur
dan lautan Atlantik di barat. Lihat Soraya Rasyid, Sejarah Islam Abad Modern, (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 219
[13] Johan August Zeune (1778-1853) merupakan seorang
Professor geografi di Berlin. Salah satu karyanya ialah “Gea. Attempt at a scientific geography” di tahun 1808, lihat
en.m.wikipedia.org/wiki/august_zeune.
[14] Nihat Celik, The
Black Sea and The Balkans Under Ottoman Rule, (Turkey: Sakarya University,
2010), h. 3
[16] Tim Kingfisher, Ensiklopedia
Geografi Jilid 3, terj. Dewi Susiloningtyas dkk. (Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2007), h. 208
[17] Ibid
[19] Sylvie Gangloff, “The Weight of Islam in the Turkish
Foreign Policy in the Balkans”, (Turkish Review of Balkan Studies, 2001), h. 1
diakses dari https://hal.archives-ouvertes.fr/hal-
00583339pada
16 Februari 2017.
[20] Bernard Lewis, Muslim
Menemukan Eropa, terj. Ahmad Niamullah Muiz, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1988), h. 4
[23] Steven W. Sowards,Twenty-Five
Lectures on Modern Balkan History, diakses dari http://staff.lib.msu.edu/sowards/balkan/lecture
1.html pada 17 Januari 2017
[25] Ibid
[26] Pada abad ke-9 pengikut-pengikut dari dua penyebar
agama Kristen, kakak beradik Cyril dan Methodius, yang dkenal sebagai Rasul
orang Slavia, mereka datang ke Balkan membawa serta abjad, bahasa tulisan dan
kesusastraan yang kemudian disebut abjad Cyrillic, abjad ini digunakan dalam
bahasa Rusia, Serbia, Macedonia, dan Bulgaria. Lihat Grolier Internasional, Negara dan Bangsa: Jilid 7, h. 49
[27] Florian Bieber, Muslim
Identity in the Balkans Before the Establishment of Nation States,
(Nationalities Papers, Vol. 28 No. 1, 2000), h. 19
[31] Steven W. Sowards,Twenty-Five
Lectures on Modern Balkan History, diakses dari http://staff.lib.msu.edu/sowards/balkan/lecture
1.html pada 17 Januari 2017
h. 252
[33] Suku Slav Selatan merupakan Bangsa Slavia yang pindah
keluar dari tempat tinggal aslinya di pegunungan Karpatia (Rumania) dan
memasuki wilayah yang pada masa modern disebut Yugoslavia. Lihat Negara Bangsa,
h. 38
[34] Suwito. Sejarah
Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Hlm. 110. 2008.
[35] Muhammad Qobidl „Ainul Arif. Politik Islamophobia Eropa: Menguak
Eksistensi Sentimen Anti-Islam Dalam Isu Keanggotaan Turki. Yogyakarta:
Deepublish. Hlm. 1. 2014.
[36] Daniel Norman. Islam and West, the Making of an Image. Scotland:
Edinburgh University Press. Vide. 1980.
4 Okezone.
20 April, 2010. “Belgia Larang Penggunaan Cadar.” http://international.okezone.com/read/2010/04/01/18/318365/belgia-larang-penggunaan-cadar, diakses 17 Juni
[37] „Ainul Arif. Op. Cit. Hlm. 2.
[38] Chris Allen dan Jorgen S. Nielsen. “Summary
Report on Islamophobia in the EU after 11 September 2001.” http://fra.europe.eu/sites/default/files/fra_uploads/199-Synthesis-report_en.pdf, diakses 14 Juni 2015 pukul 8:21 WIB, Surakarta.
[39] Stephen Castle. T.t. “Islamophobia Takes a
Grip Across Europe”. http://www.islamophobia.org/readarticle.php?article_id=76, diakses 14 Juni 2015 pukul 13:11 WIB, Surakarta.
[40] Vincent Geisser. Islamohobia: A French Specifity in Europe?. Human
Architecture: Journal of the Sociology of Self Knowledge. Hlm. 39-46. 2010.
[41] Geisser. Op. Cit.
[42] Ibid.
[43] „Ainul Arif. Op. Cit. Hlm. 4.
[44] Michelin R. Ishay.
The History
of Human Rights:
From Ancient Times
to the Globalization Era. Barkeley and Los Ageles: University of California Press. Hlm. 67. 2004.
[45] Ibid.
[46] Michelin R. Ishay, loc. cit.
[47] EUMC. “Muslim in the
European Union: Discrimination and Islamophobia.”
http://fra.europa.eu/sites/default/files/fra_uploads/156-Manifestations_EN.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul. 11:07 WIB, Surakarta.
[48] Ibid
[49] Ibid
[50] Ibid
[51] Ibid
[52] Jocelyne Cesari.
“Securitization and Religious Divides in Europe,
Muslim in Western
Europe After 9/11: Why the Term Islamophobia is more Predicament than an Explanation?.” http://www.euro-islam.info/wp-
content/uploads/pdfs/securitization_and_religious_divides_in_europe.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul 11:09 WIB, Surakarta.
[53] Ibid.
[54] Ibid.
[55] William Rogers
Perlmutter. EUROPEAN UNION FOREIGN
POLICY: QUIETLY COLLAPSING DEMOCRACY. diterbitkan dalam Chapel Hill Journal
of Political Science. Volume III. 2014. Hlm. 27.
[56] Elisabeth Johansson-Nogues. “The
Decline of the EU’s Magnetic Attraction? The European
Union in the Eyes of Neighboring Arab Countries and Russia,” European Foreign Policy Unit Working Paper No 2011/1. http://www.lse.ac.uk/internationalRelations/centresandunits/EFPU/EFPUpdfs/EFPUworkinpaper2011-1.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul
11:13 WIB, Surakarta.
[57] Ibid
[58] Ibid
[59] John Mark. High Hopes
and Low Motives: The New Euro-Mediterranean Partnership Initiative. New: York:
Mediterranean Politics. Hlm. 1-24.
1996.
[60] Elisabeth Johansson-Nogues, loc. cit.
[61] Ibid
[62] Ibid
[63] Derek A. Mix.
“The United States
and Europe: Current
Issues, Congressional Research
Service.” https://www.fas.org/sgp/crs/row/RS22163.pdf, dilihat 26 Juni 2016 pukul 11:19 WIB, Surakarta.
[64] Ibid
[65] Ibid
[66] Ibid
[67] L
Carl Brown. Middle East; Crescent
of Crisis: U.S.-European Strategy for the Greater Middle
East, dipublikasikan dalam Council
on Foreign Relations Journal. Volume 85. Hlm. 170. 2012.
[68] Ibid
[69] S. Peers. EU Justice and Home Affairs Law. Oxford:
Oxord University Publishing. Hlm.24. 2011.
[70] Adrian Favell dan Randal Hansen.
Markets Againts Politics: Migration, EU Enlargement and the Idea
of Europe, Journal of Ethnic and Migration Studies. Volume 28. Nomor 4. Hlm. 584.
2002.
[71] BBC. “Imigran di Perancis.” http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/03/120307_prancis.shtml, diakses 27 Juni 2016 pukul 11:23
WIB, Surakarta.
[72] Sabir E. Bab I Pendahuluan.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/7681/SABIR%20E%2013108278%20(%20BAB%201%20-%20DAFTAR%20PUSTAKA%20).pdf?sequence=2, dilihat 27 Juni 2016 pukul 11:24 WIB, Surakarta.
[73] Sabir E., loc. cit.
[74] Elizabeth Collet. “The EU Immigration Pact – From Hague to Stockholm.” http://www.epc.eu/TEWN/pdf/304970248_EU%20Immigration%20Pact.pdf, dilihat 27 Juni 2016 pukul 11:26
WIB, Surakarta.
[75] Ibid
[76] N Boister. Illegal Migration on Transnational Criminal Law, dipublikasikan dalam
European Journal of International Law. Volume 14. Hlm. 953. 2011.
[77] Vitri Mayastuti. Analisis Budaya
Strategis dalam Kerjasam
Kontra Teror AS-Uni
Eropa. Jakarta: Universitas-Indonesia.
[78] Marianne L. Wade. The European Union As A Counter–Terrorism
Actor: Right
Path, Wrong
Direction?, diterbitkan dalam
Springer Science and Business Media Journal. Volume X. Hlm.360. 2013.
[79] Vitri Mayastuti, loc. cit.
[80] Ibid
[81] H.Fenwick. Civil Liberties & Human Rights.
Oxon: Cavendlish Publishing. Hlm. 52. 2013.
[82] Vitri Mayastuti, loc. cit.
[83] Lisa Watanabe. EU-Maghreb
Counter-terrorism Cooperation: The
Need for More
Comprehensive Approach.
[84] Vitri Mayastuti, loc. cit.
[85] Ibid
[86] Darya Yu. Bazarkina, Strategic Communication of the EU: The
Counter‐Terrorist Aspect, diterbitkan dalam Sholokov Moscow Journal
of Humanitarian Affairs. Volume VI. Hlm. 31. 2014.
[87] Peter Chalk. West European and Counter-terrorism: The
Evolving Dynamic. Basingstoke: Macmillan. Hlm.
[88] Vitri Mayastuti, loc. cit.
[89] Ibid
[90] Ibid.
[91] M.O’Neil. The Evolving EU
Counter-terrorism Legal Framework. Oxon: Routledge. Hlm. 156. 2011.
[92] Wyn Rees. Transatlantic Counter-terrorism Cooperation: The New Imperative. Oxon: Routledge. Hlm. 60.
2006.
[93] N.Kaizer & Van Sliedregt. The European Arrest Warrant in Practice. The Hague:
TMC Asser Press. Hlm. 88. 2014.
[94] Ibid.
[95] Ibid.
[96] Council of European
Union. The European Union Counter
Terrorisme Strategy. Brussel. 2005.
[97] ICCT. “The Hague Conference Center for International Counter Terrorism.” https://icct.nl/, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:31 WIB, Bekasi.
[98] ICCT. “The Hague Conference Center for International Counter Terrorism.” https://icct.nl/, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:31 WIB, Bekasi.
[99] UNCCT. “EU and UNCCT
convene Global Network of Counter-Terrorism Centres in Brussels.”
https://www.un.org/counterterrorism/ctitf/en/uncct/eu-and-uncct-convene-global-network-counter- terrorism-centres-brussels, dilihat 5
Oktober 2016 pukul 10:32 WIB, Bekasi
[100] ASEM8. “ASEM Conference
on Counter-Terrorism.”
10:33 WIB, Bekasi.
[101] Vitri Mayastuti, loc. cit.
[102] Council of European Union, loc.
cit.
[103] Ibid.
[104] Derek A. Mix, loc. cit.
[105] Ibid.
Post a Comment
silahkan berkomentar bijak dan sesuai dengan topik pembahasan